Laman

Minggu, 22 April 2018

Refleksi Realitas Sosial sebagai Tendensi Politik dalam Sastra


Dwi Pranoto



 
2001: A Space Odyssey


Kurang lebih tujuh puluh tahun lalu, Armijn Pane menulis begini, “Politik itu bagi seniman dan pudjangga bukanlah sarat, melainkan sudah dengan sendirinja ada padanja”. Dengan kata lain, politik secara otomatis melekat pada diri seniman dan sastrawan, baik ia dengan secara sadar memilih maupun tidak. “Kalau dia bilang, dia tidak mau berpolitik, karena dengan sengadja mendjauhkan politik. Itulah politik!”, kata Armijn Pane pada alinea sebelumnya. Ketakterhindaran berpolitik tersebut dikarenakan kerja sastrawan senantiasa berkait-kelindan dengan masyarakat. Bagi Armijn Pane ada dua sikap yang dapat diambil oleh sastrawan dalam kaitan ini; apakah ia mau jadi buntut masyarakat yang hanya peduli pada keplokan masyarakat dan honorarium besar, atau jadi pelopor yang berperan sebagai penganjur masyarakat. Menjadi penganjur masyarakat bukan berarti sastrawan belaka membawa atau merefleksikan suara, semangat, pikiran jiwa masyarakat. Tapi sastrawan harus menggodok penyaring semua itu dengan api cita-cita (saya menafsirkannya sebagai tendensi politik).[2]