Dwi
Pranoto
Kurang
lebih tujuh puluh tahun lalu, Armijn Pane menulis begini, “Politik itu bagi
seniman dan pudjangga bukanlah sarat, melainkan sudah dengan sendirinja ada
padanja”. Dengan kata lain, politik secara otomatis melekat pada diri seniman
dan sastrawan, baik ia dengan secara sadar memilih maupun tidak. “Kalau dia
bilang, dia tidak mau berpolitik, karena dengan sengadja mendjauhkan politik.
Itulah politik!”, kata Armijn Pane pada alinea sebelumnya. Ketakterhindaran
berpolitik tersebut dikarenakan kerja sastrawan senantiasa berkait-kelindan
dengan masyarakat. Bagi Armijn Pane ada dua sikap yang dapat diambil oleh
sastrawan dalam kaitan ini; apakah ia mau jadi buntut masyarakat yang hanya
peduli pada keplokan masyarakat dan honorarium besar, atau jadi pelopor yang
berperan sebagai penganjur masyarakat. Menjadi penganjur masyarakat bukan
berarti sastrawan belaka membawa atau merefleksikan suara, semangat, pikiran
jiwa masyarakat. Tapi sastrawan harus menggodok penyaring semua itu dengan api
cita-cita (saya menafsirkannya sebagai tendensi politik).[2]