Laman

Rabu, 04 Juli 2012

Belambangan & Syair-syair lagu Endro Wilis

Tanah-hun Belambangan sugih alas lan gunung jejer-jejer
Sawahe gumelar jembar mrana-mrene disigar kali
Pesisire ngubengi latar wetan kaya kalung rante ngalungi perawan ayu
(Tanahku Belambangan melimpah hutan dan gunung berjejajar
Sawah menghampar luas diiris sungai sana-sani
Pantai melingkup latar timur laksana kalung rantai melingkar leher gadis ayu)
(petikan dari Tanah-hun Belambangan, Endro Wilis

Nama Belambangan dapat ditemukan dalam kitab Negarakretagama yang ditulis pada tahun 1927 Saka atau 1365 Masehi dalam kata Balungbung yang berarti wilayah lumbung padi. Bahkan menurut Dr. J.W. de Stoppelaar dalam Hukum Adat Belambangan (terjemahan Pitoyo Budhy Setiawan), nama Belambangan telah dikenal sejak 900 Masehi. Hal ini juga dinyatakan oleh Poerbatjaraka dalam Dagteening van het Und-javaansche Ramayana. Lebih tua dari pernyataan Poerbatjaraka, Drs. Abdul Choliq Nawawi dalam makalah seminar Sejarah Belambangan di Banyuwangi yang berjudul Belambangan di Banyuwangi sekitar Abad XV – XVIII, mengemukakan bahwa nama Barambanan dalam Babad Buleleng, secara ethimologis mungkin dapat berubah menjadi Belambangan. Dan berdasar kajian ethnolinguistik, kata Belambangan berasal dari bahasa Austronesia purba yang kemudian diwariskan secara linear dalam bahasa Melayu Purba. Jika demikian, dapat diduga bahwa keberadaan Belambangan mungkin telah dikenal sejak jaman prasejarah, sejaman dengan keberadaan situs purba Gua Istana dan Gua Padepokan yang berada dalam hutan lindung Alas Purwo. Di dalam hutan lindung Alas Purwo , sebelah selatan Banyuwangi, juga diperkirakan sebagai pusat kerajaan Belambangan pada masa pemerintahan raja Bhre Wirabhumi.

Dalam Pararaton disebutkan bahwa Bhre Wirabhumi adalah putra raja Hayam Wuruk dari selir yang diberi wewenang untuk memerintah Kedaton Timur atau wilayah Belambangan. Namun setelah Hayam Wuruk wafat, Bhre Wirabhumi melancarkan pemberontakan terhadap Majapahit karena dirajakannya Wikramawardhana yang merupakan suami dari Kusuma-wardhani, putri Hayam Wuruk dari permaisuri. Dalam Pararaton pemberontakan yang dilakukan oleh Bhre Wirabhumi itu dikenal sebagai perang Paregreg. Pada awal pertempuran, Majapahit banyak menderita kekalahan, namun setelah mendapat bantuan dari Bhre Tumapel, Belambangan dapat ditundukan dan Bhre Wirabhumi sendiri gugur. Gugurnya Bhre Wirabhumi dengan kepala yang dipenggal oleh Raden Gajah atau Bhra Narapati, kemudian dikisahkan kembali oleh pujangga keraton Mataram dalam serat Damarwulan yang sering dilakonkan dalam wayang krucil. Fiksionalisasi tokoh sejarah Bhre Wirabhumi sebagai tokoh antagonis Menak Jinggo yang berperilaku dan bertampang buruk, merupakan upaya Mataram untuk mendiskriditkan Belambangan secara kultural dan politik, setelah Mataram gagal menguasai kerajaan yang berpusat di ujung timur pulau Jawa itu secara penuh. Cerita Damarwulan sendiri menjadi populer di Banyuwangi setelah menjadi lakon wajib dalam sebuah teater rakyat Banyuwangi yang diadaptasi dari drama Arja yang berasal dari Bali. Bahkan karena sangat populernya tokoh Menak Jinggo dalam cerita Damarwulan, tokoh antagonis tersebut sering dianggap tokoh sejarah dan diyakini sebagai leluhur orang-orang Banyuwangi.

Kenyataannya, sejarah Belambangan sebelum masuknya VOC merupakan sejarah yang berkabut. Para sejarawan tidak dapat menunjukan batas-batas wilayah Belambangan ataupun pusat kerajaannya secara absolut. Karena miskinnya data fisik yang ditinggalkan Belambangan pada masa pra-VOC, akhirnya sejumlah Babad sering menjadi rujukan primer untuk menggali sejarahnya. Namun, berbagai data yang ada dalam babad yang satu dengan babad yang lainnya tak jarang mengandung pertentangan yang tak terjembatani. Jadilah Belambangan menjadi wilayah imajiner yang lebih dikenal dalam dunia panggung teater rakyat.

I Made Sudjana dalam buku Negari Tawon Madu mengatakan bahwa Belambangan tidak pernah mengalami jaman kertayuga yang sesungguhnya dimana kehidupan seni, sastra, ekonomi mengalami masa keemasannya. Hal ini, menurut I Made Sudjana disebabkan oleh tingginya intensitas dan kuantitas konflik politik yang terjadi di Belambangan yang sering muncul dalam bentuk kekerasan fisik yang mengakibatkan seringnya pusat kerajaan Belambangan berpindah. Namun, seni yang hidup dan berkembang di Belambangan adalah seni yang tidak tumbuh dalam lingkungan keraton dan tidak dihidupi oleh keraton. Kehidupan seni di Belambangan dihidupi dan memiliki domain dalam masyarakat (baca: rakyat jelata). Dalam upacara ritual yang tua, Seblang, dapat disaksikan fragmen-fragmen yang mewakili kehidupan pesisir dan persawahan di dalam gerakan-gerakan tariannya dan teks-teks syairnya. Seperti dalam syair gending Layar-layar Kumendung berikut:
Layar-layar Kumendung

Layar-layar Kumendung
Ombak umbul ring segara
Segarane tuan agung
Temenggung nunggang kereta

Lilira-lilira kantun
Hang kantun liliro ugo
Ya sapanen dayoh rika
Mbok sungrupo milu tama

Lilira-lilira gileh
Sabuk cinde ring gurise
Kakang-kakang ngelilira

Terjemahan bebasnya:
Layar-layar Terbentang

Layar-layar terbentang
Ombak pasang di lautan
Lautan tuan agung
Tumenggung naik kereta

Bangun, bangunlah kalian yang tidur
Yang tidur cepatlah bangun
Temuilah tamumu
Kakak sungrupo(?) ikut cengkrama

Bangun, bangunlah segera
Sabukan kain di pinggang
Saudara-saudara bangunlah
Sawah kekayaan tak ternilai

Seblang merupakan sebuah upacara ritual yang merefleksikan kehidupan yang dinafasi oleh gelora ombak lautan dan desir angin persawahan. Sebagaimana seni rakyat yang lain, Seblang pertama-tama terbentuk dari interaksi material antara manusia dan alam serta hubungan antara manusia dengan manusia lainnya dalam sebuah aktifitas produksi. Dan di atas landasan hubungan material tersebut kemudian terbentuk bangunan estetis dan spiritual yang mempunyai makna komunal.

John Scholte dalam Gandroeng van Banjoewangi menggambarkan ekspresi yang khas dalam Gandrung dengan membandingkannya dengan ekspresi kesenian mataraman: “Harus diperhatikan bahwa penari-penari Legong (Bali) dan Gandrung atau penari-penari rakyat bukanlah pembawa cap dari etiket kekratonan yang berciri mengekang dan menghaluskan segala ekspresi vital . . .” John Scholte menamakan gelora dan kesahajaan dalam ekspresi seni Belambangan sebagai kedinamisan estetis. Gelora laut dan kesahajaan persawahan yang menafasi seni Gandrung dan Seblang ini kemudian mengalami penafsiran ulang dan mendapatkan aktualitasnya dalam syair-syair lagu yang digubah oleh Endro Wilis. Kedinamisan estetis yang terlahir sebagai kegembiraan erotik dalam Gandrung dan keritmisan ritual dalam Seblang mengalami perwujudannya kembali dalam syair-syair Endro Wilis yang sarat dengan kegetiran modernitas. Pada akhirnya perubahan dan pencapaian tekhnologi produksi mengakibatkan juga perubahan dalam hubungan antar manusia (struktur sosial) dan relasi antara manusia dengan alam, yang diikuti pula dengan perubahan fungsi seni dalam masyarakat. Oleh karenanya pada masa kini syair-syair Seblang dan Gandrung “gagal” berhubungan dengan realitas aktual, tapi tidak demikian dengan syair-syair gubahan Endro Wilis yang lugas dan simbolik. Jika syair-syair Seblang mencerminkan suatu keselarasan antara alam dan manusia, serta manusia dan manusia sebagai hal aktual, dalam Gandrung, keselarasan merupakan suatu hal yang hilang dan menjadi romantik. Sedangkan dalam syair-syair Endro Wilis keselarasan itu tak lagi menjadi sesuatu yang romantik, namun hilangnya keselarasan itu adalah hal yang dialami bersama segala akibat yang ditimbulkannya. Pahitnya kehidupan masa kini, yang terutama menimpa rakyat jelata, tercermin dengan jelas dalam syair-syair Endro Wilis, sebagai contoh simak syair lagu berikut:

Segara

Segara ya tantangan
Segara panguripan
Segara dadi sawahe buruh nelayan
. . .

Mula sing bisa pisah
Bengi lan ya raina
Iku dudu ukuran
ngandrung laut paribasan anak nong gendongan
. . .

Alune kembang ombak
Kudang ombake ati
Hasile megawe ngetoq tenaga
Nublek nong tangane juragan

Terjemahan bebasnya:
Laut

Laut adalah tantangan
Laut adalah penghidupan
Laut jadi sawah bagi buruh nelayan
. . .

Betapa tak terpisahkan
Malam maupun siang
Itu bukan bandingan
Nggandrung laut ibarat anak dalam buaian
. . .

Ayun bunga ombak
Lipur ombaknya hati
Hasil kerja peras tenaga
Tumpah di tangan majikan

Perbenturan antara kegembiraan dan ketertindasan dalam aktivitas produksi dalam kehidupan modern tergambar secara lugas dalam syair Segara. Kegembiraan infantil ketika menceburi alam yang diibaratkan dalam syair sebagai “anak dalam buaian” merupakan manifestasi kegembiraan yang “mewarisi” syair Empiq-empiq dalam Seblang yang mengungkapkan kegembiraan anak-anak memancang baling-baling bambu. Seperti syair-syair dalam Seblang, dalam syair-syair yang digubah oleh Endro Wilis tidak ada suatu sikap yang bermusuhan dengan alam. Kesengsaraan manusia tidak disebabkan oleh alam, tapi oleh perilaku manusia. Bangunan sistem produksi modern yang berlandas pada suatu penguasaan atas alat-alat produksi dan kapital telah melahirkan kelompok besar masyarakat yang tertindas. Selain Segara, syair yang mengartikulasikan suara masyarakat yang tertindas dapat ditemukan dalam beberapa syair seperti Nelayan Jaring Kambang, Paman Tani, atau Wong Dodol Gedeg.

Namun, dalam syair-syair Endro Wilis dapat juga ditemukan suatu ekspresi kenikmatan tubuh. Suatu kenikmatan yang dirasakan tubuh salah satunya dapat berasal dari kesahajaan hidup kala menyantap makanan. Seperti lagu syair Genjer-genjer gubahan M. Arif, Pindhang Koyong atau Pelasan Sempenit gubahan Endro Wilis pun merupakan ungkapan kegembiraan hidup yang dapat ditemukan dalam hal yang sangat sederhana.
Pindhang Koyong

Selak mambu angin!
Kerapu, Cundhing lan Seranggigi iki,
Goq sampe bedhug, Maq,
Yara sing wurung manju, eman
Mulane gancangan!
Endhase, Maq, pindhagen koyong!
. . .

Tentu sangat mengherankan sekali jika lagu Genjer-genjer yang mengungkapkan sebentuk kegembiraan atas hal yang sederhana; mencari, mengumpulkan, memasak, dan menyantap sebuah jenis sayuran, dihakimi menyiarkan sebuah pandangan politik yang dianggap subversif. Tapi kenyataannya stigma politik ini telah terjadi dalam khazanah pertumbuhan lagu-lagu daerah Bayuwangi. Dalam film G.30S PKI yang pada masa Orde Baru menjadi film wajib tayang di televisi saat tanggal 1 Oktober selama bertahun-tahun,Genjer-genjer telah mengalami suatu maltafsir visual paling brutal. Trauma politik yang diciptakan oleh rezim yang paranoid itu hampir menghapus ingatan masyrakat akan lagu-lagu daerah Banyuwangi yang ada di masa awal pertumbuhannya seperti Nandur Jagung ciptaan M. Arif ataupun Segara ciptaan Endro Wilis.
Represi politik rezim Orde Baru bagaimanapun ikut memainkan peran penting dalam kerja kreatif Endro Wilis. Sebelum Endro Wilis dipenjarakan di Malang tanpa proses pengadilan, ketika ia bertugas sebagai tentara di Kalimantan Barat, ia menggubah sebuah syair yang penuh kecemasan mengenai peristiwa teror tahun 1965. Syair lagu Mbok Irat sangat bagus sekali sebagai pengingat apa sebenarnya yang terjadi pada masa-masa yang penuh penculikan itu.
Selepas tahun 1965, selama dan sebebas dari penjara, Endro Wilis banyak menggubah lagu-lagu yang lebih biografis semacam Ulan Andung-andung. Pada masa-masa itu Endro Wilis tampak mengalami suatu tahap “asketik” dimana ia banyak menggubah lagu-lagu yang bersyair mengenai kehidupan binatang atau tumbuh-tumbuhan. Dalam periode ini Endro Wilis benar-benar terserap dalam mortalitas bentuk-bentuk fisik kehidupan, kepelikan nilai baik-buruk. Endro wilis menggali sebuah pelajaran falsafi dari apa yang tengah dialaminya melalui sebuah perumpamaan-perumpamaan kehidupan binatang dan tumbuhan. Di dalam syair-syairnya kehidupan fisik bergetar oleh kefanaan yang dikandungnya sendiri. Namun kehidupan sendiri, dalam bentuk tertingginya, mengalami suatu resonansi yang menembus batas penghabisan bentuk fisiknya. Bersama spektrum kehidupan yang luas ini syair-syair Endro Wilis melepaskan diri dari bentuk biografisnya sendiri. Sebagaimana syair Dhonge Mekar yang muram, bahwa kefanaan merupakan hal yang niscaya. Bukanlah kefanaan yang mesti dihindari namun kehormatan atau harga dirilah yang harus dijaga sampai kehidupan direnggut kefanaan; Wirang gedhe kadhung sampe alum nong tengah dhalan/ Alum-alumo nong bale umah, tumeko garing malah saya arum.

Sejarah tanah Belambangan adalah sejarah yang penuh konflik, sejarah yang dipupuk oleh kekerasan fisik dari perang Paregreg, teror dan pembunuhan politik, sampai teror yang menggerak massa melakukan pembunuhan dukun santet. Namun, jika pada masa lalu konflik hanya berkisar pada raja, kaum bangsawan, dan balatentaranya, maka sejak masuknya VOC rakyat tanah Belambangan ikut terseret dan berpusar dalam berbagai konflik kekerasan fisik. Gandrung dan Seblang yang dihidupi masyarakatnya dari kehidupan pantai dan persawahan pada akhirnya terbentur juga pada konflik-konflik yang secara radikal mengubah struktur sosial masyarakat. Vitalitas kehidupan yang pada mulanya tertenung dalam asketisme estetis ritual Seblang dan erotisme Gandrung, kemudian meledak dalam bentuk pembangkangan para petani yang pergi meninggalkan sawah-sawahnya, pertempuran brutal di Bayu, atau ketaksudian penduduk Bedewang untuk tunduk. Pada masa merdeka pun masyarakat Belambangan tak luput dari konflik seperti teror dan pembunuhan pada tahun 1965 atau teror ninja. Konflik yang terjadi sejak 1965, bukan lagi konflik yang mempertentangkan antara pihak yang berkuasa dan pihak yang dikuasai belaka, namun juga telah mempertentangkan antara lapisan-lapisan masyarakat yang sejajar bahkan antara lapisan masyarakat yang tertindas.

Tak ubahnya sejarah Belambangan, riwayat kehidupan Endro Wilis sendiri merupakan suatu kisah tragis. Kekuasaan politik telah merampas semua hak yang mestinya ia dapatkan. Penggubah, budayawan, dan veteran ini mengandaikan kisah tragis masa tuanya dalam sebuah syair lagu yang tragik-komik; Man, Paman butol karung, angger liwat hun eling awak/ Saiki hun magih kuwasa, mbisok goq wis leren dadi kaya barang rombengan” (dua baris terakhir syair lagu Paman Butol Karung). Keinsyafan akan kefanaan dan daya hidup merupakan kekuatan dialektik yang menjadi api dalam syair-syair lagu gubahan Endro Wilis. Namun, lebih dari itu, khazanah syair-syair lagu yang digubah oleh Endro Wilis merupakan potret manusia yang hidup bersama seluruh hasrat dan perasaan yang dimilikinya bersama alam, kerja, kebudayaan, dan peradaban yang dilahirkannya.

Dalam usia senjanya ini Endro Wilis telah menggubah lebih dari tiga ratus lagu daerah Banyuwangi. Seperti yang tercermin dalam banyak syair lagunya, fisik yang mulai melemah tak juga memadamkan gairahnya untuk terus menggubah lagu dan terus semangat untuk menyuarakan suara orang-orang yang dipinggirkan. Memang tak ada pilihan lain, untuk menghargai hidup tak ada cara lain selain mengabdikannya dalam sebuah kerja.
**************

Catatan:
Semua syair lagu-lagu yang ditulis kembali di sini diperoleh dari Endro Wilis, kecuali lagu Segara. Menurut Endro Wilis, ia sendiri sudah tak lagi menyimpan dokumen syair lagu itu.Syair lagu Segara diperoleh dari seorang sumber yang “hafal” lagu tersebut.