Chaim Potok
Danny, Billy dan Pak Savo yang dimuat disini adalah terjemahan Bab 3 The Choosen, Chaim Potok.
Diterjemah ke Bahasa Indonesia oleh Dwi Pranoto
Ketika sedang tidur aku dengar teriakan dan kegaduhan yang suaranya seperti salam salut, lalu aku segera bangun. Orang-orang di dalam ruangan simpang-siur dan memekik-mekik. Aku ingin tahu apa yang sedang terjadi, keributan dan teriakan terus berlangsung dan radio meraung-raung. Aku sudah akan duduk, lantas ingat kalau aku belum diijinkan duduk, kembali aku menaruh kepalaku di atas bantal, berbaring. Benderang di luar, tapi tak kulihat matahari. Aku ingin tahu segala apa yang sedang diributkan, kemudian aku lihat Nyonya Carpenter melangkah di gang dengan jengkel. Dia menyeru kepada orang-orang untuk menghentikan segala teriakan dan ingat kalau ini adalah rumah sakit, bukan Madison Square Garden. Aku melihat Billy. Ia sedang duduk tegak di atas tempat tidurnya, aku bisa bilang kalau ia berusaha mencari tahu apa yang sedang terjadi. Wajahnya terlihat kacau dan ketakutan. Aku menengok ke Pak Savo, aku tak lihat ia di ranjangnya.
Kegaduhan agak mereda, tapi radio tetap saja meraung-raung. Tak bisa aku mendengarnya dengan jelas, karena orang-orang menukas-nukas dengan teriakan dan salam salut. Penyiar sedang mewartakan suatu tempat yang bernama Caen dan Carentan. Ia siarkan suatu hal tentang divisi British Airborne yang menerobos garis depan pertempuran dan dua divisi American Airborne yang menghentikan gerakan pasukan musuh ke Cotentin Peninsula. Aku asing dengan nama-nama itu, dan aku ingin tahu kenapa semua orang sangat kegirangan. Kapanpun ada berita perang, tapi tak seorang pun mendengarnya dengan sangat girang kalau tak ada suatu kejadian yang sangat istimewa. Aku kira aku melihat Pak Savo sedang duduk di salah satu tempat tidur. Pak Savo tampak berdiri dan melalu gang untuk kembali ke ranjangnya. Penyiar sedang beritakan suatu hal tentang Isle of Wight dan pantai Normandy, pembom Royal Air Force menyerang kubu pertahanan pantai dan pembom United States Air Force menyerang kubu pertahanan darat. Tiba-tiba aku memahami apa yang sedang terjadi, kemudian jantungku terasa mulai berdegub memburu.
Aku lihat Pak Savo mendatangi ranjangku, wajah tirusnya yang berpenutup mata sebelah warna hitam membuatnya kelihatan mirip bajak laut.
“’Kembali ke ranjangmu, Pak Savo’”, ia menirukan. “’Cepat kembali ke ranjangmu’. Kau pikir aku sekarat. Bukan waktunya untuk berada di tempat tidur”.
“Serbuan ke Eropa, Pak Savo?” aku bertanya dengan penasaran. Aku bergairah dan sedikit tegang, aku ingin orang-orang yang meneriakan salut diam.
Ia melihatku. “Ini D day, Bobby. Kita permak mereka dengan bagus”. Lalu ia lihat radio portable yang ayah bawa untuku kemarin malam. “Hei, Bobby, apa itu radiomu?”
“Ya”, kataku bersemangat. “Aku sama sekali melupakannya”.
“Untung, beruntungnya kita”. Ia tersenyum lebar dan tak lagi terlihat seperti bajak laut. “Kita taruh radio itu di atas meja di antara ranjang kita dan memutarnya, oke?”
“Aku kira Billy mau mendengarnya juga, Pak Savo”, aku menengok ke Billy.
Billy memutar kepalanya dan membelalak ke arah suaraku. “Kau punya radio di sini, Bobby?” ia kelihatan sangat bergairah.
“Benar, Billy. Tepat diantara ranjang kita”.
“Pamanku pilot. Ia terbangkan pesawat pembom besar. Kau bisa nyalakan?”
“Tentu, nak”. Pak Savo nyalakan radio, memutar stasiun berpenyiar yang sama dengan radio yang sedang nyala lainnya, lalu kembali ia ke tempat tidurnya dan berbaring. Kami bertiga berbaring di ranjang kami masing-masing dan mendengarkan berita-berita penyerbuan.
Nyonya Carpenter melalu gang. Dia masih agak marah dengan segala keributan di dalam ruangan, tapi aku bisa lihat dia bergairah juga. Dia menanyakan keadaanku.
“Aku merasa baik, bu”.
“Bagus sekali. Ini radiomu?”
“Ya, bu. Ayahku membawakannya untukku”.
“Baik sekali. Kau boleh duduk sebentar kalau kau mau”.
“Terima kasih”. Aku senang sekali mendengarnya. “Boleh aku berdoa dengan tefillinku?”
“Phylacteriesmu?”
“Ya, bu”.
“Kenapa tidak. Sekarang kau hanya harus hati-hati dengan benjolan di kepalamu”.
“Ya, bu. Terima kasih”.
Dia menatap Pak Savo dengan jengkel. “Aku lihat kau hibur dirimu sendiri, Pak Savo”.
Pak Savo melihatnya dengan mata kiri dan ngorok. “Kau pikir aku sekarat?”
“Kau tidak boleh tinggalkan ranjangmu, Pak Savo”.
Pak Savo ngorok lagi.
Dia pergi melalu gang.
“Seperi bunyi bel”, kata Pak Savo sambil menyeringai. “Keraskan sedikit, Bobby. Tak bisa jelas aku mendengarnya”.
Aku miringkan tubuh dan besarkan volume radio. Aku senang bisa bergerak lagi.
Tefillin dan buku doa aku ambil dari laci meja dan ku kenakan tefillinku. Ikat kepalanya menggesek bejolanku, aku meringis. Benjolan ini masih sakit. Aku selesaikan memasang tali tangan lalu membuka buku doa. Sambil berusaha tak dengarkan penyiar radio aku mendoakan apapun yang terlintas dalam benakku. Aku berdoa untuk keselamatan semua tentara yang sedang bertempur di pantai. Setelah selesai berdoa aku lepas tefillinku, lalu menaruhnya kembali beserta buku doa ke laci.
“Kau sangat religius, nak Bobby”, Pak Savo berkata padaku.
Tak tahu aku harus ngomong apa, aku melihatnya dan mengangguk, tanpa katakan apapun.
“Kau ingin jadi pendeta atau semacamnya?”
“Aku ingin”, kataku. “Tapi ayahku ingin aku jadi matematikus”.
“Kau bagus dalam matematika?”
“Ya. Aku dapaty A dalam semua pelajaran matematika”.
“Tapi kau ingin jadi pendeta kan? Apa – kau menyebutnya – rabbi.”
“Kadang aku ingin jadi rabbi. Aku bimbang.”
“Itu cita-cita bagus, Bobby. Dunia yang pandir ini butuh orang-orang macam itu. Aku sudah tak bisa jadi pendeta. Pernah memang punya kesempatan. Tapi aku salah memilih. Malahan melukai orang-orang. Pilihan pecundang. Hei, dengar itu”.
Koresponden berita menceritakan dengan bersemangat bahwa sejumlah kapal torpedo Jerman menggempur sebuah kapal perusak Norwegia yang kelihatannya sedang tenggelam. Beberapa pelaut menerjun diri ke laut dan sekoci penyelamat diturunkan.
“Mereka mendapat permak”, kata Pak Savo, nampak muram. “Para lelaki malang”.
Dengan sangat bersemangat koresponden menggambarkan bagaimana kapal perusak Norwegia itu tenggelam.
Sisa pagi itu aku tak melakukan apapun kecuali mendengarkan radio dan bercakap tentang perang dengan Pak Savo dan Billy. Aku menjelaskan beberapa hal yang sedang berlangsung kepada Billy dengan sebaik mungkin, ia terus bilang padaku kalau pamannya adalah pilot pesawat pembom besar. Ia bertanya padaku apakah aku kira pamannya sedang menjatuhkan bom untuk membantu penyerbuan. Aku katakan padanya aku yakin ia melakukannya.
Sesegera setelah makan siang, seorang anak laki-laki dari ruangan lain masuk sambil melambung-lambungkan bola. Kelihatannya kira-kira berumur enam tahun ia, berwajah kurus-pucat dengan rambut hitam tak tersisir yang terus ia carik-carikan dari keningnya dengan tangan kiri saat ia berjalan sambil melambung-lambungkan bola dengan tangan kanannya. Ia mengenakan piyama coklat terang dan jubah coklat tua.
“Anak malang”, kata Pak Savo. “Hampir sepanjang hidupnya ia berada di bangsal seberang aula. Perutnya menolak jus atau sejenisnya”. Ia memperhatikannya melalu gang. “Dunia gila. Pandir”.
Anak laki-laki itu berdiri di kaki tempat tidur Pak Savo, nampak sangat kecil dan pucat. “Hei, Pak Tony. Kau mau main dengan Mickey?”
Pak Savo bilang padanya kalau ini hari bukan saatnya untuk main lempar tangkap bola, karena invasi sedang berlangsung. Mickey tak tahu apa itu invasi, dan mulai menangis. “Kau janji, Pak Tony. Kau bilang mau main lempar tengkap dengan Mickey kecil”.
Pak Savo kelihatan tak nyaman. “Oke, nak. Jangan menangis lagi. Hanya dua tangkapan, oke?”
“Ya, Pak Tony”, kata Mickey, wajahnya mengembang. Dilemparkannya bola ke Pak Savo yang harus meraihkan tinggi-tinggi tangan kanannya melampau kepala untuk menangkapnya. Anak laki-laki itu menjatuhkan bola yang dilemparkan kembali oleh Pak Savo kepadanya, susah payah ia memungutnya di kolong tempat tidur.
Aku lihat Nyonya Carpenter bergegas di gang, kelihatan sangat geram.
“Pak Savo, kau benar-benar tak masuk akal!” hampir berteriak dia.
Pak Savo duduk di tempat tidurnya, bernafas sangat payah dan tak katakan apa-apa. Kau akan perparah sakitmu sendiri kalau kau tak hentikan kebodohan ini dan istirahat!”
“Ya, bu”, kata Pak Savo, wajahnya pucat. Berbaring ia memejamkan mata kirinya.
Nyonya Carpenter berpaling pada anak laki-laki yang telah mendapatkan bolanya kembali dan sedang menatap Pak Savo dengan berharap.
Mickey, tak boleh lagi kau main lempar tangkap bola dengan Pak Savo”.
“Aw, Nyonya Carpenter – “
“Mickey!”
“Ya, bu”, kata Mickey, patuh dengan tiba-tiba. “Terima kasih, Pak Tony”.
Pak Savo berbaring dan tak katakan apa-apa. Mickey kembali melalu gang sambil melambung-lambungkan bolanya.
Nyonya Carpenter menetap pada Pak Savo. “Kau tidak apa-apa, Pak Savo?” tanyanya penuh perhatian.
“Aku sedikit meledak”.
“Kau harusnya tahu, labih baik tak melakukan hal seperti tadi”.
“Maaf, bu”.
Nyonya Carpenter pergi.
“Meski seperti bunyi bel”, kata Pak Savo, “Tapi hatinya baik”. Ia berbaring diam dengan mata terpejam, dan setelah beberapa saat aku lihat ia terlelap.
Saat aku lihat Pak Galanter melalu gang, penyiar sedang membicarakan masalah-masalah suplai yang terjadi dalam penyerbuan berskala besar. Aku turunkan volume radio. Pak Galanter mendatangi tempat tidurku. Ia mengepit tindasan The New York Times, wajahnya bersemu merah, penuh gairah.
“Halo, prajurit. Saat ini sekolah sedang jam istirahat, jadi aku hanya punya sedikit waktu. Kalau tidak begini aku tak bisa mengunjungimu hari ini. Bagaimana keadaanmu?”
“Aku jauh lebih baik, Pak Galanter”. Aku gembira dan bangga karena ia datang mengunjungiku. “Kepalaku sudah sama sekali tak sakit, dan pergelangan tanganku jauh berkurang ngilunya”.
“Ada berita baik, prajurit. Kabar bagus. Sekarang hari istimewa bukan? Salah satu hari terbesar dalam sejarah. Serbuan fantastis.”
“Benar, pak. Aku mendengarnya di radio”.
“Mustahil kita bisa membayangkan apa yang akan terjadi, prajurit. Ini hal yang luar biasa. Mungkin hari ini dan besok harus dikirim lebih dari seratus lima puluh ribu serdadu, dan beribu-ribu tank, berbuah-buah artileri, jeep, buldoser, apa saja, dan semuanya di kirim ke pantai-pantai itu. Ini menggemparkan pikiran!”
“Aku bilang pada Billy kecil, di sebelahku, mereka melibatkan pesawat-pesawat pembom besar yang sangat hebat. Pamannya pilot pesawat pembom. Ia mungkin saja sedang menerbangkan pesawatnya sekarang”.
Pak Galanter menengok ke Billy yang memutar kepalanya ke arah suara kami. Dengan segera Pak Galanter tahu kalau Billy buta.
“Apa kabar, kawan kecil?” kata Pak Galanter, suaranya tiba-tiba kurang bersemangat.
“Pamanku menerbangkan pesawat besar yang menjatuhkan bom”, kata Billy. “Kau penerbang?”
Aku lihat wajah Pak Galanter kusut.
“Pak Galanter guru olahragaku di sekolah”, aku berkata pada Billy.
“Pamanku sudah lama jadi pilot. Ayahku bilang ia harus terbang dengan sangat hebat sebelum ia bisa pulang. Apakah kau terluka, Pak Galanter, sehingga kau pulang sekarang?”
Aku lihat Pak Galanter melotot pada anak laki-laki itu. Mulutnya nganga, lalu ia sapukan lidah ke bibirnya. Ia kelihatan tak nyaman.
“Aku tak bisa jadi tentara”, katanya, menatap Billy. “Aku kena –. “ Ia berhenti. “Ingin jadi tentara tapi tak bisa”.
“Aku prihatin mendengarnya, pak”.
“Yah,” kata Pak Galanter.
Aku gundah. Gairah Pak Galanter hilang, sekarang ia berdiri dan melotot pada Billy, nampak kusut. Aku menyesal telah bercerita tentang paman Billy.
“Semoga pamanmu beruntung”, kata Pak Galanter pada Billy dengan pelan.
“Terima kasih, pak”, kata Billy.
Pak Galanter beralih padaku. “Mereka berhasil keluarkan pecahan kaca dari matamu, prajurit”. Ia berusaha bicara dengan gembira, tapi ia tak melakukannya dengan baik. “Kapan kau keluar?”
“Ayahku bilang dalam beberapa hari ini”.
“Bagus. Kau beruntung. Kasusmu bisa jadi sangat berbahaya.”
“Benar, pak”.
Aku ingin tahu apakah ia sudah tahu tentang jaringan parut dan tak mau membicarakannya denganku. Aku putuskan untuk tak membicarakannya; ia kelihatan sangat murung dan gundah, tak ingin aku membuatnya semakin tak nyaman lagi.
“Nah, prajurit, aku harus kembali mengajar. Hati-hati dan cepat pulang”.
“Terima kasih buat segalanya dan terima kasih telah mengunjungiku.”
“Apa pun, untuk salah satu prajuritku”, katanya.
Aku memperhatikannya melalu gang dengan perlahan.
“Buruk sekali kalau ia tak mau jadi tentara”, kata Billy. “Ayahku tak jadi tentara, tapi karena ibuku meninggal dalam kecelakaan dan tak ada orang lagi untuk merawatku dan adik perempuanku”.
Aku menatapnya dan tak katakan apa-apa.
“Sekarang aku mau tidur sebentar”, kata Billy. “Mau kau matikan radionya?”
“Tentu, Billy”.
Aku lihat ia berbaring, membantalkan telapak tangannya, menatap kosong ke langit-langit.
Punggung ku baringkan, dan setelah sesaat memikirkan Pak Galanter, aku terlelap. Aku mimpikan mata kiriku dan merasa ngeri sekali. Aku pikir aku bisa melihat cahaya matahari menembus mata kananku yang rapat terpejam, aku mimpikan bangun di rumah sakit siang kemarin dan perawat menyingkap tirai. Sekarang ada sesuatu yang menghalangi cahaya matahari. Lalu cahaya itu terbebas lagi, aku bisa melihatnya, dalam mimpi, cahaya itu menembus mata kananku yang terpejam. Lalu cahaya itu terhalang lagi. Aku jadi agak marah kepada siapapun yang sedang mempermainkan cahaya matahari. Mata kubuka dan kulihat seseorang sedang berdiri di samping ranjangku. Bayangan siapa itu yang berdiri menentang cahaya matahari, untuk sesaat aku tak bisa dengan jelas melihat wajahnya. Kemudian dengan cepat aku membangkit duduk.
“Halo”, kata Danny Saunders lembut. “Maaf sudah membangunkanmu. Perawat bilang tak apa-apa aku menunggumu di sini”.
Aku menatapnya heran. Ia adalah orang terakhir di dunia ini yang aku harapkan datang mengunjungiku di rumah sakit.
“Sebelum kau katakan alangkah kau membenciku”, ia berkata dengan tenang, “Ijinkan kukatakan padamu kalau aku menyesal dengan apa yang telah terjadi”.
Aku melotot padanya dan tak tahu apa yang harus aku katakan. Ia kenakan setelan gelap, kaos berwarna putih mengintip dari sela kerahnya, dan berkopiah hitam. Aku bisa lihat kucirnya menjuntai di sisi tulang wajahnya, dan jejumbai keluar dari pantalon di bawah jasnya.
“Aku tak membencimu”, kuatur ucapanku, karena aku pikir sekarang saatnya aku katakan sesuatu bahkan jika aku harus berkata bohong.
Ia tersenyum murung. “Boleh aku duduk? Lima belas menit sudah aku berdiri menunggumu bangun”.
Kepalaku seperti kuanggukan atau bagaimana, dan ia menganggapnya sebagai persetujuan, lalu duduk ia di bibir ranjang sebelah kananku. Matahari menyorot ke dalam dari jendela yang dibelakanginya, bayangan yang jatuh di atas wajahnya mempertegas garis pipi dan rahangnya. Aku pikir ia mirip lukisan Abraham Lincoln – yang pernah ku lihat sebelum ia berjenggot – kecuali sejumput rambut warna pasir di atas dagu dan pipinya, rambut kepalanya yang tercukur nyaris, dan kucir kurisnya. Ia kelihatan agak lesu, sepasang matanya mengerjap cemas.
“Apa yang mereka katakan tentang jaringan parut?” tanyanya.
Aku keheranan lagi. “Bagaimana kau bisa tahu tentang hal itu?”
“Kemarin malam aku menghubungi ayahmu. Ia mengatakannya padaku”.
“Mereka tak tahu apa pun tentang hal ini sebelumnya. Sangat mungkin satu mataku jadi buta”.
Ia mengangguk pelan dan terdiam.
“Bagaimana rasanya kalau kau tahu telah membutakan satu mata seseorang?” aku bertanya padanya. Sudah pulih aku dari keterkejutanku atas kunjungannya, dan merasakan kemarahanku telah kembali.
Ia menatapku, raut wajahnya tanpa ekspresi. “Kau ingin aku katakan apa?” suaranya tak terdengar marah, tapi sedih. “Kau inginkan aku bilang aku bersalah? Baiklah, aku bersalah”.
“Cuma begitu? Hanya bersalah? Nyenyak tidur malammu?”
Nunduk ia melihat tangannya. “Aku tak datang ke mari untuk bertengkar denganmu”, katanya lembut. “Kalau kau tak inginkan apapun kecuali bertengkar, aku akan pulang”.
“Bagiku”, kukatakan padanya, “Kau boleh pergi ke neraka dan bawa serta semua gerombolan Hasidimmu yang congkak!”
Ia melihat padaku dan tetap duduk. Tidak kelihatan marah ia, hanya sedih. Keberdiamannya tambah membuatku murka, dan akhirnya aku berkata, “Buat apa lagi kau duduk di sini? Kau bilang mau pulang!”
“Aku datang untuk bercakap denganmu”, katanya dengan tenang.
“Tak mau aku mendengarnya”, kataku padanya. “Kenapa kau tidak pulang? Pulang dan sesali mataku ini!”
Perlahan ia bangkit. Karena ia membelakangi cahaya matahari aku hanya melihat wajahnya dengan samar. Kedua bahunya lunglai.
“Maafkan aku”, katanya dengan tenang.
“Aku sangsi kau menyesal”, kataku padanya.
Ia akan katakan sesuatu, tercekat, lalu berputar dan berjalan perlahan melalu gang. Berbaring aku gemetar dan ngeri atas kemarahan dan kebencianku.
“Ia kawanmu?” Aku dengar Pak Savo bertanya padaku.
Aku menengok padanya. Ia berbaring dengan kepala beralas bantal.
“Tidak”, kataku.
“Ia sudah membuatmu jengkel atau bagaimana? Kasar kata-katamu tadi, Bobby”.
“Ia orang yang menghantamkan bola ke mataku”.
Bersinau wajah Pak Savo. “Kau bercanda? Pemermak itu sendiri? Wah, wah, wah!”
“Aku mau tidur lagi”, kataku. Aku merasa tertekan.
“Ia orang Yahudi yang sangat religius itu?” tanya Pak Savo.
“Benar”.
“Aku sering melihat orang-orang seperti itu. Manajerku punya paman semacam itu. Seorang laki-laki yang sangat religius. Fanatik. Tak pernah ia melakukan sehal apapun dengan manajerku. Pecundang kecil. Manajer pecundang.”
Saat ini aku tak punya hasrat bercakap, aku diam saja. Aku merasa agak menyesal karena terlalu marah pada Danny Saunders.
Pak Savo aku lihat duduk dan mengambil segepok kartu di atas meja. Ia mulai menyusun lajur-lajur di atas selimut. Aku lihat Billy terlelap. Berbaring aku di tempat tidur dan memejamkan mata. Tapi tak bisa-bisa tidur aku.
Sesaat setelah makan malam ayahku datang, nampak pucat dan murung ia. Ketika aku ceritakan padanya tentang percakapanku dengan Danny Saunders, sepasang mata di balik kacamatanya menjadi nyalang.
“Kau telah lakukan hal bodoh, Reuven”, ia berkata padaku dengan jengkel. “Kau ingat apa yang Talmud katakan. Kalau datang seseorang untuk minta maaf karena sudah menyakitimu, kau harus dengar dan memaafkannya”.
“Aku tidak bisa, abba”.
“Kau bilang kau sangat membencinya?”
“Aku menyesal”, kataku merasa bersalah.
Ia menatapku, aku lihat sepasang matanya tiba-tiba berubah murung. “Aku tak bermaksud menghardikmu”, katanya.
“Abba tidak menghardik”, kataku membenarkannya.
“Apa yang ingin kusampaikan padamu adalah apabila seseorang datang untuk bicara padamu kau harus sabar dan mendengarkan. Khususnya jika ia orang yang pernah menyakitimu. Sekarang, kita sudahi bercakap tentang putra Reb Saunders. Hari ini adalah hari yang penting dalam sejarah dunia. Hari ini adalah awal berakhirnya Hitler dan orang-orang gilanya. Kau dengarkan penyiar di atas kapal menggambarkan penyerbuan?”
Sesaat kami cakapkan tentang invasi. Akhirnya, ayahku pergi, dan aku berbaring di atas ranjang, merasa tertekan dan marah atas apa yang telah aku katakan pada Danny Saunders.
Ayah Billy datang mengunjungi Billy lagi, mereka sedang berbicara dengan tenang. Ia melihatku dan tersenyum ramah. Orang yang tampan ia, aku perhatikan ia punya bekas luka warna putih yang memanjang sejajar dengan garis rambut tipisnya yang pirang.
“Billy bilang padaku kau sangat baik padanya”, katanya padaku.
Dengan kepala di atas bantal aku mengangguk dan berusaha membelas senyumnya.
“Aku sangat-sangat menghargainya”, katanya. “Billy ingin tahu apa kau mau menghubungi kami kalau ia sudah keluar dari rumah sakit”.
“Tentu”, kataku.
“Kami ada di buku telepon. Roger Merrit. Billy bilang seusai operasi, saat ia bisa melihat lagi, ia ingin lihat seperti apa raut wajahmu”.
“Pasti aku akan menghubungimu”, kataku.
“Kau dengar itu, Billy?”
“Ya”, kata Billy dengan girang. “Bukankah aku bilang padamu ia baik, ayah?”
Laki-laki itu tersenyum padaku, lalu beralih kembali ke Billy. Mereka meneruskan percakapan dengan tenang.
Berbaring aku di atas tempat tidur, memikirkan semua hal yang sudah terjadi sepanjang hari ini, dan merasa sedih juga tertekan.
Pada pagi berikutnya Nyonya Carpenter mengatakan padaku aku bisa turun dari tempat tidur dan berjalan-jalan sebentar. Setelah sarapan aku pergi ke aula sebentar. Aku menatap keluar jendela dan melihat orang-orang di jalanan luar. Untuk waktu yang lama aku berdiri sambil menatap keluar jendela. Lalu aku kembali ke tempat tidurku dan berbaring.
Aku lihat Pak Savo sedang duduk di tempat tidurnya, main kartu dan menyeringai.
“Bagaimana rasanya berdiri di atas kakimu, Bobby?” ia bertanya padaku.
“Luar biasa. Meski sedikit lelah aku”.
“Pelan-pelan saja, nak. Beri waktu buat kaki-kakimu untuk mendapatkan kekuatannya kembali.”
Salah seorang pasien dekat radio di ujung ruangan lain berteriak. Aku memiringkan tubuh dan nyalakan radio. Penyiar memberitakan penyerbuan di salah satu pantai.
“Itu memermak mereka!” ujar Pak Savo sambil menyeringai lebar.
Aku ingin tahu kedaan pantai itu sekarang, dan aku bisa melihatnya penuh dengan bangkai kendaraan-kendaraan dan mayat-mayat tentara.
Aku habiskan pagi dengan mendengarkan radio. Ketika Nyonya Carpenter datang aku tanyakan padanya berapa lama lagi aku berada di rumah sakit, dia tersenyum dan mengatakan Dr. Snydman yang memutuskan. “Dr. Snydman akan mengunjungimu Jumat pagi”, tambahnya.
Kurang berhasrat lagi aku dengan berita-berita perang dan makin tersiksa lagi karena aku tidak boleh membaca. Di siang hari aku dengarkan beberpa opera sabun – Life Can Be Beautiful, Stella Dallas, Mary Noble, Ma Perkins – dan apa yang aku dengar malah makin membuatku tertekan. Aku putuskan untuk matikan radio dan tidur.
“Kau masih ingin dengarkan radio?” aku bertanya pada Billy. Tak menjawab ia, aku lihat ia terlelap.
“Matikan, nak,” kata Pak Savo. “Berapa banyak lagi sampah-sampah itu bisa ditampung oleh seorang lelaki”.
Aku matikan radio dan berbaring.
“Tak peduli orang-orang telah menerima permak dengan sangat buruk, masih saja mereka memermak dengan opera sabun.” ujar Pak Savo. “Wah, wah, wah, lihat siapa yang datang.”
“Siapa?” aku duduk.
“Pemermakmu yang sangat religius.”
Aku melihat Danny Saunders. Ia melalu gang dan berdiri di sisi tempat tidurku, mengenakan pakaian yang sama dengan yang kemarin.
“Kau akan marah lagi padaku?” ragu ia berkata.
“Tidak”, kataku.
“Boleh aku duduk?”
“Ya.”
“Terima kasih”, katanya, duduk ia di bibir ranjang sebelah kananku. Aku lihat Pak Savo menatapnya sejenak lalu berpaling ke kartunya lagi.
“Kau tahu, kau sangat busuk kemarin”, kata Danny Saunders.
“Maafkan aku”. Aku terkejut alangkah gembiranya diriku melihatnya datang.
“Aku tak terlalu memikirkan kemarahanmu”, katanya. “Aku pikir kau jadi busuk karena kau tak membiarkanku bicara.”
“Kemarin aku benar-benar busuk. Sangat menyesal aku”.
“Sekarang aku datang mengunjungimu untuk bicara denganmu. Kau mau dengar?”
“Tentu”, kataku.
“Aku memikirkan pertandingan waktu itu. Tak bisa aku berhenti berpikir sejak kau kena hantaman bola.”
“Aku memikirkannya juga”, kataku.
“Kapanpun aku melakukan atau melihat sesuatu yang tak kupahami, aku terus memikirkannya sampai aku memahaminya.” Ia bicara sangat cepat, aku lihat ia tegang. “Aku banyak memikirkan pertandingan itu, tapi masih saja aku belum memahaminya. Aku ingin membicarakannya denganmu, oke?”
“Tentu”, kataku.
“Kau tahu apa yang tak kumengerti mengenai pertandingan waktu itu? Aku tak mengerti kenapa aku ingin membunuhmu.”
Aku membelalak padanya.
“Hal itu benar-benar mengacaukanku.”
“Aku harap begitu”, kataku.
“Jangan bersikap manis, Malter. Aku tak sedang bermelodramatik. Aku benar-benar ingin membunuhmu.”
“Pertandingan waktu itu benar-benar pertandingan yang sengit”, kataku. “Untuk sesaat aku sendiri benar-benar tak menyukaimu.”
“Aku pikir kau malahan tidak tahu apa yang sedang aku bicarakan”, katanya.
“Sekarang, tunggu sebentar –“
“Tidak, dengar. Dengarkan saja apa yang aku bicarakan, mau kau? Kau ingin bikin lemparan melengkung kedua?”
“Tentu.”
“Kau ingat sesudah itu aku berdiri di muka plate dan menatapmu?”
“Tentu”. Aku ingat seringai tolol yang penuh semangat.
“Nah, saat itulah aku ingin menghampirimu dan membuka kepalamu dengan tongkat pemukulku.”
Tak tahu aku harus bilang apa.
“Aku tak tahu kenapa tak kulakukan. Aku menginginkannya.”
“Itulah pertandingan baseball”, kataku, agak takjub dengan apa yang telah ia katakan padaku.
“Hal ini sama sekali tak berkait dengan pertandingan”, katanya. “Setidaknya aku tak berpikir begitu. Kalian bukan regu pertama yang kami lawan. Kami telah mengalami kekalahan sebelumnya. Tapi kau benar-benar mencengkeramku, Malter. Tak bisa aku menggambarkannya dengan jelas. Apapun itu, aku merasa lega telah mengatakannya padamu.”
“Tolong jangan panggil aku Malter”, kataku.
Ia menatapku. Lalu tersenyum simpul. “Kau mau aku memanggilmu apa?”
“Panggil aku Reuven”, kataku. “Panggilan Malter seolah-olah kau guru sekolahku saja.”
“Baik”, katanya, tersenyum lagi. “Panggil aku Danny.”
“Baik”, kataku.
“Perasaanku itu adalah yang terliar”, katanya. “Tak pernah aku merasakan sebelumnya.”
Aku menatapnya, dan tiba-tiba aku merasa semua hal di sekitarku melenyap. Hanya ada Danny Saunders, duduk di tempat tidurku di rumah sakit mengenakan gaya Hasidiknya, membicarakan keinginannya untuk membunuhku karena aku lemparkan bola melengkung padanya. Ia berpakaian layaknya seorang Hasid, tapi ucapannya tidak. Kemarin aku membencinya, sekarang kami saling memanggil dengan nama pertama kami. Aku duduk dan mendengarkannya bicara. Terpesona aku mendengarkan bahasa Inggrisnya yang sempurna yang keluar dari mulut seorang berpakaian Hasid. Aku selalu berpikir bahasa Inggris mereka bercampur dengan aksen bahasa Yiddish. Sebagaimana yang sering aku pernah bercakap dengan seorang Hasid, ia hanya berbicara dengan bahasa Yiddish. Dan di sini, Danny Saunders bercakap dengan bahasa Inggris, apa yang diucapkannya dan cara mengucapkannya tidak nampak cocok dengan cara berpakaiannya, dengan kucir kuris di sisi wajahnya dan jejumbai yang menjuntai di bawah jasnya.
“Kau benar-benar seorang fielder dan pitcher yang tangkas”, katanya, tersenyum simpul padaku.
“Kau sendiri juga tangkas”, aku berkata padanya. “Di mana kau belajar memukul bola seperti itu?”
“Aku berlatih”, katanya. “Kau tak tahu berapa jam aku menghabiskan waktu untuk mempelajari bagaimana menjaga dan memukul dalam baseball.”
“Kapan kau punya waktu? Aku kira orang-orang sepertimu selalu belajar Talmud.”
Ia menyeringai apadaku. “Aku bersepakat dengan ayahku. Aku punya jatah belajar Talmud tiap hari, dan ia tak peduli apa yang aku lakukan dalam sisa waktu yang aku punya.”
“Macam apa jatah belajar Talmudmu?”
“Dua lembar.”
“Dua lembar?” aku membelalak padanya. Berarti empat halaman Talmud tiap hari. Kalau aku bisa satu halaman per hari, aku gembira. “Apa kau sama sekali tak ada pelajaran bahasa Inggris?”
“Tentu ada. Tapi tak terlalu banyak. Di yeshiva kami pelajaran bahasa Inggris kami tak terlalu banyak.”
“Setiap hari tiap orang harus belajar dua lembar Talmud sekaligus bahasa Inggris?”
“Tidak tiap orang. Hanya aku. Ayahku inginkan seperti itu.”
“Bagaimana kau melakukannya? Itu jumlah kesibukan yang fantastis.”
“Aku beruntung”, ia menyeringai padaku. “Aku akan tunjukan padamu. Sekarang Talmud apa yang sedang kau pelajari?”
“Kiddushin”, kataku.
“Halaman berapa?”
Aku katakan padanya.
“Sudah dua tahun yang lalu aku mempelajarinya. Apa begini bacaannya.”
Ia melafazkan halam ketiga kata demi kata, termasuk komentarnya dan ketetapan resmi Maimonidean mengenai perselisihan Talmudik. Ia melakukannya dengan dingin, mekanis, dan dengan mendengarkannya aku merasa sedang menyaksikan kerja sejenis manusia mesin.
Aku duduk berjarak dengannya. “Itu sangat bagus”, akhirnya aku berujar.
“Aku punya pikiran yang fotografis. Ayahku bilang itu adalah anugerah dari Tuhan. Aku lihat satu halaman Talmud dan aku mengingatnya dengan hati. Aku juga memahaminya. Walaupun begitu, setelah sekian lama hal itu mendatangkan sedikit kebosanan. Bacaan itu melafazkan dirinya sendiri. Aku juga melakukannya dengan Ivanhoe. Sudah baca Ivanhoe kau?”
“Tentu.”
“Kau mau dengarkan Ivanhoe?”
“Sekarang cukup untuk pertunjukanmu”, kataku.
Ia menyeringai. “Aku berusaha membuat kesan yang bagus.”
“Aku terkesan”, kataku. “Aku harus berkeringat dulu untuk mengingat satu halaman Talmud. Apa kau bakal jadi rabbi?”
“Pasti. Aku akan gantikan tempat ayahku.”
“Aku juga ingin jadi rabbi. Tentu bukan sejenis Hasidik.”
Ia menatapku, wajahnya menyingkapkan keterkejutan. “Buat apa kau ingin jadi rabbi.”
“Kenapa tidak.”
“Banyak hal lain yang bisa kau raih”.
“Lucu, kau bicara begitu. Kau sendiri mau jadi rabbi.”
“Tak punya pilihan lain lagi aku. Ini posisi yang dipusakakan.”
“Maksudmu kau tak ingin jadi rabbi kalau kau punya pilihan lain?”
“Aku pikir begitu.”
“Apa yang kau inginkan?”
“Tak tahu aku. Mungkin jadi psikolog.”
“Psikolog?”
Ia mengangguk.
“Aku malah tidak yakin aku mengetahui apa itu psikolog.”
“Hal itu membantumu untuk memahami apa seseorang benar-benar sesuai dengan yang di dalamnya. Aku telah membaca sejumlah buku tentang hal itu.”
“Apakah itu semacam Freud dan psikoanalisa serta hal-hal sejenisnya?”
“Benar”, katanya.
Aku sama sekali tak tahu tentang psikoanalisa, tapi Danny Saunders , dengan pakaiannya Hasidiknya, bagiku nampak sebagai orang terakhir di dunia ini yang akan memenuhi syarat sebagai seorang analis. Aku selalu menggambarkan seorang analis sebagai orang-orang yang jatmika dengan gerumbul jenggot pendek, berkacamata lensa tunggal, dan berlogat Jerman.
“Apa yang kau inginkan kalau kau tak menjadi seorang rabbi?” tanya Danny Saunders.
“Menjadi matematikus”, kataku. “Itu yang ayah inginkan buatku.”
“Dan mengajar di Universitas di manapun?”
“Benar.”
“Bagus sekali”, katanya. Sepasang mata birunya sesaat kelihatan mengimpi. “Aku suka itu.”
“Meskipun begitu aku ragu apa aku menginginkannya.”
“Kenapa tidak?”
“Sepertinya aku merasa akan lebih berguna buat masyarakat kalau aku menjadi rabbi. Maksudku buat masyarakatku sendiri. Kau tahu, tak seorangpun benar-benar religius, seperti kau dan aku. Aku bisa mengajar mereka, dan membantu mereka jika mereka tertimpa masalah. Aku kira aku akan dapatkan kepuasaan dari hal itu.”
“Aku tak berpikir aku mau. Bagaimanapun aku akan menjadi seorang rabbi. Katakan, dimana kau belajar melempar?”
“Aku berlatih juga”, aku menyeringai padanya.
“Tapi kau tak harus belajar Talmud dua lembar sehari.”
“Terima kasih Tuhan!”
“Kau pasti punya cara melempar.”
“Bagaimana dengan pukulanmu? Kau selalu menyambar seperti itu, lurus ke pitcher?”
“Ya.”
“Bagaimana kau mempelajarinya?”
“Aku tak bisa memukul dengan cara lain. Aku harus dapatkan sesuatu untuk kutatap, dengan cara itu aku memegang tongkat pemukul. Aku tak tahu.”
“Itu cara yang sangat mematikan untuk memukul bola. Kau nyaris menghabisiku.”
“Seharusnya kau membungkuk”, katanya.
“Aku tak punya kesempatan untuk membungkuk.”
“Kau punya.”
“Tak cukup waktu. Pukulanmu sangat cepat.”
“Tapi ada waktu buatmu untuk mengangkat sarung tanganmu.”
Sejenak aku bertimbang.
“Kau tak mau membungkuk”, katanya.
“Benar”, akhirnya aku berkata.
“Kau tak mau harus membungkuk untuk setiap bola yang aku pukul. Kau berupaya menangkapnya.”
“Benar.” Aku ingat saat beberapa detik ketika aku menutupkan sarung tanganku ke wajah. Seharusnya aku masih bisa melompat ke samping menghindari bola dengan sempurna. Aku sama sekali tak berpikir untuk melakukannya. Tak mau aku Danny Saunders membuatku terlihat seperti Schwartzie.
“Kau menghentikannya”, kata Danny Saunders.
Aku menyeringai padanya.
“Tak terasa sakit lagi?” ia bertanya padaku.
“Tak terasa sakit”, kataku. “Aku hanya berharap mataku sembuh total.”
“Aku berharap begitu juga”, katanya dengan sungguh-sungguh. “Percayalah.”
“Katakan, siapa rabbi yang duduk di bangku waktu itu? Apakah ia seorang pelatih atau apa?”
Danny Saunders tertawa. “Ia salah seorang guru di yeshiva. Ayahku memintanya menyertai kami untuk memastikan kalau kami tak terlalu banyak bergaul dengan apikorsim.”
“Hal apikorsim itu yang membuatku marah padamu. Untuk apa kau katakan hal semacam itu pada regumu?”
“Maafkan aku. Tapi itu satu-satunya cara kami agar bisa membentuk sebuah regu. Aku hanya meyakinkan ayahku kalian adalah regu terbaik dan kami punya tugas untuk mengalahkan kalian, apikorsim, pada hal terbaik yang kalian punya.”
“Kau harus benar-benar katakan itu pada ayahmu?”
“Ya”.
“Apa yang akan terjadi kalau kalian kalah”.
“Aku tak mau berpikir seperti itu. Kau tak kanal ayahku.”
“Jadi kalian harus berlatih untuk mengalahkan kami.”
Sejenak ia menatapku, aku lihat ia sedang memikirkan sesuatu. Sepasang matanya seperti membeku, nampak seperti kaca. “Benar”, akhirnya ia berkata. Ia kelihatan sedang menemukan sesuatu yang telah lama dicarinya. “Benar”, katanya lagi.
“Apa yang dibacanya sepanjang waktu itu?”
“Siapa?”
“Rabbi itu.”
“Tak tahu aku. Mungkin buku tentang hukum Yahudi atau sejenisnya.”
“Aku kira buku itu mungkin tentang suatu hal yang ditulis ayahmu.”
“Ayahku tidak menulis”, kata Danny Saunders. “Ia banyak membaca tapi tak pernah menulis. Ia bilang kalau kata-kata bisa mengacaukan apa yang seorang sungguh-sungguh rasakan di dalam hatinya. Selain itu tidak suka ia bicara terlalu banyak. Oh, ia bicara banyak saat kami sedang membahas Talmud bersama. Tapi selebihnya ia tidak bicara banyak. Pernah ia berujar padaku kalau ia harapkan setiap orang bisa bicara dalam senyap.”
“Bicara dalam senyap?”
“Aku juga tak paham”, kata Danny Saunders sambil mengangkat bahu. “Tapi, begitulah yang dikatakannya.”
“Ayahmu pasti orang yang pendiam.”
Ia menatap padaku. “Benar”, katanya, sepasang matanya membeku seperti kaca. Aku lihat ia iseng mainkan sejuntai kucir kurisnya. Akhirnya ia berdiri. “Terlambat aku. Aku sebaiknya pergi.”
“Terima kasih untuk kunjunganmu.”
“Aku akan mengunjungimu lagi besok.”
“Ya.”
Ia masih nampak tertenung dalam suatu hal. Aku memperhatikan ia perlahan berjalan melalu gang dan keluar ruangan.
Chaim Potok
Rabbi, pelukis, pengarang: umur tujuh belas tahun, setelah terkesan dengan Brideshead Revisited karya Evelyn Waugh dan A Portrait of Artist as A Young Man karya James Joyce, Chaim Potok memutuskan menjadi pengarang. Novel pertamanya, The Choosen terbit tahun 1967. Kemudian The Promise terbit dua tahun berikutnya 1969. Pengalamannya bertugas sebagai salah satu personel batalyon medis garis depan dan sebagai tekhnisi tempur dalam perang Korea antara tahun 1955 dan 1957 yang mempengaruhi spiritualitasnya secara mendalam tertuang dalam novel The Book of Light (1981) dan I Am The Clay (1992). Sedangkan My Name is Asher Lev (1972) yang mengisahkan luapan hasrat seni seorang anak dan tradisi yang mengekang boleh dikatakan merupakan refleksi masa lalu kehidupan kanak-kanaknya. Old Man at Midnight (2001) merupakan novel terakhir Potok yang berisi trilogi roman: The Ark Builder, The War Doctor, dan The Trope Teacher. Selain itu ia juga menulis naskah drama semacam The Play of Light (1992) dan Out of The Depth (1990).
Hampir seluruh karya Chaim Potok berlatar kultur Yahudi: ketegangan antara agama dan sekularitas, pun keretakan kultural yang memisahkan komunitas-komunitas Yahudi. “Buku-bukuku adalah Yahudi, seperti buku-buku Joyce yang Irlandia”, kata Potok.
dwiii...kenapa cuman bab 3 aja? huh sotoy!
BalasHapusMas, terjemahan Chaim Potok saya sangat haus sekali..
BalasHapusKasdut, LK, nanti disambung lagi. Thanx.
BalasHapuswah baru juga asyik mbaca, dah kehabisan
BalasHapuslagi dunk prant...
thanxs