Laman

Minggu, 18 Desember 2011

Jan 'Sondang Hutagalung' Palach


Aku Jan Palach. Aku seorang Ceko, Aku seorang Polandia, Lithuania, Vietnam, Afganistan, menyingkapimu. Setelah ribuan kali aku membakar diri, mungkin kita akan menang. (Wiktor Szostalo, 1983)

Jumat, 18 November 2011

Puisi Vladimir Mayakovsky




ilustrasi oleh Vladimir Ilyushchenko dalam Vladimir Mayakovsky Poems (1972)





Diterjemahkan oleh Dwi Pranoto dari The Bedbug and Selected Poetry (terjemahan), Meridian Books, New York, 1960

Vladimir Mayakovsky (1893 – 1930)


Lewat Jam Satu*


Lewat jam satu. Kau mestinya sudah tidur
Bima sakti berpijar perak lintas langit
Tak tergesa aku; dengan telegram-telegram menghalilintar
Tak sealasan ku bangunkan atau ganggumu
Dan seperti mereka bilang, perkara ditutup
Perahu cinta hantam urusan sehari-hari
Kini kau dan aku habis. Lantas buat apa resah
Genapkan kesedihan-kesedihan, perih-pedih, dan luka-luka
Lihatlah, khidmat semayami dunia
Malam membungkus langit dengan tabik bintang-bintang
Pada jam-jam kayak gini, mulai menyebut
Umur, riwayat, dan semua karya




* Lewat Jam Satu ditemukan di antara kertas-kertas Mayakovsky setelah ia bunuh diri pada 14 April 1930. Puisi ini ia tulis di bagian tengah selembar kertas dengan sedikit coretan, seperti catatan epilog bunuh dirinya.
Pemerintah Soviet menyatakan Vladimir Mayakovsky bunuh diri disebabkan putus hubungan dengan aktris Veronika Polonskaya. Viktor Pertsov, dalam pengantar untuk buku Vladimir Mayakovsky Poem (1972), mengungkapkan bunuh diri penyair futuris ini diakibatkan oleh kombinasi persoalan kehidupan pribadinya dan atmosfer sangat buruk yang mengepung karena hasrat kesastraannya yang pelik dengan diperburuk oleh kegagalan produksi perdana lakonnya yang menakjubkan The Bathhouse. Namun, seperti dikonfirmasi oleh dua naskah lakon satirisnya terakhir, The Bedbug (1929) dan The Bathhouse (1930), bisa jadi Mayakovsky kecewa dengan filistinisme dan birokrasi Uni Soviet di bawah Joseph Stalin.

Senin, 14 November 2011

Pergulatan PKI dalam Tiga Generasi




Mencari Kiri: Kaum Revolusioner Indonesia 
dan Revolusi Mereka
Jacques Leclerc
Marjin Kiri, 2011













Di Indonesia namalah yang telah mencari organisasi dan pertarungannya; ketika nama ditemukan ia telah kalah dalam pertempuran. (hal. 178)


Saya masih ingat betul, ketika pelajaran sejarah di bangku SMP dan SMA mempelajari peristiwa kemelut politik 65 atau yang dikenal sebagai pemberontakan G30S PKI, guru sejarah menyatakan bahwa PKI harus ditumpas sampai ke akarnya, sampai anak, cucu, cicitnya. Alangkah pelajaran sejarah tersebut ikut andil membentuk persepsi para remaja mengenai komunisme dan membentuk sikap mereka terhadap keturunan PKI. Bukan hanya membentuk persepsi dan sikap remaja dari keluarga “bersih” pun mereka yang berasal dari keluarga “ET”. Bagaimana seorang remaja membenci bapaknya yang terlibat atau seorang remaja dari keluarga PKI yang patah arang akan masa depannya memilih mabuk-mabukan sepanjang masa bujangnya. Atau bagaimana seorang bapak yang harus “membuang” anak laki-lakinya dengan mengubah identitas orang tua pada akta kelahiran demi membersih-lapangkan masa depan si anak.

Sejarah resmi mengenai komunisme selama lebih dari 30 tahun rezim Orde Baru adalah reka-sejarah komunisme (PKI) yang bukan saja berfungsi sebagai pembenar dari apa yang disebut sebagai kudeta merangkak dan menentukan posisi politik dalam pergaulan intenasional. Lebih dari itu, indoktrinasi anti-komunis melalui sejarah resmi dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang dikenal sebagai “bersih diri” dan “bersih lingkungan” telah mengakibatkan masyarakat menjadi terpecah-pecah, penuh wasangka dan curiga. Menjadi komunis atau menjadi keturunan dari orang tua komunis adalah aib atau bahkan dosa besar yang tak terampuni. Gerakan komunisme yang sesungguhnya punya andil besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dihapus dalam sejarah resmi dan digantikan sejarah komunisme yang dipenuhi pengkhianatan.

Mencari Kiri, buku kumpulan artikel-artikel terpilih dari Jacques Leclerc mengenai lahir, tumbuh, kembang dan lumpuhnya faham komunis di Indonesia ibarat membongkar timbunan tanah sejarah resmi yang mengubur komunisme hidup-hidup. Empat artikel yang dikumpulkan dalam Mencari Kiri menyuarakan suara lain yang selama puluhan tahun dibungkam. Suara lain yang mengkritisi, menyangkal, mengguyahkan, dan menggugat sejarah resmi dengan membeberkan peran hebat gerakan kiri dalam perjuangan menggulingkan kekuasaan kolonial; intrik, pertikaian politik dan pengaruh luar negeri semasa awal kemerdekaan yang menggencet gerakan kiri dan menumbalkan tokoh-tokohnya; dan perselisihan tokoh-tokoh komunis mengenai teori dan menentukan strategi dan taktik perjuangan kaum kiri.        

Dalam Aliran Komunis: Sejarah dan Penjara Leclerc melacak jejak cikal bakal gerakan komunisme semulai berdirinya sindikat buruh kereta api Vereeniging Van Spoor en Tramweg Personeel (VSTP) dan Budi Utomo tahun 1908 yang menurutnya PKI adalah hasil radikalisasi progresif dari dua organisasi yang lahir akibat penindasan intensif dari dominasi kolonial awal abad 20. Partai Komunis Indonesia yang sebelum kongres 1924 bernama Perserikatan Komunis di India sedikit banyak lahir dari pertentangan di tubuh Sarekat Islam antara militan prokomunis dan penentangnya. Perubahan nama dari “Perserikatan” menjadi “Partai” membawa konsekwensi-kensekwensi yang mungkin secara singkat dapat diringkas mesti dapat berperan sebagai penyemai dan pelaksana ide-ide yang membuahkan tekad untuk mengupayakan perubahan politik. Untuk itu PKI mesti menjadi partai pelopor yang besar dan kuat dengan disiplin baja agar mampu mengatasi tekanan pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Jacques Leclerc tak hanya memaparkan sepak terjang PKI seperti aksi pemogokan di jawatan kereta api pada tahun 1923 yang gagal dan perlawanan umum bersenjata untuk menggulingkan kekuasaan kolonial  akhir 1926 – awal 1927 yang berakhir dengan porak-porandanya partai. Leclerc juga mengungkap manuver Semaun di pembuangan yang menyerahkan peran partai polopor PKI kepada Hatta di Belanda. Begitu pula dengan Tan Malaka, tokoh komunis yang dianggap trotskys, yang mendirikan Partai Republik Indonesia di Bangkok karena menganggap PKI sudah tidak ada. Pasca perlawanan 1926 – 1927 yang meremukan PKI sebagai organisasi tulang punggung perjuangan politik, kaum kiri terpecah, bukan hanya terbagi dalam gerakan bawah tanah dan gerakan legal, memperebutkan pewaris sah dari PKI. Pada masa inilah, Soekarno yang mendirikan PNI pada tahun 1933 menemukan sosialisme ala  Indonesia, Marhaenisme, untuk mengatasi dualisme buruh/petani atau kelas/massa yang tak terpecahkan semenjak Sarekat Islam.

Pergulatan menghimpun kembali gerakan sayap kiri menjadi satu kesatuan menghadapi rintangan tak kepalang. Pelarangan pemerintah kolonial, datanganya ancaman dan bercokolnya kekuasan fasis Jepang, serta krisis teori dalam komunisme internasional mengakibatkan situasi tak menguntungkan untuk menyatukan perjuangan kaum kiri. Percobaan pembentukan front bersama semacam Gerindo terbukti rapuh dan tidak tahan lama. Upaya terakhir, sebelum 1950, kristalisasi gerakan sayap kiri, penyatuan partai-partai yang tergabung dalam Front Demokrasi Rakyat menjadi satu partai tunggal, PKI, tahun 1948 hancur sebelum PKI sempat melaksanakan programnya. Tuduhan kudeta terhadap prakarsa “Jalan Baru untuk Republik Indonesia” Musso berakhir dengan perang sudara yang menumbalkan 9 pemimpin PKI termasuk Musso dan Amir Sjarifuddin. Sejarah resmi versi Orde Baru, seperti diajarkan di sekolah-sekolah, peristiwa Madiun diibaratkan “menusuk dari belakang". Walaupun, seperti ditulis oleh Leclerc, proklamasi Republik Soviet di Madiun tidak seorang pun pernah mendengarnya, begitu juga tidak seorang pun berminat membuktikan kebenaran kabar yang diucapkannya itu (hal.65). Leclerc membandingkan peristiwa Madiun dengan apa yang terjadi di China 20 tahun sebelumnya. Pembangkitan kembali PKI tahun 1948 dianggap terinspirasi dengan kebangkitan PKC tahun 1937, serbuan balatentara Jepang disamakan dengan kedatangan Belanda kembali dan pemerintahan Indonesia yang dikuasai golongan kanan disamakan dengan kekuasaan Kuomintang di Cina.

Sosok Amir Sjarifuddin diungkapkan Leclerc dalam Amir Sjarifuddin: Antara Negara dan Revolusi sebagai tokoh revolusioner yang kontroversial. Tokoh yang nyaris terlupakan dalam sejarah Indonesia, jika disebut selalu saja dengan nanda sumbang, digambarkan Leclerc semirip Faust; tidak saja karena menukar agamanya pun sebab “kerjasamanya” dengan Van Mook. Amir yang dilukiskan sebagai orator ulung dan dekat dengan gerakan revolusioner bawah tanah itu pada kenyataannya hampir selalu berada di pinggiran dalam gerakan perlawanan dan pusat kekuasaan di masa awal kemerdekaan. Sebagai tokoh revolusioner ia memainkan dua kaki antara bawah tanah dan legal, sebagai Perdana Menteri atau Menteri Pertahanan ia tak dapat mengatasi hantaman kaum kanan dan militer yang menggerogoti kewenangan jabatannya. Diantara empat tokoh di jantung kekuasaan, Soekarno, Hatta, Sjahrir, yang menjadi “kartu mati” adalah Amir.



Tak dapat disangkal, Amir adalah “orang merah”, sepak terjang politiknya sepanjang tahun 1928 – 1948 mengonfirmasi hal itu. Namun, apa yang disebut Leclerc sebagai tahun-tahun Amir berlangsung pada 1936 – 1940, setahun setelah Amir bebas dari penjara pada Juni 1935. Masa empat tahun dimana perdebatan antara perjuangan koperasi dan nonkoperasi memanas yang mana kaum kiri baru yang nonkoperasi diidentifikasi pada Amir. Pada sekitar tahun-tahun itu pula ia diduga menjalin kontak rahasia dengan dedengkot komunis, Musso, yang menurut dokumen resmi pada tahun 1935 telah membangun kembali PKI setelah kehancurannya pada 1926 – 1927. Dengan Musso inilah Amir dipasangkan sebagai lawan dari Soekarno-Hatta ketika peristiwa Madiun meletus. Peristiwa yang merenggut nyawa Musso dan Amir yang mati ditembak oleh letnan Polisi Militer di dekat desa Ngalihan pada 19 Desember 1948. Leclerc mencatat bahwa peristiwa Madiun ini tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan Komisi Jasa Baik PBB untuk menengahi konflik Indonesia – Belanda yang diisi oleh negara-negara Barat.
Setelah kehancuran pada Oktober 1965, barangkali tidak ada pribadi yang begitu lekat diidentikkan dengan PKI seperti Aidit. Memulai dengan kembali menghidupkan Bintang Merah pada 1950 sekembalinya dari pelarian setelah peristiwa Madiun, bersama Lukman, Aidit yang pada 1947 telah menjadi sekretaris Central Comite, pada tahun 1956 menjadi orang pertama dalam partai dengan menduduki Sekretaris Jenderal. Setelah itu pengaruh Aidit tak tertahankan lagi dalam tubuh PKI.

Dalam Aidit dan Soal Partai Pada Tahun 1950, Leclerc menyatakan bahwa dengan tampilnya pasangan Aidit – Lukman sebagai pimpinan partai memperlihatkan bahwa PKI hendak mengidentifikasikan diri dengan proklamasi 17 Agustus. Bagaimanapun Aidit dan Lukman serta Wikana termasuk para pemuda Menteng 31 yang mendesak Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan ketika Jepang menyerah dan sebelum Belanda kembali masuk. Walaupun upaya untuk mengaitkan PKI dengan semangat proklamasi ini mesti menyingkirkan tokoh-tokoh tua yang berpengalaman dalam perjuangan seperti Alimin dan Tan Ling Djie.

Mengenai pembangunan partai tahun 1950 – 1953 Aidit, pada pidato di Cina 1963, menyatakan bahwa dalam kondisi yang masih kacau dan ruwet partai harus dibangun dari atas ke bawah untuk menjamin terpilihnya orang-orang terpercaya untuk mengendalikan partai. Sedangkan dalam pidato yang ditujukan kepada kaum revesionis sekembali dari Cina tahun 1963 Aidit menyatakan bukanlah partai yang menentukan jalan damai atau tidak-damai, namun kondisilah yang bakal menentukan. Dua tahun setelah pidato tersebut, sepuluh tahun setelah pencapaian partai dalam pemilihan umum 1955, malapetaka hebat dan tak tertanggungkan hingga kini meluluhlantakan PKI.

Boleh dikatakan buku Mencari Kiri yang merupakan kumpulan empat artikel peneliti sejarah politik Indonesia dari Prancis, Jacques Leclerc, lebih menitikberatkan sejarah PKI dari tahun-tahun awal pendiriannya atau bahkan embrionya hingga peristiwa Madiun 1948. Suatu serial kajian yang mengisi ‘kekosongan’ di tengah melimpahnya kajian peristiwa 1965. Tiga artikel pertama dalam Mencari Kiri seperti membagi PKI dalam tiga generasi, dimana artikel ke-empat atau terakhir, Kondisi Kehidupan Partai: Kaum Revolusioner Indonesia Mencari Identitas (1928 – 1948), menjadi semacam epilognya.

Sudah saatnya sejarah politik Indonesia yang lebih dari tiga puluh tahun termanipulasi dikaji ulang. Sejarah perjuangan-perjuangan dan pejuang-pejuang pergerakan yang telah dibenamkan mesti digali dan dibawa ke terang cahaya siang hari ini. Upaya semacam membukukan artikel-artikel Leclerc yang mencahayai bagian gelap sejarah Indonesia mesti tak berhenti pada Mencari Kiri.   

Selasa, 25 Oktober 2011

Hantu-Hantu



Sejak kendaraan-kendaraan berat tak diijinkan lagi melintas dalam kota, jalanan pinggir kota itu selalu bergetar hingga larut malam. Bus-bus antar kota, truk-truk barang, truk-truk kontainer,  meninggalkan jejak retakan, rekahan, dan lubang besar pada ruas jalan. Walau jalanan pinggir kota itu sekarang lebih lebar dan hidup, tak ada rumah baru yang dibangun di sepanjang pinggir ruas jalan. Sejumlah perubahan yang membedakannya dengan masa seratus tahun lalu adalah terik dan gersang akibat ditumbangkannya puluhan pohon kenari raksasa yang memagar tepi jalan. Ketika jalanan itu dijadikan satu-satunya jalur pelintasan kendaran-kendaraan berat, pos pungutan retribusi kendaraan barang didirikan di dekat jembatan.

Sabtu, 27 Agustus 2011

Ismail Kadare, Wawancara dengan Shusha Guppy


Ismail Kadare  1936 –
Novelis, pengarang cerita pendek, penyair, eseis, penulis naskah drama, kritikus ini nyaris tak tak dikenal di Indonesia. Hanya ada dua karyanya yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia, Elegi untuk Kosovo (Jalasutra, 2004) yang merupakan serial tiga novela dan novel Piramid (Marjin Kiri, 2011).
Wawancara lumayan panjang Ismail Kadare dengan Shusha Guppy ini diterjemah dari The Art of Fiction No 153, dalam The Paris Review No. 147, Summer 1998,      







Pada tahun 1970 sebuah novel karya penulis Albania tak dikenal mengguncang Paris. The General of the Dead Army adalah kisah seorang jendral Italia yang kembali ke Albania setelah Perang Dunia Kedua untuk mencari tubuh para tentara Italia yang gugur di sana dan membawa mereka kembali ke Italia untuk dikuburkan. Novel itu dielukkan sebagai sebuah masterpiece dan pengarangnya diundang ke Perancis, dimana ia disambut para cendekiawan Perancis sebagai berkas suara yang kuat dan aseli dari balik Tirai Besi. The General diterjemah ke lusinan bahasa dan mengilhami dua film: satu film berjudul sama dengan dibintangi Michel Piccoli, satu lagi Life and Nothing Else (La Viet et rien d’autre)-nya Bernard Tavernier yang terkenal.

Rabu, 03 Agustus 2011

Subyek, Abnormalitas, Gaya*

Di sebuah jurnal digital, Paralaks, tulisan Gunawan Mohamad (27 Maret 2008), S.T.A., Sebuah Prosa mengutip sebuah paragraf S.Takdir Alisyahbana dalam Kebangkitan Puisi Baru Indonesia. Demikian S. Takdir Alisyahbana menggambarkan kelahiran sebuah puisi: Segala perasaan yang timbul di dalam kalbu berombak dan beralun melalui berjuta-juta jalan yang halus memenuhi seluruh tubuh; sampai kepada bahagian badan yang sekecil-kecilnya menurut terayun dan terbuai dalam ombak dan alun perasaan itu dan amat gaibnya terbayanglah ia ke dunia lahir pada perubahan detikan jantung, pada lekas lambatnya nafas, pada turun naiknya suara dan pada perubahan air muka. Dari paragraf S. Takdir yang disebut Gunawan Mohamad sebagai bergemuruh tersebut segera terbayang hubungan rapat tak tercerai serupa dua sisi mata uang antara puisi dan penyairnya. Puisi merupakan suatu ekspresi langsung jiwa sang penyair. Namun, Gunawan Mohamad rupanya keberatan dengan penggambaran asal-usul yang poetik tersebut. Melalui Julia Kristeva, Gunawan Mohamad menyatakan, “Kini kita tahu, transparansi (atau keselarasan) semacam itu sebenarnya tak terjadi”. Sebab, menurut Gunawan, antara gejala yang terjadi dalam tubuh dan bahasa yang dihasilkan (ditulis), atau dari semiotik menuju simbolis, seharusnya ada penapis. Jika memahami proses semiotik menjadi simbolis menurut Julia Kristeva, jelaslah apa yang dimaksud penapis ini adalah rasionalisasi untuk membangun sintaksis yang logis. Proses semiotik menuju simbolis ini, rasionalisasi, bagi Kristeva merupakan suatu “pendewasaan” yang dibentuk dengan paksaan oleh norma-norma semacam identifikasi jenis kelamin, pemisahan umum dan pribadi dan sebagainya. Namun, bahasa tak benar-benar menghapus seluruh akar semiotiknya dan penyair menggemaulangkan masa pra-oedipus itu dengan mengangkat yang tak sadar tersebut. Dengan cara ini Kristeva memisahkan dan sekaligus menghubungkan antara yang “normal” dan yang “poetik”. Bahwa bahasa puisi yang diperoleh dengan membangkitkan yang tak sadar akan selalu bersifat laten. Merongrong dan mengacaukan tatanan bahasa yang rasional, mapan, dan otoriter.

Senin, 01 Agustus 2011

Senin, 13 Juni 2011

Dua Puisi Jorge Luis Borges

 Dua puisi Borges berikut diterjemah oleh Dwi Pranoto dari terjemahan bahasa Inggris The Art of Poetry dan Elegy oleh Anthony Kerrigan





Seni Puisi


Menatap pada sebatang sungai pembuat waktu dan air
dan mengingat waktu sebagai lain sungai
tahu kita mengalir seperti sungai
dan wajah-wajah kita sirna ibarat air

Merasa jaga juga lain mimpi
mimpi-mimpi yang bukan impian dan maut
yang kita ngerikan dalam tulang-tulang kita adalah maut
yang setiap malam kita sebut suatu mimpi

Minggu, 22 Mei 2011

Surat dari Jember: Apakah Ia Sedang Menyusun Biografi Baru, Afrizal?

Kini ia telah menjadi ingatan yang tak mungkin sepenuhnya teringat: di tempat percakapan yang setengah malu-malu untuk memenuhi dirinya dengan asap rokok itu suara yang keluar dari mulutnya jelas sekali mengisyaratkan kalau telah terlatih atau terbiasa mengatasi kegentingan di penjelang khalayak. Ia bergerak rileks; slow motion nyaris. Tapi tubuh kurus yang terbalut jaket putih yang sesekali dibukanya memberi kesan tak sanggup menutupi bocornya kecemasan. Ia duga, mungkin juga berkeras pastikan, sudah tidak ada lagi yang bisa diyakini kini. Lembaga-lembaga (sosial) begitu berbahaya dan buas. Sebagaimana kota yang dengan agresif telah direbut oleh spanduk-spanduk dan baliho-baliho reklame, tubuh telah ditundukkan oleh kata-kata  dimana ideologi mengeram di dalamnya sebagai lembaga-lembaga yang menyusun identitas untuk dirinya melalui luka-luka yang ditakiknya. Seperti kota yang mengasingkan, ia tak lagi mengenali dirinya. Sebagaimana Borges dalam Borges dan Aku, sebagian dirinya terperangkap dalam buku-buku. Borges menggambarkan hubungan antara Borges dan Borges di dalam buku begini; Aku suka jam pasir, peta-peta, tipografi abad sembilan belas, rasa kopi dan prosa Stevenson; ia berbagi kesenangan-kesenangan ini, namun dengan suatu cara yang percuma  mengubahnya menjadi atribut-atribut seorang aktor. Dalam semacam pengantar buku mengenai teater yang ia tulis ia berkata kalau penulisnya sudah ‘mati’. Namun frasa-frasa yang menghambur dari mulutnya petang itu, tentang tubuh yang diagresi dan menjadi medan pertempuran kekuasaan dari luar, membawa kembali semua persoalan dalam puisi-puisi yang pernah ditulisnya, tentu dengan keberanian lain.      

 Ia, bagaimanapun harus dibayangkan terpisah dari tubuhnya, menggigil di suatu tempat sambil menatap tubuh luka keranjangnya. Namun perih berabad itu ternyata juga memeras kuyup ketakutannya sampai temali. Saat itulah ia tahu harus merebut kembali tubuhnya. Menelentangkan tubuh di atas meja operasi untuk,menginvestigasi masa lalu. Menyembuhkan luka-luka seperti sefrasa kalimat surat yang ditulis Rosa ketika duduk di kursi kereta api yang berlari dalam sebuah film mengenai tentara yang menyerbu lembaga pendidikan dan memporak-poradakan tradisinya; Siapa yang mengajari ibu untuk mengusap air mata? Tidak ada cara lain kecuali menghapus narasi-narasi besar, mengusir kampung halaman dari tubuh. Namun, sepi rupanya bukan sesuatu yang bisa sungguh-sungguh ditanggungkan. Sebagaimana Helene Cixous, ia lantas menyusun biografi baru dari suara tubuhnya yang didengar; suara gemeretak tulang, suara pori-pori kulit yang membesar saat hari panas dan mengerut ketika hari dingin, desir darah dalam pembuluh dan teriakan-teriakan tubuh yang barangkali hanya bisa tertangkap orang lain saat mereka menatap mayat.  Tidak ada lagi ibu dan bapak di dalamnya, mereka mati bersama kampung halaman yang terusir. Masturbasi sungguh merupakan aktivitas seksual paling simbolik dalam kondisi ini (tapi hasrat yang muncul tiba-tiba di tengah kerja kepengarangannya, mungkin tak mudah dikenali sebagai seks, oleh sebab itu ia katakan masturbasi tak ada hubungannya dengan seks). Karena masturbasi murni imajiner. Tidak ada obyek pengganti cinta pertama di situ, puting susu ibu; tak juga manifestasi cemburu tehadap bapak; seolah penindasan atas hasrat inses itu menghadapi jalan buntu untuk menemui obyek pengganti. Belaka ia dan tubuhnya; permainan orgy kesendirian.

Ataukan ini suatu tanda penyerahan total? Keputusasaan yang membawanya pada masa kini abadi; menghapus sekuen waktu. Karena sejarah ia bayangkan telah ditikam berkali hingga benar-benar mati oleh percepatan, perubahan mutlak. Tidak ada tubuh yang membusuk dimanapun namun bau bangkai berpusar sengit meruapi kilau lestari dunia yang nirwaktu.         

Jika benar sudah tak ada lagi yang layak atau mampu diperjuangkan mestinya ia mati, memilih terbakar habis daripada padam perlahan seperti Kurt. Atau setidaknya seperti Lenin yang meminta racun sebab tahu tubuhnya tak lagi berguna. Tapi rupanya ia lebih membayangkan diri sebagai Mishima yang tak hendak menjadi Mishima yang menuntaskan tandas-tandas biografi samurainya dalam seppuku setelah roda modernitas menggilas dan membusukkannya. Atau barangkali ia mau menjadi orang muda teruna dalam imajinasi Borges di umur delapan puluh lima tahun; Jika aku dapat hidup lagi – aku akan coba kerja telanjang kaki pada permulaan musim semi hingga penghabisan musim rontok. Tak hanya kerja telanjang kaki, ia kerja telanjang bulat.

Ia ingin merasuki tubuhnya atau ia merasuki tubuhnya, membentuk subyektifitas murni yang sungguh-sungguh material. Hei, bukankah otentisitas pribadi ini cita-cita modernitas, jika tak semulai awalnya setidaknya tahun 60-an telah membekaskan jejak yang kuat dan dalam; alangkah perlawanan-perlawanan sengit seni garda depan masa itu terhadap modernisme klasik beserta lembaga-lembaga sosial mapan telah melahirkan karya-karya yang kurang ajar, penuh skandal. Bersama itu kegemparan teriakan manifesto-manifesto anti seni atau kematian seni, permusuhan terhadap lembaga-lembaga dan selera umum dan kutukan-kutukan anti perang terdengar. Seni bergegas meninggalkan keindahan yang telah menghuni pasar guna menuju sublimitas, menuju dunia dalam pandangan individu; menuju keunikan-keunikan pribadi; gaya seibarat baju basah yang menunjukan lekuk tubuh. Pembayangan masa depan pada masa itu adalah ancaman keruntuhan menara Babel yang bakal mengasingkan individu sebagai pulau-pulau bahasa yang terpisah. Namun, setengah abad kemudian, jika tahun 60-an kita jadikan tapal awal, kita masih bisa saling bercakap. Bahasa tak pernah menjadi sangat pribadi hingga membuat relasi komunikasi menjadi mustahil tanpa kamus.

Hari ini, ketika pasca modern menggulung semua permukaan bumi – di pelosok-pelosok terpencil pasca modern muncul sebagai imaji-imaji bersama televisi dan telepon seluler – tahun 60-an masih menaungkan bayangannya . Tapi tanpa kegemparan lagi, tekhnologi reproduksi telah menjinakkan dan komodifikasi telah memindahkannya ke pasar. Ada yang dilucuti dalam reproduksi dan komodofikasi itu; politik! Boleh dikatakan pasca modern adalah modernisme 60-an tanpa politik. Sebagaimana ia lebih memilih menggunakan kata ‘pertemuan’ daripada ‘negosiasi’ untuk menyifati dialog dalam relasi komunikasi.                  

Masih gerimis ketika ia memasuki mobil setelah sedikit menyisakan kopi di cangkir. Ah, kepala yang gersang itu membuat lehernya tampak lebih jenjang dari yang seharusnya. Berboncengan aku pulang ke rumah. Di sepanjang jalan yang membuat kami basah, bahkan sampai saat surat ini aku ketik, masih aku mengira ia pasti sulit memahami tanggapanku yang membingungkan dalam forum penuh asap rokok itu. Masih terngiang seloroh yang ia katakan menjelang aku menuntaskan tanggapanku, ‘Pidato’.                   

* * * * *

Senin, 21 Maret 2011

Tanda di Dinding



 Diterjemahkan dari The Mark on The Wall, The Complete Shorter Fiction of Virgina Woolf, Susan Dick (ed.), Harcourt Brace Jovanovich, Publishers, Orlando, 1985













Tanda di dinding itu mungkin aku lihat dan perhatikan pada pertengahan Januari  tahun ini. Menentukan tanggal pastinya adalah penting untuk mengingat apa yang kuperhatikan. Sekarang aku membayangkan api; cahaya kuning terang di atas halaman bukuku; tiga bunga matahari terbingkai pigura bundar tergantung di dinding perapian. Ya, pada musim gugur, dan kami baru saja selesai minum teh. Aku ingat, aku sedang merokok ketika aku perhatikan tanda di dinding untuk pertama kalinya. Aku memperhatikannya lewat tabir asap rokokku dan  mataku terpaku pada bara batubara sebentar, lalu fantasi kuno tentang bendera merah yang berkibar di menara kastil masuk dalam pikiranku, dan aku membayangkan arak-arakan kesatria merah menyisir tepian batu karang hitam. Agaknya bentuk tanda itu menyela fantasiku, fantasi kuno, fantasi otomatis, mungkin berasal dari masa kanak-kanak. Tanda itu berbentuk bundaran kecil, menghitam di permukaan dinding putih, kira-kira enam atau tujuh inci di atas tungku perapian.

Senin, 07 Maret 2011

Petaka Blambangan: Puputan Bayu, Minak Jinggo sampai Genjer-genjer

b
















 Blambangan tak bisa disamakan begitu saja dengan Banyuwangi hari ini. Kekuasaan kerajaan Blambangan kuno yang merentang dari Probolinggo, Lumajang, Jember, sampai ke timur berbatas Bali, tak sebanding dengan luas Kabupaten Banyuwangi sekarang. Wilayah kekuasaan Blambangan terus menciut dan semakin bergeser ke timur saat pemerintahan trah Mataram di Jawa Tengah berulang kali berusaha meruntuhkannya. Akhirnya ibu kota kerajaan Blambangan terakhir, Ulu Pampang, dipindahkan ke Banyuwangi oleh VOC. Dan dengan demikian punah sudah kekuasaan Blambangan, meski Mas Alit, Bupati pertama Banyuwangi, adalah wangsa Tawang Alun, Raja termashur di Blambangan.

The Choosen






Diterjemahkan oleh Dwi Pranoto dari Bab 1, The Choosen, Chaim Potok, A Fawcett Crest Books, Edisi Pertama Ballantine Books, Desember 1982;
















BAB 1


Dalam lima belas tahun pertama hidupku, Danny dan aku tinggal berjarak lima blok dan kami tak saling kenal.
Blok Danny padat dihuni orang-orang pengikut ayahnya, orang-orang Yahudi Hasidik Rusia berbalut pakaian muram, tabiat-tabiat dan pandangan-pandangannya dilahirkan di tanah dari negeri yang mereka telah tinggalkan. Mereka minum teh dari samovar, menyeruputnya perlahan merembesi gula batu yang digigit diantara gigi-giginya; mereka makan makanan dari tanah asalnya, berbicara keras-keras, kadang dalam bahasa Rusia, seringkali dalam bahasa Yiddish Rusia, dan taklid pada ayah Danny.

Jumat, 04 Maret 2011

Kritikus, Tekhnologi Produksi, Khalayak


Boleh jadi kritik memberi pemahaman atas karya seni. Tapi yang tak boleh dilupakan, kritik selalu mengandaikan pandangan ideal tertentu bagaimana seharusnya karya seni diproduksi. Oleh karenanya kritikus memiliki keterlibatan mendalam dalam proses produksi seni. Dalam hal ini kritikus tak belaka menjadi juru terang, tapi juga mengarahkan cahayanya pada ruas jalan terpilih yang seharusnya ditempuh oleh karya seni sebagai produk artistik yang beroperasi terhadap ideologi.     

Jumat, 18 Februari 2011

Using


dari buku Java's Last Frontier, Sri Margana, Universiteit Leiden, 2007
Sebagian masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Jawa Timur mengenal masyarakat Banyuwangi sebagai masyarakat Using. Istilah Using tersebut digunakan untuk merujuk pada kultur tradisi dan “bahasa” yang khas yang hidup dan berkembang dalam masyarakat “asli” yang mendiami wilayah Banyuwangi. Sebagian besar ahli budaya berpendapat bahwa kultur tradisi masyarakat Banyuwangi saat ini adalah warisan dari kerajaan Blambangan yang merupakan benteng terakhir kultur Hindu-Jawa di pulau Jawa setelah runtuhnya Majapahit.

Kelembon & Demokrasi


Mungkin tak ada yang menyangkal jika keberadaan Demokrasi secara tradisional ditandai dengan adanya tiga lembaga tinggi yaitu lembaga eksekutif, yudikatif dan legeslatif dan adanya mekanisme aspirasi politik warga negara yang terselenggara melalui pemilihan umum. Namun, selain empat aspek tersebut di atas seringkali kita abai pada aspek social kultural yang hampir-hampir tak memiliki wujud institusional. Oleh karenanya kita seringkali luput mencermati represi kultural negara terhadap masyarakat. Sebagian besar fokus pengembangan demokrasi yang nyaris bersifat institusional, dan oleh karenanya niscaya bersifat formal, membuat sektor informal dalam kehidupan demokrasi terabaikan. Padahal wilayah informal inilah yang mencerminkan kehidupan demokrasi dalam masyarakat yang sesungguhnya dan sehari-hari.
            Dalam kasus represi kultural yang dilakukan oleh negara, dalam hal ini pemerintah Kabupaten Banyuwangi, penggantian nama jalan, kampung atau dukuh merupakan contoh nyata bagaimana negara menghabisi daya kreatif masyarakat. Pengabaian atau pengingkaran terhadap hak masyarakat untuk menamai wilayahnya sendiri bagaimanapun bukan persoalan yang remeh. Karena pengingkaran ini berarti tidak mengakui suatu sejarah-budaya yang hidup di suatu wilayah masyarakat. Sekecil apapun wilayah itu!

M Arief dan Endro Wilis


Saat ini musik (lagu) daerah Banyuwangi mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang mungkin tak dapat dibayangkan pada tahun-tahun sebelumnya. Rekaman Lagu-lagu banyuwangian, baik berbentuk kaset atau cakram vcd, saat ini terus di (re)produksi dengan distribusi yang makin luas, tidak hanya di wilayah Kabupaten Banyuwangi. Perkembangan, pertumbuhan, dan popularitas lagu-lagu Banyuwangian ini tentu tak dapat dipisahkan dari seniman-seniman perintis lagu-lagu banyuwangian “modern”, seperti Mohammad Arief dan Endro Wilis.

Dari sekian banyak lagu-lagu yang digubah dari awal lahirnya hingga hari ini, boleh dikatakan, tak ada sebuah lagupun yang sekontroversi Genjer-Genjer. “Reputasi buruk” yang dilekatkan oleh kejadian politik 1965 bagaimanapun telah ikut mempengaruhi penilaian lagu-lagu Banyuwangian yang digubah pada masa itu dan beberapa tahun sesudahnya. Hal ini terbukti dengan sensor ketat yang diterapkan pada lagu-lagu Banyuwangian pada suatu masa tertentu. Endro Wilis (almarhum) tak hanya harus terpaksa merelakan lagu-lagunya berubah syair, bahkan ia harus “menghapus” namanya pada lagu yang digubahnya jika hendak dipublikasikan (direkam dalam format kaset).                    

Dari M. Arief Sampai Catur Arum


Mungkin tak berlebihan jika dalam Gandroeng Van Banjoewangi John Scholte menulis bahwa masyarakat Banyuwangi dianugerahi bakat musikal secara alamiah. Sejak sekisaran abad XVIII yang dimulai dari tradisi lisan gending-gending gandrung klasik seperti Podho Nonton dan Jaran Dhawuk hingga lagu-lagu ciptaan Yon D.D dan Catur Arum yang dikasetkan dan di-vcd-kan, masyarakat Banyuwangi tak berhenti memproduksi dan menikmati lagu-lagu ciptaannya sendiri. Tentu saja setiap penggubahan lagu-lagu Banyuwangian memiliki ciri dan karakteristik yang berbeda dalam tema dan warna musik pada setiap kurun masa tertentu. Hal ini tentu bisa dapahami karena bukan saja setiap jaman memiliki jiwa yang berlainan, namun cara produksi dan distribusi hasil-hasil gubahan juga ikut menentukan bagaimana sebuah lagu digubah. 

Sejarah di Sekitar Hari Jadi Banyuwangi



dari buku Java's Last Frontier, Sri Margana Universiteit Leiden, 200
Kira-kira begini;  Tiga hari setelah pertempuran yang pecah di Susukan dan Songgon menggugurkan Lieutenant Reijgers, pada tanggal 18 Desember 1771 Vaandrig Van Schaar memimpin 150 serdadu menderap ke Songgon. Saat itu hujan deras mengguyur Songgon, tiba-tiba prajurit-prajurit Jagapati berloncatan dari berbagai arah. Serangan mendadak dari para prajurit Jagapati yang lebih sedikit jumlahnya dan belaka bersenjatakan bambu runcing dan tombak itu kontan membuat serdadu Kompeni kalang kabut. Sebagian besar pasukan Kompeni gugur dalam serangan tak terduga itu. Sedikit dari mereka melarikan diri dari pertempuran dengan tak sedikit yang terluka. Dalam serangan mendadak itu salah seorang prajurit Jagapati paling berani, Bekel Udun, menyergap Van Schaar  yang sibuk melindungi senapannya agar tetap kering. Van Schaar yang tak bersenjata berusaha melarikan diri untuk menyelamatkan nyawanya. Tapi Bekel Udun memburunya dan berhasil menghujamkan tombak ke tubuh pemimpin pasukan kompeni itu. Lalu tubuh Van Schaar yang mati diseret ke markas prajurit Jagapati. Di Bayu, seorang Bugis bernama Kraeng Dono mempersiapkan suatu ritual (disebut orang-orang Eropa sebagai jamuan mengiblis). Ia merobek perut Van Schaar, memburai-burai ususnya dan mengganyangnya. Usai upacara, mayat pemimpin pasukan yang malang itu dipenggal dan kepalanya dikelilingkan menjaya-jaya.