Dwi
Pranoto
Kurang
lebih tujuh puluh tahun lalu, Armijn Pane menulis begini, “Politik itu bagi
seniman dan pudjangga bukanlah sarat, melainkan sudah dengan sendirinja ada
padanja”. Dengan kata lain, politik secara otomatis melekat pada diri seniman
dan sastrawan, baik ia dengan secara sadar memilih maupun tidak. “Kalau dia
bilang, dia tidak mau berpolitik, karena dengan sengadja mendjauhkan politik.
Itulah politik!”, kata Armijn Pane pada alinea sebelumnya. Ketakterhindaran
berpolitik tersebut dikarenakan kerja sastrawan senantiasa berkait-kelindan
dengan masyarakat. Bagi Armijn Pane ada dua sikap yang dapat diambil oleh
sastrawan dalam kaitan ini; apakah ia mau jadi buntut masyarakat yang hanya
peduli pada keplokan masyarakat dan honorarium besar, atau jadi pelopor yang
berperan sebagai penganjur masyarakat. Menjadi penganjur masyarakat bukan
berarti sastrawan belaka membawa atau merefleksikan suara, semangat, pikiran
jiwa masyarakat. Tapi sastrawan harus menggodok penyaring semua itu dengan api
cita-cita (saya menafsirkannya sebagai tendensi politik).[2]
Paragraf
di atas membawa kita pada problem apakah dengan menyatakan suatu tendensi
politik dengan begitu tak penting lagi bentuk estetik dalam karya sastra yang
bertendens? Jika kita menjawab “ya” pada pertanyaan tersebut maka kita
menyatakan bahwa puisi esai yang ditulis oleh Denny JA yang dengan gamblang
menunjukan kebertendensannya melalui rupa-rupa keberpihakan pada hak asasi
manusia adalah karya sastra yang secara politis tepat. Namun Walter Benjamin
menjawab permasalahan ini dengan menyatakan bahwa tendensi politik dalam karya
sastra hanya tepat secara politis jika secara literer juga tepat.[3]
Hubungan,
kedudukan dan fungsi sastra dalam masyarakat sosial adalah persoalan yang tidak
mudah. Hal yang bukan belaka berkenaan bagaimana karya sastra ditafsir atau
dimaknai melalui isi atau pernyataan verbalnya. Oleh karena karya sastra
merupakan cara khusus memandang dunia yang berarti bentuk persepsi tertentu,
hal ini juga bersangkut paut dengan cara memandang dunia yang dibentuk oleh
mentalitas tertentu yang dengannya masyarakat mengalami dirinya dalam hubungan
sosial. Dengan demikian karya sastra merefleksikan masyarakat melalui dan dalam
hubungan dengan ideologi pada zamannya. Sebagai produk estetik, hubungan karya
sastra dengan ideologi bukan hanya terletak pada isi, tapi juga pada bentuk
estetiknya.
Menganggap
karya sastra merefleksikan masyarakat hanya melalui isi bakal melulu melahirkan
telaah-telaah sastra yang bersifat vulgar. Menganggap karya sastra secara
langsung atau transparan merefleksikan masyarakat berarti mereduksi fungsi
karya sastra belaka sebagai dokumen sosial. Isi dan bentuk dalam karya sastra sebagai
suatu kesatuan hubungan yang khas dengan demikian diabaikan. Bagi Hegel, dalam Lectures on Aesthetic[4],
bentuk adalah manifestasi dari isi, yakni ide keindahan atau ide absolut, yang
berjuang dan mewujud. Bentuk mendapatkan prinsip-prinsipnya dari ide yang
dimanifestasikannya, sebaliknya isi hanya mewujud dalam bentuk yang sesuai dan
memadai; bentuk yang tak sempurna lahir dari muatan yang tak sempurna. Pada
setiap zaman perkembangan seni selalu mendapatkan bentuk yang sesuai dengan isi
yang mereka manifestasikan. Pada tahap awal perkembangan, ide gagal menemukan
bentuk yang memadai sebab ide menemukan dirinya sendiri dalam fenomena alam dan
kehidupan manusia, berkonfrontasi dengan dunia luar. Dengan sia-sia ide berjuang memanifestasikan
diri keluar dengan konsepsi-konsepsi penyamaran dan tidak jelas. Pada tahap
klasik isi mencapai keharmonisan bentuk. Kebajikan alam ‘mengijinkan’ ide menggenggam realitasnya
sendiri sebagai spirit yang menentukan dirinya sendiri untuk menemukan esensi
dalam bentuk luarnya yang sepenuhnya tepat. Sedangkan pada masa modern, era
romantisme, spirit ‘tumbuh’ melampaui bentuk-bentuk klasik. Isi menenggelamkan
bentuk. Apa yang bisa dicamkan dari pelajaran estetika Hegel adalah bahwa
bentuk bukan sepenuhnya atau belaka dilahirkan oleh kreativitas pengarang.
Tidak semata-mata seperti dikatakan Budi Darma bahwa bentuk adalah cara pengarang
menulis. Bentuk harus menampung isi yang berubah-ubah sepanjang sejarah. Bentuk
mengalami perubahan karena isi mengalami perubahan. Walaupun bentuk ditentukan
oleh isi namun bukan berarti bentuk sepenuhnya dapat dipahami melalui muatannya
atau sebaliknya. Sebagaimana suatu penyederhanaan vulgar yang menganggap isi sebagai satu-satunya yang
bernilai dalam karya sastra. Pengutamaan bentuk sebagai satu-satunya yang
bernilai dalam karya sastra akan juga membawa pada vulgaritas ‘penyelewengan
isi’
Problem
yang muncul dalam hubungan antara isi dan bentuk adalah ketika bentuk tak lagi
memadai bagi muatannya. Bentuk diusangkan oleh perubahan isi. Walaupun bentuk
selalu merupakan bentuk dari isinya, namun hal yang mesti diingat adalah
isi-lah yang berjuang memanifestasikan dirinya keluar sebagai bentuk. Ada suatu
‘jeda’ dimana perubahan isi belum diikuti oleh perubahan bentuk. Dalam hal ini
hubungan isi dan bentuk mengalami relasi timbal-balik dimana bentuk merespon
perubahan isi dengan menyesuaikannya.
Namun, aksi balik dari bentuk bisa jadi tertangguhkan sebagaimana
praktik-praktik formalisme patologis yang menjauh dari isi atau ‘menyelewengkan
isi’. Hubungan antara isi dan bentuk kemudian menjadi dialektik dimana bentuk
dapat berreaksi balik terhadap isi dan sebaliknya.
Bagi
Hegel isi, dalam hal ini ide absolute tidak berubah. Isi yang tidak berubah ini
saya sebut ISI. Namun ISI tidak selalu dapat mewujudkan dirinya keluar sebagai
muatan dari bentuk sebelum ISI menjadi isi, yakni isi yang dilahirkan oleh fenomena
alam dan kehidupan manusia yang berubah di setiap zaman. Bagi kaum Marxis, yang
memotong ide absolut Hegel yang idealis, mereka langsung masuk dalam isi
sebagai muatan yang berubah mengikuti kondisi material masyarakat, dalam model
produksi. Dengan begitu hubungan isi dan bentuk diletakkan dalam wilayah
konkrit.
Namun,
karya seni tidak begitu saja langsung mengekspresikan realitas. Sebagai produk
artistik yang material, karya seni memanifestasikan isi (kondisi isi material
masyarakat) melalui bentuk yang diproduksi oleh model produksi artistisik
tertentu. Dengan begitu karya seni memiliki wilayah otonom relatif dalam
produksi artistik. Oleh karenanya, dari
pada mengajukan pertanyaan fungsi karya sastra dalam hubungannya dengan kondisi
material masyarakat, Walter Benjamin dalam Author
as Producer lebih mengajukan pertanyaan hubungan karya sastra dalam
hubungannya dengan produksi sastra. Karya sastra beroperasi terhadap realitas
melalui refleksi dari refleksi. Artinya, dengan mengikuti Althusser, karya
sastra beroperasi terhadap realitas melalui atau dalam struktur persepsi
estetik, atau ‘ideologi’ estetik[5].
*
Baiklah,
kita memulainya lagi dari sini; manakala manusia modern berupaya merangsek
masuk ke dalam dan berkehendak,
meruntuhkan komunalitas yang mengeram di dalam “puisi”. Tahun 1930-an,
setidaknya masa itu dengan jelas mengungkapkan kemauan-kemauan yang meluap
untuk dengan sengaja menyingkirkan komunalitas beserta segala kaidah dan gaya
yang menandakan representasi simboliknya. Bersama dengan itu kelisanan,
betapapun mungkin otentitasnya rusak oleh pengulangan-pengulangan, yang selalu
mensyaratkan tatap muka langsung dalam tindak-tutur sesungguhnya telah
ditanggapi sebagai wujud lain yang menangguhkan perjumpaan dengan orang lain
sejak mesin cetak dan kemelekhurufan meradak dalam kalangan orang banyak. Sudah
barang tentu pada masa itu kelisanan kerap sudah kehilangan lidah dan
kerongkong yang sebenarnya dan digantikan oleh lambang-lambang fonografis yang
tak lagi membutuhkan telinga untuk menangkap pola bunyinya, melainkan mata. Pujangga Baru, yang digelegaki hasrat
Takdir Alisjahbana untuk menghadirkan Barat dalam wajah manusia individual
modernnya, menyajikan upaya-upaya susah payah untuk lepas dari ikatan
kaidah-kaidah apa yang menjadi perangkat estetika puisi lama, bersama bayangan
perikatan sosialnya yang hadir dalam mode mute
tatanan grafis aksara, pada kebebasan puitik romantik. Meskipun pada akhirnya
upaya-upaya tersebut sebagian besarnya menghasilkan puisi baru yang beroperasi
menggunakan perangkat estetika puisi lama Barat[6]
dan kebebasan puitik romantik yang kedua kakinya terjerat pola perulangan[7]
semirip metrum puisi lama yang hendak bergegas ditinggalkan. Betapapun, dalam
hal ini, tak terwujudnya apa yang semungkinnya bisa dinilai sebagai kegagalan
atau, mungkin lebih tepatnya, ketaktuntasan dalam pembaharuan estetika seturut
semangat renaisans yang memusat pada individulitas modern. Pada pokok ini kita
telah menyaksikan berkas-berkas gagasan yang didorong oleh keindividualitasan
untuk meninggalkan perangkat estetik yang menjadi buah dari kaidah-kaidah
tindak-tutur lisan yang berfungsi dalam perikatan sosial yang menyokongnya.
Walaupun individualitas yang dimaksud lebih ditekankan belaka sebagai kehadiran
kedirian beserta segala pemerasaan dan permenungan terhadapnya dengan
bermenjelangkan khalayak tanpa mengindahkan penangguhan relasi sosial nyata
dalam serial sirkulatif tulis-baca yang bertumpu pada mesin cetak dan
kemelekhurufan. Dengan cara seperti ini persalinan dari komunalitas menjadi
individualitas seibarat mengganti kata ganti pada teks tulis.
Operasi
mesin cetak dan kemelekhurufan (latin) yang meluas menempatkan puisi dalam
posisi dan fungsi sosial yang berbeda dari sebelumnya. Mesin cetak dan
kemelekhurufan (latin) membawakan suatu elan sosio-kultural tertentu dari tanah
asalnya yang mendesak tatanan sosio-kultural tempatan di mana masa jaya
kelisanan pernah berlangsung di dalamnya. Dalam hal ini proses produksi dan
penyebarannya beserta spesialisasi kerja yang membentuk hubungan produksi[8],
yang telah sejak awal mengabrasi anonimitas karya sastra lisan, menjalankan
peran penting dalam gelombang invasif diam-diam terhadap “privilege” komunal
sebagai produsen, distributor, dan konsumen puisi lisan. Pujangga Baru , dengan STA sebagai lokomotifnya, pada dasarnya
hanya memberikan penegasan akan terjadinya jetlag
estetika (meminjam cultural lag-nya
William Fielding Ogburn[9])
yang mengikuti penemuan tekhnologi produksi puisi. Tahun 1930-an seperti
mempersiapkan suatu kondisi kultural untuk kedatangan nabi puisi, penyihir
dunia puisi Indonesia, Chairil Anwar.
Penghadiran
individualitas kedirian yang meluap dalam puisi dengan begitu rupa menerjang
sisa-sisa endapan kaidah estetik kelisanan di mana komunalitas bertahan sebagai
bayangan di permukaan air yang bergolak. Paling tidak, jika secara kasar
membabakannya, 1920an – 1930-an – 1940an merupakan serial paling nyana dari
tahapan keruntuhan organ-organ komunalitas hingga menyungkurkan tubuh
organiknya – etnis – di penjelang kaki kebangsaan yang mewujud. Tentu saja, di
sini kita berbicara mengenai proses yang berkait dengan pengambilalihan
produksi wacana (tulisan) dari pengendalian resmi elit ekolonial oleh para elit
pengusaha partikelir yang mengimplikasikan perubahan pada kaidah-kaidah
penulisan secara umum, cara berbahasa, dan, sudah pasti, tema, yang membasis
pada kepemilikan mesin cetak. Pengendalian politik yang menyasar stabilitas
secara umum guna menjamin berjalannya sistem kolonial yang beroperasi dalam
relasi kekuasaan kolonial dengan elit lokal, bagaimanapun, menghendaki
terjaganya keajegan pola-pola sosio-budaya bersama norma dan nilai yang
mengarahkan atau menggerakkannya. Dengan demikian prinsip-prinsip komunalitas
tertentu sedapat mungkin ditahan dan direproduksi melalui mesin cetak,
sebagaimana para sarjana kolonial kisaran abad 19 sampai awal abad 20
mengidentifikasi, mengumpulkan, membakukan dan menstabilkan karakteristik
sosio-budaya dalam kajian-kajian ethnografis kelompok-kelompok masyarakat
nusantara sebagai bagian dari penyempurnaan proyek survey manusia sebagai
tenaga produksi untuk melengkapi survey kadastral. Pada sisi lain, yang
kemudian berhadapan secara bertentangan, kekuatan partikelir yang tumbuh pesat
dalam bisnis percetakan/penerbitan yang sejak mula belaka mengindahkan laba
dengan menyasar ceruk besar golongan jelata yang baru saja memandang dirinya
sebagai bagian dari dunia kemelekhurufan latin, yang bukan berasal dan bukan
bagian kaum elit tradisional, sebagai pasar potensial yang terus membesar.
Tahun 1940-an, bersamaan dengan kedatangan balatentara Jepang yang
mengakibatkan kocok-ulang kelompok elit, “bacaan liar” mendapatkan momentumnya
untuk melakukan mobilitas vertikal. Kebijakan pengutamaan bahasa Indonesia
tanpa mengindahkan varian hirarkis, Melayu Tinggi dan Melayu Rendah[10]
yang berkembang pada masa kolonial Belanda, membuka peluang ekspresi puitik
menemukan kemungkinan-kemungkinan perluasan tertentu. Sementara represi keras
Jepang mendorong pergolakan sosial-politik masuk ke dalam gelanggang kedirian
individual yang meluap-luap. Lalu, tanpa mengucapkan selamat tinggal dunia
puisi Indonesia keluar dari komunalitas.
Tahun
1930-an, sekali lagi ini berdasarkan perhitungan kasar, sedimen komunalitas
dalam seni puisi, yang berupa kaidah-kaidah puitik semacam metrum dan rima
tertentu, mulai tergerus bersama dengan datangnya kemelekhurufan dan mesin
cetak. Namun demikian, semangat Pujangga
Baru yang menggelegak untuk segera meninggalkan puisi lama belaka dapat
terbaca dalam isi tanpa disertai ketepatat literer. Dengan datangnya
Chairil-lah, individualitas yang kemunculannya tak terpisahkan dari pembagian
kerja (spesialisasi) dalam produksi sastra yang tumbuh bertumpu pada mesin
cetak dan kemelekhurufan terartikulasikan melalui diksi sehari-hari yang
dikomposisikan secara lugas, menghancurkan metrum dan rima puisi lama yang
merefleksikan kaidah-kaidah puitik komunalitas dan menggantikannya dengan irama
yang merepresentasikan otentisitas subyektif. Objektifikasi baru puitik dengan
penggunaan diksi sehari-hari membentuk watak ke-massa-an puisi-puisi Chairil
berpalun dengan gelora semangat kebangsaan masa itu.
Pada
akhirnya, kita tahu, warisan paling digaris-bawahi sepanjang abad dua puluh
dari Chairil Anwar adalah otentisitas subyektif. Hampir semua produk puisi, tentu ada
pengecualian, menjadi pengikut-penerus Chairil meskipun kondisi hubungan
produksi yang berbasis pada mesin cetak mengalami “pencanggihan” dengan makin
terspesialisasinya tenaga produksi. Penyair/sastrawan makin jauh dari peran sebagai
produsen yang menentukan tekhnik dan isi puitik. Disadari atau tidak, tekhnik
dan isi puisi bertumpu pada kenyataan tentang mesin cetak sebagai piranti
bisnis yang dimiliki oleh kelas tertentu dan buku puisi/sastra sebagai produk
komoditas. Selera estetik bergantung
pada selera kelas pemilik dan kekuasaan yang mengatur produksi sastra sebagai
operasi bisnis. Pada sisi lain, diksi-diksi Chairil di bawah terang cahaya hari
ini menjauh dari sehari-hari, terdengar jauh dan nostalgis. Oleh karenanya, produk
puisi pada seperempat akhir abad 20 hingga hari ini mengalami depolitisasi dan
terasing dari khalayak. Otentisitas yang seharusnya menjadi jaminan bagaimana
pengalaman kebertubuhan individual yang berrelasi dengan dunia luar
terungkapkan, di luar persoalan keberlaluan waktu real dalam praktik berbahasa,
telah bergerak sebagai semacam lembaga ideologis yang menjauhkan tubuh dari
teks yang memerihalkannya. Hal ini tampaknya merefleksikan secara paralel
bengkoknya kebijakan teknokratif rezim Suharto. Depolitisasi rezim Suharto atas
tubuh yang telah dirintis sejak penghancuran kelompok Lekra menggiring
individualitas ke dalam ruang interior “spiritualitas” dan/atau melayani norma
dan nilai tertentu yang menumpu ideologisasi di mana relasi dengan dunia luar diredam
atau dikendalikan, sebagian besarnya, melalui makanisme swa-sensor dari semacam
gejala formalisme-romantik yang patologis. Pernyataan paling jelas dari hal ini
adalah bagaimana Subagyo Sastrowardoyo melarikan ekspresi individualitasnya
pada upaya-upaya mencapai kesadaran penuh kedirian sendiri[11].
Pemutusan, atau lebih tepatnya pengendalian, relasi praktik puitik terhadap
dunia luar semacam ini, dengan cara bagaimanapun ia dipersepsikan, pada
dasarnya adalah “memasung” pencerapan inderawi pada suatu perangkat puitik
tertentu. Respon atas tubuh yang ditundukan melalui depolitisasi mencari jalan
keluar teramannya dengan menarik masuk kedirian ke dalam cangkang
spiritualisasi estetik di mana Kredo Mantra Sutardji Calzoum Bahri merupakan
varian paling radikalnya.
Hari
ini masa jaya mesin cetak besar mengalami kemunduran bersama munculnya mesin
cetak meja sederhana yang dapat dimiliki oleh siapapun yang memudahkan siapapun
untuk mencetak buku puisi dan jaringan internet yang menyediakan media bagi
siapapun untuk menggunggah puisi-puisinya. Hubungan produksi yang bersumbu pada
mesin cetak yang dicirikan dengan spesialisasi tenaga kerja diguncang oleh
serba praktis dan efisiennya proses produksi di mana seorang penyair dapat
merangkap sebagai editor, redaktur, penata letak, sampai penjual. Pada konteks
film, dalam tulisan Suatu Hari Kita Hanya
Akan Mengenang Seluloid, Ugeng T. Moetidjo menandaskan berakhirnya masa
kejayaan estetika film borjuis dengan munculnya kamera video, “Siapa
saja kini dengan gampang boleh melayangkan pandangan dengan kamera di tangan
menyusuri serbaneka pelosok-pelosok peristiwa dengan kadangkala menemukan
kejutan pada kejadian yang terlalu biasa”[12].
Kedengarannya seperti mantra Do It
Yourself kaum Punk, namun tanpa perlawanan dan skandal yang sesungguhnya.
Kerusakan
sempadan antara seni tinggi dan rendah, sastra dan bukan sastra, mengakhiri
hegemoni elitis dalam seni. Lepasnya kesenian dari tangan segelintir elit
borjuasi seolah membuka gerbang ‘demokratisasi’ seni. Bukan saja siapa saja
kini bisa menjadi seniman atau pengarang, begitupun dengan bentuk-bentuk
estetik yang merembes dan dirembesi oleh bentuk-bentuk biasa dari benda-benda
sehari-hari atau barang-barang komersial. Di dinding-dinding restoran Pizza Hut misalnya tergantung cetakan-cetakan
lukisan gaya pop art serupa Warhol. Sementara di galeri-galeri seni dipajang
barang-barang sehari-hari, baik dengan sedikit modifikasi ataupun dalam bentuk
utuh dengan muatan ‘masa lalu’. Kondisi ‘kekacauan’ ini digambarkan oleh
Fredric Jameson dengan pemasangan kaca besar tembus pandang pada
dinding-dinding hotel-hotel berbintang masa kini yang seolah menyatukan antara
ruangan dalam hotel dengan pedestarian dan jalan raya; berkebalikan dengan era
sebelumnya yang menggunakan kaca gelap seperti kacamata rayban yang hanya tembus pandang dari dalam, sementara tatapan dari
luar akan memantulkan kembali pemandangan luar.[13]
Sejajar dengan hilangnya citra elitis pada tokoh-tokoh elit seperti pada figur
majikan Microsoft, Bill Gates, yang dikatakan Slavoj Zizek[14]
tak berbeda dengan orang kebanyakan. Runtuhnya estetika modern dan matinya
individualitas unik sebagai basis penciptaannya, bersama bangkitnya
kekhalayakan, melenyapkan batas sempadan antara seni tinggi dan rendah, sastra
dan bukan sastra. Lebih ekstrim lagi, produk seni telah terintegrasi sepenuhnya
ke dalam barang komoditas dan siapapun dapat menjadi seniman atau pengarang.
Inilah momen kapitalisme lanjut; keseragaman terlipat ke dalam kemajemukan,
tepat dimana pertentangan-pertentangan politik dijinakkan. Seperti kemunculan pastiche yang menurut Fredric Jameson
merupakan tiruan-tiruan atau parodi kosong[15],
perkembangan estetika sampai pada jalan buntu. Matinya individualitas unik yang
mengakhiri pandangan tentang dunia dan pengalaman khas membawa reka-artistik
belaka mengombinasikan gaya-gaya yang telah tersedia. Hal ini paralel dengan
kebangkitan identitas etnis tanpa teritorial secara geografis, tanpa norma dan
nilai tertentu yang sungguh-sungguh mengikat dan mengintegrasikan semua
anggotanya. Situasi sosial yang direfleksikan dalam puisi-puisi Nirwan Dewanto
melalui penggunaan diksi-diksi yang arkaik dan metrum puisi lama[16],
diksi-diksi usang anakronik yang pada dasarnya telah kehilangan fungsinya,
kecuali sebagai gaya vintage
sebagaimana sepeda gazelle yang
dipajang di dinding cafe.
*
Walter
Benjamin dalam The Author as Producer
menyatakan bahwa karya sastra tak berhubungan atau tak merefleksikan kehidupan
sosial secara langsung. Karya sastra berhubungan dengan kehidupan sosial
melalui cara produksi karya sastra yang membentuk relasi produksi tertentu.
Bagi Benjamin, surat kabar, yang kemunculan dan pertumbuhannya tak terpisahkan
dengan tekhnologi (re)produksi mesin cetak, telah mengubah hubungan antara
penulis dan pembaca. Rubrik opini dalam surat kabar, sebagai misal, telah
memberikan peluang kepada pembaca untuk berperan sebagai penulis. Garis
sempadan yang memisahkan antara penulis dan pembaca dengan begitu menjadi
runtuh. Dalam konteks sastra, rubrik sastra dalam surat kabar juga membuka
peluang bagi pembaca untuk menjadi penulis sastra dan pengulas karya sastra.
Namun kita tahu, surat kabar punya mekanisme penapis yang diperankan oleh
redaktur, sehingga tak semua tulisan yang dikirimkan ke redaksi surat kabar
dapat dimuat.
The Author as Producer
ditulis saat surat kabar berada pada
masa tumbuh-mekarnya. Hari ini tekhnologi (re)produksi yang membasis pada media
internet telah mengusangkan tekhnologi (re)produksi berbasis mesin cetak.
Pencapaian tekhnologi hari ini telah mengubah cara (re)produksi karya sastra.
Perusahaan percetakan dan penerbitan, yang sebelumnya mengusai produksi karya
sastra, yang mengoperasikan mesin cetak besar yang mahal dan membutuhkan
beragam spesialisasi kerja, hari ini terus digerogoti oleh mesin cetak
sederhana yang bukan hanya efisien dalam segi biaya tapi juga tak membutuhkan banyak
tenaga kerja. Kondisi ini membuat siapapun dapat mencetak dan menerbitkan karya
sastra, baik dengan membayar – jika ingin mengurangi resiko kerugian bisa
dengan cara print on demand – maupun
mencetaknya sendiri dengan mesin cetak meja dan menerbitkannya. Hal ini
berdampak pada peran redaktur dan editor naskah yang tak lagi menjadi sentral
dalam menyeleksi naskah. Sementara itu, media internet dengan website dan blog
yang dapat dimiliki secara pribadi mengubah cara produksi sastra secara lebih
radikal. Pengunggahan karya sastra pada website atau blog pribadi pada dasarnya
adalah mencetak dan menerbitkan karya sastra secara paperless dan sekaligus mendistribusikannya langsung pada para
pembaca. Pada hari ini siapapun bisa jadi sastrawan.
Peran
redaktur nyaris kehilangan otoritasnya, jika tidak runtuh sama sekali, dalam
(re)produksi karya sastra berbasis mesin cetak sederhana dan media internet.
Prosedur penyaringan dalam penerbitan karya sastra telah jebol. Pada sisi lain,
jika memandang karya sastra sebagai produk yang mendatangkan keuntungan,
pengusaha percetakan dan penerbitan harus menyesuaikan cara produksi jika tak
ingin terkapar dalam persaingan. Dalam hal ini, pengusaha atau perusahaan
meminimalkan peran redaktur, jika tidak meniadakan sama sekali, untuk menjalin
hubungan langsung dengan penulis. Saat ini penulis/sastrawan bukan lagi belaka
sebagai produsen sastra. Para sastrawan seringkali mau menyediakan dirinya
sebagai distributor, pedangang eceran, dan bahkan pembeli karyanya sendiri.
Perubahan relasi produksi pada cara produksi sastra ini secara mendalam
mempengaruhi relasi sosial dalam lapangan kesusastraan secara umum di mana
karya sastra tercakup sepenuhnya sebagai barang komoditi. Peran redaktur dan
kritikus, berbekal citraan otoritas masa lalu yang kian memudar, bukan lagi
sebagai penjaga mutu suatu karya sastra, tapi lebih sebagai agen advertensi
yang mempromosikan karya sastra tertentu. Kasus Denny JA yang bersedia menjadi
penyair, distributor, dan pedagang eceran, sangat mungkin tak bakal muncul pada
masa jaya mesin cetak besar di mana redaktur dan kritikus memiliki otoritas
yang besar lagi kuat.
Munculnya
puisi esai dengan segala klaim kepeloporan dan penabalan angkatan sastranya
yang disokong oleh kritikus, redaktur, sastrawan, dan kalangan akademis
mencerminkan rusaknya sistem sosial kesusastraan Indonesia. Denny JA memainkan
politik sastra dengan secara kasar mengabaikan bentuk estetik sebagai bagian
integral dari tendensi politik. Bukan saja puisi esai karya Denny tidak tepat
secara literer dalam menyuarakan isi politiknya (inipun bajakan), dan oleh
karena itu juga tidak tepat secara politis. Lebih dari itu, mobilisasi massa untuk
menggalang dukungan terhadap puisi esai yang dilakukan Denny, paralel dengan sebagaian
besar perilaku politikus. Paling penting dari semua itu, Denny menyebut apa
yang dilakukannya itu sebagai pilihan tindakan yang disediakan dalam alam
demokrasi. Saya kira demokrasi dalam sastra yang dimaksud Denny, sekali lagi,
paralel dengan demokrasi yang dimaksud oleh sebagian besar politikus hari ini
yang terjun ke dunia politik tanpa memahami perjuangan politik sebagai
perjuangan untuk mengupayakan kebajikan bersama/umum. Demokrasi sebagai
kategori ideologi, dalam artian marxian, menanamkan tipuan kenyataan dalam
persepsi masyarakat untuk menciptakan kondisi sosial yang diperlukan guna
melegitimasi penindasan dan penghisapan demi kepentingan kekuasaan.
*
Tak
dapat dihindari, sastra, sebagai karya seni, selalu berada dalam suatu tradisi
estetik di mana relasinya dengan tradisi tersebut menyingkapkan bagaimana ia
berhubungan dan bersikap terhadap realitas sosial sebagai hal yang
direfleksikan dalam karya seni di mana, dengan cara tertentu, bentuk estetiknya
dikonstruksi dengan bertumpu pada hubungan produksi. Tekhnologi (re)produksi
sastra hari ini tidak hanya telah membangkrutkan otoritas kritikus, redaktur,
dan akademisi sebagai penjaga mutu sastra. Lebih dari itu, tekhnologi (re)produksi
sastra menggiring otentisitas subyektif sastrawan pada gigir jurang maha dalam
bersama tergulingnya “aku” dari kedudukan pusat penafsiran. Lalu, kemanakah
perginya segala otoritas itu? Mungkin kita seibarat seorang astronot yang
ditendang ke luar dari kapal luar angkasa hingga mengapung tak tentu dalam
ruang nir-gravitasi maha luas oleh
sesuatu semacam program komputer Hal 9000 dalam film 2001: A Space Odyssey (1968) karya Stanley Kubrick. Tampaknya,
segala otoritas itu kini lesap dalam program dan jejaring birokrasi korporasi
kapitalisme lanjut yang semakin canggih.
Pada
paragaraf terakhir, agar tulisan ini dapat menghindar dari
ketakpastian-ketakpastian yang memuramkan akan nasib sastra dalam kaitannya
dengan politik, ada baiknya kita kutip pernyataan optismistik Ismail Kadare yang
menyiratkan masa depan kesusastraan secara provokatif dalam suatu wawancara
dengan Shusha Guppy:
.
. . mereka katakan bahwa sastra kontemporer sangat dinamis karena dipengaruhi
oleh sinema, televisi, kecepatan komunikasi. Tapi yang benar adalah sebaliknya!
Bila kamu bandingkan teks Yunani kuno dengan kesusastraan hari ini, kamu akan
menemukan bahwa sastra klasik beroperasi pada wilayah yang sangat luas, melukis
pada kanvas yang jauh lebih besar, dan punya suatu ukuran keakbaran secara tak
terbatas – sebuah huruf bergerak di antara langit dan bumi, dari suatu
kadewatan ke fana, dan kembali lagi, sama sekali secara nirwaktu! Kecepatan
tindakan, visi kosmis pada satu setengah halaman dalam buku kedua Iliad tak
mungkin ditemukan dalam penulis modern. Kisahnya sederhana: Agamemnon telah
berbuat sesuatu yang menggusarkan Zeus, hingga menyebabkannya menjatuhkan
hukuman baginya. Ia memanggil seorang pembawa pesan dan memerintahnya terbang
ke bumi, mencari jendral Yunani bernama Agamemnon, untuk memasukan mimpi palsu
dalam kepalanya. Pembawa pesan tiba di Troya, mendapati Agamemnon tidur,
menuangkan mimpi palsu ke dalam kepalanya bak cairan, lantas kembali ke Zeus.
Pada pagi hari Agamemnon memanggil para perwiranya dan berkata pada mereka
bahwa ia mendapat mimpi indah dan bahwa mereka akan menyerang orang-orang
Troya. Ia menderita kekalahan yang menghancurkan. Semua itu hanya satu setengah
halaman! Suatu hal yang melintas dari otak Zeus ke otak Agamemnon, dari langit
ke bumi. Penulis hari ini mana yang dapat membikinnya? Misil-misil balistik tak
secepat itu![17]
*****
Disampaikan
pada Diskusi Sastra & Politik, 20 Maret 2018, di Gedung KAUJE Universitas Jember.
Sebagian dari tulisan ini dicuplik dari “Puisi-puisi Halim Bahriz: Penyingkapan
Reproduksi Otentisitas dalam Manufaktur
Kultural Kapitalisme Lanjut” yang direncanakan dimuat sebagai kata
pengantar dalam buku antologi puisi tunggal Halim Bahriz yang segera
diterbitkan.
[2] Paragraf
pertama ini bisa dikatakan sebagai tafsir dan komentar terhadap tulisan Armijn
Pane, “Seniman, Pudjangga dan Masjarakat”, dalam E. Ulrich Kratz (penyunting), Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia
Abad XX, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia bekerjasama dengan Yayasan
Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation, 2000. Saya sengaja mengabaikan
pemilahan hirarkis antara seniman dan pujangga yang dilakukan Arijn Pane dalam
artikelnya tersebut, bukan saja hal ini akan dapat memicu perdebatan
berlarut-larut yang melibatkan ego
sektoral dalam lapangan kesenian, tapi juga karena untuk tujuan tulisan
ini.
[3] Walter
Benjamin, “The Author as Producer” dalam New Left Review I/62, July-August
1970. Terutama pada paragraf 1 – 4.
[4] G.W.F
Hegel, Bernard Bosanquet & WM Bryant (trans.), Hegel’s Lectures on Aesthetic, The Journal of Speculative
Philosophy, 1886. Diunduh dari http://www.sophia-project.org/uploads/1/3/9/5/13955288/hegel_aesthetics.pdf
[5] Louis
Althusser, “Surat tentang Seni: Sebagai Jawaban untuk André
Daspre”, dalam Filsafat sebagai Senjata
Revolusi, Resist Book, 2007. Pada halaman 267-268 Althusser menulis begini,
“Baik Balzac maupun Solzhenitsyn sama-sama tak menghadirkan buat kita pengetahuan apapun mengenai dunia yang
mereka deskripsikan. Mereka hanya membuat kita bisa ‘melihat’, ‘menangkap’,
atau ‘merasakan’ realitas ideologi dunia yang mereka deskripsikan. Ketika kita
membicarakan ideologi, kita harus tahu bahwa ideologi-lah yang masuk ke dalam
eksistensi manusia”. Mengenai ideologi seni (secara longgar saya sebut ideologi
estetik) baca halaman 271-272, “Penciptaan dianggap sebagai sebuah bahasa ‘yang
spontan’, namun kita tahu dari Marx dan Lenin bahwa setiap bahasa ‘yang
spontan’ pada hakekatnya merupakan sebuah bahasa yang bersifat ideologis, kendaraan bagi sebuah ideologi, dalam hal
ini ideologi seni dan ideologi tentang aktivitas penciptaan efek-efek
estetik”.
[6] Untuk
soal ini baca, Armijn Pane, “Kesoesastraan Baroe II” dalam E. Ulrich Kratz
(penyusun), Sejarah Sastra Indonesia Abad
XX, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) bekerjasama dengan Yayasan Adikarya
IKAPI dan The Ford Foundation, 2000, terutama halaman 33 dan 35.
[7] Dr.
Keith Foulcher dalam Pujangga Baru:
Kesusastraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933-1942, Sugiarta Sriwibawa
(penerjemah) dan Ajip Rosidi (penyunting), menyatakan dalam hal. 58, “ . . .
terdiri atas pengulangan baris-baris yang tersusun dengan pola tertentu. Bentuk
“bebas” atau yang susunannya ditentukan alam perasaan yang hendak diungkapkan,
dapat dikatakan benar-benar tidak ada dalam sajak Pujangga Baru”
[8] Saya
berhutang banyak kepada pemikiran Walter Benjamin tentang bagaimana tekhnologi
reproduksi mempunyai pengaruh pada dinamika bentuk estetik yang berinteraksi
timbal balik dengan hubungan produksi. Lihat “The Work of Art in The Age of
Mechanical Reproduction” dalam Illuminations,
Harry Zohn (penerjemah) dan Hannah Arendt (editor), Shocken Books, New York,
2007 dan “The Author as Producer”, dalam
New Left Review , I/62, July – August
1970.
[9] William
Fielding Ogburn membagi evolusi kultural berkait dengan penemuan tekhnologi
menjadi empat tahap: penemuan, akumulasi, penyebaran, penyesuaian. Culutral lag
dapat terjadi antara tahap penyebaran dan penyesuaian di mana penyebaran
tekhnologi baru pada wilayah yang tidak sama tingkat kulturalnya dengan wilayah
asal penemuan menimbulkan ketidakseimbangan pada sistem kultural. Lihat,
William Fielding Ogburn, On Culture and
Social Change: Selected Papers, ed. Otis Dudley Duncan, University of
Chicago Press, 1964, hal. 21 – 32.
[10] Armijn
Pane dalam Produksi Film Tjerita di
Indonesia: Perkembanganja sebagai Alat Masjarakat, Badan Musjawarat
Kebudajaan Nasional, 1953, pada hal. 8
menyatakan bahwa tumbuhnya journalistik dan persuratkabaran pada akhir
abad 20 yang memicu akulturasi, perpaduan antara gaya bahasa sastra Melayu kuno
dan gaya pemberitaan barat, menimbulkan cerita-cerita secara baru seperti Tjerita si Tjonat (1900) dan Tjerita Njai Dasima (1896). Dua cerita
tersebut adalah contoh dari penggunaan Melayu Rendah (Melayu Tionghoa) dalam
karya sastra dan dianggap tidak mempunyai nilai sastra. Gaya bahasa yang
dikembangkan Balai Pustaka dan Pujangga Baru berbeda dengan gaya bahasa
tersebut, meskipun tidak menutup kemungkinan adanya keterpengaruhan. Gaya
bahasa Melayu Rendah inilah yang banyak digunakan dalam karya-karya yang
dikategorikan sebagai “bacaan liar”. Hal ini berimplikasi luas pada pembabakan
“resmi” atau pembagian angkatan dalam sejarah sastra Indonesia modern.
[11] Lihat
Subagio Sastrowardoyo, “Catatan tentang Simphoni”,
dalam Pamusuk Eneste (editor), Proses
Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang, PT. Gramedia Jakarta, 1983.
[12] http://jurnalfootage.net/v4/suatu-hari-kita-hanya-akan-mengenang-seluloid/
[13] Fredric
Jameson, “Postmodernism and Consumer Society” dalam The Cultural Turn: Selected Writings on the Postmodern 1983 – 1998,
Verso, 1998. Untuk pembahasan mengenai arsitektur postmodern lihat hal. 10 –
16.
[14] Slavoj
Zizek, dalam Multiculturalism or the Cultural Logic of Multinational
Capitalism?, New Left Review, I/225,
September – October 1997, menyatakan bahwa Bill Gates lazim merayakan ruang-siber
sebagai terbukanya masa depan “friction-free capitalism” yang mana sifat
antagonistik relasi sosial dalam hubungan produksi secara ilusif dilenyapkan
dalam ruang interaksi timbal-balik yang “friction-free” di mana partikularitas
posisi sosial partisipan dilenyapkan.
[15]Fredric
Jameson, “Postmodernism and Consumer Society” dalam The Cultural Turn: Selected Writings on the Postmodern 1983 – 1998,
Verso, 1998. Untuk pembahasan pastiche lihat hal.4.
[16] Buku
kumpulan puisi Nirwan Dewanto; Jantung
Lebah Ratu, Gramedia Pustaka Utama, 2008 dan Buli-Buli Lima Kaki, Gramedia Pustaka Utama, 2010; saya kira banyak
menghimpun contoh puisi Nirwan Dewanto yang menggunakan diksi-diksi arkaik.
Sementara Enin Supriyanto dalam komentar sokongan pada Jantung Lebah Ratu memuji Nirwan Dewanto dalam menggunakan bentuk
gurindam, pantun, dan haiku dengan kecermatan rima dan birama, dan kelincahan
bertutur. Apa yang dinyatakan Enin tersebut mengingatkan saya pada perdebatan
di Facebook bertahun lalu yang dipicu oleh penjajaran Utan Kayu dengan Pujangga
Baru yang dinyatakan Saut Situmorang. Dari segi bentuk saya kira Saut tak
keliru. Namun demikian, diksi-diksi yang digunakan atau dikomposisikan oleh
para penyair Pujangga Baru jauh lebih gamblang, bahkan kerap klise, dibanding
dengan diksi-diksi yang digunakan oleh Nirwan Dewanto yang, saya kira, dengan
sengaja mengomposisikan diksi-diksi lama untuk menimbulkan efek defamiliarisasi
atau penjarakan.
[17] “Ismail
Kadare, The Art of Fiction No 153”, dalam The
Paris Review, Issue 147, Summer 1998, terjemahan cuplikan oleh saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar