Laman

Minggu, 22 April 2018

Refleksi Realitas Sosial sebagai Tendensi Politik dalam Sastra


Dwi Pranoto



 
2001: A Space Odyssey


Kurang lebih tujuh puluh tahun lalu, Armijn Pane menulis begini, “Politik itu bagi seniman dan pudjangga bukanlah sarat, melainkan sudah dengan sendirinja ada padanja”. Dengan kata lain, politik secara otomatis melekat pada diri seniman dan sastrawan, baik ia dengan secara sadar memilih maupun tidak. “Kalau dia bilang, dia tidak mau berpolitik, karena dengan sengadja mendjauhkan politik. Itulah politik!”, kata Armijn Pane pada alinea sebelumnya. Ketakterhindaran berpolitik tersebut dikarenakan kerja sastrawan senantiasa berkait-kelindan dengan masyarakat. Bagi Armijn Pane ada dua sikap yang dapat diambil oleh sastrawan dalam kaitan ini; apakah ia mau jadi buntut masyarakat yang hanya peduli pada keplokan masyarakat dan honorarium besar, atau jadi pelopor yang berperan sebagai penganjur masyarakat. Menjadi penganjur masyarakat bukan berarti sastrawan belaka membawa atau merefleksikan suara, semangat, pikiran jiwa masyarakat. Tapi sastrawan harus menggodok penyaring semua itu dengan api cita-cita (saya menafsirkannya sebagai tendensi politik).[2]


Paragraf di atas membawa kita pada problem apakah dengan menyatakan suatu tendensi politik dengan begitu tak penting lagi bentuk estetik dalam karya sastra yang bertendens? Jika kita menjawab “ya” pada pertanyaan tersebut maka kita menyatakan bahwa puisi esai yang ditulis oleh Denny JA yang dengan gamblang menunjukan kebertendensannya melalui rupa-rupa keberpihakan pada hak asasi manusia adalah karya sastra yang secara politis tepat. Namun Walter Benjamin menjawab permasalahan ini dengan menyatakan bahwa tendensi politik dalam karya sastra hanya tepat secara politis jika secara literer juga tepat.[3]

Hubungan, kedudukan dan fungsi sastra dalam masyarakat sosial adalah persoalan yang tidak mudah. Hal yang bukan belaka berkenaan bagaimana karya sastra ditafsir atau dimaknai melalui isi atau pernyataan verbalnya. Oleh karena karya sastra merupakan cara khusus memandang dunia yang berarti bentuk persepsi tertentu, hal ini juga bersangkut paut dengan cara memandang dunia yang dibentuk oleh mentalitas tertentu yang dengannya masyarakat mengalami dirinya dalam hubungan sosial. Dengan demikian karya sastra merefleksikan masyarakat melalui dan dalam hubungan dengan ideologi pada zamannya. Sebagai produk estetik, hubungan karya sastra dengan ideologi bukan hanya terletak pada isi, tapi juga pada bentuk estetiknya.

Menganggap karya sastra merefleksikan masyarakat hanya melalui isi bakal melulu melahirkan telaah-telaah sastra yang bersifat vulgar. Menganggap karya sastra secara langsung atau transparan merefleksikan masyarakat berarti mereduksi fungsi karya sastra belaka sebagai dokumen sosial. Isi dan bentuk dalam karya sastra sebagai suatu kesatuan hubungan yang khas dengan demikian diabaikan. Bagi Hegel, dalam Lectures on Aesthetic[4], bentuk adalah manifestasi dari isi, yakni ide keindahan atau ide absolut, yang berjuang dan mewujud. Bentuk mendapatkan prinsip-prinsipnya dari ide yang dimanifestasikannya, sebaliknya isi hanya mewujud dalam bentuk yang sesuai dan memadai; bentuk yang tak sempurna lahir dari muatan yang tak sempurna. Pada setiap zaman perkembangan seni selalu mendapatkan bentuk yang sesuai dengan isi yang mereka manifestasikan. Pada tahap awal perkembangan, ide gagal menemukan bentuk yang memadai sebab ide menemukan dirinya sendiri dalam fenomena alam dan kehidupan manusia, berkonfrontasi dengan dunia luar.  Dengan sia-sia ide berjuang memanifestasikan diri keluar dengan konsepsi-konsepsi penyamaran dan tidak jelas. Pada tahap klasik isi mencapai keharmonisan bentuk. Kebajikan alam  ‘mengijinkan’ ide menggenggam realitasnya sendiri sebagai spirit yang menentukan dirinya sendiri untuk menemukan esensi dalam bentuk luarnya yang sepenuhnya tepat. Sedangkan pada masa modern, era romantisme, spirit ‘tumbuh’ melampaui bentuk-bentuk klasik. Isi menenggelamkan bentuk. Apa yang bisa dicamkan dari pelajaran estetika Hegel adalah bahwa bentuk bukan sepenuhnya atau belaka dilahirkan oleh kreativitas pengarang. Tidak semata-mata seperti dikatakan Budi Darma bahwa bentuk adalah cara pengarang menulis. Bentuk harus menampung isi yang berubah-ubah sepanjang sejarah. Bentuk mengalami perubahan karena isi mengalami perubahan. Walaupun bentuk ditentukan oleh isi namun bukan berarti bentuk sepenuhnya dapat dipahami melalui muatannya atau sebaliknya. Sebagaimana suatu penyederhanaan vulgar  yang menganggap isi sebagai satu-satunya yang bernilai dalam karya sastra. Pengutamaan bentuk sebagai satu-satunya yang bernilai dalam karya sastra akan juga membawa pada vulgaritas ‘penyelewengan isi’

Problem yang muncul dalam hubungan antara isi dan bentuk adalah ketika bentuk tak lagi memadai bagi muatannya. Bentuk diusangkan oleh perubahan isi. Walaupun bentuk selalu merupakan bentuk dari isinya, namun hal yang mesti diingat adalah isi-lah yang berjuang memanifestasikan dirinya keluar sebagai bentuk. Ada suatu ‘jeda’ dimana perubahan isi belum diikuti oleh perubahan bentuk. Dalam hal ini hubungan isi dan bentuk mengalami relasi timbal-balik dimana bentuk merespon perubahan isi dengan menyesuaikannya.  Namun, aksi balik dari bentuk bisa jadi tertangguhkan sebagaimana praktik-praktik formalisme patologis yang menjauh dari isi atau ‘menyelewengkan isi’. Hubungan antara isi dan bentuk kemudian menjadi dialektik dimana bentuk dapat berreaksi balik terhadap isi dan sebaliknya.

Bagi Hegel isi, dalam hal ini ide absolute tidak berubah. Isi yang tidak berubah ini saya sebut ISI. Namun ISI tidak selalu dapat mewujudkan dirinya keluar sebagai muatan dari bentuk sebelum ISI menjadi isi, yakni isi yang dilahirkan oleh fenomena alam dan kehidupan manusia yang berubah di setiap zaman. Bagi kaum Marxis, yang memotong ide absolut Hegel yang idealis, mereka langsung masuk dalam isi sebagai muatan yang berubah mengikuti kondisi material masyarakat, dalam model produksi. Dengan begitu hubungan isi dan bentuk diletakkan dalam wilayah konkrit.

Namun, karya seni tidak begitu saja langsung mengekspresikan realitas. Sebagai produk artistik yang material, karya seni memanifestasikan isi (kondisi isi material masyarakat) melalui bentuk yang diproduksi oleh model produksi artistisik tertentu. Dengan begitu karya seni memiliki wilayah otonom relatif dalam produksi artistik. Oleh karenanya,  dari pada mengajukan pertanyaan fungsi karya sastra dalam hubungannya dengan kondisi material masyarakat, Walter Benjamin dalam Author as Producer lebih mengajukan pertanyaan hubungan karya sastra dalam hubungannya dengan produksi sastra. Karya sastra beroperasi terhadap realitas melalui refleksi dari refleksi. Artinya, dengan mengikuti Althusser, karya sastra beroperasi terhadap realitas melalui atau dalam struktur persepsi estetik, atau ‘ideologi’ estetik[5]. 
*

Baiklah, kita memulainya lagi dari sini; manakala manusia modern berupaya merangsek masuk ke dalam  dan berkehendak, meruntuhkan komunalitas yang mengeram di dalam “puisi”. Tahun 1930-an, setidaknya masa itu dengan jelas mengungkapkan kemauan-kemauan yang meluap untuk dengan sengaja menyingkirkan komunalitas beserta segala kaidah dan gaya yang menandakan representasi simboliknya. Bersama dengan itu kelisanan, betapapun mungkin otentitasnya rusak oleh pengulangan-pengulangan, yang selalu mensyaratkan tatap muka langsung dalam tindak-tutur sesungguhnya telah ditanggapi sebagai wujud lain yang menangguhkan perjumpaan dengan orang lain sejak mesin cetak dan kemelekhurufan meradak dalam kalangan orang banyak. Sudah barang tentu pada masa itu kelisanan kerap sudah kehilangan lidah dan kerongkong yang sebenarnya dan digantikan oleh lambang-lambang fonografis yang tak lagi membutuhkan telinga untuk menangkap pola bunyinya, melainkan mata. Pujangga Baru, yang digelegaki hasrat Takdir Alisjahbana untuk menghadirkan Barat dalam wajah manusia individual modernnya, menyajikan upaya-upaya susah payah untuk lepas dari ikatan kaidah-kaidah apa yang menjadi perangkat estetika puisi lama, bersama bayangan perikatan sosialnya yang hadir dalam mode mute tatanan grafis aksara, pada kebebasan puitik romantik. Meskipun pada akhirnya upaya-upaya tersebut sebagian besarnya menghasilkan puisi baru yang beroperasi menggunakan perangkat estetika puisi lama Barat[6] dan kebebasan puitik romantik yang kedua kakinya terjerat pola perulangan[7] semirip metrum puisi lama yang hendak bergegas ditinggalkan. Betapapun, dalam hal ini, tak terwujudnya apa yang semungkinnya bisa dinilai sebagai kegagalan atau, mungkin lebih tepatnya, ketaktuntasan dalam pembaharuan estetika seturut semangat renaisans yang memusat pada individulitas modern. Pada pokok ini kita telah menyaksikan berkas-berkas gagasan yang didorong oleh keindividualitasan untuk meninggalkan perangkat estetik yang menjadi buah dari kaidah-kaidah tindak-tutur lisan yang berfungsi dalam perikatan sosial yang menyokongnya. Walaupun individualitas yang dimaksud lebih ditekankan belaka sebagai kehadiran kedirian beserta segala pemerasaan dan permenungan terhadapnya dengan bermenjelangkan khalayak tanpa mengindahkan penangguhan relasi sosial nyata dalam serial sirkulatif tulis-baca yang bertumpu pada mesin cetak dan kemelekhurufan. Dengan cara seperti ini persalinan dari komunalitas menjadi individualitas seibarat mengganti kata ganti pada teks tulis.

Operasi mesin cetak dan kemelekhurufan (latin) yang meluas menempatkan puisi dalam posisi dan fungsi sosial yang berbeda dari sebelumnya. Mesin cetak dan kemelekhurufan (latin) membawakan suatu elan sosio-kultural tertentu dari tanah asalnya yang mendesak tatanan sosio-kultural tempatan di mana masa jaya kelisanan pernah berlangsung di dalamnya. Dalam hal ini proses produksi dan penyebarannya beserta spesialisasi kerja yang membentuk hubungan produksi[8], yang telah sejak awal mengabrasi anonimitas karya sastra lisan, menjalankan peran penting dalam gelombang invasif diam-diam terhadap “privilege” komunal sebagai produsen, distributor, dan konsumen puisi lisan. Pujangga Baru , dengan STA sebagai lokomotifnya, pada dasarnya hanya memberikan penegasan akan terjadinya jetlag estetika (meminjam cultural lag-nya William Fielding Ogburn[9]) yang mengikuti penemuan tekhnologi produksi puisi. Tahun 1930-an seperti mempersiapkan suatu kondisi kultural untuk kedatangan nabi puisi, penyihir dunia puisi Indonesia, Chairil Anwar.  

Penghadiran individualitas kedirian yang meluap dalam puisi dengan begitu rupa menerjang sisa-sisa endapan kaidah estetik kelisanan di mana komunalitas bertahan sebagai bayangan di permukaan air yang bergolak. Paling tidak, jika secara kasar membabakannya, 1920an – 1930-an – 1940an merupakan serial paling nyana dari tahapan keruntuhan organ-organ komunalitas hingga menyungkurkan tubuh organiknya – etnis – di penjelang kaki kebangsaan yang mewujud. Tentu saja, di sini kita berbicara mengenai proses yang berkait dengan pengambilalihan produksi wacana (tulisan) dari pengendalian resmi elit ekolonial oleh para elit pengusaha partikelir yang mengimplikasikan perubahan pada kaidah-kaidah penulisan secara umum, cara berbahasa, dan, sudah pasti, tema, yang membasis pada kepemilikan mesin cetak. Pengendalian politik yang menyasar stabilitas secara umum guna menjamin berjalannya sistem kolonial yang beroperasi dalam relasi kekuasaan kolonial dengan elit lokal, bagaimanapun, menghendaki terjaganya keajegan pola-pola sosio-budaya bersama norma dan nilai yang mengarahkan atau menggerakkannya. Dengan demikian prinsip-prinsip komunalitas tertentu sedapat mungkin ditahan dan direproduksi melalui mesin cetak, sebagaimana para sarjana kolonial kisaran abad 19 sampai awal abad 20 mengidentifikasi, mengumpulkan, membakukan dan menstabilkan karakteristik sosio-budaya dalam kajian-kajian ethnografis kelompok-kelompok masyarakat nusantara sebagai bagian dari penyempurnaan proyek survey manusia sebagai tenaga produksi untuk melengkapi survey kadastral. Pada sisi lain, yang kemudian berhadapan secara bertentangan, kekuatan partikelir yang tumbuh pesat dalam bisnis percetakan/penerbitan yang sejak mula belaka mengindahkan laba dengan menyasar ceruk besar golongan jelata yang baru saja memandang dirinya sebagai bagian dari dunia kemelekhurufan latin, yang bukan berasal dan bukan bagian kaum elit tradisional, sebagai pasar potensial yang terus membesar. Tahun 1940-an, bersamaan dengan kedatangan balatentara Jepang yang mengakibatkan kocok-ulang kelompok elit, “bacaan liar” mendapatkan momentumnya untuk melakukan mobilitas vertikal. Kebijakan pengutamaan bahasa Indonesia tanpa mengindahkan varian hirarkis, Melayu Tinggi dan Melayu Rendah[10] yang berkembang pada masa kolonial Belanda, membuka peluang ekspresi puitik menemukan kemungkinan-kemungkinan perluasan tertentu. Sementara represi keras Jepang mendorong pergolakan sosial-politik masuk ke dalam gelanggang kedirian individual yang meluap-luap. Lalu, tanpa mengucapkan selamat tinggal dunia puisi Indonesia keluar dari komunalitas.

Tahun 1930-an, sekali lagi ini berdasarkan perhitungan kasar, sedimen komunalitas dalam seni puisi, yang berupa kaidah-kaidah puitik semacam metrum dan rima tertentu, mulai tergerus bersama dengan datangnya kemelekhurufan dan mesin cetak. Namun demikian, semangat Pujangga Baru yang menggelegak untuk segera meninggalkan puisi lama belaka dapat terbaca dalam isi tanpa disertai ketepatat literer. Dengan datangnya Chairil-lah, individualitas yang kemunculannya tak terpisahkan dari pembagian kerja (spesialisasi) dalam produksi sastra yang tumbuh bertumpu pada mesin cetak dan kemelekhurufan terartikulasikan melalui diksi sehari-hari yang dikomposisikan secara lugas, menghancurkan metrum dan rima puisi lama yang merefleksikan kaidah-kaidah puitik komunalitas dan menggantikannya dengan irama yang merepresentasikan otentisitas subyektif. Objektifikasi baru puitik dengan penggunaan diksi sehari-hari membentuk watak ke-massa-an puisi-puisi Chairil berpalun dengan gelora semangat kebangsaan masa itu.

Pada akhirnya, kita tahu, warisan paling digaris-bawahi sepanjang abad dua puluh dari Chairil Anwar adalah otentisitas subyektif.  Hampir semua produk puisi, tentu ada pengecualian, menjadi pengikut-penerus Chairil meskipun kondisi hubungan produksi yang berbasis pada mesin cetak mengalami “pencanggihan” dengan makin terspesialisasinya tenaga produksi. Penyair/sastrawan makin jauh dari peran sebagai produsen yang menentukan tekhnik dan isi puitik. Disadari atau tidak, tekhnik dan isi puisi bertumpu pada kenyataan tentang mesin cetak sebagai piranti bisnis yang dimiliki oleh kelas tertentu dan buku puisi/sastra sebagai produk komoditas. Selera  estetik bergantung pada selera kelas pemilik dan kekuasaan yang mengatur produksi sastra sebagai operasi bisnis. Pada sisi lain, diksi-diksi Chairil di bawah terang cahaya hari ini menjauh dari sehari-hari, terdengar jauh dan nostalgis. Oleh karenanya, produk puisi pada seperempat akhir abad 20 hingga hari ini mengalami depolitisasi dan terasing dari khalayak. Otentisitas yang seharusnya menjadi jaminan bagaimana pengalaman kebertubuhan individual yang berrelasi dengan dunia luar terungkapkan, di luar persoalan keberlaluan waktu real dalam praktik berbahasa, telah bergerak sebagai semacam lembaga ideologis yang menjauhkan tubuh dari teks yang memerihalkannya. Hal ini tampaknya merefleksikan secara paralel bengkoknya kebijakan teknokratif rezim Suharto. Depolitisasi rezim Suharto atas tubuh yang telah dirintis sejak penghancuran kelompok Lekra menggiring individualitas ke dalam ruang interior “spiritualitas” dan/atau melayani norma dan nilai tertentu yang menumpu ideologisasi di mana relasi dengan dunia luar diredam atau dikendalikan, sebagian besarnya, melalui makanisme swa-sensor dari semacam gejala formalisme-romantik yang patologis. Pernyataan paling jelas dari hal ini adalah bagaimana Subagyo Sastrowardoyo melarikan ekspresi individualitasnya pada upaya-upaya mencapai kesadaran penuh kedirian sendiri[11]. Pemutusan, atau lebih tepatnya pengendalian, relasi praktik puitik terhadap dunia luar semacam ini, dengan cara bagaimanapun ia dipersepsikan, pada dasarnya adalah “memasung” pencerapan inderawi pada suatu perangkat puitik tertentu. Respon atas tubuh yang ditundukan melalui depolitisasi mencari jalan keluar teramannya dengan menarik masuk kedirian ke dalam cangkang spiritualisasi estetik di mana Kredo Mantra Sutardji Calzoum Bahri merupakan varian paling radikalnya.

Hari ini masa jaya mesin cetak besar mengalami kemunduran bersama munculnya mesin cetak meja sederhana yang dapat dimiliki oleh siapapun yang memudahkan siapapun untuk mencetak buku puisi dan jaringan internet yang menyediakan media bagi siapapun untuk menggunggah puisi-puisinya. Hubungan produksi yang bersumbu pada mesin cetak yang dicirikan dengan spesialisasi tenaga kerja diguncang oleh serba praktis dan efisiennya proses produksi di mana seorang penyair dapat merangkap sebagai editor, redaktur, penata letak, sampai penjual. Pada konteks film, dalam tulisan Suatu Hari Kita Hanya Akan Mengenang Seluloid, Ugeng T. Moetidjo menandaskan berakhirnya masa kejayaan estetika film borjuis dengan munculnya kamera video,  “Siapa saja kini dengan gampang boleh melayangkan pandangan dengan kamera di tangan menyusuri serbaneka pelosok-pelosok peristiwa dengan kadangkala menemukan kejutan pada kejadian yang terlalu biasa”[12]. Kedengarannya seperti mantra Do It Yourself kaum Punk, namun tanpa perlawanan dan skandal yang sesungguhnya.

Kerusakan sempadan antara seni tinggi dan rendah, sastra dan bukan sastra, mengakhiri hegemoni elitis dalam seni. Lepasnya kesenian dari tangan segelintir elit borjuasi seolah membuka gerbang ‘demokratisasi’ seni. Bukan saja siapa saja kini bisa menjadi seniman atau pengarang, begitupun dengan bentuk-bentuk estetik yang merembes dan dirembesi oleh bentuk-bentuk biasa dari benda-benda sehari-hari atau barang-barang komersial. Di dinding-dinding restoran Pizza Hut misalnya tergantung cetakan-cetakan lukisan gaya pop art serupa Warhol. Sementara di galeri-galeri seni dipajang barang-barang sehari-hari, baik dengan sedikit modifikasi ataupun dalam bentuk utuh dengan muatan ‘masa lalu’. Kondisi ‘kekacauan’ ini digambarkan oleh Fredric Jameson dengan pemasangan kaca besar tembus pandang pada dinding-dinding hotel-hotel berbintang masa kini yang seolah menyatukan antara ruangan dalam hotel dengan pedestarian dan jalan raya; berkebalikan dengan era sebelumnya yang menggunakan kaca gelap seperti kacamata rayban yang hanya tembus pandang dari dalam, sementara tatapan dari luar akan memantulkan kembali pemandangan luar.[13] Sejajar dengan hilangnya citra elitis pada tokoh-tokoh elit seperti pada figur majikan Microsoft, Bill Gates, yang dikatakan Slavoj Zizek[14] tak berbeda dengan orang kebanyakan. Runtuhnya estetika modern dan matinya individualitas unik sebagai basis penciptaannya, bersama bangkitnya kekhalayakan, melenyapkan batas sempadan antara seni tinggi dan rendah, sastra dan bukan sastra. Lebih ekstrim lagi, produk seni telah terintegrasi sepenuhnya ke dalam barang komoditas dan siapapun dapat menjadi seniman atau pengarang. Inilah momen kapitalisme lanjut; keseragaman terlipat ke dalam kemajemukan, tepat dimana pertentangan-pertentangan politik dijinakkan. Seperti kemunculan pastiche yang menurut Fredric Jameson merupakan tiruan-tiruan atau parodi kosong[15], perkembangan estetika sampai pada jalan buntu. Matinya individualitas unik yang mengakhiri pandangan tentang dunia dan pengalaman khas membawa reka-artistik belaka mengombinasikan gaya-gaya yang telah tersedia. Hal ini paralel dengan kebangkitan identitas etnis tanpa teritorial secara geografis, tanpa norma dan nilai tertentu yang sungguh-sungguh mengikat dan mengintegrasikan semua anggotanya. Situasi sosial yang direfleksikan dalam puisi-puisi Nirwan Dewanto melalui penggunaan diksi-diksi yang arkaik dan metrum puisi lama[16], diksi-diksi usang anakronik yang pada dasarnya telah kehilangan fungsinya, kecuali sebagai gaya vintage sebagaimana sepeda gazelle yang dipajang di dinding cafe.
*


Walter Benjamin dalam The Author as Producer menyatakan bahwa karya sastra tak berhubungan atau tak merefleksikan kehidupan sosial secara langsung. Karya sastra berhubungan dengan kehidupan sosial melalui cara produksi karya sastra yang membentuk relasi produksi tertentu. Bagi Benjamin, surat kabar, yang kemunculan dan pertumbuhannya tak terpisahkan dengan tekhnologi (re)produksi mesin cetak, telah mengubah hubungan antara penulis dan pembaca. Rubrik opini dalam surat kabar, sebagai misal, telah memberikan peluang kepada pembaca untuk berperan sebagai penulis. Garis sempadan yang memisahkan antara penulis dan pembaca dengan begitu menjadi runtuh. Dalam konteks sastra, rubrik sastra dalam surat kabar juga membuka peluang bagi pembaca untuk menjadi penulis sastra dan pengulas karya sastra. Namun kita tahu, surat kabar punya mekanisme penapis yang diperankan oleh redaktur, sehingga tak semua tulisan yang dikirimkan ke redaksi surat kabar dapat dimuat.

The Author as Producer ditulis  saat surat kabar berada pada masa tumbuh-mekarnya. Hari ini tekhnologi (re)produksi yang membasis pada media internet telah mengusangkan tekhnologi (re)produksi berbasis mesin cetak. Pencapaian tekhnologi hari ini telah mengubah cara (re)produksi karya sastra. Perusahaan percetakan dan penerbitan, yang sebelumnya mengusai produksi karya sastra, yang mengoperasikan mesin cetak besar yang mahal dan membutuhkan beragam spesialisasi kerja, hari ini terus digerogoti oleh mesin cetak sederhana yang bukan hanya efisien dalam segi biaya tapi juga tak membutuhkan banyak tenaga kerja. Kondisi ini membuat siapapun dapat mencetak dan menerbitkan karya sastra, baik dengan membayar – jika ingin mengurangi resiko kerugian bisa dengan cara print on demand – maupun mencetaknya sendiri dengan mesin cetak meja dan menerbitkannya. Hal ini berdampak pada peran redaktur dan editor naskah yang tak lagi menjadi sentral dalam menyeleksi naskah. Sementara itu, media internet dengan website dan blog yang dapat dimiliki secara pribadi mengubah cara produksi sastra secara lebih radikal. Pengunggahan karya sastra pada website atau blog pribadi pada dasarnya adalah mencetak dan menerbitkan karya sastra secara paperless dan sekaligus mendistribusikannya langsung pada para pembaca. Pada hari ini siapapun bisa jadi sastrawan.

Peran redaktur nyaris kehilangan otoritasnya, jika tidak runtuh sama sekali, dalam (re)produksi karya sastra berbasis mesin cetak sederhana dan media internet. Prosedur penyaringan dalam penerbitan karya sastra telah jebol. Pada sisi lain, jika memandang karya sastra sebagai produk yang mendatangkan keuntungan, pengusaha percetakan dan penerbitan harus menyesuaikan cara produksi jika tak ingin terkapar dalam persaingan. Dalam hal ini, pengusaha atau perusahaan meminimalkan peran redaktur, jika tidak meniadakan sama sekali, untuk menjalin hubungan langsung dengan penulis. Saat ini penulis/sastrawan bukan lagi belaka sebagai produsen sastra. Para sastrawan seringkali mau menyediakan dirinya sebagai distributor, pedangang eceran, dan bahkan pembeli karyanya sendiri. Perubahan relasi produksi pada cara produksi sastra ini secara mendalam mempengaruhi relasi sosial dalam lapangan kesusastraan secara umum di mana karya sastra tercakup sepenuhnya sebagai barang komoditi. Peran redaktur dan kritikus, berbekal citraan otoritas masa lalu yang kian memudar, bukan lagi sebagai penjaga mutu suatu karya sastra, tapi lebih sebagai agen advertensi yang mempromosikan karya sastra tertentu. Kasus Denny JA yang bersedia menjadi penyair, distributor, dan pedagang eceran, sangat mungkin tak bakal muncul pada masa jaya mesin cetak besar di mana redaktur dan kritikus memiliki otoritas yang besar lagi kuat.

Munculnya puisi esai dengan segala klaim kepeloporan dan penabalan angkatan sastranya yang disokong oleh kritikus, redaktur, sastrawan, dan kalangan akademis mencerminkan rusaknya sistem sosial kesusastraan Indonesia. Denny JA memainkan politik sastra dengan secara kasar mengabaikan bentuk estetik sebagai bagian integral dari tendensi politik. Bukan saja puisi esai karya Denny tidak tepat secara literer dalam menyuarakan isi politiknya (inipun bajakan), dan oleh karena itu juga tidak tepat secara politis. Lebih dari itu, mobilisasi massa untuk menggalang dukungan terhadap puisi esai yang dilakukan Denny, paralel dengan sebagaian besar perilaku politikus. Paling penting dari semua itu, Denny menyebut apa yang dilakukannya itu sebagai pilihan tindakan yang disediakan dalam alam demokrasi. Saya kira demokrasi dalam sastra yang dimaksud Denny, sekali lagi, paralel dengan demokrasi yang dimaksud oleh sebagian besar politikus hari ini yang terjun ke dunia politik tanpa memahami perjuangan politik sebagai perjuangan untuk mengupayakan kebajikan bersama/umum. Demokrasi sebagai kategori ideologi, dalam artian marxian, menanamkan tipuan kenyataan dalam persepsi masyarakat untuk menciptakan kondisi sosial yang diperlukan guna melegitimasi penindasan dan penghisapan demi kepentingan kekuasaan.                        
*


Tak dapat dihindari, sastra, sebagai karya seni, selalu berada dalam suatu tradisi estetik di mana relasinya dengan tradisi tersebut menyingkapkan bagaimana ia berhubungan dan bersikap terhadap realitas sosial sebagai hal yang direfleksikan dalam karya seni di mana, dengan cara tertentu, bentuk estetiknya dikonstruksi dengan bertumpu pada hubungan produksi. Tekhnologi (re)produksi sastra hari ini tidak hanya telah membangkrutkan otoritas kritikus, redaktur, dan akademisi sebagai penjaga mutu sastra. Lebih dari itu, tekhnologi (re)produksi sastra menggiring otentisitas subyektif sastrawan pada gigir jurang maha dalam bersama tergulingnya “aku” dari kedudukan pusat penafsiran. Lalu, kemanakah perginya segala otoritas itu? Mungkin kita seibarat seorang astronot yang ditendang ke luar dari kapal luar angkasa hingga mengapung tak tentu dalam ruang nir-gravitasi maha luas  oleh sesuatu semacam program komputer Hal 9000 dalam film 2001: A Space Odyssey (1968) karya Stanley Kubrick. Tampaknya, segala otoritas itu kini lesap dalam program dan jejaring birokrasi korporasi kapitalisme lanjut yang semakin canggih.

Pada paragaraf terakhir, agar tulisan ini dapat menghindar dari ketakpastian-ketakpastian yang memuramkan akan nasib sastra dalam kaitannya dengan politik, ada baiknya kita kutip pernyataan optismistik Ismail Kadare yang menyiratkan masa depan kesusastraan secara provokatif dalam suatu wawancara dengan Shusha Guppy:
            . . . mereka katakan bahwa sastra kontemporer sangat dinamis karena dipengaruhi oleh sinema, televisi, kecepatan komunikasi. Tapi yang benar adalah sebaliknya! Bila kamu bandingkan teks Yunani kuno dengan kesusastraan hari ini, kamu akan menemukan bahwa sastra klasik beroperasi pada wilayah yang sangat luas, melukis pada kanvas yang jauh lebih besar, dan punya suatu ukuran keakbaran secara tak terbatas – sebuah huruf bergerak di antara langit dan bumi, dari suatu kadewatan ke fana, dan kembali lagi, sama sekali secara nirwaktu! Kecepatan tindakan, visi kosmis pada satu setengah halaman dalam buku kedua Iliad tak mungkin ditemukan dalam penulis modern. Kisahnya sederhana: Agamemnon telah berbuat sesuatu yang menggusarkan Zeus, hingga menyebabkannya menjatuhkan hukuman baginya. Ia memanggil seorang pembawa pesan dan memerintahnya terbang ke bumi, mencari jendral Yunani bernama Agamemnon, untuk memasukan mimpi palsu dalam kepalanya. Pembawa pesan tiba di Troya, mendapati Agamemnon tidur, menuangkan mimpi palsu ke dalam kepalanya bak cairan, lantas kembali ke Zeus. Pada pagi hari Agamemnon memanggil para perwiranya dan berkata pada mereka bahwa ia mendapat mimpi indah dan bahwa mereka akan menyerang orang-orang Troya. Ia menderita kekalahan yang menghancurkan. Semua itu hanya satu setengah halaman! Suatu hal yang melintas dari otak Zeus ke otak Agamemnon, dari langit ke bumi. Penulis hari ini mana yang dapat membikinnya? Misil-misil balistik tak secepat itu![17]


*****



 Disampaikan pada Diskusi Sastra & Politik, 20 Maret 2018, di Gedung KAUJE Universitas Jember. Sebagian dari tulisan ini dicuplik dari “Puisi-puisi Halim Bahriz: Penyingkapan Reproduksi Otentisitas dalam Manufaktur Kultural Kapitalisme Lanjut” yang direncanakan dimuat sebagai kata pengantar dalam buku antologi puisi tunggal Halim Bahriz yang segera diterbitkan.  


[2] Paragraf pertama ini bisa dikatakan sebagai tafsir dan komentar terhadap tulisan Armijn Pane, “Seniman, Pudjangga dan Masjarakat”, dalam E. Ulrich Kratz (penyunting), Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation, 2000. Saya sengaja mengabaikan pemilahan hirarkis antara seniman dan pujangga yang dilakukan Arijn Pane dalam artikelnya tersebut, bukan saja hal ini akan dapat memicu perdebatan berlarut-larut  yang melibatkan ego sektoral dalam lapangan kesenian, tapi juga karena untuk tujuan tulisan ini. 
[3] Walter Benjamin, “The Author as Producer” dalam New Left Review I/62, July-August 1970. Terutama pada paragraf 1 – 4.
[4] G.W.F Hegel, Bernard Bosanquet & WM Bryant (trans.), Hegel’s Lectures on Aesthetic, The Journal of Speculative Philosophy, 1886. Diunduh dari http://www.sophia-project.org/uploads/1/3/9/5/13955288/hegel_aesthetics.pdf 
[5] Louis Althusser, “Surat tentang Seni: Sebagai Jawaban untuk André Daspre”, dalam Filsafat sebagai Senjata Revolusi, Resist Book, 2007. Pada halaman 267-268 Althusser menulis begini, “Baik Balzac maupun Solzhenitsyn sama-sama tak menghadirkan buat kita pengetahuan apapun mengenai dunia yang mereka deskripsikan. Mereka hanya membuat kita bisa ‘melihat’, ‘menangkap’, atau ‘merasakan’ realitas ideologi dunia yang mereka deskripsikan. Ketika kita membicarakan ideologi, kita harus tahu bahwa ideologi-lah yang masuk ke dalam eksistensi manusia”. Mengenai ideologi seni (secara longgar saya sebut ideologi estetik) baca halaman 271-272, “Penciptaan dianggap sebagai sebuah bahasa ‘yang spontan’, namun kita tahu dari Marx dan Lenin bahwa setiap bahasa ‘yang spontan’ pada hakekatnya merupakan sebuah bahasa yang bersifat ideologis, kendaraan bagi sebuah ideologi, dalam hal ini ideologi seni dan ideologi tentang aktivitas penciptaan efek-efek estetik”.    
[6] Untuk soal ini baca, Armijn Pane, “Kesoesastraan Baroe II” dalam E. Ulrich Kratz (penyusun), Sejarah Sastra Indonesia Abad XX, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation, 2000, terutama halaman 33 dan 35.
[7] Dr. Keith Foulcher dalam Pujangga Baru: Kesusastraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933-1942, Sugiarta Sriwibawa (penerjemah) dan Ajip Rosidi (penyunting), menyatakan dalam hal. 58, “ . . . terdiri atas pengulangan baris-baris yang tersusun dengan pola tertentu. Bentuk “bebas” atau yang susunannya ditentukan alam perasaan yang hendak diungkapkan, dapat dikatakan benar-benar tidak ada dalam sajak Pujangga Baru  
[8] Saya berhutang banyak kepada pemikiran Walter Benjamin tentang bagaimana tekhnologi reproduksi mempunyai pengaruh pada dinamika bentuk estetik yang berinteraksi timbal balik dengan hubungan produksi. Lihat “The Work of Art in The Age of Mechanical Reproduction” dalam Illuminations, Harry Zohn (penerjemah) dan Hannah Arendt (editor), Shocken Books, New York, 2007 dan “The Author as Producer”,  dalam New Left Review , I/62, July – August 1970.   
[9] William Fielding Ogburn membagi evolusi kultural berkait dengan penemuan tekhnologi menjadi empat tahap: penemuan, akumulasi, penyebaran, penyesuaian. Culutral lag dapat terjadi antara tahap penyebaran dan penyesuaian di mana penyebaran tekhnologi baru pada wilayah yang tidak sama tingkat kulturalnya dengan wilayah asal penemuan menimbulkan ketidakseimbangan pada sistem kultural. Lihat, William Fielding Ogburn, On Culture and Social Change: Selected Papers, ed. Otis Dudley Duncan, University of Chicago Press, 1964, hal. 21 – 32.    
[10] Armijn Pane dalam Produksi Film Tjerita di Indonesia: Perkembanganja sebagai Alat Masjarakat, Badan Musjawarat Kebudajaan Nasional, 1953, pada hal. 8  menyatakan bahwa tumbuhnya journalistik dan persuratkabaran pada akhir abad 20 yang memicu akulturasi, perpaduan antara gaya bahasa sastra Melayu kuno dan gaya pemberitaan barat, menimbulkan cerita-cerita secara baru seperti Tjerita si Tjonat (1900) dan Tjerita Njai Dasima (1896). Dua cerita tersebut adalah contoh dari penggunaan Melayu Rendah (Melayu Tionghoa) dalam karya sastra dan dianggap tidak mempunyai nilai sastra. Gaya bahasa yang dikembangkan Balai Pustaka dan Pujangga Baru berbeda dengan gaya bahasa tersebut, meskipun tidak menutup kemungkinan adanya keterpengaruhan. Gaya bahasa Melayu Rendah inilah yang banyak digunakan dalam karya-karya yang dikategorikan sebagai “bacaan liar”. Hal ini berimplikasi luas pada pembabakan “resmi” atau pembagian angkatan dalam sejarah sastra Indonesia modern.        
[11] Lihat Subagio Sastrowardoyo, “Catatan tentang Simphoni”, dalam Pamusuk Eneste (editor), Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang, PT. Gramedia Jakarta, 1983.
[12] http://jurnalfootage.net/v4/suatu-hari-kita-hanya-akan-mengenang-seluloid/
[13] Fredric Jameson, “Postmodernism and Consumer Society” dalam The Cultural Turn: Selected Writings on the Postmodern 1983 – 1998, Verso, 1998. Untuk pembahasan mengenai arsitektur postmodern lihat hal. 10 – 16.  
[14] Slavoj Zizek, dalam Multiculturalism or the Cultural Logic of Multinational Capitalism?, New Left Review, I/225, September – October 1997, menyatakan bahwa Bill Gates lazim merayakan ruang-siber sebagai terbukanya masa depan “friction-free capitalism” yang mana sifat antagonistik relasi sosial dalam hubungan produksi secara ilusif dilenyapkan dalam ruang interaksi timbal-balik yang “friction-free” di mana partikularitas posisi sosial partisipan dilenyapkan.  
[15]Fredric Jameson, “Postmodernism and Consumer Society” dalam The Cultural Turn: Selected Writings on the Postmodern 1983 – 1998, Verso, 1998. Untuk pembahasan pastiche lihat hal.4.
[16] Buku kumpulan puisi Nirwan Dewanto; Jantung Lebah Ratu, Gramedia Pustaka Utama, 2008 dan Buli-Buli Lima Kaki, Gramedia Pustaka Utama, 2010; saya kira banyak menghimpun contoh puisi Nirwan Dewanto yang menggunakan diksi-diksi arkaik. Sementara Enin Supriyanto dalam komentar sokongan pada Jantung Lebah Ratu memuji Nirwan Dewanto dalam menggunakan bentuk gurindam, pantun, dan haiku dengan kecermatan rima dan birama, dan kelincahan bertutur. Apa yang dinyatakan Enin tersebut mengingatkan saya pada perdebatan di Facebook bertahun lalu yang dipicu oleh penjajaran Utan Kayu dengan Pujangga Baru yang dinyatakan Saut Situmorang. Dari segi bentuk saya kira Saut tak keliru. Namun demikian, diksi-diksi yang digunakan atau dikomposisikan oleh para penyair Pujangga Baru jauh lebih gamblang, bahkan kerap klise, dibanding dengan diksi-diksi yang digunakan oleh Nirwan Dewanto yang, saya kira, dengan sengaja mengomposisikan diksi-diksi lama untuk menimbulkan efek defamiliarisasi atau penjarakan.  
[17] “Ismail Kadare, The Art of Fiction No 153”, dalam The Paris Review, Issue 147, Summer 1998, terjemahan cuplikan oleh saya.      


Tidak ada komentar:

Posting Komentar