Laman

Sabtu, 27 Agustus 2011

Ismail Kadare, Wawancara dengan Shusha Guppy


Ismail Kadare  1936 –
Novelis, pengarang cerita pendek, penyair, eseis, penulis naskah drama, kritikus ini nyaris tak tak dikenal di Indonesia. Hanya ada dua karyanya yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia, Elegi untuk Kosovo (Jalasutra, 2004) yang merupakan serial tiga novela dan novel Piramid (Marjin Kiri, 2011).
Wawancara lumayan panjang Ismail Kadare dengan Shusha Guppy ini diterjemah dari The Art of Fiction No 153, dalam The Paris Review No. 147, Summer 1998,      







Pada tahun 1970 sebuah novel karya penulis Albania tak dikenal mengguncang Paris. The General of the Dead Army adalah kisah seorang jendral Italia yang kembali ke Albania setelah Perang Dunia Kedua untuk mencari tubuh para tentara Italia yang gugur di sana dan membawa mereka kembali ke Italia untuk dikuburkan. Novel itu dielukkan sebagai sebuah masterpiece dan pengarangnya diundang ke Perancis, dimana ia disambut para cendekiawan Perancis sebagai berkas suara yang kuat dan aseli dari balik Tirai Besi. The General diterjemah ke lusinan bahasa dan mengilhami dua film: satu film berjudul sama dengan dibintangi Michel Piccoli, satu lagi Life and Nothing Else (La Viet et rien d’autre)-nya Bernard Tavernier yang terkenal.

Rabu, 03 Agustus 2011

Subyek, Abnormalitas, Gaya*

Di sebuah jurnal digital, Paralaks, tulisan Gunawan Mohamad (27 Maret 2008), S.T.A., Sebuah Prosa mengutip sebuah paragraf S.Takdir Alisyahbana dalam Kebangkitan Puisi Baru Indonesia. Demikian S. Takdir Alisyahbana menggambarkan kelahiran sebuah puisi: Segala perasaan yang timbul di dalam kalbu berombak dan beralun melalui berjuta-juta jalan yang halus memenuhi seluruh tubuh; sampai kepada bahagian badan yang sekecil-kecilnya menurut terayun dan terbuai dalam ombak dan alun perasaan itu dan amat gaibnya terbayanglah ia ke dunia lahir pada perubahan detikan jantung, pada lekas lambatnya nafas, pada turun naiknya suara dan pada perubahan air muka. Dari paragraf S. Takdir yang disebut Gunawan Mohamad sebagai bergemuruh tersebut segera terbayang hubungan rapat tak tercerai serupa dua sisi mata uang antara puisi dan penyairnya. Puisi merupakan suatu ekspresi langsung jiwa sang penyair. Namun, Gunawan Mohamad rupanya keberatan dengan penggambaran asal-usul yang poetik tersebut. Melalui Julia Kristeva, Gunawan Mohamad menyatakan, “Kini kita tahu, transparansi (atau keselarasan) semacam itu sebenarnya tak terjadi”. Sebab, menurut Gunawan, antara gejala yang terjadi dalam tubuh dan bahasa yang dihasilkan (ditulis), atau dari semiotik menuju simbolis, seharusnya ada penapis. Jika memahami proses semiotik menjadi simbolis menurut Julia Kristeva, jelaslah apa yang dimaksud penapis ini adalah rasionalisasi untuk membangun sintaksis yang logis. Proses semiotik menuju simbolis ini, rasionalisasi, bagi Kristeva merupakan suatu “pendewasaan” yang dibentuk dengan paksaan oleh norma-norma semacam identifikasi jenis kelamin, pemisahan umum dan pribadi dan sebagainya. Namun, bahasa tak benar-benar menghapus seluruh akar semiotiknya dan penyair menggemaulangkan masa pra-oedipus itu dengan mengangkat yang tak sadar tersebut. Dengan cara ini Kristeva memisahkan dan sekaligus menghubungkan antara yang “normal” dan yang “poetik”. Bahwa bahasa puisi yang diperoleh dengan membangkitkan yang tak sadar akan selalu bersifat laten. Merongrong dan mengacaukan tatanan bahasa yang rasional, mapan, dan otoriter.

Senin, 01 Agustus 2011