“Nama
Using diberikan pada orang Blambangan oleh para pendatang . . . Orang
Blambangan sendiri menyebut dirinya orang Jawa Asli. Nama paling tepat untuk
mereka adalah orang Blambangan”. (John Scholte: 1927)
Pada
umumnya berbagai kalangan meletakkan Sritanjung,
Sang Satyawan, dan Sudamala sebagai contoh paling awal dari
karya sastra Using. Tiga karya sastra Jawa masa pertengahan berbentuk kidung
itu dianggap sebagai karya sastra Using berdasarkan
pernyataan P.J. Zoetmulder dalam karya
besarnya Kalangwan yang berbunyi, “ Tempat asal-usul prototipe jenis ini
(kidung Sritanjung dan Sudamala) hendaklah kita cari di Banyuwangi . . .”.
Selain itu Ensiklopedi Indonesia (1987) juga menyebut sastra aliran Banyuwangi
dengan contohnya Sritanjung dan Sang Satyawan. Apa yang membuat ketiga
naskah sastra dari masa Blambangan itu dimasukkan sebagai sastra Using adalah
adanya anggapan bahwa kebudayaan Using yang tumbuh di Banyuwangi merupakan
kelanjutan dari kebudayaan Blambangan.
Dalam
Kalangwan Zoetmulder menyebut kidung Sritanjung dan Sudamala mempunyai perbedaan dengan kidung-kidung lainnya yang
terutama pada tidak adanya latar belakang keraton atau sifat kerakyatannya.
Penuturan lisan bagaimanapun memainkan peran besar pada penulisan dua naskah
yang isi ceritanya sesungguhnya telah dikenal pada masa Majapahit. Ketiadaan
latar belakang keraton dalam dua kidung tersebut sangat mungkin dipengaruhi
oleh keadaan tempat dan zaman dimana dua kidung itu disalin. Blambangan,
meskipun mempunyai rentang masa yang cukup panjang sebagai kerajaan Hindu
terakhir di Jawa, merupakan wilayah yang tak sudah mengalami peperangan hebat
dari masa Majapahit sampai pendudukan kompeni Belanda. Ketakstabilan politik
berkepanjangan diikuti oleh peperangan terus-menerus, baik sebab internal
berupa perebutan tahta dan sebab eksternal berupa serbuan kerajaan-kerajaan
dari Bali dan Mataram, menyebabkan pusat pemerintahan atau kraton
berpindah-pindah. Disamping itu, pengambilan bentuk kidung dalam penulisan Sritanjung dan Sudamala yang menurut Zoetmulder, “Bila dipandang dari sudut sastra, maka kidung-kidung pada umumnya
dengan jelas memperlihatkan kekurangan-kekurangan’,
seolah mengonfirmasi pendapat I Made Sudjana dalam Nagari Tawon Madu (2001) yang menyatakan Blambangan tidak pernah
mengalami masa keemasan, zaman kertayuga
yang sesungguhnya, dimana berkembang seni sastra dan kebudayaan pada umumnya.
Atau setidaknya sastra pada masa Blambangan tidak tumbuh dan berkembang dengan
maksimal di dalam tembok kraton.
Berbeda
dengan Zoetmulder yang menilai kidung sebagai karya sastra lebih rendah
dibandingkan dengan kakawin jika ditinjau dari unsur interinsik sastra. Dalam
kajian pendek mengenai naskah Kidung Sritanjung
berhuruf Arab pegon yang tersimpan di museum Banyuwangi, Suripan Sadi Hutomo
justru mengaku menemukan keindahan. Bahkan dalam naskah tersebut ia menemukan
dua versi puisi tembang yang khas (tidak terdapat dalam macapat) yakni puisi wukir dan mahisa langit. Suripan Sadi Hutomo menggolongkan kidung Sritanjung sebagai sastra Jawa Pasisiran
yang bersifat dinamis dan demokratis.
Penilaian
Suripan Sadi Hutomo mengenai Kidung Sritanjung
yang disebutnya bersifat dinamis dan demokratis sedikit banyak mengingatkan
pada penilaian John Scholte (1927) mengenai Gandrung. Ketika membandingkan Gandrung dengan tarian Jawa dalam Gandroeng van Banjoewangi John Scholte
menyatakan, “. . .Gandrung maupun
penari-penari rakyat, dan oleh karenanya mereka bukan pembawa cap dari etiket
kekratonan yang mempunyai ciri untuk selalu menekan dan menghaluskan segala
ekspresi vital serta juga untuk melambat-lambatkan gerakan-gerakannya hingga
terkuasai secara estetis tetapi kadang-kadang menyebabkan kehilangan
penghayatan dari hakekatnya . . .”.
Disamping
ketiga naskah Bahasa Jawa Pertengahan itu syair dalam gending-gending kuno Seblang dan Gandrung juga dimasukkan sebagai sastra Using. Berbeda dengan Sritanjung, Sudamala, dan Sang Satyawan
yang mempunyai bentuk naskah (tertulis), syair-syair kuno Seblang dan Gandrung
merupakan sastra lisan yang dinyanyikan dengan iringan instrument musik tradisonal
tertentu dan merupakan bagian dari tradisi ritual dan seni tari. Syair-syair
kuno Seblang dan Gandrung baru mendapatkan
bentuk tertulisnya setelah seorang Belanda pada paruh pertama abad XX,
Ottolander, dikabarkan mendokumentasikannya secara tertulis.
Beberapa
kalangan, terutama pengkaji dan pemerhati di kalangan orang-orang Banyuwangi,
sangat membanggakan syair gending-gending kuno Seblang. Mereka menyebut syair tersebut melampaui zaman, mendahului
puisi-puisi modern yang bebas. Hasan Ali, pemelihara dan penjaga kebudayaan
Using yang ulet dan selalu didengar dan diikuti pernyataannya, dengan mengambil
contoh salah satu gending Seblang, Padha
Nonton, mengatakan, “Ketika para
pujangga Angkatan Lama dan Pujangga Baru masih berleha-leha dengan pepatah-petitih,
pantun, gurindam, talibun, sonata dll., yang kemudian ‘diterjang’ oleh Chairil
Anwar dan teman-temannya se-Angkatan ’45, justru dalam kesusastraan Using sudah
ada Padha Nonton . . . yang dalam bentuk dan isi sama dengan yang dimaui oleh
Chairil Anwar”.
Namun,
seperti kebanyakan sastra lisan yang penyebarannya dari generasi ke generasi
berikutnya berlangsung secara tutur, syair gending-gending Seblang juga rentan mengalami pengurangan, penambahan, dan
penyimpangan kata-katanya. Kita tidak pernah tahu apakah syair yang sampai pada
generasi hari ini tidak mengalami ‘kerusakan’ dibandingkan dengan syair yang
ada pada masa sebelumnya. Hal yang jelas pada masa kini terdapat beberapa
varian gending-gending Seblang.
Sebagai contoh, teks syair Padha Nonton
dalam tulisan Hasan Ali berbeda dengan teks yang ada pada semacam buku
informasi yang sangat mungkin ditulis oleh panitia penyelenggara Seblang
Bakungan yang berjudul Upacara Adat
Seblang. Pada teks yang ditulis Hasan Ali syair Padha Nonton terdiri dari empat bait sementara dalam buku Upacara Adat Seblang hanya memuat dua
bait syair Seblang yang dalam tulisan
Hasan Ali dijadikan dalam satu bait.
Tidak
menutup kemungkinan syair gending-gending Seblang
pada mulanya diciptakan menurut guru lagu dan guru wilangan tertentu mengingat
gending-gending Seblang merupakan
sastra lisan yang ditembangkan. Namun, karena perjalanannya yang panjang hingga
sampai pada saat ini melalui tuturan dari mulut ke mulut mengakibatkan syair
gending-gending Seblang mengalami
‘kerusakan’ baik dalam ketepatan
menembangkannya apalagi penyalinannya menjadi teks tulis. Problem pada gending-gending
Seblang ini mengingatkan pada
hilangnya kemampuan mengartikulasikan tembang wukir dan tembang mahisa
langit dalam naskah Sritanjung
berhuruf pegon yang disinyalir oleh Suripan Sadi Hutomo. Problem ini juga
terjadi pada pendarasan Mocoan yang
menurut salah seorang pendarasnya di daerah Kemiren sesungguhnya ia tidak tahu
menembangkannya dengan tepat dan terpaksa menembangkannya dengan versi macapat
walaupun sesungguhnya seringkali kekurangan atau kelebihan satu sampai beberapa
baris.
Hampir
menjadi kesepakatan bersama di kalangan para pengkaji dan pemerhati sastra
Using bahwa naskah Sritanjung, Sudamala, Sang Satyawan, gending-gending kuno Seblang dan Gandrung
merupakan hasil karya sastra Using pada masa Blambangan, walaupun istilah Using
sendiri baru muncul pada paruh pertama abad XX. Istilah Using yang digunakan
untuk menyebut masyarakat Banyuwangi muncul pada tahun 1926 ketika Stoppelaar
menggunakan istilah Blambangers atau Oesingers dalam Blambangansche Adatrecht. Tahun 1927 John Scholte dalam Gandroeng van Banjoewangi menyatakan nama
Using digunakan pada orang Blambangan oleh para pendatang, sedangkan orang
Banyuwangi sendiri menyebut dirinya sebagai orang Jawa asli.
Sebelum
dirintis sebagai identitas budaya pada tahun 1970-an dan mulai memantapkan
statusnya pada tahun 1990-an melalui
kampanye masif dan tersistematis, bagi masyarakat Banyuwangi penyebutan Using
kepada diri mereka adalah suatu penghinaan. Bernard Arps dalam Osing
Kids and the banners of Blambangan, Ethnolinguistic
identity and the regional past as ambient themes in an East Javanese town yang dimuat dalam Wacana Vol.11 No.1 (April
2009) menyatakan tahun 1974 di majalah berbahasa Jawa, Mekar Sari, Paman Goplang memperingatkan
jika anda mau berlaku sopan hendaklah jangan menyebut masyarakat Banyuwangi
sebagai Wong Using yang bagi mereka
itu adalah julukan yang melecehkan. Sementara Endro Wilis, salah seorang pengarang
lagu-lagu Banyuwangian ‘modern’ angkatan pertama, mengatakan bahwa istilah
Using melumpuhkan jiwa, maksudnya istilah Using merupakan hasil rekadaya orang
luar sejak zaman VOC untuk menghancurkan mental dan moral masyarakat Blambangan
yang terkenal keras kepala dan tak mau tunduk begitu saja terhadap upaya
penindasan.
Tiga puluh tahun sebelum ‘nasehat’ Paman Goplang, seorang peneliti Belanda yang
menyebut dirinya sebagai ‘insider’ dalam laporannya menyatakan bahwa Using
diambil dari istilah Bali ‘sing’ untuk menyatakan masyarakat Blambangan adalah
‘bukan manusia’. Sampai sekarangpun
sebutan Using ditolak oleh beberapa orang tua (75-an ke atas) di Banyuwangi.
Awal
munculnya Using sebagai identitas kultural dan ‘bahasa’ daerah di Banyuwangi tak
bisa dilepaskan dari kebijakan kultural rezim Orde Baru yang pada akhir tahun
60-an atau awal 70-an kewalahan menghadapi perilaku menyimpang anak-anak muda
yang dianggap akibat dari pengaruh Barat. Salah satu kasus penyimpangan
perilaku anak muda paling bejat dan yang paling disorot dan tak pernah diungkap
tuntas sampai hari ini adalah kasus pemerkosaan gadis penjual telur di Solo,
Sumarijem, yang dilakukan oleh anak salah seorang bangsawan keraton Surakarta
dan anak salah seorang pahlawan revolusi yang terkenal dengan peristiwa Sum Kuning. Keprihatinan terhadap
perilaku menyimpang anak muda yang dianggap karena pengaruh Barat ini melahirkan
tindakan represif terhadap kalangan anak muda yang salah satu contohnya yang
menggelikan adalah pelarangan rambut gondrong yang dilakukan secara sistematis
oleh Orde Baru.
Pada sisi lain Orde Baru menggalakan penggalian kembali nilai-nilai tradisi
melalui pelestarian dan revitalisasi kesenian-kesenian daerah.
Penggalakan kembali kesenian daerah di Banyuwangi, setelah melewati periode
‘bisu’ beberapa tahun sesudah peristiwa ’65 dan masa ‘pembersihan’, mendapatkan
momentumnya ketika Presiden Soeharto meminta Bupati Banyuwangi, Djoko Supaat
Selamet, menghidupkan kembali kesenian daerah Banyuwangi setelah ia menyaksikan
seni angklung Banyuwangi pada kunjungannya ke Tapanrejo, Banyuwangi, pada tahun
1970. Sejak itu seni budaya Banyuwangi bergairah dan perjalanan panjang
menegakkan Using sebagai identitas kultural daerah dimulai.
Periode
pertama penegakan identitas ke-usingan, seperti pesan Soeharto kepada Bupati
Supaat, adalah membersihkan jejak-jejak komunis pada kesenian-kesenian
Banyuwangi seraya membangun dan mengembangkan nilai-nilai ideal tertentu. Novi
Anoegrajekti mencatat pada laporan penelitiannya mengenai upaya-upaya untuk
‘memperbaiki’ peran, perangai, dan fisik tokoh antagonis Minakjinggo yang merupakan identifikasi karakter Using dalam seni drama Damarwulan yang populer di masyarakat.
Pembersihan jejak-jejak komunis dilakukan dengan pembungkaman dan
‘mempertobatkan’ seniman-seniman Banyuwangi serta penyensoran, pelarangan, dan
pendiskriditan karya-karya seni yang dianggap subversif. Hampir seluruh
lagu-lagu M. Arief ‘menghilang’ dari masyarakat karena cap komunis. Sementara Genjer-genjer, salah satu lagu karya M.
Arief yang dipuji oleh Nyoto dan memperoleh popularitas nasional pada masa Orde
Lama, digambarkan sebagai lagu pengiring tindakan bejat dan keji dalam film G.30 S./PKI karya Arifin C. Noer yang
menjadi film wajib tayang di TVRI setiap memperingati hari Kesaktian Pancasila.
Seniman lain semasa M. Arief, Endro Wilis, terpaksa menghapus namanya pada
lagu-lagu ciptaannya yang di’kasetkan’. Sementara salah satu lagu karyanya, Selendang Abang diganti tanpa
sepengetahuannya menjadi Selendang Sutro
karena ‘Abang’ (merah) identik dengan komunis. Pada periode yang disebut oleh
Bernard Arps, dalam kajiannya tentang ethnolinguistik Using,
masa persiapan transformasi ini terjadi perubahan besar dalam karakter dan
semangat penciptaan syair lagu-lagu Banyuwangian. Tidak ada lagi syair-syair
bertema kerakyatan yang disemangati oleh keberpihakan dan perlawanan terhadap
penindasan dan penghisapan seperti yang dengan jelas terbaca pada syair lagu Nelayan ciptaan Endro Wilis dan Emas-emas ciptaan M. Arief. Sebagai
gantinya muncul syair-syair dengan tema asmara, nasehat untuk hidup rukun, dan
bahkan kampanye pembangunan.
Syair
gending-gending Banyuwangian yang diciptakan pada masa 70-an seperti hendak
‘memurnikan’ kembali ciri khas sastra lisan Banyuwangi. Berbeda dengan syair
lagu-lagu Banyuwangian yang diciptakan sebelum ’65 yang lebih lugas, syair lagu-lagu
tahun 70-an, terutama yang diciptakan Andang C.Y dan Basir Noerdian, lebih
sering menggunakan wangsalan, basanan, dan paribasan yang merupakan gaya puitik
khas sastra lisan Using.
Pada
tahun 80-an ketika industri rekaman mengalami booming pertama, irama angklung Banyuwangi tergeser oleh irama yang
lebih mirip dangdut yang kemudian lebih dikenal sebagai kendang kempul. Watak
industri yang mau merengkuh audiens (konsumen) yang luas, tak hanya berdampak
pada mulai mendominasinya irama kendang kempul pada lagu-lagu yang diciptakan
pada masa itu, namun juga berdampak pada gaya penulisan syair-syairnya. Gaya
puitik basanan, wangsalan, dan paribasan dalam syair lagu-lagu kehilangan
popularitasnya dan digantikan oleh keterusterangan yang nyaris vulgar. Pada
masa ini, bersama pasang naik industri rekaman lagu-lagu kendang kempul, mulai
terjadi ‘integrasi’ besar-besaran penduduk pendatang ke dalam masyarakat Using.
Pada
tahun 80-an ini muncul puisi tulis Using dengan penyair-penyairnya seperti
Slamet Utomo, Pomo Martadi, dan Uun Haryati. Contoh bagus puisi Using 80-an ini
adalah Sisik Melik karya Uun Haryati.
Melik-melik
cunduke lare cilik
perawan
cilik kang dikudang dadi sisik melik
wangine
sak ara-ara
dadi
kudangane wong sak desa
Kembang
menur semembur sing ana kang nandur
Kembang
melati diwanti-wanti hang ati-ati
Sekar
tanjung wong kabeh padha njunjung
Kaya
dibombong atine wong tuwek meromong
karepe
wis gumantung ring nduwur mega
Sisik
melik nyandhinge ndara wedana
Sekar
taji tekane dipuji-puji
Nyatane
duh eman
Sisik
melik wis kadhung ana kang methik
dienggo
tamba duh kakang
ngumbar
hawa, nggiring kepaling
kelara-lara,
kabare sing ana teka
Eluh
mili emak bapak mung kari ndunga
pedhut
gancanga ilang
wong
sak desa milu kelangan
dijaluk
mong siji, tetep gandholana
landhung pikir, kencenga iman
Banyuwangi,
23 Januari 1986
Hasan Basri menyatakan puisi Uun Haryati
ini “. . .pekat dengan metafor alam,
diksinya lebih setia pada kosa kata klasik, kaya akan hiasan basanan dan
wangsalan, persajakannya lebih mengalun, nuansa magisnya sangat terasa”.
Namun jika diperhatikan secara seksama puisi Sisik Melik tersebut sesungguhnya puisi yang langsung atau terang benderang.
Hanya terdapat beberapa kiasan seperti ‘sisik melik’ yang berarti kembang desa
atau primadona dan ‘pedhut’ (mendung) yang berarti derita, yang itupun
sebenarnya lazim digunakan jika tidak dapat disebut kilse. Sementara
diksi-diksi seperti ‘kembang melati’, ‘kembang menur’, ‘sekar tanjung’, ‘sekar
taji’ bukanlah perumpamaan dan fungsinya hanyalah untuk ‘kembangan’ dan
menyesuaikan permainan bunyi, aliterasi dan asonansi, yang merupakan ciri
puitik dominan dalam puisi ini. Beberapa baris puisi Sisik Melik yang repetitif seperti hendak meneladani tradisi puitik
pada syair gending-gending Seblang
dan Gandrung yang kuno meski tanpa
kepelikan perumpamaan-perumpamaan yang berlapis. Puisi karya Uun Haryati ini
tentu sangat kontras jika dibandingkan dengan syair lagu-lagu kendang kempul
yang banyak menyerap diksi-diksi Jawa kulonan.
Tahun 1990-an merupakan periode paling
menentukan bagi pertumbuhan dan perkembangan sastra Using. Setelah Sarasehan
Bahasa Using pertama tahun 1990 mulai dilakukan usaha-usaha kodifikasi bahasa
Using yang diikuti dengan memasukan pelajaran bahasa Using di sekolah SD sampai
SLTA, penerbitan brosur-brosur, bulletin dan buku berbahasa Using. Pada periode
ini peran Hasan Ali, yang pada tahun 1970 adalah salah seorang yang ikut andil
dalam penyusunan buku Selayang-pandang
Blambangan pesanan Bupati Supaat guna menghimpun data historis dan
etnografis Banyuwangi, menjadi tokoh sentral dalam perkembangan bahasa dan
budaya Using secara umum. Ia bukan hanya berhasil meyakinkan bahwa bahasa Using
bukanlah salah satu dialek bahasa Jawa tetapi bahasa tersendiri yang sejajar
dengan bahasa Jawa berdasar disertasi Suparman Herusantosa. Ia juga
mengintrodusir dan memberikan standar penafsiran atas syair gending-gending Seblang dan Gandrung. Walaupun
sebenarnya tanpa data-data yang meyakinkan, namun tafsir perjuangan gerilya
atas Seblang dan Gandrung menjadi tafsir yang diterima luas. Sifat heroik tafsir
Hasan Ali ini mempunyai arti penting guna memberikan landasan positif untuk
mengonstruksi Using sebagai identitas sosio-kultural Banyuwangi.
Pada tahun 1990-an ini juga ditandai
oleh Setya Yuwana Sudikan mulai tumbuhnya apa yang disebutnya sebagai puisi
Indonesia yang diekspresikan dalam bahasa Jawa dialek Using. Ia menyebut puisi Isun Lare Using karya Adji Darmadji yang
termuat dalam antologi puisi using berjudul Juru
Angin sebagai tonggak pembaharu puisi Using. “Pembaharuan yang dibawa Adji bukan sekedar pada aspek pola persajakan,
rima, majas, dan diksi, melainkan total sampai pada aspek tipografi, nuansa,
dan makna utuh puisi”,
terang Sudikan. Padahal Isun Lare Using
karya Adji Darmadji tersebut hanyalah puisi ‘pubertas’ pemberontakan yang bukan
hanya gagap mengekspresikan diksi-diksi Using, bahkan susunan-susunan
perumpamaan metaforalnya sangat kacau balau. Berbeda dengan puisi Fauzi
Abdullah, Dadia Wis, yang lebih
berhasil mengadopsi puisi lirik modern Indonesia.
Sakehe koma jejer negeri lakon
Saya adoh mang-mang nrawang
Ring wates garis plawangan
Isun lungguh nganggur dhewekan
Kantru-kantru nulih pecake cekapah
Ngitung-ngitung cekapah langkah
Awang uwung nggelari ati sun gerayang
Apa wis jaya pama gegableg tangan dalan
Atawa nggadug ring panggonan?
Sun liwati baen kaya watu ngglundhung
Kang arep teko
Dadia wis!
Kabeh sun gantung ring dhuwur kana
Surabaya Pos Minggu, 1 Juni
1992
Sastra Using bagaimanapun tak
begitu saja berkait dengan Blambangan sebagai masa lalu Banyuwangi yang terus
menerus diungkap sebagai zaman yang gilang gemilang. Lahirnya istilah sastra
Using merupakan suatu hasil konstruksi kultural yang bersamanya kekuasan memainkan
peran dominan untuk mewujudkannya. Pengaruh kebijakan Orde Baru dan kehendak
untuk menegakkan identitas kedaerahan merupakan faktor penting yang melandasi
munculnya sastra Using, selain faktor industri komersial yang banyak
mempengaruhi pada periode 1980-an.
Pada akhirnya harus diakui tulisan
yang serba terbatas ini tidak dapat membahas semua sastra yang dilisankan dan
dituliskan di Banyuwangi. Misalnya, prosa lisan yang melimpah dan tradisi
berpantun di tengah masyarakat Banyuwangi yang mempunyai ciri tertentu
(basanan, wangsalan, paribasan) tidak mempunyai kesempatan untuk diketengahkan
di sini. Tentu merugikan, namun hal ini tak terhindarkan.
*
* * * *
* Versi lebih pendek tulisan ini dimuat di Majalah Sabana
Daftra Pustaka
-
Aria Wiratma Yudhistira, Dilarang Gondrong!, Tangerang: Marjin
Kiri, 2010
-
Bernard Arps, Osing Kids and the
banners of Blambangan, Ethnolinguistic
identity and the regional past as ambient themes in an East Javanese town, dalam Wacana Vol.11 No.1 (April 2009)
-
Terwujudnya Bahasa Using di Banyuwangi dan
Peranan Media di Dalamnya, dalam Mikihiro Moriyama dan Manneke Budiman Ed.,
Geliat Bahasa Selaras Zaman, Tokyo University for Foreign Languange, 2010
-
P.J. Zoetmulder, Kalangwan, Penerbit Djambatan, Jakarta 1983
-
Sri
Margana, Melukis Tiga Roh: Stigmatisasi
dan Kebangkitan Historiografi Lokal di Banyuwangi, makalah untuk Konferensi
Nasional Sejarah IX, Jakarta, 5 – 7 Juli 2011
-
Ikhwan Setiawan, Transformasi Masa Lalu dalam Nyanyain Masa Kini: Hibridasi dan
Negosiasi Lokalitas dalam Musik Populer Using, dalam Kultur, September 2007
-
Novi Anoegrajekti, Kontestasi dan Representasi Identitas Using, dalam Humaniora, No.1
Februari 2011
-
Etnografi Sastra Using: Ruang Negosiasi dan
Pertarungan Identitas, Makalah 2010
Sri Margana, Melukis Tiga Roh: Stigmatisasi dan Kebangkitan Historiografi Lokal di
Banyuwangi, makalah untuk Konferensi Nasional Sejarah IX, Jakarta, 5 – 7
Juli 2011
Bernard Arps,
Terwujudnya Bahasa Using di Banyuwangi dan
Peranan Media Elektronik di Dalamnya (Selayang Pandang, 1970-2009), dalam
Mikihiro Moriyama dan Manneke Budiman ed., Geliat Bahasa Selaras Zaman, 2010