Laman

Jumat, 18 Februari 2011

Using


dari buku Java's Last Frontier, Sri Margana, Universiteit Leiden, 2007
Sebagian masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Jawa Timur mengenal masyarakat Banyuwangi sebagai masyarakat Using. Istilah Using tersebut digunakan untuk merujuk pada kultur tradisi dan “bahasa” yang khas yang hidup dan berkembang dalam masyarakat “asli” yang mendiami wilayah Banyuwangi. Sebagian besar ahli budaya berpendapat bahwa kultur tradisi masyarakat Banyuwangi saat ini adalah warisan dari kerajaan Blambangan yang merupakan benteng terakhir kultur Hindu-Jawa di pulau Jawa setelah runtuhnya Majapahit.

Kelembon & Demokrasi


Mungkin tak ada yang menyangkal jika keberadaan Demokrasi secara tradisional ditandai dengan adanya tiga lembaga tinggi yaitu lembaga eksekutif, yudikatif dan legeslatif dan adanya mekanisme aspirasi politik warga negara yang terselenggara melalui pemilihan umum. Namun, selain empat aspek tersebut di atas seringkali kita abai pada aspek social kultural yang hampir-hampir tak memiliki wujud institusional. Oleh karenanya kita seringkali luput mencermati represi kultural negara terhadap masyarakat. Sebagian besar fokus pengembangan demokrasi yang nyaris bersifat institusional, dan oleh karenanya niscaya bersifat formal, membuat sektor informal dalam kehidupan demokrasi terabaikan. Padahal wilayah informal inilah yang mencerminkan kehidupan demokrasi dalam masyarakat yang sesungguhnya dan sehari-hari.
            Dalam kasus represi kultural yang dilakukan oleh negara, dalam hal ini pemerintah Kabupaten Banyuwangi, penggantian nama jalan, kampung atau dukuh merupakan contoh nyata bagaimana negara menghabisi daya kreatif masyarakat. Pengabaian atau pengingkaran terhadap hak masyarakat untuk menamai wilayahnya sendiri bagaimanapun bukan persoalan yang remeh. Karena pengingkaran ini berarti tidak mengakui suatu sejarah-budaya yang hidup di suatu wilayah masyarakat. Sekecil apapun wilayah itu!

M Arief dan Endro Wilis


Saat ini musik (lagu) daerah Banyuwangi mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang mungkin tak dapat dibayangkan pada tahun-tahun sebelumnya. Rekaman Lagu-lagu banyuwangian, baik berbentuk kaset atau cakram vcd, saat ini terus di (re)produksi dengan distribusi yang makin luas, tidak hanya di wilayah Kabupaten Banyuwangi. Perkembangan, pertumbuhan, dan popularitas lagu-lagu Banyuwangian ini tentu tak dapat dipisahkan dari seniman-seniman perintis lagu-lagu banyuwangian “modern”, seperti Mohammad Arief dan Endro Wilis.

Dari sekian banyak lagu-lagu yang digubah dari awal lahirnya hingga hari ini, boleh dikatakan, tak ada sebuah lagupun yang sekontroversi Genjer-Genjer. “Reputasi buruk” yang dilekatkan oleh kejadian politik 1965 bagaimanapun telah ikut mempengaruhi penilaian lagu-lagu Banyuwangian yang digubah pada masa itu dan beberapa tahun sesudahnya. Hal ini terbukti dengan sensor ketat yang diterapkan pada lagu-lagu Banyuwangian pada suatu masa tertentu. Endro Wilis (almarhum) tak hanya harus terpaksa merelakan lagu-lagunya berubah syair, bahkan ia harus “menghapus” namanya pada lagu yang digubahnya jika hendak dipublikasikan (direkam dalam format kaset).                    

Dari M. Arief Sampai Catur Arum


Mungkin tak berlebihan jika dalam Gandroeng Van Banjoewangi John Scholte menulis bahwa masyarakat Banyuwangi dianugerahi bakat musikal secara alamiah. Sejak sekisaran abad XVIII yang dimulai dari tradisi lisan gending-gending gandrung klasik seperti Podho Nonton dan Jaran Dhawuk hingga lagu-lagu ciptaan Yon D.D dan Catur Arum yang dikasetkan dan di-vcd-kan, masyarakat Banyuwangi tak berhenti memproduksi dan menikmati lagu-lagu ciptaannya sendiri. Tentu saja setiap penggubahan lagu-lagu Banyuwangian memiliki ciri dan karakteristik yang berbeda dalam tema dan warna musik pada setiap kurun masa tertentu. Hal ini tentu bisa dapahami karena bukan saja setiap jaman memiliki jiwa yang berlainan, namun cara produksi dan distribusi hasil-hasil gubahan juga ikut menentukan bagaimana sebuah lagu digubah. 

Sejarah di Sekitar Hari Jadi Banyuwangi



dari buku Java's Last Frontier, Sri Margana Universiteit Leiden, 200
Kira-kira begini;  Tiga hari setelah pertempuran yang pecah di Susukan dan Songgon menggugurkan Lieutenant Reijgers, pada tanggal 18 Desember 1771 Vaandrig Van Schaar memimpin 150 serdadu menderap ke Songgon. Saat itu hujan deras mengguyur Songgon, tiba-tiba prajurit-prajurit Jagapati berloncatan dari berbagai arah. Serangan mendadak dari para prajurit Jagapati yang lebih sedikit jumlahnya dan belaka bersenjatakan bambu runcing dan tombak itu kontan membuat serdadu Kompeni kalang kabut. Sebagian besar pasukan Kompeni gugur dalam serangan tak terduga itu. Sedikit dari mereka melarikan diri dari pertempuran dengan tak sedikit yang terluka. Dalam serangan mendadak itu salah seorang prajurit Jagapati paling berani, Bekel Udun, menyergap Van Schaar  yang sibuk melindungi senapannya agar tetap kering. Van Schaar yang tak bersenjata berusaha melarikan diri untuk menyelamatkan nyawanya. Tapi Bekel Udun memburunya dan berhasil menghujamkan tombak ke tubuh pemimpin pasukan kompeni itu. Lalu tubuh Van Schaar yang mati diseret ke markas prajurit Jagapati. Di Bayu, seorang Bugis bernama Kraeng Dono mempersiapkan suatu ritual (disebut orang-orang Eropa sebagai jamuan mengiblis). Ia merobek perut Van Schaar, memburai-burai ususnya dan mengganyangnya. Usai upacara, mayat pemimpin pasukan yang malang itu dipenggal dan kepalanya dikelilingkan menjaya-jaya.

Kamis, 17 Februari 2011

Sosialisme dalam Mukadimah Lekra dan Manifes Kebudayaan


“Perlu diingat, Manifes Kebudayaan disusun di tahun 1963 – setelah kami melihat bahwa sosialisme dapat diperjuangkan tanpa doktrin “realisme sosialis”
(Goenawan Mohamad; wawancara dengan A. Kurnia dalam http://mediacare.blogspot.com)


Sepanjang sejarah modern Indonesia, setelah Polemik Kebudayaan tahun 1930-an, perselisihan seni paling sengit adalah pertikaian antara kubu Lekra dengan, katakanlah, kubu humanisme universil  di paruh awal 1960-an. Perdebatan yang berakhir dengan brutal pada tataran politik itu melahirkan Manifes Kebudayaan yang dinyatakan oleh kelompok humanisme universil yang sering dikaitkan dengan prinsip seni l’art pour art, meski tidak demikian adanya.

Danny, Billy dan Pak Savo


Chaim Potok



Danny, Billy dan Pak Savo yang dimuat disini adalah terjemahan Bab 3 The Choosen, Chaim Potok.
Diterjemah ke Bahasa Indonesia oleh Dwi Pranoto
















Ketika sedang tidur aku dengar teriakan dan kegaduhan yang suaranya seperti salam salut, lalu aku segera bangun. Orang-orang di dalam ruangan simpang-siur dan memekik-mekik. Aku ingin tahu apa yang sedang terjadi, keributan dan teriakan terus berlangsung dan radio meraung-raung. Aku sudah akan duduk, lantas ingat kalau aku belum diijinkan duduk, kembali aku menaruh kepalaku di atas bantal, berbaring. Benderang di luar, tapi tak kulihat matahari. Aku ingin tahu segala apa yang sedang diributkan, kemudian aku lihat Nyonya Carpenter melangkah di gang dengan jengkel. Dia menyeru kepada orang-orang untuk menghentikan segala teriakan dan ingat kalau ini adalah rumah sakit, bukan Madison Square Garden. Aku melihat Billy. Ia sedang duduk tegak di atas tempat tidurnya, aku bisa bilang kalau ia berusaha mencari tahu apa yang sedang terjadi. Wajahnya terlihat kacau dan ketakutan. Aku menengok ke Pak Savo, aku tak lihat ia di ranjangnya.

Turun Malam di Pasar Tua


Suatu misteri dalam dua babak berdasar puisi I. L. Peretz

Green Fidler (Marc Chagall)


Ditafsir-drama oleh Alexis Granovsky
Terjemahan bahasa Inggris oleh Joseph Gordon.
Diterjemah ke bahasa Indonesia oleh Dwi Pranoto, dari Night in the Old Market dalam The Drama Review volume 29 Number 4, Winter 1985.


























Babak Satu: “Kehidupan”
Musik pembuka mendasar pada kesadaran Badkhn. Terbuka tirai singkap tempat tua, misterius. Kelabu-hijau – warna bermembusuk. Segedung gereja. Segedung sinagog. Arca-arca; selengan tangannya menjuntai. Senjakala. Anak-anak bermain dalam lingkaran.