Laman

Selasa, 06 November 2012

Identitas Using: Paradoks dan Operasi Ideologis



Dalam suatu kajian mengenai Using/Osing sebagai identitas etnolinguistik Bernard Arps (Osing Kids and the banners of Blambangan: Ethnolinguistic Identity and the Regional Past as Ambient Themes in an East Javanese Town, 2009) memberikan kesaksian bahwa pada tahun 1983 ketika ia mulai melakukan riset mengenai bahasa dan pertunjukan di Banyuwangi, penutur bahasa lokal lazim menyebut diri mereka dan tuturan mereka sebagai Jawa. Dua setengah dekade kemudian Using dan Banyuwangi menggantikan Jawa sebagai kategori dominan untuk menunjuk pada budaya dan bahasa lokal. Using seolah memerankan fungsi sebagai jembatan imajiner yang menghubungkan Banyuwangi hari ini dengan kerajaan Blambangan yang dianggap sebagai sumber atau inspirasi bentuk-bentuk budaya lokal ‘asli’. Sebagai identitas Using memposisikan diri secara kontras dengan budaya-budaya Nusantara lain, terutama Jawa.

Pembentukan identitas Using menurut Bern Arps disemai dan dipupuk melalui apa yang ia sebut sebagai discursive ambience. Identitas Using ditanamkan melalui ‘penciptaan’ suasana, penyebaran ambient themes yang melingkupi dan bersirkulasi antar/dalam wilayah dan diantara masyarakat. Apa yang menjadi penting dalam pembentukan identitas dengan cara seperti ini adalah media yang berperan untuk mengantarai dan mengantarkan gagasan identitas lokal sebagai identifikasi diri publik secara terus menerus. Penulisan lagu-lagu daerah dan program radio yang khusus memutar lagu-lagu daerah Banyuwangi dengan memberikan ruang berbalas pesan bagi para pendengarnya ditandai khusus oleh Bern Arp sebagai media yang efektif menciptakan suasana atau atmosfir using di ruang publik. Disamping kebijakan mengubah nama bangunan dan pendirian patung-patung juga masakan dengan tema-tema kedaerahan. Pendeknya penanaman identitas Using atau penciptaan atmosfir dengan tema-tema kedaerahan berlangsung secara simultan melalui paparan audio, visual, audiovisual, dan pengecapan.    

Penelitian Bernard Arps menghasilkan paparan deskriptif mengenai bagaimana identitas Using dibentuk dan memberikan penerangan bahwa identitas Using sesungguhnya tidak berhubungan langsung dengan kejayaan Blambangan masa lalu. Namun, Arps sepertinya mengesampingkan keberatan-keberatan sejumlah kalangan terhadap penggunaan istilah Using sebagai label atau identitas kultural masyarakat Banyuwangi. Peneliti sejarah Blambangan, Sri Margana, dalam suatu kesempatan mengatakan bahwa sebagian golongan tua masyarakat Banyuwangi menolak identitas Using, sebab menurut mereka istilah Using merendahkan orang Banyuwangi. Senada dengan apa yang katakana Sri Margana, Endro Wilis dalam artikel dengan judul yang menghardrik, Istilah ‘Using’ Adalah Racun yang Melumpuhkan Jiwa (2010), menegaskan label Using yang dilekatkan pada masyarakat Banyuwangi merupakan bagian dari upaya penjajah Belanda untuk melumpuhkan semangat perlawanan masyarakat dengan menanamkan perasaan minder, atau rendah diri. Sangat pasti mereka yang merasa keberatan dengan penggunaan istilah Using sebagai identitas kedaerahan adalah kelompok yang ‘terbungkam’, kelompok yang tidak leluasa mengakses media atau suara-suara mereka tenggelam oleh gemuruh ‘kampanye Usingisasi’ yang mendominasi.


Paradoks Using sebagai Identitas Lokal     

Menurut Amartya Sen (2007) identitas bukan saja bisa menjadi sumber lahirnya kebanggaan dan kebahagiaan, tapi juga sumber tumbuhnya kekuatan dan kepercayaan diri. Dengan mengikuti Robert Putnam, Amartya Sen juga menulis bahwa rasa akan identitas bisa memberi sumbangan berarti bagi kekuatan dan kehangatan hubungan kita dengan pihak lain, seperti tetangga, anggota suatu komunitas yang sama. Kesamaan identitas sosial dalam suatu komunitas sosial dapat membuat kehidupan di komunitas tersebut berjalan jauh lebih baik. Rasa keterikatan terhadap komunitas itu kemudian dipandang sebagai suatu sumber daya-laiknya modal (sosial).

Kebanggaan terhadap identitas Using dibangun melalui nilai-nilai heroik yang digali dari episode-episode sejarah perlawanan masa lalu. Melalui beberapa syair lagu-lagu daerah Using dihubungkan langsung dengan kejayaan Blambangan dan perlawanan-perlawanan menentang dominasi asing atau penjajahan. Lagu Isun Lare Using misalnya, lare atau masyarakat Using dilukiskan pantang menyerah dan tak terhancurkan, meski harus menanggung sekian peperangan berdarah-darah dan penindasan yang melumpuhkan namun masih tetap melawan dan merebut kemerdekaan. Agak berbeda dengan Isun Lare Using, Umbul-umbul Blambangan meneguhkan kebanggaan identitas Using tidak secara langsung namun melalui anasir simboliknya yang dilambangkan dengan legenda Minak Jinggo yang menentang dominasi Kedaton Barat.

Peneguhan kebanggaan akan identitas Using melalui anasir simbolik juga terbaca dari perubahan sejumlah nama jalan dari nama-nama ‘asing’ menjadi nama-nama lokal. Begitu juga dengan pendirian patung-patung yang memonumenkan sejumlah pertunjukan kesenian daerah atau bintang-binatang mistis lokal. Sementara itu, salah satu lagu yang syairnya meletakan identitas Using sebagai modal sosial adalah Kali Elo (sungai yang mengalir membelah kota Banyuwangi) yang mengibaratkan masyarakat Using sebagai aliran sungai yang terus mengalir tak terbendung batu padas. Kita juga bisa membaca identitas Using sebagai modal sosial pada sejumlah spanduk ajakan atau himbauan untuk menjaga kebersihan misalnya, yang ditulis dalam bahasa Using.

Namun tak seperti dicitrakan, setidaknya, selama dua dasawarsa. Tidak ada sumber kuno, semasa dengan kerajaan Blambangan, yang menyebut masyarakat Blambangan (Banyuwangi saat ini) sebagai masyarakat Using. Tidak diketahui dengan pasti kapan sesungguhnya dan dalam konteks apa istilah Using yang dikaitkan dengan masyarakat Banyuwangi pertamakali digunakan. Para ahli hanya berspekulasi baru pada abad 20 istilah Using digunakan untuk menyebut masyarakat. Walaupun sejumlah literatur  lama telah dibuka dan dikaji, selama bertahun-tahun istilah Using ada tanpa penjelasan yang memadai untuk menjawab pertanyaan kenapa masyarakat Banyuwangi disebut wong Using, sampai Sri Margana dalam makalah untuk Konferensi Nasional Sejarah IX (2011) menyingkapkan kabut penyebutan Using  yang ditujukan pada orang Banyuwangi. Mengutip laporan anthropolog Belanda tahun 1930-an yang menyebut dirinyanya ‘insider’ dan dilengkapi dengan data-data historis, Sri Margana berkesimpulan istilah Using digunakan oleh orang Bali untuk merendahkan orang Blambangan[1]. Bahwa istilah Using tersebut sama artinya dengan out of caste, tidak termasuk dalam kasta yang paling rendah sekalipun dalam struktur sosial masyarakat Bali, alias bukan manusia.
Dengan demikian, Using sebagai identitas lokal memiliki dua lapis sedimen yang saling bertolak belakang. Lapisan permukaannya merupakan hasil konstruksi kultural kontemporer dimana hubungan dengan masa lalu, Blambangan, terselenggara secara ilusif dengan tujuan untuk membangkitkan kabanggaan lokal. Sementara lapisan yang ada di bawah permukaan mengonfirmasi hal sebaliknya, yakni Using merupakan istilah yang merendahkan.


Usingisasi sebagai Operasi Ideologis

Pertanyaan berikutnya yang diajukan berkenaan dengan identitas Using adalah mengapa masyarakat Banyuwangi menerima menjadi wong Using? Atau mengapa masyarakat Banyuwangi menerima konstruksi ilusif yang mendasari nilai kebanggaan diri sebagai wong Using yang dibangun di atas stigmatisasi perendahan diri? Mungkin jawaban mudah untuk menanggapi pertanyaan tersebut adalah, mengikuti Margana[2],  karena ‘sebagian besar masyarakat Banyuwangi kontemporer tidak memahami konteks historis dan anthropologis istilah ini (Using, pen.). . .’  Walaupun jawaban tersebut kita anggap benar persoalan ini tidak berhenti sampai di sini. Kita akan maju dengan mengajukan pertanyaan berikutnya yakni, bagaimana dan apa yang menghalangi atau memblok ingatan kolektif satu generasi sebelumnya untuk diwariskan ke generasi berikutnya?  Pertanyaan ini diajukan karena kendati mungkin tanpa landasan konteks historis dan anthropologis, seperti juga diakui Margana, sebagian orang-orang tua Banyuwangi menolak untuk disebut wong Using karena dianggap merendahkan.

Tidaklah mungkin identitas Using yang berbasis pada konstruksi sejarah yang bersifat ilusif itu ada begitu saja, bersifat spontan. Walaupun kemudian identitas Using direproduksi secara otomatis melalui modus life style, gaya hidup, pada mulanya identitas Using memerlukan kekuasaan untuk mengarahkan orang-orang kepadanya. Menurut Louis Althusser (2007) ada dua cara kekuasaan untuk menguasai atau menundukkan (subyeksi), baik individu maupun komunitas sosial, guna melanggengkan reproduksi relasi-relasi produksi, yakni melalui aparat-aparat represif dan aparat-aparat ideologis. Aparat-aparat represif atau aparatus represif menjalankan fungsinya dengan kekerasan, sedangkan aparatus ideologis menjalankan fungsinya dengan ideologi.Walaupun keduanya tak boleh dirancukan, namun tidak ada aparatus represif yang senuhnya bersifat represif tanpa fungsi sekunder ideologis. Begitu juga dengan aparatus ideologis tidak sepenuhnya bersifat ideologis tanpa fungsi sekunder represif.

Aparatus represif yang hadir sebagai totalitas terorganisir yang memusatkan bagian-bagiannya dalam suatu kesatuan tugas berperan melestarikan secara paksa kondisi-kondisi politik yang dibutuhkan bagi reproduksi relasi-relasi produksi dan juga menyiapkan kondisi-kondisi politik bagi operasi aparatus ideologis. Aparatus ideologis hadir dan beroperasi secara diam-diam dan menyebar dalam beragam lembaga-lembaga ‘privat’ semisal keluarga, budaya, pendidikan, dan agama. Operasi ideologis membentuk dan menanamkan persepsi ilusif mengenai suatu dunia pada diri individu atau komunitas sosial melalui gambaran imjiner yang didalamnya relasi antar subyek dibentuk dan dialami sebagai eksistensi nyata yang dianggap bersifat alamiah. Modus operasi ideologis ini bisa bersifat koersif berupa tindakan-tindakan pendisiplinan yang termanifestasi, semisal, dalam tata cara ritual maupun metode-metode penghukuman. Bisa juga melalui modus interplasi atau pemanggilan dimana ideologi merekrut subyek-subyek sebagai suatu kategori-kategori yang ditentukan secara ideologis.                

Dengan demikian, bagi Althusser, baik aparatus ideologis maupun aparatus represif merupakan instrumen penting bagi suatu kekuasaan borjuis (negara) untuk melestarikan dirinya sendiri melalui reproduksi relasi-relasi produksi, yang pada prinsipnya merupakan hubungan-hubungan penghisapan. Sebagai pengikut Marx, Althusser menerapkan dan mengembangkan lebih jauh dalil hubungan hirarkis antara suprastruktur dan struktur dimana semua tatanan masyarakat sosial berdiri di atas landasan atau struktur dasar yang bersifat material, di atas hubungan-hubungan sosial yang terbentuk melalui relasi-relasi produksi. 

Seperti telah dinyatakan sebelumnya, Usingisasi atau pembentukan identitas Using tidaklah terjadi secara spontan atau alamiah tanpa campur tangan kekuasaan. Usingisasi merupakan operasi ideologis untuk menghasilkan identitas Using. Kapan identitas Using mulai ditanamkan? Saya menduga pada masa yang disebut oleh Bernard Arps sebagai kebangkitan genre musik Banyuwangi tanpa Genjer-genjer dan dalam konteks politik yang berbeda secara radikal. Yakni  tahun 1970-an ketika Bupati pertama era Orde Baru berkuasa. Istilah Using pada masa itu tentu saja tidak serta merta muncul menguat. Namun kualitas-kualitas keusingan yang kelak akan menjadi penanda identitas Using mulai diletakkan. Modus operasi ideologis yang terutama dilakukan pada saat itu adalah pelarangan dan penyensoran.

Jatuhnya Orde Lama, dengan demikian berkuasanya Orde Baru, diikuti dengan dilikuidasinya faham seni realisme sosialis. Terjadi depolitisasi seni secara masif, baik menggiring seni ke wilayah otonomnya sendiri maupun memperlakukan seni sebagai hiburan belaka dan komoditas. Disamping itu produk seni diarahkan sebagai instrumen penanaman nilai-nilai Orde Baru yang bersumber pada pembangunanisme dan stabilisasi keamanan.
Dalam konteks Banyuwangi, pemberangusan haluan seni realisme sosialis dilakukan melalui tindakan-tindakan pelarangan menyanyikan dan mendengarkan lagu-lagu yang dikarang oleh para seniman-seniman Lekra atau yang dianggap komunis. Lagu-lagu seperti Genjer-Genjer, Nandur Jagung yang dikarang oleh Mohamad Arief maupun Podo Nginang, Nelayan karangan Endro Wilis dengan begitu saja lenyap. Pemberangusan ini lantas diikuti dengan tindakan kontrol melalui penyensoran. Kasus nyata tindakan kontrol ini adalah peniadaan nama Endro Wilis pada lagu-lagu karangannya yang dipublikasikan pada masa itu (karena Endro Wilis dianggap komunis) dan perubahan judul lagu Selendang Abang menjadi Selendang Sutro (Abang/Merah berkonotasi komunis).

Depolitisasi produksi lagu-lagu Banyuwangi dimulai setelah Banyuwangi melewati masa ‘tanpa lagu’ selama sekira lima tahunan. Tindakan depolitisasi ini dilakukan dengan menggali nilai-nilai patriotik dalam sejarah Banyuwangi silam (Blambangan) yang direpresentasikan baik melalui tokoh-tokoh maupun episode-episode perlawanan. Patriotisme pada masa awal Orde Baru ini berbeda dengan romantisme heroik pada produk-produk lagu periode sebelumnya. Patriotisme ala Orde Baru diciptakan untuk mengobarkan semangat rela berkorban atau cinta tanah air. Apa yang dimaksud tanah air adalah pemerintah. Sebagaimana semangat rela berkorban juga ditujukan pada pemerintah. Sedangkan yang dilucuti dalam heroisme romantik oleh patriotisme ala Orde Baru adalah keberpihakan pada yang tertindas dan pembongkaran praktik penghisapan.
Depolitisasi berikutnya adalah menggiring lagu-lagu Banyuwangi belaka sebagai barang komoditi dan hiburan. Varian depolitisasi jenis ini mendapatkan momentumnya pada tahun 80-an ketika industri rekaman lagu-lagu Banyuwangi mulai marak. Produksi lagu-lagu Banyuwangi pada tahun ini, secara populer disebut kendang kempul, yang berlandas pada permintaan pasar atau berpretensi melayani pasar mulai beranjak meninggalkan irama dan instrumen angklung dan mengadopsi irama dangdut. Tema dalam syair-syairnya didominasi hubungan cinta remaja, sebagaimana dalam syair-syair dangdut, tersusun dengan kalimat-kalimat yang jelas dan bersifat menggoda bahkan sampai seronok. Pada masa ini, identitas Using mulai terbentuk secara berangsur-angsur bersamaan dengan tumbuhnya life style Lare Osing.

Identitas Using menyebar secara luas dan masif pada saat gerakan reformasi 98 yang berhasil menumbangkan Orde baru membuahkan desentralisasi kekuasaan politik. Sistem otonomi daerah yang diberlakukan pasca Orde Baru membuka praktik politik identitas yang pada dasarnya adalah kulturalisasi politik yang membasis pada eksploitasi dan manipulasi nilai-nilai etnisitas demi tujuan-tujuan politik, terutama elektoral. Disamping penggalian kembali sejarah masa lalu Banyuwangi (Blambangan) guna menumbuhkan sensasi nilai ‘asli’, operasi ideologis menegakkan identitas Using (Usingisasi) berlangsung secara sistematis melalui pengajaran Bahasa Using di sekolah-sekolah, penerbitan kamus Bahasa Using, hingga modus interplasi atau pemanggilan dalam ruang-ruang publik yang dilakukan melalui spanduk-spanduk himbauan berbahasa Using.

Penanaman identitas Using dalam masyarakat Banyuwangi berlangsung secara bertahap yang dimulai dengan pelarangan dan penyensoran, depolitisasi, interplasi atau pemanggilan. Pelarangan dan penyensoran dilaksanakan oleh agen represif dan agen ideologis negara, depolitisasi dilaksanakan oleh pasar (agen ideologis), pemanggilan dilaksanakan oleh negara (pemerintah) dan pasar. Namun demikian, tahap-tahap penanaman ini sesungguhnya tidak dapat dibayangkan terpisah-pisah secara tegas, sebab dalam pelarangan dan penyensoran juga terkandung depolitisasi dan pemanggilan sebagai modus sekunder. Begitu juga dengan dua tahap berikutnya.                     

Terjawab sudah pertanyaan mendasar yang diajukan pada paragraf awal bagian ini;  Bagaimana dan apa yang menghalangi atau memblok ingatan kolektif  (mengenai nilai istilah Using) satu generasi sebelumnya untuk diwariskan ke generasi berikutnya? Penghalangnya adalah tumbuhnya persepsi baru mengenai nilai istilah Using dalam masyarakat sosial melalui operasi ideologis yang diselenggarakan secara berangsur-angsur dan melalui beberapa tahap.






Bacaan:
-          Amartya Sen, “Kekerasan dan Ilusi Tentang Identitas” (terjemahan) , Serpong: Marjin Kiri, 2011
-          Bernard Arps, “Osing Kids and the Banners of Blambangan: Ethnolinguistic Identity and the Regional Past as Ambient Themes in an East Javanese Town”, dalam Wacana, Vol. 11 No.1 (April 2009).
-          Endro Wilis, “Istilah “Using” adalah Racun yang Melumpuhkan Jiwa, dalam Lembaran Kebudayaan No. 10, Maret 2010
-          Louis Althusser, “Filsafat sebagai Senjata Revolusi” (terjemahan), Yogyakarta: Resist Book, Februari 2007
-          Sri Margana, “Melukis Tiga Roh: Stigmatisasi dan Kebangkitan Historiografi Lokal di Banyuwangi”, makalah Konferensi Nasional Sejarah IX, Jakarta, 5 – 7 Juli 2011            
                          



[1] Berikut adalah nukilan kutipan Sri Margana dari anthropolog Belanda yang disebut ‘insider’ yang termuat dalam makalah untuk Konferensi Nasional Sejarah IX (2011) dengan judul Melukis Tiga Roh: Stigmatisasi dan Kebangkitan Historigrafi Lokal di Banyuwangi: ‘Nama “oesing” yang biasa digunakan untuk menyebut orang Blambangan di ujung timur (Jawa) dan yang diambil dari istilah Bali “sing” atau “bukan”, dipandang kurang atau lebih ejekan. “Wong Oesing” berarti “bukan manusia”, dan bagi kesadaran diri seseorang ini tentu saja “di bawah segala sesuatu’.
[2] Sri Margana, Melukis Tiga Roh: Stigmatisasi dan Kebangkitan Historiografi Lokal di Banyuwangi, makalah untuk Konferensi Nasional Sejarah IX (2011)

Rabu, 04 Juli 2012

Belambangan & Syair-syair lagu Endro Wilis

Tanah-hun Belambangan sugih alas lan gunung jejer-jejer
Sawahe gumelar jembar mrana-mrene disigar kali
Pesisire ngubengi latar wetan kaya kalung rante ngalungi perawan ayu
(Tanahku Belambangan melimpah hutan dan gunung berjejajar
Sawah menghampar luas diiris sungai sana-sani
Pantai melingkup latar timur laksana kalung rantai melingkar leher gadis ayu)
(petikan dari Tanah-hun Belambangan, Endro Wilis

Nama Belambangan dapat ditemukan dalam kitab Negarakretagama yang ditulis pada tahun 1927 Saka atau 1365 Masehi dalam kata Balungbung yang berarti wilayah lumbung padi. Bahkan menurut Dr. J.W. de Stoppelaar dalam Hukum Adat Belambangan (terjemahan Pitoyo Budhy Setiawan), nama Belambangan telah dikenal sejak 900 Masehi. Hal ini juga dinyatakan oleh Poerbatjaraka dalam Dagteening van het Und-javaansche Ramayana. Lebih tua dari pernyataan Poerbatjaraka, Drs. Abdul Choliq Nawawi dalam makalah seminar Sejarah Belambangan di Banyuwangi yang berjudul Belambangan di Banyuwangi sekitar Abad XV – XVIII, mengemukakan bahwa nama Barambanan dalam Babad Buleleng, secara ethimologis mungkin dapat berubah menjadi Belambangan. Dan berdasar kajian ethnolinguistik, kata Belambangan berasal dari bahasa Austronesia purba yang kemudian diwariskan secara linear dalam bahasa Melayu Purba. Jika demikian, dapat diduga bahwa keberadaan Belambangan mungkin telah dikenal sejak jaman prasejarah, sejaman dengan keberadaan situs purba Gua Istana dan Gua Padepokan yang berada dalam hutan lindung Alas Purwo. Di dalam hutan lindung Alas Purwo , sebelah selatan Banyuwangi, juga diperkirakan sebagai pusat kerajaan Belambangan pada masa pemerintahan raja Bhre Wirabhumi.

Dalam Pararaton disebutkan bahwa Bhre Wirabhumi adalah putra raja Hayam Wuruk dari selir yang diberi wewenang untuk memerintah Kedaton Timur atau wilayah Belambangan. Namun setelah Hayam Wuruk wafat, Bhre Wirabhumi melancarkan pemberontakan terhadap Majapahit karena dirajakannya Wikramawardhana yang merupakan suami dari Kusuma-wardhani, putri Hayam Wuruk dari permaisuri. Dalam Pararaton pemberontakan yang dilakukan oleh Bhre Wirabhumi itu dikenal sebagai perang Paregreg. Pada awal pertempuran, Majapahit banyak menderita kekalahan, namun setelah mendapat bantuan dari Bhre Tumapel, Belambangan dapat ditundukan dan Bhre Wirabhumi sendiri gugur. Gugurnya Bhre Wirabhumi dengan kepala yang dipenggal oleh Raden Gajah atau Bhra Narapati, kemudian dikisahkan kembali oleh pujangga keraton Mataram dalam serat Damarwulan yang sering dilakonkan dalam wayang krucil. Fiksionalisasi tokoh sejarah Bhre Wirabhumi sebagai tokoh antagonis Menak Jinggo yang berperilaku dan bertampang buruk, merupakan upaya Mataram untuk mendiskriditkan Belambangan secara kultural dan politik, setelah Mataram gagal menguasai kerajaan yang berpusat di ujung timur pulau Jawa itu secara penuh. Cerita Damarwulan sendiri menjadi populer di Banyuwangi setelah menjadi lakon wajib dalam sebuah teater rakyat Banyuwangi yang diadaptasi dari drama Arja yang berasal dari Bali. Bahkan karena sangat populernya tokoh Menak Jinggo dalam cerita Damarwulan, tokoh antagonis tersebut sering dianggap tokoh sejarah dan diyakini sebagai leluhur orang-orang Banyuwangi.

Kenyataannya, sejarah Belambangan sebelum masuknya VOC merupakan sejarah yang berkabut. Para sejarawan tidak dapat menunjukan batas-batas wilayah Belambangan ataupun pusat kerajaannya secara absolut. Karena miskinnya data fisik yang ditinggalkan Belambangan pada masa pra-VOC, akhirnya sejumlah Babad sering menjadi rujukan primer untuk menggali sejarahnya. Namun, berbagai data yang ada dalam babad yang satu dengan babad yang lainnya tak jarang mengandung pertentangan yang tak terjembatani. Jadilah Belambangan menjadi wilayah imajiner yang lebih dikenal dalam dunia panggung teater rakyat.

I Made Sudjana dalam buku Negari Tawon Madu mengatakan bahwa Belambangan tidak pernah mengalami jaman kertayuga yang sesungguhnya dimana kehidupan seni, sastra, ekonomi mengalami masa keemasannya. Hal ini, menurut I Made Sudjana disebabkan oleh tingginya intensitas dan kuantitas konflik politik yang terjadi di Belambangan yang sering muncul dalam bentuk kekerasan fisik yang mengakibatkan seringnya pusat kerajaan Belambangan berpindah. Namun, seni yang hidup dan berkembang di Belambangan adalah seni yang tidak tumbuh dalam lingkungan keraton dan tidak dihidupi oleh keraton. Kehidupan seni di Belambangan dihidupi dan memiliki domain dalam masyarakat (baca: rakyat jelata). Dalam upacara ritual yang tua, Seblang, dapat disaksikan fragmen-fragmen yang mewakili kehidupan pesisir dan persawahan di dalam gerakan-gerakan tariannya dan teks-teks syairnya. Seperti dalam syair gending Layar-layar Kumendung berikut:
Layar-layar Kumendung

Layar-layar Kumendung
Ombak umbul ring segara
Segarane tuan agung
Temenggung nunggang kereta

Lilira-lilira kantun
Hang kantun liliro ugo
Ya sapanen dayoh rika
Mbok sungrupo milu tama

Lilira-lilira gileh
Sabuk cinde ring gurise
Kakang-kakang ngelilira

Terjemahan bebasnya:
Layar-layar Terbentang

Layar-layar terbentang
Ombak pasang di lautan
Lautan tuan agung
Tumenggung naik kereta

Bangun, bangunlah kalian yang tidur
Yang tidur cepatlah bangun
Temuilah tamumu
Kakak sungrupo(?) ikut cengkrama

Bangun, bangunlah segera
Sabukan kain di pinggang
Saudara-saudara bangunlah
Sawah kekayaan tak ternilai

Seblang merupakan sebuah upacara ritual yang merefleksikan kehidupan yang dinafasi oleh gelora ombak lautan dan desir angin persawahan. Sebagaimana seni rakyat yang lain, Seblang pertama-tama terbentuk dari interaksi material antara manusia dan alam serta hubungan antara manusia dengan manusia lainnya dalam sebuah aktifitas produksi. Dan di atas landasan hubungan material tersebut kemudian terbentuk bangunan estetis dan spiritual yang mempunyai makna komunal.

John Scholte dalam Gandroeng van Banjoewangi menggambarkan ekspresi yang khas dalam Gandrung dengan membandingkannya dengan ekspresi kesenian mataraman: “Harus diperhatikan bahwa penari-penari Legong (Bali) dan Gandrung atau penari-penari rakyat bukanlah pembawa cap dari etiket kekratonan yang berciri mengekang dan menghaluskan segala ekspresi vital . . .” John Scholte menamakan gelora dan kesahajaan dalam ekspresi seni Belambangan sebagai kedinamisan estetis. Gelora laut dan kesahajaan persawahan yang menafasi seni Gandrung dan Seblang ini kemudian mengalami penafsiran ulang dan mendapatkan aktualitasnya dalam syair-syair lagu yang digubah oleh Endro Wilis. Kedinamisan estetis yang terlahir sebagai kegembiraan erotik dalam Gandrung dan keritmisan ritual dalam Seblang mengalami perwujudannya kembali dalam syair-syair Endro Wilis yang sarat dengan kegetiran modernitas. Pada akhirnya perubahan dan pencapaian tekhnologi produksi mengakibatkan juga perubahan dalam hubungan antar manusia (struktur sosial) dan relasi antara manusia dengan alam, yang diikuti pula dengan perubahan fungsi seni dalam masyarakat. Oleh karenanya pada masa kini syair-syair Seblang dan Gandrung “gagal” berhubungan dengan realitas aktual, tapi tidak demikian dengan syair-syair gubahan Endro Wilis yang lugas dan simbolik. Jika syair-syair Seblang mencerminkan suatu keselarasan antara alam dan manusia, serta manusia dan manusia sebagai hal aktual, dalam Gandrung, keselarasan merupakan suatu hal yang hilang dan menjadi romantik. Sedangkan dalam syair-syair Endro Wilis keselarasan itu tak lagi menjadi sesuatu yang romantik, namun hilangnya keselarasan itu adalah hal yang dialami bersama segala akibat yang ditimbulkannya. Pahitnya kehidupan masa kini, yang terutama menimpa rakyat jelata, tercermin dengan jelas dalam syair-syair Endro Wilis, sebagai contoh simak syair lagu berikut:

Segara

Segara ya tantangan
Segara panguripan
Segara dadi sawahe buruh nelayan
. . .

Mula sing bisa pisah
Bengi lan ya raina
Iku dudu ukuran
ngandrung laut paribasan anak nong gendongan
. . .

Alune kembang ombak
Kudang ombake ati
Hasile megawe ngetoq tenaga
Nublek nong tangane juragan

Terjemahan bebasnya:
Laut

Laut adalah tantangan
Laut adalah penghidupan
Laut jadi sawah bagi buruh nelayan
. . .

Betapa tak terpisahkan
Malam maupun siang
Itu bukan bandingan
Nggandrung laut ibarat anak dalam buaian
. . .

Ayun bunga ombak
Lipur ombaknya hati
Hasil kerja peras tenaga
Tumpah di tangan majikan

Perbenturan antara kegembiraan dan ketertindasan dalam aktivitas produksi dalam kehidupan modern tergambar secara lugas dalam syair Segara. Kegembiraan infantil ketika menceburi alam yang diibaratkan dalam syair sebagai “anak dalam buaian” merupakan manifestasi kegembiraan yang “mewarisi” syair Empiq-empiq dalam Seblang yang mengungkapkan kegembiraan anak-anak memancang baling-baling bambu. Seperti syair-syair dalam Seblang, dalam syair-syair yang digubah oleh Endro Wilis tidak ada suatu sikap yang bermusuhan dengan alam. Kesengsaraan manusia tidak disebabkan oleh alam, tapi oleh perilaku manusia. Bangunan sistem produksi modern yang berlandas pada suatu penguasaan atas alat-alat produksi dan kapital telah melahirkan kelompok besar masyarakat yang tertindas. Selain Segara, syair yang mengartikulasikan suara masyarakat yang tertindas dapat ditemukan dalam beberapa syair seperti Nelayan Jaring Kambang, Paman Tani, atau Wong Dodol Gedeg.

Namun, dalam syair-syair Endro Wilis dapat juga ditemukan suatu ekspresi kenikmatan tubuh. Suatu kenikmatan yang dirasakan tubuh salah satunya dapat berasal dari kesahajaan hidup kala menyantap makanan. Seperti lagu syair Genjer-genjer gubahan M. Arif, Pindhang Koyong atau Pelasan Sempenit gubahan Endro Wilis pun merupakan ungkapan kegembiraan hidup yang dapat ditemukan dalam hal yang sangat sederhana.
Pindhang Koyong

Selak mambu angin!
Kerapu, Cundhing lan Seranggigi iki,
Goq sampe bedhug, Maq,
Yara sing wurung manju, eman
Mulane gancangan!
Endhase, Maq, pindhagen koyong!
. . .

Tentu sangat mengherankan sekali jika lagu Genjer-genjer yang mengungkapkan sebentuk kegembiraan atas hal yang sederhana; mencari, mengumpulkan, memasak, dan menyantap sebuah jenis sayuran, dihakimi menyiarkan sebuah pandangan politik yang dianggap subversif. Tapi kenyataannya stigma politik ini telah terjadi dalam khazanah pertumbuhan lagu-lagu daerah Bayuwangi. Dalam film G.30S PKI yang pada masa Orde Baru menjadi film wajib tayang di televisi saat tanggal 1 Oktober selama bertahun-tahun,Genjer-genjer telah mengalami suatu maltafsir visual paling brutal. Trauma politik yang diciptakan oleh rezim yang paranoid itu hampir menghapus ingatan masyrakat akan lagu-lagu daerah Banyuwangi yang ada di masa awal pertumbuhannya seperti Nandur Jagung ciptaan M. Arif ataupun Segara ciptaan Endro Wilis.
Represi politik rezim Orde Baru bagaimanapun ikut memainkan peran penting dalam kerja kreatif Endro Wilis. Sebelum Endro Wilis dipenjarakan di Malang tanpa proses pengadilan, ketika ia bertugas sebagai tentara di Kalimantan Barat, ia menggubah sebuah syair yang penuh kecemasan mengenai peristiwa teror tahun 1965. Syair lagu Mbok Irat sangat bagus sekali sebagai pengingat apa sebenarnya yang terjadi pada masa-masa yang penuh penculikan itu.
Selepas tahun 1965, selama dan sebebas dari penjara, Endro Wilis banyak menggubah lagu-lagu yang lebih biografis semacam Ulan Andung-andung. Pada masa-masa itu Endro Wilis tampak mengalami suatu tahap “asketik” dimana ia banyak menggubah lagu-lagu yang bersyair mengenai kehidupan binatang atau tumbuh-tumbuhan. Dalam periode ini Endro Wilis benar-benar terserap dalam mortalitas bentuk-bentuk fisik kehidupan, kepelikan nilai baik-buruk. Endro wilis menggali sebuah pelajaran falsafi dari apa yang tengah dialaminya melalui sebuah perumpamaan-perumpamaan kehidupan binatang dan tumbuhan. Di dalam syair-syairnya kehidupan fisik bergetar oleh kefanaan yang dikandungnya sendiri. Namun kehidupan sendiri, dalam bentuk tertingginya, mengalami suatu resonansi yang menembus batas penghabisan bentuk fisiknya. Bersama spektrum kehidupan yang luas ini syair-syair Endro Wilis melepaskan diri dari bentuk biografisnya sendiri. Sebagaimana syair Dhonge Mekar yang muram, bahwa kefanaan merupakan hal yang niscaya. Bukanlah kefanaan yang mesti dihindari namun kehormatan atau harga dirilah yang harus dijaga sampai kehidupan direnggut kefanaan; Wirang gedhe kadhung sampe alum nong tengah dhalan/ Alum-alumo nong bale umah, tumeko garing malah saya arum.

Sejarah tanah Belambangan adalah sejarah yang penuh konflik, sejarah yang dipupuk oleh kekerasan fisik dari perang Paregreg, teror dan pembunuhan politik, sampai teror yang menggerak massa melakukan pembunuhan dukun santet. Namun, jika pada masa lalu konflik hanya berkisar pada raja, kaum bangsawan, dan balatentaranya, maka sejak masuknya VOC rakyat tanah Belambangan ikut terseret dan berpusar dalam berbagai konflik kekerasan fisik. Gandrung dan Seblang yang dihidupi masyarakatnya dari kehidupan pantai dan persawahan pada akhirnya terbentur juga pada konflik-konflik yang secara radikal mengubah struktur sosial masyarakat. Vitalitas kehidupan yang pada mulanya tertenung dalam asketisme estetis ritual Seblang dan erotisme Gandrung, kemudian meledak dalam bentuk pembangkangan para petani yang pergi meninggalkan sawah-sawahnya, pertempuran brutal di Bayu, atau ketaksudian penduduk Bedewang untuk tunduk. Pada masa merdeka pun masyarakat Belambangan tak luput dari konflik seperti teror dan pembunuhan pada tahun 1965 atau teror ninja. Konflik yang terjadi sejak 1965, bukan lagi konflik yang mempertentangkan antara pihak yang berkuasa dan pihak yang dikuasai belaka, namun juga telah mempertentangkan antara lapisan-lapisan masyarakat yang sejajar bahkan antara lapisan masyarakat yang tertindas.

Tak ubahnya sejarah Belambangan, riwayat kehidupan Endro Wilis sendiri merupakan suatu kisah tragis. Kekuasaan politik telah merampas semua hak yang mestinya ia dapatkan. Penggubah, budayawan, dan veteran ini mengandaikan kisah tragis masa tuanya dalam sebuah syair lagu yang tragik-komik; Man, Paman butol karung, angger liwat hun eling awak/ Saiki hun magih kuwasa, mbisok goq wis leren dadi kaya barang rombengan” (dua baris terakhir syair lagu Paman Butol Karung). Keinsyafan akan kefanaan dan daya hidup merupakan kekuatan dialektik yang menjadi api dalam syair-syair lagu gubahan Endro Wilis. Namun, lebih dari itu, khazanah syair-syair lagu yang digubah oleh Endro Wilis merupakan potret manusia yang hidup bersama seluruh hasrat dan perasaan yang dimilikinya bersama alam, kerja, kebudayaan, dan peradaban yang dilahirkannya.

Dalam usia senjanya ini Endro Wilis telah menggubah lebih dari tiga ratus lagu daerah Banyuwangi. Seperti yang tercermin dalam banyak syair lagunya, fisik yang mulai melemah tak juga memadamkan gairahnya untuk terus menggubah lagu dan terus semangat untuk menyuarakan suara orang-orang yang dipinggirkan. Memang tak ada pilihan lain, untuk menghargai hidup tak ada cara lain selain mengabdikannya dalam sebuah kerja.
**************

Catatan:
Semua syair lagu-lagu yang ditulis kembali di sini diperoleh dari Endro Wilis, kecuali lagu Segara. Menurut Endro Wilis, ia sendiri sudah tak lagi menyimpan dokumen syair lagu itu.Syair lagu Segara diperoleh dari seorang sumber yang “hafal” lagu tersebut.

Senin, 23 April 2012

Apa Harus Dikata


Gunter Grass


Mengapa kita terus diam, bungkam terlalu lama,
Tentang apa yang nyata dan dilakukan
dalam permainan perang, seakhirnya kita semua
lolos sebagai catatan kaki terbaik.

Merasa berhak lakukan serangan
Ancam hancurkan rakyat Iran
Diperbudak oleh pembual besar
Dipandu untuk bertempik sorak
Sebab di wilayah mereka
Diduga, bom atom sedang dibikin

Mengapa aku tahan diriku sendiri
Menyebut negeri lain
Yang bertahun-tahun, walau secara rahasia
Telah ada tumbuh potensi nuklir di tangan
Tanpa kendali, sebab tanpa inspeksi?

Semua diam pada fakta nyata ini
Berpenjelangnya kebungkamanku tunduk
Aku menampak kesukaran, menyatakan kebohongan
Membuah bakal penghukuman
Momen pecah:
Putusan ‘anti-Yahudi’ jatuh dengan mudah

Kini di negeriku
Menanggung dari masa ke masa
Rundungan kejahatannya sendiri
Dalam dan tanpa tara
Bersalin basis komersial murni, apa lagi
Kilah cekatan menyebutnya penebusan
Maklumkan akan kirim U-boat ke Israel
Kapal selam khusus peluncur misil-misil penghancur ke wilayah
Dimana tak satupun bom atom dibuktikan
Sebab kengerian telah terang
Aku katakan apa yang harus dikata

Lantas kenapa aku masih bungkam sampai kini?
Sebab aku pikirkan asalku
Menanggung cemar tak terhapuskan lagi
Jaga negara Israel, padanya aku diikat,
Dan berharap masih diikat,
Menerima fakta ini sebagai suara kebenaran

Mengapa aku baru katakan sekarang
Saat tua dan dengan tinta terakhirku
Bahwa kekuatan nuklir Israel berbahaya
Telah merapuhkan kedamian dunia?
Karenanya ini harus dikatakan
Sebab besok mungkin terlalu telat untuk mengatakan
Pun karena kami – cukup terbebani sebagai warga Jerman –
Dapat jadi pemasok bagi kejahatan
Yang dapat diduga, betapa keterlibatan kami
Tak tertebus penyesalan biasa apapun


Dan pasti: Aku tak lagi bungkam
Aku lelah dengan kemunafikan
Barat; apalagi ini adalah harapan
Bakal bebaskan banyak kebungkaman
Mendesak pelaku berbahaya
Menanggalkan kejahatan dan
Juga menuntut kendali tanpa halang dan permanen
Bagi potensi nuklir Israel
Dan situs-situs nuklir Iran
Dikuasakan pada agen internasional
Oleh pemerintah dua negara

Hanya inilah jalannya, bagi Israel dan Pelestina sedua
Bagi semua yang hidup berdampingan bermusuhan
Di daerah yang diduduki para maniak
Dan akhirnya, bagi kita semua








Apa Harus Dikata, diterjemahkan dari terjemahan bahasa Inggris Heather Horn (www.theatlantic.com, 6/4/2012), What Must Be Said, yang juga dibandingkan dengan terjemahan  Breon Mitchell (www.guardian.co.uk,  5/4/2012) dengan judul yang sama. Was Gesagt Werden Muss, pertama kali dipublikasi dalam surat kabar Jerman Süddeutsche Zeitung pada hari Rabu, 4 April 2012 dan sontak meledakkan tanggapan beragam dari berbagai dunia. Seperti ditulis oleh Sebastian Hammelehle di Spiegel Online Internasional (4/4 2012); tak pernah ada cendekiawan Jerman pasca perang yang menyerapahi Isreal dengan lugas sebagaimana puisi Gunter Grass ini. 




Rabu, 18 April 2012

Dari Gending Seblang yang Magis sampai Dangdut Koplo



Oleh: Dwi Pranoto



Dengarlah dia menyanyikan gendingnya, “Cengkir Gading” dan menggerakan kipasnya, lalu rakyat Blambangan yang dewasa dan masih anak-anak mengalir ke suatu tempat dan di luar kesadaran mereka riwayat yang telah lampau diproyeksikan kembali, irama yang gembira dari tarian Ciwa di Chidambaram, tariannya si Gandri di Cungking, pusat dari segala-galanya, yakni dalam hati manusia.  (Gandroeng Van Banjoewangi, John Scholte, 1927)






  

































Sejak jaman Blambangan kuno hingga Banyuwangi modern masyarakat Using tak kehabisan gending-gending untuk didendangkan; dari gending-gending Gandrung yang diwarisi dari Seblang ke gending-gending Angklung Paglak yang disenandungkan di ketinggian pondok pengusir burung di persawahan lantas turun ke Angklung Caruk yang penuh tempik lantas ke piringan hitam sampai kaset dan vcd. Namun tentu saja gending-gending Banyuwangian memiliki karakteristik berbeda ditiap zamannya. Gending-gending Seblang yang berfungsi sebagai elemen ritual memiliki irama berulang yang ritmis. Syair-syairnya dibangun dari pasemon dengan kiasan berlapis-lapis serta menggambarkan kehidupan masyarakat, seringkali erotik, yang dinafasi oleh tanah persawahan. Sementara Gandrung, yang sejak masa Gandrung pria telah berfungsi sebagai hiburan atau seni tari pergaulan, menyanyikan gending-gending sembarang – kecuali di babak awal dan akhir pagelaran – oleh karena melayani permintaan gending-gending dari pemaju (pengibing). Karena tidak ada gending yang diciptakan khusus untuk pagelaran Gandrung, pada dasarnya gending-gending Gandrung tak memiliki ciri khas tertentu. Musik Angklung Banyuwangi barangkali bisa dikatakan sebagai seni musik peralihan dari gending-gending klasik Seblang yang ritmis,magis dan erotis ke lagu-lagu banyuwangian modern. 

Musik angklung Banyuwangi berawal dari angklung paglak yang dimainkan di ketinggian bangunan pondok pengusir burung saat padi di persawahan mulai menguning. Angklung paglak terdiri dari dua ancak yang masing-masing terdiri dari tiga belas potong bambu tersusun berjajar dari nada rendah ke tinggi; satu ancak pembawa gending dan satu ancak lainnya ngeleboni gending. Angklung paglak juga dimainkan di tempat terbuka, seperti halaman rumah, pada tanggal 14, 15, 16, di tiap bulan pada penanggalan lunar atau pada saat bulan purnama. Gending-gending yang dimainkan dengan angklung paglak adalah gending-gending Gandrung.

Pada perkembangan berikutnya, karena pengaruh Bali, perangkat angklung paglak mengalami penambahan instrumen yakni, slenthem, saron, peking, kendang dan gong yang semua terbuat dari besi. Angklung paglak yang mengalami penambahan sejumlah instrumen ini kemudian disebut tabuhan bali-balian. Angklung kemudian tak hanya dimainkan di atas pondok pengusir burung atau pada saat bulan purnama, tapi juga dimainkan untuk hiburan pada saat hajatan, sunatan atau perkawinan. Pada saat hajatan  biasanya ditanggap dua kelompok angklung dimana dua kelompok angklung tersebut saling beradu ketangkasan, kecermatan, dan kejelian dalam menebak lagu. Permainan saling menebak gending dalam partunjukan angklung ini disebut angklung caruk. Di masa pertunjukan angklung, terutama setelah jaman Jepang, banyak digubah gending-gending baru yang diciptakan oleh Mohamad Arief, Endro Wilis dan Mahfud. Mulailah babak baru musik “modern” Banyuwangi, pertanda paling kentaranya adalah gending-gending tak lagi diciptakan secara anonim seperti di masa Seblang tapi lagu-lagu telah dikenali siapa penciptanya. Lagu-lagu angklung tak lagi bersifat lisan namun dituliskan dengan syair dan notasi lagu; Mohamad Arief menuliskan dengan notasi ji, ro, lu, pat, mo, nem, sedang Mahfud dianggap paling mula menggunakan notasi pentatonis.


Mohamad Arief & Endro Wilis Sang Perintis
Telah sejak masa penjajahan Belanda M. Arief memiliki perangkat angklung dan sekaligus menjadi pemimpin kelompok angklung. Pada masa itu kelompok angklungnya selain main di panggung-panggung hajatan juga sering diundang main di serambi depan gedung bioskop. Kelompok angklung M. Arief menjadi penanda jika bioskop sedang memutar film Jawa (istilah untuk film yang menceritakan kisah Indonesia dan diperankan oleh orang Indonesia di masa itu). Namun, bersama dengan kedatangan balatentara Jepang di tahun 1942 yang bersama itu pula Jepang menguasai dan mengendalikan sarana-sarana umum maka kelompok angklung M. Arief mulai sepi undangan. Akan tetapi, di masa sepi tanggapan itulah M. Arief mempunyai lebih banyak waktu luang untuk sendiri dan mengarang lagu-lagu.

Lagu-lagu yang dikarang oleh M. Arief untuk dimainkan kelompok angklungnya berbeda dengan gending-gending Gandrung dan Seblang. Walaupun pada bentuk dasarnya syair-syair lagu karangan M. Arief masih mempunyai pertalian dengan gending-gending Gandrung dan Seblang, yakni berbentuk pengulangan seperti wangsalan (istilah Banyuwangi untuk pantun), namun syair lagu-lagu M. Arief telah meninggalkan gaya pasemon dengan kiasan yang berlapis-lapis. Syair lagu-lagu karangan M. Arief lebih sering lugas, jenaka dan kadangkala ironis dengan irama lagu yang girang seperti irama gending-gending dolanan. Gaya khas M. Arief ini bisa disimak dalam lagu-lagu karangannya seperti Genjer-genjer, Don-adone Sumping, Sekolah, atau Lurkung. Tema syair lagu-lagu M. Arief mengungkap kehidupan masyarakat jelata, kesulitan dan kepahitan hidup yang dialami akibat relasi produksi yang timpang atau praktik penghisapan penguasa tanpa jatuh pada keputusasaan. Seringkali kritik dilancarkan dengan cara jenaka, seperti pengungkapan kesulitan pangan di jaman pendudukan Jepang dalam lagu Lurkung yang tajam kritiknya bisa disebandingkan dengan kidungan Cak Durasim walaupun disampaikan dengan jenaka. Simaklah dua baris syair lagu Lurkung berikut:
 Kung golet lurkung / Kung cari lurkung
Jaman Jepang boyok melengkung / Jaman Jepang punggung melengkung

Sebagaimana M. Arief, lagu-lagu Endro Wilis juga mengungkapkan kepahitan hidup rakyat jelata akibat ketakadilan dalam relasi produksi. Namun kritik dalam syair lagu-lagu Endro Wilis dilancarkan dengan lebih tandas dan meradang, seringkali diekspresikan dengan irama mars yang menggebu seperti dalam lagu Podho Nginang dan Nelayan. Namun sesudah tahun 1965, setelah peristiwa politik yang merenggut banyak hal dari kehidupan pribadi dan sosialnya, syair lagu-lagu Endro Wilis menjadi lebih biografis-kontemplatif, sarat dengan pertimbangan-pertimbangan filosofis dalam bahasa kias yang agak pekat seperti dalam lagu Dhonge Mekar dan Jaran Ucul. Namun, jika M. Arief tak punya kesempatan untuk mengungkapakan kesaksiannya dalam lagu mengenai kemelut politik ’65 karena ia sendiri menjadi salah satu korban hilang. Endro Wilis yang pada saat kemelut ’65 berada di Kalimantan dalam tugas ketentaraan saat konfrontasi Indonesia-Malaysia sempat menumpahkan kegirisannya dari kejauhan dalam lagu Mbok Irat . Situasi teror yang dipenuhi dengan peristiwa penculikan dan pembunuhan itu ia ungkapkan dengan dua kata: dinone gemigil (hari yang menggigil).


Setelah Kemelut ’65
Banyuwangi mengalami masa “sunyi” pada tahun 1966 sampai 1970-an. Seniman-seniman dan kelompok-kelompok kesenian yang pada masa jaya “ideologi” banyak bergabung dalam lembaga-lembaga kebudayaan milik  partai politik, terutama Lekra, menanggung dampak berat dari kemelut politik ’65 yang bahkan banyak diantara mereka yang tak memahaminya. Anggota masyarakatpun mengunci mulutnya, menahan dorongan gairah bernyanyi dalam tubuh yang diwarisi dari kakek buyut semenjak masa Blambangan kuno.

Baru pada tahun 1980-an muncul pencipta lagu-lagu seperti Hawadin, Sutrisno dan Andi Suroso dari Banyuwangi Selatan, Genteng. Namun tema-tema lagu-lagunya telah bergeser jauh dari angkatan pengarang lagu sebelumnya. Dengan irama yang lebih dekat dengan musik pop-dangdut dan pop-mandarin, para pencipta lagu dari Genteng lebih banyak menyuguhkan tema-tema asmara antara pria dan wanita, terutama remaja. Pada masa inilah dikenal istilah kendang kempul. Jenis kendang kempul sarat dengan syair yang cenderung hendak memikat khalayak dengan bahasa yang gampang dan bahkan terkadang vulgar ini menandai suatu kemunculan industri rekaman lokal pada masa itu. Salah satu lagu populer pada tahun 80-an adalah Rehana. Lagu-lagu yang diciptakan pada tahun 80-an ini juga seringkali menjadi corong kampanye pembangunan pemerintah.  

Tema-tema asmara remaja yang mendominasi lagu-lagu ciptaan para pengarang lagu dari Genteng ini berlanjut dalam lagu-lagu ciptaan Catur Arum, Yons D.D dan Adistya Mayasari yang merupakan angkatan penggubah lagu banyuwangian masa kini, angkatan 2000. Namun, irama lagu-lagu masa kini lebih menyerap pengaruh irama yang beragam; dari langgam Jawa, bossas, blues sampai dangdut koplo. Hal yang patut dicatat pada angkatan terbaru ini adalah tumbuhnya “kesadaran” akan nilai komoditas dalam lagu-lagu yang mereka ciptakan. Oleh karenanya mereka lebih rapi dalam urusan manajerial dari angkatan pendahulunya. Bahkan diantara para pencipta lagu, seperti Adistya Mayasari, memilih memproduseri sendiri produksi rekaman lagu-lagu ciptaannya. Angkatan terbaru ini juga dikenal dengan jenis musik patrol orchestra. Pelopornya grup Patrol Orkestra Banyuwangi yang digawangi oleh Catur Arum dan Yons D.D dengan lagu hitsnya Layangan dan Semebyar.  

Hari ini produksi rekaman lagu-lagu Banyuwangian dengan berbagai format rekam mengalami kemajuan kuantitatif yang luar biasa. Distribusi produksi rekaman dan popularitas lagu-lagu Banyuwangian makin luas hingga ke luar dari wilayah Banyuwangi. Bahkan  Namun persoalan sama yang tetap merundung para penggubah lagu Banyuwangian dari semua angakatan adalah sebagian besar dari karya kreatif mereka tak mendapatkan perlindungan hukum yang layak. Sebagian besar dari mereka pun sering tidak mendapatkan apa-apa dari berbagai kegiatan ekonomis yang melibatkan lagu-lagu mereka.              

* * * * *