Tanah-hun Belambangan sugih alas lan gunung jejer-jejer
Sawahe gumelar jembar mrana-mrene disigar kali
Pesisire ngubengi latar wetan kaya kalung rante ngalungi perawan ayu
(Tanahku Belambangan melimpah hutan dan gunung berjejajar
Sawah menghampar luas diiris sungai sana-sani
Pantai melingkup latar timur laksana kalung rantai melingkar leher gadis ayu)
(petikan dari Tanah-hun Belambangan, Endro Wilis
Nama
Belambangan dapat ditemukan dalam kitab Negarakretagama yang ditulis
pada tahun 1927 Saka atau 1365 Masehi dalam kata Balungbung yang berarti
wilayah lumbung padi. Bahkan menurut Dr. J.W. de Stoppelaar dalam Hukum
Adat Belambangan (terjemahan Pitoyo Budhy Setiawan), nama Belambangan
telah dikenal sejak 900 Masehi. Hal ini juga dinyatakan oleh
Poerbatjaraka dalam Dagteening van het Und-javaansche Ramayana. Lebih
tua dari pernyataan Poerbatjaraka, Drs. Abdul Choliq Nawawi dalam
makalah seminar Sejarah Belambangan di Banyuwangi yang berjudul
Belambangan di Banyuwangi sekitar Abad XV – XVIII, mengemukakan bahwa
nama Barambanan dalam Babad Buleleng, secara ethimologis mungkin dapat
berubah menjadi Belambangan. Dan berdasar kajian ethnolinguistik, kata
Belambangan berasal dari bahasa Austronesia purba yang kemudian
diwariskan secara linear dalam bahasa Melayu Purba. Jika demikian, dapat
diduga bahwa keberadaan Belambangan mungkin telah dikenal sejak jaman
prasejarah, sejaman dengan keberadaan situs purba Gua Istana dan Gua
Padepokan yang berada dalam hutan lindung Alas Purwo. Di dalam hutan
lindung Alas Purwo , sebelah selatan Banyuwangi, juga diperkirakan
sebagai pusat kerajaan Belambangan pada masa pemerintahan raja Bhre
Wirabhumi.
Dalam Pararaton disebutkan bahwa Bhre Wirabhumi adalah
putra raja Hayam Wuruk dari selir yang diberi wewenang untuk memerintah
Kedaton Timur atau wilayah Belambangan. Namun setelah Hayam Wuruk wafat,
Bhre Wirabhumi melancarkan pemberontakan terhadap Majapahit karena
dirajakannya Wikramawardhana yang merupakan suami dari Kusuma-wardhani,
putri Hayam Wuruk dari permaisuri. Dalam Pararaton pemberontakan yang
dilakukan oleh Bhre Wirabhumi itu dikenal sebagai perang Paregreg. Pada
awal pertempuran, Majapahit banyak menderita kekalahan, namun setelah
mendapat bantuan dari Bhre Tumapel, Belambangan dapat ditundukan dan
Bhre Wirabhumi sendiri gugur. Gugurnya Bhre Wirabhumi dengan kepala yang
dipenggal oleh Raden Gajah atau Bhra Narapati, kemudian dikisahkan
kembali oleh pujangga keraton Mataram dalam serat Damarwulan yang sering
dilakonkan dalam wayang krucil. Fiksionalisasi tokoh sejarah Bhre
Wirabhumi sebagai tokoh antagonis Menak Jinggo yang berperilaku dan
bertampang buruk, merupakan upaya Mataram untuk mendiskriditkan
Belambangan secara kultural dan politik, setelah Mataram gagal menguasai
kerajaan yang berpusat di ujung timur pulau Jawa itu secara penuh.
Cerita Damarwulan sendiri menjadi populer di Banyuwangi setelah menjadi
lakon wajib dalam sebuah teater rakyat Banyuwangi yang diadaptasi dari
drama Arja yang berasal dari Bali. Bahkan karena sangat populernya tokoh
Menak Jinggo dalam cerita Damarwulan, tokoh antagonis tersebut sering
dianggap tokoh sejarah dan diyakini sebagai leluhur orang-orang
Banyuwangi.
Kenyataannya, sejarah Belambangan sebelum masuknya VOC
merupakan sejarah yang berkabut. Para sejarawan tidak dapat menunjukan
batas-batas wilayah Belambangan ataupun pusat kerajaannya secara
absolut. Karena miskinnya data fisik yang ditinggalkan Belambangan pada
masa pra-VOC, akhirnya sejumlah Babad sering menjadi rujukan primer
untuk menggali sejarahnya. Namun, berbagai data yang ada dalam babad
yang satu dengan babad yang lainnya tak jarang mengandung pertentangan
yang tak terjembatani. Jadilah Belambangan menjadi wilayah imajiner yang
lebih dikenal dalam dunia panggung teater rakyat.
I Made Sudjana
dalam buku Negari Tawon Madu mengatakan bahwa Belambangan tidak pernah
mengalami jaman kertayuga yang sesungguhnya dimana kehidupan seni,
sastra, ekonomi mengalami masa keemasannya. Hal ini, menurut I Made
Sudjana disebabkan oleh tingginya intensitas dan kuantitas konflik
politik yang terjadi di Belambangan yang sering muncul dalam bentuk
kekerasan fisik yang mengakibatkan seringnya pusat kerajaan Belambangan
berpindah. Namun, seni yang hidup dan berkembang di Belambangan adalah
seni yang tidak tumbuh dalam lingkungan keraton dan tidak dihidupi oleh
keraton. Kehidupan seni di Belambangan dihidupi dan memiliki domain
dalam masyarakat (baca: rakyat jelata). Dalam upacara ritual yang tua,
Seblang, dapat disaksikan fragmen-fragmen yang mewakili kehidupan
pesisir dan persawahan di dalam gerakan-gerakan tariannya dan teks-teks
syairnya. Seperti dalam syair gending Layar-layar Kumendung berikut:
Layar-layar Kumendung
Layar-layar Kumendung
Ombak umbul ring segara
Segarane tuan agung
Temenggung nunggang kereta
Lilira-lilira kantun
Hang kantun liliro ugo
Ya sapanen dayoh rika
Mbok sungrupo milu tama
Lilira-lilira gileh
Sabuk cinde ring gurise
Kakang-kakang ngelilira
Terjemahan bebasnya:
Layar-layar Terbentang
Layar-layar terbentang
Ombak pasang di lautan
Lautan tuan agung
Tumenggung naik kereta
Bangun, bangunlah kalian yang tidur
Yang tidur cepatlah bangun
Temuilah tamumu
Kakak sungrupo(?) ikut cengkrama
Bangun, bangunlah segera
Sabukan kain di pinggang
Saudara-saudara bangunlah
Sawah kekayaan tak ternilai
Seblang
merupakan sebuah upacara ritual yang merefleksikan kehidupan yang
dinafasi oleh gelora ombak lautan dan desir angin persawahan.
Sebagaimana seni rakyat yang lain, Seblang pertama-tama terbentuk dari
interaksi material antara manusia dan alam serta hubungan antara manusia
dengan manusia lainnya dalam sebuah aktifitas produksi. Dan di atas
landasan hubungan material tersebut kemudian terbentuk bangunan estetis
dan spiritual yang mempunyai makna komunal.
John Scholte dalam
Gandroeng van Banjoewangi menggambarkan ekspresi yang khas dalam
Gandrung dengan membandingkannya dengan ekspresi kesenian mataraman:
“Harus diperhatikan bahwa penari-penari Legong (Bali) dan Gandrung atau
penari-penari rakyat bukanlah pembawa cap dari etiket kekratonan yang
berciri mengekang dan menghaluskan segala ekspresi vital . . .” John
Scholte menamakan gelora dan kesahajaan dalam ekspresi seni Belambangan
sebagai kedinamisan estetis. Gelora laut dan kesahajaan persawahan yang
menafasi seni Gandrung dan Seblang ini kemudian mengalami penafsiran
ulang dan mendapatkan aktualitasnya dalam syair-syair lagu yang digubah
oleh Endro Wilis. Kedinamisan estetis yang terlahir sebagai kegembiraan
erotik dalam Gandrung dan keritmisan ritual dalam Seblang mengalami
perwujudannya kembali dalam syair-syair Endro Wilis yang sarat dengan
kegetiran modernitas. Pada akhirnya perubahan dan pencapaian tekhnologi
produksi mengakibatkan juga perubahan dalam hubungan antar manusia
(struktur sosial) dan relasi antara manusia dengan alam, yang diikuti
pula dengan perubahan fungsi seni dalam masyarakat. Oleh karenanya pada
masa kini syair-syair Seblang dan Gandrung “gagal” berhubungan dengan
realitas aktual, tapi tidak demikian dengan syair-syair gubahan Endro
Wilis yang lugas dan simbolik. Jika syair-syair Seblang mencerminkan
suatu keselarasan antara alam dan manusia, serta manusia dan manusia
sebagai hal aktual, dalam Gandrung, keselarasan merupakan suatu hal yang
hilang dan menjadi romantik. Sedangkan dalam syair-syair Endro Wilis
keselarasan itu tak lagi menjadi sesuatu yang romantik, namun hilangnya
keselarasan itu adalah hal yang dialami bersama segala akibat yang
ditimbulkannya. Pahitnya kehidupan masa kini, yang terutama menimpa
rakyat jelata, tercermin dengan jelas dalam syair-syair Endro Wilis,
sebagai contoh simak syair lagu berikut:
Segara
Segara ya tantangan
Segara panguripan
Segara dadi sawahe buruh nelayan
. . .
Mula sing bisa pisah
Bengi lan ya raina
Iku dudu ukuran
ngandrung laut paribasan anak nong gendongan
. . .
Alune kembang ombak
Kudang ombake ati
Hasile megawe ngetoq tenaga
Nublek nong tangane juragan
Terjemahan bebasnya:
Laut
Laut adalah tantangan
Laut adalah penghidupan
Laut jadi sawah bagi buruh nelayan
. . .
Betapa tak terpisahkan
Malam maupun siang
Itu bukan bandingan
Nggandrung laut ibarat anak dalam buaian
. . .
Ayun bunga ombak
Lipur ombaknya hati
Hasil kerja peras tenaga
Tumpah di tangan majikan
Perbenturan
antara kegembiraan dan ketertindasan dalam aktivitas produksi dalam
kehidupan modern tergambar secara lugas dalam syair Segara. Kegembiraan
infantil ketika menceburi alam yang diibaratkan dalam syair sebagai
“anak dalam buaian” merupakan manifestasi kegembiraan yang “mewarisi”
syair Empiq-empiq dalam Seblang yang mengungkapkan kegembiraan anak-anak
memancang baling-baling bambu. Seperti syair-syair dalam Seblang, dalam
syair-syair yang digubah oleh Endro Wilis tidak ada suatu sikap yang
bermusuhan dengan alam. Kesengsaraan manusia tidak disebabkan oleh alam,
tapi oleh perilaku manusia. Bangunan sistem produksi modern yang
berlandas pada suatu penguasaan atas alat-alat produksi dan kapital
telah melahirkan kelompok besar masyarakat yang tertindas. Selain
Segara, syair yang mengartikulasikan suara masyarakat yang tertindas
dapat ditemukan dalam beberapa syair seperti Nelayan Jaring Kambang,
Paman Tani, atau Wong Dodol Gedeg.
Namun, dalam syair-syair Endro
Wilis dapat juga ditemukan suatu ekspresi kenikmatan tubuh. Suatu
kenikmatan yang dirasakan tubuh salah satunya dapat berasal dari
kesahajaan hidup kala menyantap makanan. Seperti lagu syair
Genjer-genjer gubahan M. Arif, Pindhang Koyong atau Pelasan Sempenit
gubahan Endro Wilis pun merupakan ungkapan kegembiraan hidup yang dapat
ditemukan dalam hal yang sangat sederhana.
Pindhang Koyong
Selak mambu angin!
Kerapu, Cundhing lan Seranggigi iki,
Goq sampe bedhug, Maq,
Yara sing wurung manju, eman
Mulane gancangan!
Endhase, Maq, pindhagen koyong!
. . .
Tentu
sangat mengherankan sekali jika lagu Genjer-genjer yang mengungkapkan
sebentuk kegembiraan atas hal yang sederhana; mencari, mengumpulkan,
memasak, dan menyantap sebuah jenis sayuran, dihakimi menyiarkan sebuah
pandangan politik yang dianggap subversif. Tapi kenyataannya stigma
politik ini telah terjadi dalam khazanah pertumbuhan lagu-lagu daerah
Bayuwangi. Dalam film G.30S PKI yang pada masa Orde Baru menjadi film
wajib tayang di televisi saat tanggal 1 Oktober selama
bertahun-tahun,Genjer-genjer telah mengalami suatu maltafsir visual
paling brutal. Trauma politik yang diciptakan oleh rezim yang paranoid
itu hampir menghapus ingatan masyrakat akan lagu-lagu daerah Banyuwangi
yang ada di masa awal pertumbuhannya seperti Nandur Jagung ciptaan M.
Arif ataupun Segara ciptaan Endro Wilis.
Represi politik rezim Orde
Baru bagaimanapun ikut memainkan peran penting dalam kerja kreatif Endro
Wilis. Sebelum Endro Wilis dipenjarakan di Malang tanpa proses
pengadilan, ketika ia bertugas sebagai tentara di Kalimantan Barat, ia
menggubah sebuah syair yang penuh kecemasan mengenai peristiwa teror
tahun 1965. Syair lagu Mbok Irat sangat bagus sekali sebagai pengingat
apa sebenarnya yang terjadi pada masa-masa yang penuh penculikan itu.
Selepas
tahun 1965, selama dan sebebas dari penjara, Endro Wilis banyak
menggubah lagu-lagu yang lebih biografis semacam Ulan Andung-andung.
Pada masa-masa itu Endro Wilis tampak mengalami suatu tahap “asketik”
dimana ia banyak menggubah lagu-lagu yang bersyair mengenai kehidupan
binatang atau tumbuh-tumbuhan. Dalam periode ini Endro Wilis benar-benar
terserap dalam mortalitas bentuk-bentuk fisik kehidupan, kepelikan
nilai baik-buruk. Endro wilis menggali sebuah pelajaran falsafi dari apa
yang tengah dialaminya melalui sebuah perumpamaan-perumpamaan kehidupan
binatang dan tumbuhan. Di dalam syair-syairnya kehidupan fisik bergetar
oleh kefanaan yang dikandungnya sendiri. Namun kehidupan sendiri, dalam
bentuk tertingginya, mengalami suatu resonansi yang menembus batas
penghabisan bentuk fisiknya. Bersama spektrum kehidupan yang luas ini
syair-syair Endro Wilis melepaskan diri dari bentuk biografisnya
sendiri. Sebagaimana syair Dhonge Mekar yang muram, bahwa kefanaan
merupakan hal yang niscaya. Bukanlah kefanaan yang mesti dihindari namun
kehormatan atau harga dirilah yang harus dijaga sampai kehidupan
direnggut kefanaan; Wirang gedhe kadhung sampe alum nong tengah dhalan/
Alum-alumo nong bale umah, tumeko garing malah saya arum.
Sejarah tanah Belambangan adalah sejarah yang penuh konflik, sejarah
yang dipupuk oleh kekerasan fisik dari perang Paregreg, teror dan
pembunuhan politik, sampai teror yang menggerak massa melakukan
pembunuhan dukun santet. Namun, jika pada masa lalu konflik hanya
berkisar pada raja, kaum bangsawan, dan balatentaranya, maka sejak
masuknya VOC rakyat tanah Belambangan ikut terseret dan berpusar dalam
berbagai konflik kekerasan fisik. Gandrung dan Seblang yang dihidupi
masyarakatnya dari kehidupan pantai dan persawahan pada akhirnya
terbentur juga pada konflik-konflik yang secara radikal mengubah
struktur sosial masyarakat. Vitalitas kehidupan yang pada mulanya
tertenung dalam asketisme estetis ritual Seblang dan erotisme Gandrung,
kemudian meledak dalam bentuk pembangkangan para petani yang pergi
meninggalkan sawah-sawahnya, pertempuran brutal di Bayu, atau
ketaksudian penduduk Bedewang untuk tunduk. Pada masa merdeka pun
masyarakat Belambangan tak luput dari konflik seperti teror dan
pembunuhan pada tahun 1965 atau teror ninja. Konflik yang terjadi sejak
1965, bukan lagi konflik yang mempertentangkan antara pihak yang
berkuasa dan pihak yang dikuasai belaka, namun juga telah
mempertentangkan antara lapisan-lapisan masyarakat yang sejajar bahkan
antara lapisan masyarakat yang tertindas.
Tak ubahnya sejarah
Belambangan, riwayat kehidupan Endro Wilis sendiri merupakan suatu kisah
tragis. Kekuasaan politik telah merampas semua hak yang mestinya ia
dapatkan. Penggubah, budayawan, dan veteran ini mengandaikan kisah
tragis masa tuanya dalam sebuah syair lagu yang tragik-komik; Man, Paman
butol karung, angger liwat hun eling awak/ Saiki hun magih kuwasa,
mbisok goq wis leren dadi kaya barang rombengan” (dua baris terakhir
syair lagu Paman Butol Karung). Keinsyafan akan kefanaan dan daya hidup
merupakan kekuatan dialektik yang menjadi api dalam syair-syair lagu
gubahan Endro Wilis. Namun, lebih dari itu, khazanah syair-syair lagu
yang digubah oleh Endro Wilis merupakan potret manusia yang hidup
bersama seluruh hasrat dan perasaan yang dimilikinya bersama alam,
kerja, kebudayaan, dan peradaban yang dilahirkannya.
Dalam usia
senjanya ini Endro Wilis telah menggubah lebih dari tiga ratus lagu
daerah Banyuwangi. Seperti yang tercermin dalam banyak syair lagunya,
fisik yang mulai melemah tak juga memadamkan gairahnya untuk terus
menggubah lagu dan terus semangat untuk menyuarakan suara orang-orang
yang dipinggirkan. Memang tak ada pilihan lain, untuk menghargai hidup
tak ada cara lain selain mengabdikannya dalam sebuah kerja.
**************
Catatan:
Semua
syair lagu-lagu yang ditulis kembali di sini diperoleh dari Endro
Wilis, kecuali lagu Segara. Menurut Endro Wilis, ia sendiri sudah tak
lagi menyimpan dokumen syair lagu itu.Syair lagu Segara diperoleh dari
seorang sumber yang “hafal” lagu tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar