Laman

Jumat, 06 Januari 2012

Mencari Tuhan




Bagaimana Tuhan dipersepsikan melalui pikiran-pikiran atau imajinasi-imajinasi adalah upaya mengurai atau menyingkap semacam kemuskilan. Upaya-upaya yang selalu terperangkap dalam kemelimpahan semesta raya. Berdiri selalu diambang: hadirnya ketiadaan yang dibayangkan melalui realitas-realitas keras yang hadir. Sebagaimana Jorge Luis Borges menelusur dalam The Mirrors of Enigma. Kehadiran Kebenaran yang tak tertampung dalam pengalaman diri itu “terasa” ada di dalam diri sendiri. Pelukisan serba terbalik yang hendak menyatakan keserba-sempurnaan. Lebih terang dari segala cahaya, tapi lebih tertirai dari segala misteri, kata St. Augustine.

            Sesuatu yang lebih daripada sekedar pemahaman yang dipusakakan melalui simbol-simbol dan pengertian-pengertian baku. Tubuh – pikiran dan setiap indera – mensyaratkan sebuah pengalaman. Bukan hal-hal di luarnya. Bukan hal-hal yang serba telah jadi, kaku, dan menghendaki kebertundukan tanpa syarat. Tak ada jalan lain, kecuali mengembarai ngarai tak terperi yang mengerikan itu sendiri. Jauh masuk ke dalam diri, dalam curam kesunyian dan menarung kehampaan yang mengamuk hati. Maka Di Mesjid Chairil Anwar Bersimbah peluh diri yang tak bisa diperkuda. Sedang Amir Hamzah diumbang-ambingkan keberhampiran yang mematah-arangkan nyaris. Bertukar tangkap dengan lepas

            Janji pertemuan selalu saja berarti penangguhan. Atau merupakan pertemuan dengan jejak-jejak, bekas kehadiran semacam abu atau hantu. Perlambang-perlambang yang hanya mungkin di isi oleh atau membayangkan diri sendiri. Begitulah. Segala pandang yang ditebar pada akhirnya tertumbuk pada diri sendiri. Diri yang terpencil dengan jiwa yang melingkup seluruh semesta. Jika kita melihat Bima Sakti, hal itu sesungguhnya karena ada di dalam jiwa kita, kata Borges dalam kerja penerjemahannya.  Oleh karenanya mengenali diri sendiri merupakan sebuah jalan. Namun, dengan begitu harus mengenali semesta yang ditampung oleh jiwa. Bukan sebagai jumlah namun nilai, menggali kebernilaian tepatnya. Suatu pernyana yang menganggap semesta raya sebagai isyarat yang ditata secara gramatikal dan berbicara pada kita. Artinya, jika kita berbicara dengan semesta kita bicara dengan diri sendiri, dan juga sebaliknya.

            Semesta sebagai bahasa dari keagungan yang berbicara tak hanya terbayangkan dalam gugus-gugus bintang atau tata planet-planet. Setiap teks juga merupakan bahasa dari keagungan. Setiap teks merupakan teks liturgis yang menyediakan bahan-bahan pengenalan dalam suatu pencerminan. Pencerminan dari kehadiran yang tak hadir. 

            Tuhan mistis tersembunyi di dalam diri dan/atau semesta. Tuhan individu yang dikenal dengan cara mesti mengenali diri sendiri. Memahami segenap isyaratnya sebagai semesta yang berbicara dalam sunyi melubuk yang serba rawan. Berbicara mengenai kehendak-kehendaknya dengan kemelimpahan suara yang memekak, simpang siur lambang dengan simpang-simpang menyesatkan. Maka setiap Kebenaran tak pernah beranjak dari kemungkinan. Bahkan meski Kebenaran pasti bukan dusta. Sebab Tuhan adalah Kebenaran.

            Namun, pengembaraan pemikiran ini – pengembaraan di dalam sebentuk cermin – penuh bahaya yang sanggup menghinggakan manusia sebagai belaka penghuni kepompong. Suatu kehidupan yang penuh pengabaian terhadap kehidupan sendiri. Kehidupan yang melaknat tubuh sebagai sarang dosa.

Sebuah gagasan penganiayaan tubuh dengan memadamkan segenap tanda kehidupannya ini digugat A.A Navis dalam Robohnya Surau Kami. Melalui Ajo Sidi kehendak-kehendak Tuhan diperdengarkan. Kehendak-kehendak yang bukan untuk Tuhan sendiri dan bukan untuk diri sendiri. Melainkan kehendak untuk tubuh (sosial). . . . kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua, demikian Ajo Sidi memperdengarkan suara Tuhan dalam sebuah cerita negeri akhirat kepada Kakek.

Jauh sebelum A.A. Navis, abad 19 di Polandia, I.L Peretz menyerang pemahaman atas kehendak Tuhan yang memurungkan, bahkan membusukan kehidupan dengan cerita parodi. Bonthse Shvayg (Bonthse The Silent), memparodikan kuasa ilahiah dalam kehidupan parokial masyarakat Yahudi yang pasif meski dalam penindasan melalui tokoh Bontshe yang tak bicara sejak lahir hingga matinya sebab keyakinannya atas janji kedatangan juru selamat yang dikirim Tuhan. 

Namun, melalui tubuhlah kehadiran Tuhan sering tertangkap sebagai kengerian. Sebagaimana penyosokan Tuhan di padang Kurusetra menjelangkan perang Bharata melalui tubuh Krisna yang membuat ngeri Arjuna. Dengan sedikit kesalahpahaman mengenai metafor itu kemudian kita juga bisa mengenangkan Perang Salib, inkuisi dan pembakaran di semenanjung Iberia di zaman Isabella I dari Castile, runtuhnya menara kembar WTC, bom Bali, atau sekian ledakan yang melantakan kota-kota di Iraq. 

Bahwa Kebenaran itu ternyata meliputi perang dan damai. Sebuah kehadiran yang tak hanya meletakan jejaknya pada bunga teratai. Namun pun pada koyak moyak mayat. Kehidupan dihidupkan tubuh dengan kecemasan-kecemasan dan pelampiasan-pelampiasannya. Bersama itu Tuhan individu dibunuh. 

Bersama pecahnya kesunyian, suara-suara semesta berkeping dan mendesak ke permukaan dunia material. Kehendak-kehendak Tuhan menjadi sebagaimana benda-benda milik. Dikuasai, diperjualbelikan, diwariskan, dan membentuk kelompok-kelompok berketuhanan. Tuhan pun tak lagi tunggal. Tak lagi menjadi Tuhan semesta raya.

Jika jiwa bisa membuat diri tak kebal menghadapi janji akhirat, tubuh membuat diri tak kebal menahan godaan duniawi. Sampai di sini kita merasakan kebimbangan di penjelang Tuhan. Suatu kebimbangan yang mungkin saja terus menguat hingga menyanggupkan kita membunuh diri sendiri sebagaimana Kakek dalam Robohnya Surau Kami

Namun, kebimbangan ini juga yang membawa Chaim Potok menanyakan kehendak Tuhan atas masyarakatnya (Yahudi) yang dikatakan mereka menderita karena mereka pilihan Tuhan. Dalam kecamuk perang di Korea di akhir tahun 1950-an Chaim Potok  menggugat, Apakah orang-orang Korea juga orang-orang pilihan Tuhan, atau apakah segala penderitaan adalah tak bermakna? Lebih jauh lagi Chaim Potok juga mempertanyakan kekakuan ajaran mengenai kekafiran terkutuk yang selama ini digenggamnya sebagai hal yang terwariskan turun-temurun. Setelah melihat wajah umat lain (yang dianggap kafir) sedang beribadah dengan kesungguhan dan kepasrahan Potok menyangsikan asumsi bahwa Judaisme sebagai satu-satunya kebenaran. Bagaimana mungkin Tuhan membenci ketulus-hatian orang-orang yang beriman, kata Potok. 

Tak pelak, Tuhan meninggalkan jejaknya dalam spektrum suara yang melimpah. Dengan cara seperti itu Ia terus hadir tanpa harus menanggalkan kemisteriusan. Mungkin seperti kata Pendeta dalam Before The Law-nya Franz Kafka, Tidak perlu menerima segala benar, namun mesti menerimanya sebagai sesuatu yang dibutuhkan

Wahai, Ia yang berbicara sebagai nyala api di Gunung Sinai!