Laman

Senin, 06 Mei 2019

Egalitarianisme, Pengajaran Kerja-lapang dan Kalistenik Anarkis







Wawancara dengan James C. Scott
Egalitarianisme, Pengajaran Kerja-lapang
dan Kalistenik Anarkis
Oleh Diego Palacios Cerezales, Diogo Duarte, Jose Manuel Sobral dan Jose Neves

Analise Social, 2006, XLVIII (2.0), 2013
ISSN ONLINE 2182-1999

 
EDICAO E PROPRIEDADE
Instituto de Ciencias Sociais da Universidade de Lisboa. Av. Professor Anibal de Bottencourt, 9
1600-189 Lisboa Portugal – analise. social@ics.ul.pt







Egalitarianisme, Pengajaran Kerja-lapang
dan Kalistenik Anarkis
Wawancara dengan James C. Scott Oleh Diego Palacios Cerezales, Diogo Duarte, Jose Manuel Sobral dan Jose Neves


James C. Scott adalah Profesor Kepala Ilmu Politik dan Antropologi di Universitas Yale di mana ia bertanggungjawab untuk Program dalam Kajian-kajian Agraria. Penulis buku-buku fundamental tentang lapangan-lapangan kajian Agraria dan Gerakan-gerakan Sosial (tapi beresonansi luas dalam bidang-bidang ilmu sosial lain), yakni The Moral Economy of the Peassant: Rebellion and Subsistence in Southeast Asia (1977), Weapons of the Weak Everyday Forms of Peassant Resistance (1985), dan Domination and the Arts of Resistance: Hidden Transcripts (1990), Scott akhir-akhir ini juga menerbitkan The Art of Not Being Governed: An Anarchist History of Upland Southeast Asia (2009). Karyanya telah menjadi sumber utama inspirasi bagi kami dan karena itu kami mengundangnya untuk mengunjungi Portugal guna mendiskusikan sejumlah elemen-kunci penelitian-penelitiannya.

Percakapan berikut bertempat di Lisbon, April 2012, diikuti banyak mahasiswa dan peneliti baik dari Portugal maupun Spanyol. Percakapan awalnya diarahkan oleh pertanyaan kami sendiri dan kemudian dibuka untuk diskusi, menerima beberapa pertanyaan dari hadirin. Subyek diskusi berkisar dari ikutserta Scott dalam Gerakan Perestroika  dalam Ilmu Politik sampai kritiknya mengenai  Negara dan konsep modernisme-tinggi (lihat Seeing like a State – How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed, buku Scott 1998). Percakapan juga termasuk suduat pandangnya mengenai perlawanan dan kaitannya dengan sumbangsih oleh para penulis seperti, diantaranya, E.P. Thompson, Michel Foucault, dan Pierre Clastres. Akhirnya, kita juga mendiskusikan kemungkinan suatu “arus-balik anarkis” dalam ilmu-ilmu sosial dan mengenali hukum Scott tentang kalistenik anarkis, dan beberapa petunjuk mengenai buku barunya, Two Cheers for Anarchism: Six Easy Pieces on Autonomy, Dignity, and Meaningful Work and Play (2012).[1]   



*



PEWAWANCARA (PWW)
Mari kita awali dengan beberapa pertanyaan perihal formasi akdemis awal anda, yang mana, sejauh kami tahu, lebih langsung berhubungan dengan Ilmu Politik. Jadi, Bagaimana bisa anda masuk Antropologi dan bagaimana Antropologi memasuki tempat penting dalam karya anda?

JAMES C. SCOTT (JCS)
Terimakasih. Aku tersanjung sekaligus ngeri karena jumlah orang di sini dan juga karena perubahan tempat acara. Ruangan lainnya kecil dan nyaman dan yang ini ruangan yang mengintimidasi. Karena struktur hirarkisnya, aku merasa aku hendak mengoperasi beberapa pasien dan mencangkok ginjal. Jadi, ruangan memerlukan sesuatu yang lebih penting dariku daripada yang aku harus sampaikan dan aku ingin kalian semua tahu bahwa kalian semua dapat panjang umur dan hidup bahagia tanpa mendengarkanku. Aku dididik sebagai ilmuwan politik dan pertanyaan mengenai bagaimana aku menjadi seorang antropolog, seorang antropolog gadungan, tumbuh dari karyaku mengenai para petani gurem.  Aku menulis sebuah buku berjudul Moral Economy of the Peasant – Rebellion and Subsistence in Southeast Asia sudah lama lalu [1977], buku utama pertamaku, didasarkan sepenuhnya pada sumber-sumber  perpustakaan dan karya arsip. Setelah aku menerbitkannya, orang-orang bertanya padaku di mana aku lakukan kerja-lapangku dan faktanya aadalah aku tidak melakukan kerja-lapang. Jadi, aku malu bahkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Karena aku putuskan untuk membaktikan karierku pada titik ini untuk mempelajari para petani gurem, aku pikir bahwa, bila aku akan melakukannya, aku perlu menghabiskan dua tahun atau lebih di sebuah desa petani gurem, sehingga setiap saat aku tergoda untuk membuat suatu generalisasi besar, aku punya sebuah tempat nyata yang aku pahami dan sehingga aku dapat menguji generalisasi-generalisasi . Jadi, aku menghabiskan dua tahun di sebuah desa Melayu, hasilnya adalah Weapons of the Weak, seperti yang kalian tahu. Faktanya aku adalah seorang pembelot, seorang desertir dari pasukan para ilmuwan politik dan aku secara formal tidak pernah dididik sebagai seorang antropolog. Sekitar limabelas tahun lalu, saat aku memberikan ceramah kecil di Toronto, posternya menyebut “James Scott, antropolog sosial dari Yale”. Itu adalah pertamakali seseorang keliru menyebutku sebagai seorang antropolog dan aku sangat bangga, aku simpan poster kecil itu. Itu seperti seseorang yang ingin diterima sebagai anggota suatu suku dan ditolak dan kemudian, akhirnya, aku punya momen yang aku dapat telah lalui, seperti kita katakan, sebagai seorang antropolog. Aku selalu mengiri Antropologi dan aku lebih bahagia dalam suku ini daripada sebelumnya dalam suku Ilmu Politik.      

PWW    Dalam analisa anda, seperti yang kita telah diskusikan, pemahaman orang-orang terhadap situasi mereka sendiri, pandangan-dunia mereka, adalah sangat penting. Apakah anda piikir ada sesuatu yang biografis dalam relevansi ini? Apakah ini merefleksikan ideal-ideal demokrasi yang anda disosialisasi dalam diri anda?
JCS         Aku belum memikirkan pertanyaan itu. . . Aku dapat menceritakan pada kalian mengenai keberkaitan tapi aku tak yakin kisahnya hakiki. Kita semua menceritakan kisah mengenai diri kita sendiri. Izinkan aku memulai jawaban dengan suatu kisah yang aku sangat senangi, oleh Jean-Paul Sartre. Aku kira dalam L’Être et le néant (Being and Nothingness), ia menciptakan situasi yang mana seorang lelaki menghadapi suatu pilihan apakah tetap tinggal bersama ibunya yang sakit atau pergi bersama istrinya yang pergi untuk kerja. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan: ada sedua kewajiban yang ia pikul. Tapi harinya tiba, sama seperti saat hari pemogokan tiba dan orang-orang harus memutuskan untuk ikut mogok atau tetap tinggal di pabrik. Bagaimanapun, saatnya tiba dan katakan saja, lelaki itu memutuskan untuk tinggal bersama ibunya yang sakit. Argumen Sartre adalah bahwa kelak ia akan dapat memberimu suatu kisah tentang mengapa ia adalah sejenis laki-laki yang mau tinggal bersama ibunya yang sakit.  Ini tidak menjelaskan mengapa ia lakukan apa yang ia lakukan, ini hanya berarti bahwa ia harus menciptakan suatu kisah kelak untuk memahami dirinya sendiri. Dengan cara yang sama orang-orang menunjukan hubungan dalam karyaku yang aku tak yakin benar-benar hakiki tapi aku akan ceritakan kisah yang sesuai untuk pertanyaanmu. Aku bersekolah di suatu sekolah Quaker. Aku tak tahu apakah kalian tahu banyak mengenai Quaker, tapi secara historis Quaker adalah sekte protestan yang keras yang tumbuh dalam Perang Sipil Inggris. Mereka menolak untuk menyebut “Sir”, “Ma’am” atau “Mr.”, mereka menolak melepas topi, mereka memanggil setiap orang dengan nama depannya. Ini adalah sejenis egalitarianisme linguistik, bila kalian suka. Dan mereka adalah suatu sekte radikal. Pemimpin pertama Quaker diingkari, secara prinsip, dalam reaksi Cromwellian. Di sekolah di mana aku tumbuh ada banyak pengelak wajib militer dari Perang Dunia Kedua, para lelaki baya yang memilih masuk penjara daripada bertempur dalam ketentaraan. Sebagaimana kalian dapat bayangkan, ini bukan suatu hal populer untuk diperbuatdan begitulah aku mempunyai, dalam arti itu, teladan dipenjelang ku para lelaki yang memilih masuk penjara dan yang mampu tegak berdiri dalam suatu kerumunan banyak orang dan menjadi seorang minoritas. Aku pikir Quaker mengajariku bagaimana tegak berdiri dalam suatu kerumunan orang banyak dan menjadi yang minoritas. Quaker dapat melakukannya seraya mencintai musuh mereka; aku tidak dapat melakukannya. Aku hanya dapat tegak berdiri sebagai seorang minoritas, justru dengan marah. Jadi, aku tidak punya jiwa Qiuaker tulen. Tapi Quaker punya suatu hal lain, yang mana berada pada pusat doktrin mereka mengenai “cahaya Tuhan dalam setiap manusia”, entah seorang pengemis atau seorang budak. Quaker bertanggungjawab atas reformasi penjara, untuk apa yang disebut rel-kereta bawahtanah yang membawa para budak ke Kanada melalui suatu pengambilalihan areal-areal pertanian sepanjang jalan utara, sehingga mereka dapat melarikan diri. Mereka bertanggungjawab untuk sebagian besar pendidikan bagi para Pribumi Amerika. Ada semacam “pekan-kerja” Quaker yang mana kita akan menghabiskan sepekan di tengah-tengah mereka yang sangat termiskin di Philadelphia.  Ini semacam perjalanan pengusiran yang Quaker berikan padaku dan itu sangat mempengaruhi. Aku tidak tumbuh besar dalam keluarga Quaker, karena kedua orangtuaku ateis. Aku kemudian sempat menjadi seorang Quaker walaupun hari ini aku tidak mempraktikan Quakerisme. Sekolah itu luar biasa mempengaruhiku. Ayahku meninggal saat aku sembilan tahun dan jadi sekolah menjadi semacam orangtua pengganti bagiku. Tapi, sekali lagi, ini adalah suatu kisah yang aku ceritakan dan ini sebenar setiap kisah yang aku mau kisahkan pada kalian. Tapi aku tidak benar-benar yakin ini berkaitan.
PWW    The Moral Economy of the Peasant memicu debat sengit dalam kajian petani gurem dan, terutama, antara anda dan Samuel Popkin, yang menulis sebuah buku untuk membanrah tesis anda. Terminologi-terminologi debat tersebut tidak sepenuhnya baru, dan mengulangi beberapa diskusi lama antar pandangan-pandangan antropologi yang bertentangan mengenai pentingnya budaya guna memahami ekonomi untuk argumen-argumen yang lebih bermanfaat. Debat tersebut sangat relevan dengan ekonomi dan sudut-sudut pandang antropologis  mengenai individu dan sosial, tapi juga punya kemaknaan epistemologis yang dalam. Apakah anda pikir ini diskusi yang masih berarti saat ini dan, jika demikian, dengan cara apa anda pikir bahwa terminologi-terminologi debat ini telah berubah sejak itu?
JCS         Bagi diantara kalian yang mungkin telah membaca The Rational Peasant – The Political Economy of Rural Society in Vietnam-nya Samuel Popokin [1979] dan buku pertamaku The Moral Economy of the Peasant, ini mungkin berarti. Hal yang menyesalkanku mengenai debat tersebut adalah penyebutan bukuku The Moral Economy of the Peasant, yang mana disarankan pada beberapa orang bahwa aku pikir para petani gurem adalah altruis, bersedia untuk membaringkan hidup mereka bagi sesama mereka dan ini adalah “satu untuk semua dan semua untuk satu”, semacam komunitas komunis primitif. Tapi aku menyatakannya sangat jelas bahwa para petani gurem, sebagaimana aku pahami, berperilaku sangat-sangat rasional dan bahwa mereka ingin melindungi diri mereka sendiri terhadap dampak paling buruk dari kekurangan pangan dengan pengaturan-pengaturan sosial yang memberikan suatu jaminan terhadap dampak yang paling buruk. Dalam hal ini, aku mempunyai suatu gambaran para petani gurem yang benar-benar rasional yang beroperasi dalam kondisi-kondisi yang sangat sulit guna memastikan bahwa masalah-masalah pasokan pangan mereka tidak mengakibatkan paceklik dan kelaparan. Aku pikir bukuku adalah suatu kajian mengenai kaum petani gurem yang rasional. Manakala Samuel Popkin menyebut bukunya The Rational Peasant, ini menyiratkan bahwa aku punya suatu teori yang gila atau kaum tani altruistik. Aku pikir ini sangat pintar; ini misrepresentasi debat dan, tentu saja, seperti yang kalian siratkan, dua buku tersebut lantas dianggap sebagai semacam “kembar setan” dalam banyak ruang kelas dan aku pikir ini adalah ruang kelas yang berhasil sebagai pengajaran debat, walaupun aku pikir judulnya mengarahkan pada banyak kesalahpahaman. Pertanyaannya adalah apakah perdebatan ini sahih pada hari ini, aku kira jawabannya ya, artinya, bahwa dalam Ekonomi dan Ilmu Politik gagasan Individu yang memaksimalkan agen berada tepat di pusat Ekonomi Neoklasik dan banyak Teori Pilihan Rasional dalam Ilmu Politik.
                Walaupun aku pikir Teori Pilihan Rasional mempunyai hal-hal penting yang mengajari kita, pokok dalam The Moral Economy of the Peasant adalah pengaturan yang mungkin telah mempunyai suatu basis rasional, lama kelamaan, bila bernilai dan menjadi lazim, memerlukan semacam nilai moral, sehingga manakala dirusak dan dilanggar, reaksinya bukan hanya kehilangan pangan atau pendapatan, tapi suatu reaksi yang mempunyai nada moral terhadap pelanggaran semacam kontrak sosial. Kalian tidak dapat menghitung, aku kira, untuk kegusaran, kemarahan, dan kegeraman petani gurem, kecuali kalian menghitung, bila kalian mau, surplus kegeraman yang melampaui apa yang diturunkan secara rasional. Dan nampak padaku bahwa kita dapat katakan ini tentang segala hal pilihan kita, kendatipun banyak orang berbicara dalam semacam kosakata neoklasik mengenai relasi-relasi personal (dalam bahasa Inggris dan bahasa Inggris Amerika, orang akan mengatakan “Aku banyak berinvestasi padanya” dan “Aku harus memangkas kerugianku”, dan sebagainya). Ini kosakata yang menjadi hegemonik sementara faktanya kita tahu tak seorangpun membuat pilihan seperti ini yang tidak dimasukan dengan suatu penanaman kombinasi  yang menerima gagasan mengenai apa yang wajar, adil, lazim, tradisional dalam kobtrak sosial, disamping kalkulasi rasional, yang mana mendapat tempat tapi bukan tempat yang hegemonik dalam pembuatan keputusan kita mengenai apapun.
PWW    Anda telah mengkritik gagasan bahwa bawahan mematuhi tatanan yang ada karena mereka menerima ideologi dominan. Tapi dalam karya Anda, Anda terutama membahas bentuk-bentuk dominasi yang berkaitan dengan perbudakan, kepemilikan, kelas, dan kekuasaan politik. Tidakkah Anda pikir bahwa beberapa tipe ketaksetaraan diterima secara lebih luas, seperti yang berkait dengan pememilikan kebudayaan atau modal pendidikan? Dan tidakkan ini berarti bahwa mereka yang kurang atau tidak punya akses pada hal-hal tersebut mempercayai pentingnya modal-modal tersebut?
JCS         Aku kira pertanyaanmu tepat dan penting. Dalam The Moral Economy of the Peasant, Weapons  of the Weak and Domination and the Arts of Resistance, aku memilih dengan sengaja, secara seksama, situasi-situasi yang di dalamnya terjalin hubungan-hubungan biner yang kuat (sahaya dan majikan, budak dan tuan, petani gurem dan tuan tanah, paria dan brahmana) sebagian karena ada kepustakaan yang membuatku memahami kedua sisi biner tersebut. Ini memperlihatkan padaku bahwa manakala kalian memiliki, katakanlah, barang prestise yang bernilai seperti kemakmuran atau pendidikan  yang, setidaknya secara mendasar, dapat dicapai oleh semua, maka ini jauh lebih mudah untuk melegitimasi perbedaan. Tentu, pada Republik Revolusi pasca-Prancis Modern mitologinya adalah bahwa perbedaan-perbedaan yang eksis didasarkan pada kriteria meritokratis: prestasi, pendidikan, gelar, keterampilan, dan sejenisnya. Dalam hal ini, dan ini adalah cara yang sangat kasar untuk memahami demokrasi kontemporer, namun ini juga suatu titik tolak yang bagus, dalam kehidupan politik Barat neoliberal yang diorganisir untuk keuntungan bagi 15% atau 20% yang berada di puncak dari distribusi pendapatan. Mereka mengontrol legeslasi, uang, partai-partai dan semacamnya. Muslihat dalam suatu pemilihan adalah meyakinkan 30% berikutnya untuk takut pada 50% yang berada di dasar daripada cemburu pada 20% yang berada di puncak. Ini adalah sihir perdukunan pada setiap pemilihan. Ini tidak selalu berhasil, tapi untuk sebagian besarnya ini berhasil karena, seperti Gramsci pahami, kuntungan-keuntungan posisional untuk menanamkan pengaruh kemakmuran di media, dan sejenisnya, mempunyai suatu kekuasaan besar untuk meyakinkan mereka yang 30% bahwa posisi mereka juga lemah. Dalam hal ini, kebermungkinan pelegitimasian perbedaan-perbedaan dalam peluang-peluang hidup, dan penghargaan untuk hal tersebut, dalam demokrasi sekular modern jauh lebih besar dari yang ada dalam sistem yang aku analisa dalam karyaku.  Ini seperti ilmiahisme pertengahan, suatu permainan internal. Aku sebenarnya berpikir bahwa air pasang telah menyerang pemodelan formal dan kuantitatif semata-mata dan pilihan rasional bekerja, sebagian karena “gerakan Perestroika”, tapi tidak hanya karena itu. Ada yang lebih menekan pada tekhnik-tekhnik kualitatif, dan sehingga, aku tak secara umum optimis, tapi aku pikir ombak telah memuncak untuk pemodelan formal semata-mata dan kerja kuantitatif semata-mata.
PWW    Karya anda menghubungkan dirinya sendiri pada dua warisan yang kerap mengkhususkan: warisan E.P. Thompson dan warisan Foucault, yaitu kajiannya mengenai governmentality, kekuasaan, dan perlawanan. Dan, untuk menyatakannya secara mudah dan secara terbuka: Apa yang pemikiran Foucault tersebut berikan pada persepektif-perspektif anda yang Thompson tidak berikan? Dan apa anda pikirkan mengenai pemikiran bersama seduanya?
JCS         Pertanyaan itu memerlukan sehari penuh simposium mengenai E.P. Thompson dan mengenai Foucault, tapi kita tak punya waktu untuk itu. Disamping The Great Transformation-nya Karl Polanyi, The Making of the English Working Class-nya E.P Thompson mungkin hal paling penting yang aku baca ketika aku seorang sarjana yang masih muda: Aku dapat mengingat kursi dan ruangan yang di mana aku duduk seraya membacanya, ini sangat terkenang. Bagiku, argumen bahwa kesadaran kelas adalah suatu produk perjuangan kelas daripada perjuangan kelas adalah suatu produk dari kesadaran kelas, adalah pemikiran yang brilian. Ini bukan seolah-olah ada suatu kelas yang sadar proletariat yang kemudian memutuskan untuk berjuang tapi bahwa, faktanya, suatu perasaan kekelasan keluar dari perjuangan-perjuangan menuntut upah, menuntut, seperti yang ia katakan, jatah biskuit dan hal-hal kecil. Dari hal tersebut, suatu perasaan tentang siapa kita dan apa yang sedang kita perjuangkan, muncul kesadaran kelas. Ini, seperti yang ia katakan, syarat terakhir dari relasi kelas, bukan yang pertama.  Aku pikir ini mengarahkan orang yang mau mempelajari kelas mengenai mikro-politik perjuangan-perjuangan pada level dasar. Bagiku, itu adalah contoh pertama mengenai seseorang yang telah melakukannya dengan cara yang meyakinkan yang aku ingin teladani dalam karyaku sendiri. Foucault betul-betul hal yang sangat berbeda dari apa-apa yang telah kita bicarakan. Aku kira, karya Foucault paling penting bagiku adalah Discipline and Punishment. Tidak dapat dibayangkan aku dapat menulis Seeing Like a State – Betapa skema-skema tertentu untuk meningkatkan kondisi manusia telah gagal tanpa suatu gambaran usaha Foucault.  Ia tidak menggunakan kata legibiltas, yang mana aku gunakan dalam Seeing Like a State, tetapi, dalam suatu artian, ia mempunyai suatu teori legibiltas yang aku pinjam sangat banyak. Jadi, Aku banyak berhutang pada Foucault. Satu hal – dan aku duga tak seorang akan mencelanya sebagai orang mati – tapi satu hal yang aku kritik dari Foucault adalah karena ia terus menjanjikan suatu teori perlawanan yang ia tidak pernah wujudkan. Katakanlah, ia benar-benar meyakinkan mengenai dampak-dampak kapiler kekuasaan, legibilitas, kontrol, cara kekuasaan bekerja pada level-level  mikro. Ia kemudian terus mengatakan perlawanan dapat dipahami dengan cara yang persis sama, tapi ia tidak pernah cukup bergerak untuk mengisi sisi lain yang ia janjikan. Aku yakin ia sudah, ia telah mengajariku banyak hal. Aku terus menunggu. Bersama setiap buku baru yang ia terbitkan, aku membayangkan, “Ini, ini akan mengajariku mengenai perlawanan!”. Aku kira ia sangat memesona dan sangat brilian dalam menggambarkan dampak-dampak mikro kekuasaan sehingga ia tidak pernah ke mana-mana untuk mengerjakan banyak hal guna menganalisa perlawanan dengan cara yang sama.
PWW    Kajian-kajian Agraria adalah bagian penting dari karya Anda dam Anda bahkan bertanggungjawab untuk pengorganisasian suatu seminar penting mengenai tema ini di Yale untuk lebih dari satu dekade. Kami ingin mengetahui pemikiran-pemikran Anda tentang peningkatan jumlah paten bibit dan tanaman dan, terutama, bagaimana kau melihat fenomena macam ini dalam cahaya suatu karya seperti Seeing Like a State?
JCS         Aku tidak menganggap aku punya segala yang lebih waskita untuk mengatakan mengenai hal ini daripada kalian semua, mungkin. Aku belum mengerjakan suatu kajian khusus mengenai itu, meskipun aku punya sejumlah siswa yang tertarik pada Monsanto dan Genetically Modified Organisms (GMO). Usaha yang bermula di Pengadilan Amerika tahun 1970-an untuk mematenkan bentuk-bentuk kehidupan yang adalah semacam pengandangan kebersamaan, suatu pengandangan botanis dan kekayaan organik di dunia, yang di dalamnya kalian kemudian dapat mengambil suatu komposisi organis dan dengan mengubah satu asam amino kamu dapat mematenkan bentuk kehidupan ini dan menggugat siapapun yang melanggar paten tersebut. Sejarah pemilikan adalah perluasan imperial untuk pemilikan dengan mengandangkan hal-hal yang kau tak pernah imajinasikan sebagai subyek dari relasi pemilikan. Sebagai misal, upaya privatisasi pasokan air, paten bentuk-bentuk baru kehidupan, penyedotan darah dari kelompok-kelompok pribumi guna mematenkan enzim-enzim tertentu yang mereka miliki dan orang lain tak punya. Ini nampak menjadi perbatasan terkahir dari hubungan pemiilikan. Dengan suatu cara, yakni, pemusnahan suatu kebersamaan alami yang kita semua seharusnya mempunyai hak-hak yang setara dan tak harus menjadi subyek klaim-klaim pemilikian pribadi yang monopolistik.  
PWW    Pada hari ini nampak ada semacam kembalinya gagasan dan prinsip anarkis. Hal ini mungkin lebih kasatmata pada level politis/aktivis tapi juga pada level ilmu pengetahuan. Judul dan subjudul buku terakhir Anda berbicara mengenai ini: The Art of Not Being Governed – An anarchist history of upland Southeast Asia. Dan kita juga dapat menyebut karya kolega Amerika dan antropolog Anda, David Greaber, sebagai misal, dengan Fragments of an Anarchist Anthropology-nya. Impilkasi-implikasi dalam ilmu-ilmu sosial macam apa yang dapat kita harapkan dari semacam “kembalinya anarkis”. Akankah ada suatu implikasi pada level metodologi, epistemologi, etik, gaya penulisan?
JCS         Juga suatu pertanyaan yang menarik karenanya aku pikir aku mungkin punya sesuatu untuk aku tambahkan. Pada permulaan upayaku untuk memahami revolusi-revolusi kaum tani gurem, aku menyadari bahw hampir semua revolusi yang aku pelajari justru menciptakan Negara yang lebih kuat yang mampu menyejahterakan dirinya sendiri dengan menghisap rakyatnya dengan lebih menindas dan menyeluruh dibanding kan Negara yang digantikannya. Karenanya tumbuh perasaan sedih dan murung jika membaca sejarah-sejarah revolusi yang menciptakan Negara-Negara yang lebih kuat dan kerap lebih menindas. Seorang kawanku pernah berkata, “Kau tahu, ketika revolusi menjadi negara saat itulah ia menjadi musuhku”. Aku pikir ini adalah pengamatan yang tepat. Jadi, aku dengan sendirinya mengatakan hal-hal yang sebelumnya mereka ujarkan, aku menyadari dalam kepalaku, “Suara-suara seperti apa yang seorang anarkis akan katakan”. Dan demikianlah: dua titik membuat sebuah garis dalam geometri, tapi manakala titik ketiga, keempat, kelima, dan keenam semuanya menoktah pada garis yang sama , kalian harus memberi perhatian. Jadi, aku putuskan untuk mengajarkan tentang Anarkisme di Yale dan telah berjalan selama tiga tahun, yang mana, seperti kalian dapat bayangkan, membawa semua calon sarjana berjejal dalam satu ruangan. Jika kalian menjatuhkan sebuah bom di atas ruang kelasku, kau akan sudah memusnahkan seluruh calon sarjana di Universitas Yale dalam sekali tiup. Kami bersama-sama membaca anarkis klasik yang kalian semua sudah ketahui. Tapi aku putuskan aku akan mencoba menulis dengan cara berbeda dari yang aku telah tulis secara historis, yang mana adalah suatu cara yang benar-benar dorongan batin. Jadi, aku putuskan untuk mencoba suatu bentuk tulisan yang berbeda, suatu gaya tulisan yang longgar dan lebih mudah.
                Aku menulis sebuah buku yang akan terbit empat sampai lima bulan lagi berjudul Two Cheers for Anarchism!, bukan tiga, tapi dua tempik buat Anarkisme. Bukan tentang sejarah pemikiran anarkis atau gerakan-gerakan anarkis. Kalian tak akan mempelajari apapun tentang hal tersebut dari buku ini. Ini adalah suatu upaya untuk memahami bagaimana jiwa atau kepekaan anarkis yang mungkin dapat membantumu memahami  kesetaraan dan potensi-potensi  kebebasan pada tiap institusi sosial. Anarkisme berarti mutualitas tanpa hirarki, kerjasama dan koordinasi tanpa hirarki, bukan kekacauan tapi jenis tertentu tatanan. Dan juga, Aku berusaha membahas mengenai apa itu arena bermain anarkis, monumen anarkis, situasi kerja anarkis, atau menyerupai kampung halaman masyarakat lama anarkis, dan bagaimana kalian dapat mengevaluasi institusi-institusi dalam hal tingkat kebebasan dan otonomi yang mereka selaraskan dengan masyarakat, dan penghargaan mereka untuk beragam cita-cita masyarakat dan kebutuhan-kebutuhan perubahan mereka, alih-alih memanipulasi identitas dan hasrat masyarakat tersebut. Aku berusaha mengeluarkan, adalam artian, bagaimana suatu kepekaan anarkis mungkin dapat membantu kita mengevaluasi institusi-institusi.
                Aku akan ngomong satu hal lain. Aku memulai buku dengan apa yang aku sebut, dengan lancang, Scott’s law of anarchist calisthenics. Aku di Jerman Timur setahun pada 1991, setelah tembok Berlin runtuh, aku bekerja di sebuh desa kaum tani gurem selama enam pekan guna meningkatkan bahasa Jermanku karena aku tak mau duduk di dalam Goethe Institute dengan para remaja. Pada satu pekan, karena para kaum tani gurem Jerman Timur tempat aku numpang takut padaku dan aku bosan dengan mereka, aku putuskan untuk memberikan liburan pada mereka dariku dan sekaligus meliburkan diriku sendiri dari mereka. Jadi, aku pergi ke kota Neubrandenburg dan untuk enam pekan, menunggu kereta yang akan membawaku kembali ke desa, di depan stasiun kereta aku lihat lampu merah. Saat itu petang dan mutlak tak ada lalang lalu lintas. Dataran Mecklenburg rata: Kalian dapat melihat sejauh delapan kilometer pada tiap arah dan tidak ada kendaraan yang menjelang. Tapi ada 60 orang jerman menunggu lampu berganti. Lampu diatur untuk siang hari, aku kira. Itu memakan waktu lima sampai enam menit, dan semua orang Jerman itu menunggu lampu berganti, dan karena aku merasa percaya diri sebab kalimat bahasa Jerman terakhirku berfungsi, aku jalan menyeberang dan diomeli. Dan apabila kalimat bahasa Jermanku gagal, dan ini kerap terjadi, aku menunggu saja bersama mereka sampai lampu berganti. Marah pada diri sendiri karena menunggu, aku menemukan Scott’s law of anarchist calisthenics, yang berbunyi seperti ini: Suatu hari dalam hidupmu, kau akan terpanggil untuk melanggar hukum besar dan segala sesuatunya akan tergantung pada ini. Berpikir mengenai gerakan hak-hak sipil, melaga kebebasan, melanggar hukum-hukum pelawatan di Afrika Selatan, penangkapan-penangkapan sipil dalam demonstrasi. Jika kalian ingin bersiap untuk hari besar itu, segala sesuatunya akan bergantung pada hal ini, dan kalian, karenanya harus tetap di sasana dan menggembleng diri. Dan jadim kalian harus, setiap dua atau tiga hari, melanggar hukum kecil, sehingga kalian siap ketika momen besar menjelang dan kalian dapat melanggar hukum besar. Dan kemudian aku melanjutkan dengan menjelaskan bahwa di abad 20 setiap episode utama perubahan struktural di Amerika Serikat berasal dari gangguan ekstra-perlementer di luar sirkuit-sirkuit normal politik-politik legeslatif. Ini adalah semacam tragedi bahwa semua institusi demokratis tersebut, yang dianggap menjadi kendaraan-kendaraan penerjemahan dan perubahan untuk kehendak-kehendak rakyat, sesungguhnya tidak berfungsi di negeriku sejak pergantian abad, kecuali jika mereka disertai oleh banjir bah besar kekacauan yang tidak dapat dijinakkan. Perubahan-perubahan besar tersebut hanya terjadi sebagai suatu akibat dari gangguan-gangguan, yang mana dapat mengarah pada lain hal, konsekwensi yang lebih buruk, tapi mereka nampak menjadi suatu kebutuhan  walau kondisinya tak mencukupi untuk perubahan struktural berskala besar.
PWW    Secara umum Anda membahas tindakan negara dengan sangat kritis. Tapi, seperti yang Anda tahu, setelah Perang Dunia Kedua dan dalam konteks Perang Dingin, negara-negara Barat, dan demokrasi sosial terutama, memainkan suatu peran kunci dalam mendemokratisasi masyarakat dan dengan – walaupun tak banyak – menekan ketimpangan-ketimpangan. Negara Kesejahteraan diserang oleh Konservatif sejak tahun-tahun Reagan-Thatcher dan Anda menemukan para pendukungnya pada Kaum Kiri.
JCS       Aku sendiri pasti akan membela Negara Kesejahteraan melawan serangan neoliberal. Bagaimanapun, kita tidak boleh berpikir Negara Kesejahteraan sebagai sekedar produk dari suatu pemerintah yang jinak dan murah hati. Sesungguhnya Negara Kesejahteraan adalah produk dari perjuangan-perjuangan yang menciptakannya keping demi keping. Jika kau berpikir mengenai, katakanlah, New Deal (Kebijakan Baru yang dijalankan oleh Presiden Roosevelt untuk mengatasi Depresi tahun 1930-an) di Amerika Serikat, legislasi sosial adalah hasil dari kerusuhan, yang membuat Franklin Roosevelt berpaling pada aspek-aspek perubahan struktural yang kita tahu disebut New Deal. Itu bukan suatu pengakuan oleh para elit bahwa rakyat membutuhkan Negara Kesejahteraan. Itu adalah, jika kalian mau, suatu reformas kontra-revolusioner, guna menjegal apa yang nampak seperti situasi revolusioner. Dalam arti yang sama, dan ini hal aneh untuk mengatakannya, alih-alih aku rindu Perang Dingin. Pada puncaknya Barat di Dunia Ketiga dan di Amerika Latin mendorong reforma agraria, karena mereka takut pengambilalihan komunis di Amerika Latin, sebagian Afrika, Asia Tenggara, atau Vietnam. Reforma agraria adalah suatu upaya mengatasi komunis untuk redistribusi egalitarian untuk komoditas paling penting bagi kaum tani gurem: tanah. Sejak 1989, aku menantang kalian untuk menemukan dokumen Bank Dunia atau IMF yang membahas secara serius mengenai reforma agraria. Begitu momen Blok Sosialis sirna, reforma agraria tidak pernah dikemukakan lagi.
PWW    Anda berbicara mengenai nostalgia. Kembali pada gagasan ini yang kadangkala dalam E.P. Thompson dan dalam karya Anda muncul, dan ini bisa jadi dikritisi atau tidak, suatu nostalgi atau kritik romantik modernisasi. Sebagai misal, dalam Seeing Like a State, Anda entah mengapa tak menghargai – aku tahu kalau ini bukan kata yang pantas – proyek urban sebuah kota seperti Brasilia dan memberikan pujian pada sebuah kota seperti Bruges. Bukankah ada resiko kalau keterpikatan romantik Anda akhirnya mengidealkan suatu pabrik urban kota-kota seperti Bruges?
JCS     Ya. Aku mencoba menggunakan Bruges sebagai misal suatu kota yang tumbuh lebih kurang secara organik tanpa rencana terpusat pun, sebagaimana juga Damascus atau Fez: hampir tidak ada jalanan bersudut siku-siku, gang-gang yang ada biasanya hasil dari jalansetapak-jalansetapak dan lintasan-lintasan dari periode sebelumnya, dan demikianlah kalian mendapatkan bentuk urban yang di dalamnya ada suatu kesatuan fungsi dan tiadanya rencana terpusat menyeluruh. Penggunaanku atas Bruges bukan untuk memuji hubungan-hubungan sosial pada awal kota, sebagai egalitarian dan wajar, tapi untuk memberikan suatu misal dari suatu kota yang tumbuh yang secara mendasar berbeda dari kota-kota pencerahan seperti Chicago, Philadelphia, atau Brasilia, yang mana direncanakan dari atas. Alasan aku menggunakan Brasilia, sesungguhnya, karena direncanakan oleh para arsitek sayap kiri (Lucio Costa dan Oscar Niemeyer), yang punya keyakinan komunis dan suatu gagasan tentang apa yang rakyat butuhkan dalam hal “begitu banyak” irama dan ruang persegi, “begitu melimpah” udara, air, jendela, cahaya matahari. Tentu ini adalah sebuah kota administratif untuk para administratur, tapi mereka pikir mereka sedang merencanakan untuk, jika kalian suka, kesejahteraan rakyat. Apa yang menarik adalah bahwa rakyat yang mereka rencanakan adalah rakyat abstrak. Mereka mungkin sebagaimana masyarakat di Togo, Afrika Selatan, Laos atau Kamboja. Mereka tidak mempunyai sejarah, selera dan nilai. Itu adalah perencanaan abstrak untuk manusia abstrak dengan kebutuhan-kebutuhan manusiawi yang abstrak. Tidak ada, dalam artian, historisitas mengenainya, tidak pernah menyentuh dasar. Sebagai hasilnya, kota yang benar-benar tak berhasil. Ada suatu penyakit psiko-analitis yang didiagnosa sebagai brasilites, karena orang-orang yang pindah dari Sao Paulo dan Rio ke Brasilia terjangkit suatu depresi klinis, karena hanya ada kerja dan apartemenya. Aku tak bermaksud mengumbulkan pengaturan-pengaturan tradisional hanya karena itu adalah pengaturan-pengaturan tradisional. Mereka menyandikan ketaksetaraan-ketaksetaraan akbar, keluarga patriarkal, segala macam bentuk, jika kalian suka, penindasan bahasa daerah. Tapi aku memaksudkan untuk membandingkannya dengan Negara yang diamanati rencana-rencana modernis tinggi yang, bagiku terlihat, bahkan lebih sulit untuk mengubah dan menjebol.
PWW    Mungkinkah memikirkan mengenai suatu proyek politik yang tak bakal secara hakekat menjadi sangat terstandarisasi, seperti yang terjadi dengan para utopia rasionalis pembangunan modernis tinggi sebagaimana kau memapaparkannya?
JSC         Aku ragu apakah aku dapat lulus menjawab pertanyaan itu, dalam artian bahwa aku tak cakap meramalkan masa depan atau pemikiran utopia. Satu hal yang aku dapat katakan adalah bahwa kita belaka dapat memahami mengapa orang-orang sekarang mempelajari Anarkisme, yang telah menghilang dari kajian-kajian akademik selama 30 – 40 tahun, dengan dua pengamatan. Pertama adalah bahwa bentuk-bentuk sosialis dari negara-pelopor modernisasi dan program-program egalitarian terbukti gagal atau buruk. Kedua adalah bahwa, ragam kerusuhan yang kalian lihat tidak distruktur atau diorkestrasi oleh gerakan-gerakan sosial terorganisir, partai-partai sayap kiri dan sejenisnya. Mereka adalah ledakan kemurkaan dan kegeraman, seperti dalam indignados, lihatlah di pinggiran Paris, kerusuhan-kerusuhan ghetto tahun 1960-an di Amerika Serikat, dan lihatlah gerakan Occupy Wall Street. Seseorang harus memperhitungkan perubahan bentuk tindakan publik, yang mana aku juga akan memasukan Arab Spring. Apa yang menarik bagiku adalah bahwa ada gerakan-gerakan yang mengambil tempat saat sayap kiri Persaudaraan Islam memutuskan ingin mempersekutukan dirinya sendiri dengan gerakan-gerakan tersebut. Ini sangat terlambat dalam permainan: mereka tidak memicunya dan, malahan, berdiri menyisih. Jadi, jika kita ingin memahami bentuk empiris protes terkini, ini nampak lebih seperti kelompok-kelompok kecil yang bersekutu karena ketetanggaan. Ada bentuk anarkis padanya. Aku sedang bertengkar dengan penerbitku tentang sampul buku Two cheers for anarchism . . . Meraka akan menang dan aku kalah. Tapi sampul yang aku suka, yang mana tidak akan kalian lihat, adalah grafiti sesungguhnya yang di dalamya seseorang menulis “Sebarkan Anarki”  pada tembok dan tulisan itu dicoret silang oleh seorang lain yang di bawahnya menulis “Jangan gurui apa yang aku lakukan!”. Aku katakan pada penerbitku ini akan menjadi sampul yang berhasil. Dan apa lagi cara yang lebih baik dari memulai sebuah buku dengan gelak tawa! Dalam setiap kasus, mereka tidak membeli ini, tapi mengutipnya, fragmentasi protest kekinian.    
*
                                         
(Kemudian ruang diskusi dibuka. Untuk seterusnya, pertanyaan-pertanyaan diajukan peserta)

PST        Karya James Scott sangat penting untuk memahami di mana kaum tani gurem hari ini, terutama setelah meninggalkan pedesaan dan tiba di kota. Di sini kaum tani gurem mengalami perjumpaan baru, mungkin hubungan baru, menghadapi kerangka-kerangka baru dominasi dan perlawanan. Jadi, aku ingin tahu pendapat James Scott mengenai bagaimana karyanya dapat digunakan untuk memahami gerakan terkini kaun tani gurem lama dan baru. Aku juga hendak mengundang James Scott untuk berpikir mengenai etik dan pertanggungjawaban, tidak hanya ilmuwan-ilmuwan sosial, tapi ilmu umum mengenai karya mereka sendiri. Terima kasih.
JSC         Aku belum mengkaji migrasi dan kaum tani gurem yang pindah ke kota-kota, meski aku paham, tentu, alangkah lazimnya migrasi semacam ini. Aku kira alasan mengapa aku tergoda Antropologi adalah etos kerja-lapangnya, yakni, gagasan bahwa kewajiban pertama sebagai seorang etnograf adalah berusaha, sesungguhnya, dengan cara awam dan terbuka guna memahami dunia kehidupan orang lain; dunia kehidupan yang tidak akrab denganmu. Aku bayangkan kajian-kajian migrasi, yang padanya aku punya rasa hormat paling besar, adalah kajian-kajian yang di dalamnya tidak hanya mengkaji kaum tani gurem di kota (generasi pertama dan kedua), tapi juga perpindahan ulang-alik di antaranya, katakanlah di Amerika Serikat. Para pekerja Meksiko yang pulang kembali ke Oaxaca setiap liburan. Dalam artian, bagi banyak kaum tani gurem alasan untuk pindah ke kota seperti penjarahan atau operasi perompakan untuk memperoleh sumber-sumber guna memperkuat kampung halaman mereka. Satu buku yang hebat tentang hal ini adalah Cultural Disenchantments, mengenai para pekerja kaum tani gurem Friuli, di Italia. Argumennya adalah bahwa masyarakat tersebut bukan kaum tani gurem dalam perjalanan mereka untuk menjadi pekerja, mereka adalah para pekerja kaum tani gurem. Mereka telah bermigrasi dari Friuli selama 500 tahun, pergi ke Italia Utara, Amerika Serikat, dan pulang kembali sewaktu-waktu. Mereka karar di antara kategori kaum tani gurem dan pekerja. Aku kira, dalam istilah komitmen etis, batu pijak keberangkatan adalah pemahaman dunia kehidupan dari khalikah siapapun yang kalian ditarik ke dalam curahan cahaya atau pencerahan. Perkakas konseptual yang kau rakit untuk itu adalah tertentu untuk setiap masalah. Maksudnya, ketika kamu mengajukan pada dirimu sendiri suatu pertanyaan yang berhasil – yang mana dua pertiga dari penelitian – perkakas-perkakas akan mengikuti pertanyaan tersebut, daripada mendahuluinya. Ada beberapa ilmu sosial yang memberimu kotak perkakas dan mengirimmu keluar agar kamu dapat menggunakan perkakas-perkakas tersebut pada sembarang masyarakat. Aku menyarankan sebaliknya: kamu mengajukan pertanyaan penting dan kemudian bertanya “perkakas apa yang akan membantuku untuk memahami masalah ini?”, daripada memulai dengan perkakas-perkakas.
PST        Aku takjub karena Anda dapat mengomentari mengenai Kelompok Kajian  Subaltern Asia Tenggara. Aku menanyakan ini terutama karena tendensi dari beberapa sarjana terkemuka kelompok tersebut mensubordinasi fokus pada arsip, yang adalah tempat yang Anda anjurkan kaum tani gurem tak kesana.
JCS         Banyak dari kalian mungkin akrab dengan Kajian Subaltern, semacam koleksi tahunan. Aku kira cendekiawan tulen yang menginspirasi hal ini adalah Ranajit Guha dan kawan-kawannya. Dan Guha, yang darinya aku belajar banyak hal (sebagai misal The Prose of Counter-insurgency dan juga A rule of property for Bengal: an essay on the idea of permanent settlement), berupaya untuk mengikhtisarkan suatu cara pembacaan dokumen-dokumen resmi yang menentang biji-bijian.              


[1] James C. Scott mengunjungi Portugal untuk ikutserta dalam kegiatan penelitian proyek FCT “The Making of State Power in Portugal 1890-1986” (PTDC/HIS-HIS/104166/2008). Disamping dukungan finansial daro FCT, kunjungan Scott juga mendapat tunjangan dari dukungan finansial FLAD.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar