dari buku Java's Last Frontier, Sri Margana Universiteit Leiden, 200 |
Kira-kira begini; Tiga hari setelah pertempuran yang pecah di Susukan dan Songgon menggugurkan Lieutenant Reijgers, pada tanggal 18 Desember 1771 Vaandrig Van Schaar memimpin 150 serdadu menderap ke Songgon. Saat itu hujan deras mengguyur Songgon, tiba-tiba prajurit-prajurit Jagapati berloncatan dari berbagai arah. Serangan mendadak dari para prajurit Jagapati yang lebih sedikit jumlahnya dan belaka bersenjatakan bambu runcing dan tombak itu kontan membuat serdadu Kompeni kalang kabut. Sebagian besar pasukan Kompeni gugur dalam serangan tak terduga itu. Sedikit dari mereka melarikan diri dari pertempuran dengan tak sedikit yang terluka. Dalam serangan mendadak itu salah seorang prajurit Jagapati paling berani, Bekel Udun, menyergap Van Schaar yang sibuk melindungi senapannya agar tetap kering. Van Schaar yang tak bersenjata berusaha melarikan diri untuk menyelamatkan nyawanya. Tapi Bekel Udun memburunya dan berhasil menghujamkan tombak ke tubuh pemimpin pasukan kompeni itu. Lalu tubuh Van Schaar yang mati diseret ke markas prajurit Jagapati. Di Bayu, seorang Bugis bernama Kraeng Dono mempersiapkan suatu ritual (disebut orang-orang Eropa sebagai jamuan mengiblis). Ia merobek perut Van Schaar, memburai-burai ususnya dan mengganyangnya. Usai upacara, mayat pemimpin pasukan yang malang itu dipenggal dan kepalanya dikelilingkan menjaya-jaya.
Tepat pada tanggal itulah, 18 Desember, ditetapkan sebagai hari jadi Banyuwangi. Tentu detil saat dan pasca pertempuran hampir dua setengah abad lalu yang kejam dan buas itu tak pernah diungkap sebagai landasan untuk menetapkan tanggal hari jadi. Setidaknya detil itu tak pernah diketahui masyarakat luas. Alasan utama untuk menetapkan tanggal 18 Desember sebagai hari jadi Banyuwangi adalah, katanya, meneladani nilai kepahlawanan orang-orang Banyuwangi dalam perang Bayu yang berlangsung selama 1771 -1773. Selain itu, perpindahan ibu kota dari Ulu Pampang ke Banyuwangi atau pendirian Kabupaten Banyuwangi dianggap merupakan akibat dari Perang Bayu. Dalam artian ini, perpindahan atau pendirian Banyuwangi merupakan salah satu strategi Kompeni untuk menjauh dari pusat-pusat lama Blambangan yang dianggap berresiko besar mengganggu jalannya pemerintahan karena menyimpan potensi besar akan timbulnya perlawanan pemberontakan.
Perang Bayu seringkali diasosiasikan sebagai pertempuran atau perlawanan orang-orang Banyuwangi untuk mengusir Kompeni Belanda dari Blambangan. Faktanya, perang yang lebih terkenal disebut Puputan Bayu (istilah “puputan” ini saya menduga berasal dari syair lagu Banyuwangi berjudul “Podo Nginang” yang dikarang Endro Wilis sebelum tahun 1965) tak hanya menghadapkan orang-orang Blambangan dengan Kompeni. Sebagaimana pemicu pertempuran yang tak tunggal, pada perang bayu saling berhadapan berbagai etnik yang ada di Indonesia selain bangsa Eropa. Secara garis besar boleh dikatakan perang Bayu memperhadapkan bangsa Eropa, Blambangan, Madura, dan Jawa-mataraman pada satu pihak dan orang-orang Blambangan, Bali, Bugis, dan China di pihak lain.
Kuat dugaan pemicu khusus perang Bayu adalah skandal perselingkuhan Rempeg dengan gundik Regent Jaksanegara bahkan disusul dengan penculikan gundik-gundik Jaksanegara dan Sutanegara ketika Rempeg menobatkan dirinya sebagai Susuhunan Jagapati yang bertahta di Bayu. Sedangkan sebab umum perang Bayu adalah tindakan pemerasan Jaksanegara terhadap kawulanya sendiri. Misalnya Jaksanegara menjual beras jatah dari Major Colmond dengan harga yang terlampau mahal kepada para buruh yang sedang membangun pelabuhan, jalan dan jembatan. Selain itu juga Jaksanegara tak membayar 100 ekor kerbau yang dikumpulkan dari masyarakat untuk dikirim ke Surabaya atas perintah Colmond yang menghargai per-ekor kerbau 1000 kepeng. Disamping memeras rakyat jelata, Jaksanegara juga berlaku curang ketika berdagang opium dengan para Lurah dan Mantri.
Tak pelak, perang Bayu merupakan pertempuran memperebutkan kekuasaan antar bangsawan atau keluarga kerajaan sebagaimana perselisihan yang terjadi pada generasi penguasa terdahulu. Keterlibatan Kompeni dalam perselisihan ini didorong oleh motif perdagangan, persaingan dagang antara maskapai dagang Belanda (VOC) dan Inggris (EIC). Bahwa masuknya Kompeni ke Blambangan sesungguhnya dipicu oleh berlabuhnya armada-armada niaga Inggris di pelabuhan Ulu Pampang (Muncar) untuk menjual opium/candu dan kain lebih murah yang dinilai Kompeni mengganggu monopoli perdagangannya. Apalagi Kompeni Belanda merasa memiliki wilayah Blambangan yang diberikan oleh Mataram melalui perjanjian Giyanti.
Bagaimanapun Perang Bayu tidak bisa dilihat sebagai sebab tunggal perpindahan ibu kota atau pendirian Kabupaten Banyuwangi. Pertimbangan paling penting untuk pembangunan Banyuwangi sebagai ibu kota adalah mengamuknya wabah penyakit di daerah-daerah Blambangan lama. Wabah tak hanya menebar maut bagi penduduk pribumi, namun pun bagi orang-orang Eropa yang tinggal di benteng-benteng. Wabah penyakit ini juga yang menyumbang secara bermakna penurunan jumlah penduduk Blambangan yang menyisa sampai lebih kurang 20%. Transisi demografi ini menyebabkan Blambangan kekurangan tenaga kerja dan harus mendatangkan orang-orang dari berbagai wilayah, khususnya dari beberapa daerah di pulau Jawa dan Madura.
Hal menarik dari peringatan hari jadi Banyuwangi ke 238 lalu, perayaannya tak lagi berpusat di Banyuwangi kota seperti tahun-tahun sebelumnya, tapi di Blimbingsari dan Songgon. Dua desa yang masuk kecamatan Rogojampi dan Singonjuruh itu merupakan lokasi penting dalam peristiwa sejarah dua pemberontakan besar yang dipimpin oleh Agung Wilis dan Wilis gadungan (Mas Pakis alias Rempeg alias Jagapati). Blimbing(sari) menyimpan kisah tamatnya pemberontakan setelah Agung Wilis ditangkap karena pengkhianatan pengikutnya sendiri, Mas Anom dan Mas Uno. Sedangkan Songgon merupakan lokasi pertempuran brutal pada masa pemberontakan Jagapati. Bagaimanapun, penetapan Blimbingsari sebagai sebagai pusat peringatan hari jadi Banyuwangi ke-238 tak lepas dari kepentingan untuk mempopulerkan lapangan terbang yang dibangun di desa tepi pantai itu.
Hal menarik lain adalah lapangan terbang tersebut kabarnya akan dinamai Sayu Wiwit. Tokoh perempuan pemberontak tersebut menempati tempat penting diantara dua tokoh pemberontak, Agung Wilis dan Jagapati. Sayu Wiwit bukan saja melancarkan perlawanan yang menakutkan terhadap Kompeni. Selain itu, perempuan pemberontak, yang dikisahkan selalu dalam kondisi kesurupan dalam tiap pertempuran, juga dikisahkan menyebabkan hilangnya kesaktian Jagapati yang berujung pada kematian dan kejatuhan Bayu. Bahwa, dalam Babad Bayu dikisahkan setelah Jagapati bersetubuh dengan Sayu Wiwit maka arwah Agung Wilis yang selalu melindungi tubuhnya langsung meninggalkannya. Persetubuhan antara Jagapati yang dilindungi arwah Agung Wilis dan Sayu Wiwit dalam hal ini dianggap incest karena Sayu Wiwit merupakan putri Agung Wilis sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar