Mungkin tak ada yang menyangkal jika keberadaan Demokrasi secara tradisional ditandai dengan adanya tiga lembaga tinggi yaitu lembaga eksekutif, yudikatif dan legeslatif dan adanya mekanisme aspirasi politik warga negara yang terselenggara melalui pemilihan umum. Namun, selain empat aspek tersebut di atas seringkali kita abai pada aspek social kultural yang hampir-hampir tak memiliki wujud institusional. Oleh karenanya kita seringkali luput mencermati represi kultural negara terhadap masyarakat. Sebagian besar fokus pengembangan demokrasi yang nyaris bersifat institusional, dan oleh karenanya niscaya bersifat formal, membuat sektor informal dalam kehidupan demokrasi terabaikan. Padahal wilayah informal inilah yang mencerminkan kehidupan demokrasi dalam masyarakat yang sesungguhnya dan sehari-hari.
Dalam kasus represi kultural yang dilakukan oleh negara, dalam hal ini pemerintah Kabupaten Banyuwangi, penggantian nama jalan, kampung atau dukuh merupakan contoh nyata bagaimana negara menghabisi daya kreatif masyarakat. Pengabaian atau pengingkaran terhadap hak masyarakat untuk menamai wilayahnya sendiri bagaimanapun bukan persoalan yang remeh. Karena pengingkaran ini berarti tidak mengakui suatu sejarah-budaya yang hidup di suatu wilayah masyarakat. Sekecil apapun wilayah itu!
Untuk permasalahan di atas, penggantian nama dukuh Kelembon menjadi Krajan merupakan salah satu contoh bagaimana entitas kultural-historis diingkari dan direduksi menjadi sekedar entitas administratif. Sejarah panjang nama Kelembon yang membentang dari adanya pasar sapi atau lembu (Kalembuan asal kata Kelembon), jatuhnya bom-bom sekutu yang meruntuhkan sebagian besar rumah dan merenggut jiwa sejumlah warga, hingga kemelut politik tahun 65-an, seolah dengan gampang sekali dihapuskan. Tidak hanya itu, wilayah yang disebut Kelembon itu juga merupakan wilayah kultural tempat berseminya lagu-lagu banyuwangian modern setelah era klasik Gandrung dengan nama-nama penggubah seperti Endro Wilis (almarhum) dan Basir Nurdian. Bahkan teater rakyat yang populer di masyarakat Banyuwangi, Damarwulan atau Jinggoan, lahir di Kelembon melalui tangan Mbah Darji bersama awak KARS (Kesenian Agawe Rukun Santoso)-nya. Dan hal yang sangat tak dapat diabaikan adalah bahwa wilayah yang disebut Kelembon itu pernah menjadi wilayah yang benar-benar maju dengan memiliki empat kelompok paguyuban (saat ini mungkin dapat dianggap sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang berhasil). Empat kelompok tersebut masing-masing mempunyai fungsi berbeda dengan akronim nama yang sama yaitu KARS (1. Kesenian Agawe Rukun Santoso, 2. Koperasi Agawe Santoso, 3. Kesebelasan Agawe Rukun Santoso, dan 4. Kematian Agawe Rukun Santoso). Lalu apa yang ada di balik nama Krajan? Apakah nama Krajan mempunyai dimensi historis-kultural yang memungkinkan warganya dapat menggali inspirasi kreatif darinya?
Penggantian nama Kelembon menjadi Krajan hanyalah salah satunya, masih banyak kasus-kasus represi kultural negara terhadap aspirasi kreatif masyarakat. Salah satu diantaranya mungkin kita bisa menyebut penggantian nama ruas jalan, yang membatasi Lateng selatan dan Temenggungan utara, dari Kyai Saleh menjadi D.I Panjaitan. Lalu bagaimana proses penamaan Pelabuhan Tanjungwangi di wilayah Meneng dan terminal Purawangi di daerah Kapuran? Apakah dengan cara mengarang kisah asal-usul nama Tanjungwangi dan Purawangi (jika tidak salah Hasnan Singodimayan pernah mengarang kisah ini) dengan dilabeli cerita rakyat sudah cukup membuat nama itu mempunyai kandungan aspirasi kreatif masyarakat di wilayah tersebut?
Terjaminnya kehidupan yang demokratis tidak hanya bergantung pada keberadaan tiga lembaga sebagai pilar demokrasi (empat bersama pers) dan penyelenggaraan Pemilu. Bahwa demokrasi bukan sekedar institusional dan bersifat administratif-birokratis (formal prosedural). Namun kehidupan demokrasi harus jauh merasuk ke dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yang merupakan subyek utama sistem demokrasi. Dalam hal ini penghormatan terhadap hak-hak kreatif (kultural) masyarakat dapat menjadi tolok ukur paling gamblang apakah demokrasi telah terselenggara dengan baik atau tidak. Atau apakah negara (pemerintah di semua tingkatan) hanya menjadi kekuatan yang menundukan masyarakat seperti yang tercermin dalam kasus penggantian nama Kelembon menjadi Krajan?
Catatan:
Mengenai riwayat Kelembon dalam tulisan ini saya sangat berhutang banyak pada Bpk. Achmad Aksoro (budayawan warga Kelembon, anggota PSBB).
* Kelembon secara administratif masuk kelurahan Singonegaran. Bearada di ujung timur laut wilayah kelurahan Singonegaran, di sebelah timur berbatas Temenggungan, sebelah utara dan barat berbatas Singotrunan dan sebelah selatan berbatas Kauman (kelurahan Kepatihan). Kelembon terdiri dari satu RW dan terbagi menjadi tiga RT.
Bagus. Pilih budaya using saja yang lain biar jadi bumbunya.
BalasHapus