Laman

Jumat, 18 Februari 2011

M Arief dan Endro Wilis


Saat ini musik (lagu) daerah Banyuwangi mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang mungkin tak dapat dibayangkan pada tahun-tahun sebelumnya. Rekaman Lagu-lagu banyuwangian, baik berbentuk kaset atau cakram vcd, saat ini terus di (re)produksi dengan distribusi yang makin luas, tidak hanya di wilayah Kabupaten Banyuwangi. Perkembangan, pertumbuhan, dan popularitas lagu-lagu Banyuwangian ini tentu tak dapat dipisahkan dari seniman-seniman perintis lagu-lagu banyuwangian “modern”, seperti Mohammad Arief dan Endro Wilis.

Dari sekian banyak lagu-lagu yang digubah dari awal lahirnya hingga hari ini, boleh dikatakan, tak ada sebuah lagupun yang sekontroversi Genjer-Genjer. “Reputasi buruk” yang dilekatkan oleh kejadian politik 1965 bagaimanapun telah ikut mempengaruhi penilaian lagu-lagu Banyuwangian yang digubah pada masa itu dan beberapa tahun sesudahnya. Hal ini terbukti dengan sensor ketat yang diterapkan pada lagu-lagu Banyuwangian pada suatu masa tertentu. Endro Wilis (almarhum) tak hanya harus terpaksa merelakan lagu-lagunya berubah syair, bahkan ia harus “menghapus” namanya pada lagu yang digubahnya jika hendak dipublikasikan (direkam dalam format kaset).                    

Bagaimanapun, film Pemberontakan G. 30 S. /PKI yang diputar tiap tahun di televisi pada suatu periode di masa Orde Baru telah membentuk kenangan visual yang mengerikan atas lagu Genjer-genjer. Adegan pembunuhan para jendral yang didahului dengan tarian para Gerwani dan para anggota sayap PKI lain yang diiringi lagu Genjer-genjer dalam film propaganda Orde Baru itu membuat lagu Genjer-genjer dikenal seolah sebagai sebuah lagu ritual penghantar kebiadaban. Dengan cara seperti ini latar sosial yang mengilhamkan penggubahan lagu Genjer-genjer diselubung dengan sehanya kekerasan atau kekasaran politik praktis. Seperti tafsir visual dalam film Gie yang kemudian juga mengikuti jejak hal ini.
           
Meski tak bisa disangkal jika lagu Genjer-genjer mungkin juga tak bisa diputus keberkaitannya dengan politik praktis bersama keanggotaan penggubahnya, Mohamad Arief, dalam Lekra. Namun, latar sosial yang mengilhamkan penggubahan lagu tersebut mestinya juga harus dikenali untuk mendapatkan tafsir yang utuh. Bahwa sesungguhnya lagu Genjer-genjer digubah sebelum hiruk-pikuk politik multi partai pada zaman Orde Lama.
           
Genjer-genjer digubah pada sekitar tahun 1942, ketika Jepang dengan pemerintahan militeristisnya yang berkuasa di Indonesia menyebabkan penderitaan yang luas. Seperti di sebagian besar wilayah Indonesia, di Banyuwangi pun mengalami krisis pangan pada zaman itu. Pada masa itulah tanaman genjer yang sebelumnya dikenal oleh masyarakat Banyuwangi sebagai pakan bebek mulai dikonsumsi sebagai lauk. Syair lagu Genjer-genjer menggambarkan bagaimana cara dan di mana mendapatkan sayur genjer, mulai populernya sayur genjer terbukti dengan diperdagangkan di pasar, bagaimana memasak dan menghidangkannya. Jauh dari tafsir mengerikan yang berkembang pada masa Orde Baru, lagu Genjer-genjer merupakan gambaran atas kenyataan yang ada di masyarakat pada masa pendudukan Jepang.
           
Tak cuma Genjer-genjer yang menggambarkan kondisi masyarakat pada zaman Jepang. Lurkung, salah satu lagu gubahan M. Arief lainnya, juga menggambarkan hal tersebut. Bahkan lagu Lurkung menggambarkannya dengan lebih gamblang. Berikut satu bait syair Lurkung:
Kung golet lurkung / Kung cari lurkung
Jaman Jepang boyok melengkung / Jaman Jepang punggung melengkung
King golet bekingking / Kung cari bekingking
Bekicot diwadahi piring / Bekicot diwadahi piring
Sebagaimana sayur genjer, lurkung (umbi dari sejenis pohon talas) juga tak lazim dimakan oleh masyarakat Banyuwangi sebelum masa pendudukan Jepang. Begitu juga dengan bekicot yang biasanya digunakan sebagai pakan bebek.
           
Dalam lagu lainnya, Mak Ucuk, M. Arief sekali lagi menggambarkan krisis pangan yang dihadapi oleh masyarakat Banyuwangi. Dalam syair lagu Mak Ucuk krisis pangan dinyatakan dengan ungkapan yang lazim digunakan oleh masyarakat Banyuwangi: dandange miring.
Sedangkan pada lagu berjudul Sekolah, M Arief dengan lugas mengungkapkan bagaimana sulitnya golongan masyarakat kecil memenuhi kebutuhan pendidikan. Berikut satu bait syair Sekolah:
Mak, tukukeno buku / Mak, belikan buku
Buku larang sing biso tuku / Buku mahal nggak bisa beli
Mak, tukukeno bonel / Mak, belikan tas
Rego munggah picise angel / Harga naik uang sulit didapat
Mak, tukukeno sepatu / Pak, belikan sepatu
Sepatu rombeng kakeen paku / Sepatu rombeng kebanyakan paku
           
Tak seperti lagu-lagu banyuwangian yang digubah pada masa kini yang lebih banyak bertemakan problematika asmara yang dialami oleh kaum remaja. Syair yang ada dalam lagu-lagu gubahan M. Arief dan angkatan pertama penggubah lagu-lagu banyuwangian modern, seperti Endro Wilis, sebagian besar bertemakan kondisi sosial masyarakatnya. Berbeda dengan M. Arief yang dihilangkan paksa pada masa kemelut politk 1965. Endro Wilis, yang sempat merasakan politik represi Orde Baru, tema-tema sosial yang diungkapkan dalam syair lagu-lagunya lebih simbolis dan filosofis. Namun, pada lagu-lagu yang digubah sebelum kemelut politik 1965 kita masih merasakan kelugasan yang sama seperti syair lagu-lagu gubahan M. Arief. Lagu Nelayan misalnya, menggambarkan hubungan ekonomi yang timpang antara buruh nelayan dan majikan dengan terang-terangan: . . .ulihe megawe ngetog tenaga / Tubleg nong tangane juragan (. . . hasil bekerja peras tenaga / tumpah ke tangan juragan).
           
Mungkin lagu Mbok Irat yang digubah oleh Endro Wilis ketika ia berada di Kalimantan saat konfrontasi Indonesia – Malaysia merupakan titik balik dari syair-syairnya yang semula lugas menjadi simbolis. Lagu Mbok Irat yang muram itu melukiskan kegelisahan atas apa yang terjadi di kampung halaman, Banyuwangi, pada masa kemelut politik yang menggiriskan. Situasi teror yang dipenuhi dengan peristiwa penculikan dan pembunuhan itu ia ungkapkan dengan dua kata: dinone gemigil (hari yang menggigil).
            Tema-tema sosial dalam syair lagu-lagu banyuwangian yang digubah pada masa kini, atau yang digubah oleh angkatan terkini, sekarang nyaris tak ditemukan. Produksi lagu-lagu banyuwangian yang saat ini telah menjadi bisnis menguntungkan dan sangat dipengaruhi oleh industri rekaman rupanya telah mengubah kecenderungan pemilihan tema dalam syair lagu-lagu banyuwangian. Saat ini tema dalam syair lagu-lagu banyuwangian lebih dekat dengan tema-tema yang ada dalam dalam syair lagu-lagu berbahasa Indonesia populer seperti yang dinyanyikan oleh Peterpan atau Ungu. Industri rekaman dengan sistem pemasarannya yang agresif rupanya tak hanya mampu membentuk kecenderungan selera konsumen, namun sekaligus berpengaruh kuat dalam proses kreatif penggubahan lagu-lagu banyuwangian.
            Dalam syair lagu-lagu banyuwangain saat ini kita hampir tak lagi menemukan kondisi sosial yang nyata dialami oleh masyarakat kelas bawah. Rubuhnya sebagian besar perusahaan pembenihan udang dan cold storage di Banyuwangi yang mengakibatkan pemecatan para buruhnya, kenaikan BBM dan sulitnya para sopir angkutan umum mencari penumpang yang memaksa para istri membuka warung kecil di depan rumahnya atau pinggir jalan, misalnya, tak lagi menginspirasi para penggubah lagu banyuwangian angkatan terkini. Para penggubah angkatan terkini mungkin lebih “tersentuh” oleh dunia sinetron Indonesia saat ini daripada oleh kondisi sosial di sekitarnya. Dunia sinetron yang dengan suatu cara meresap masuk ke dalam dan seolah menjadi bagian biohistoriografi sosial yang nyata.
            Dalam kondisi sosial Indonesia saat ini dimana sebagian besar masyarakat menjerit dengan membumbungnya harga-harga kebutuhan pokok dan biaya pendidikan yang makin mahal tema dalam syair lagu-lagu seperti Genjer-genjer, Lurkung, Mak Ucuk, atau Sekolah belum lagi menjadi usang. Begitupun dengan tema yang menggambarkan hubungan ekonomi yang timpang antar buruh dan majikan dalam syair lagu Nelayan. Bahkan hubungan ekonomi yang timpang ini langsung bisa dirasakan oleh sebagian penggubah lagu-lagu banyuwangian. Sebagian penggubah lagu-lagu tersebut tak berdaya di hadapan perusahaan rekaman dan tak mampu melindungi hak ekonominya yang timbul dari lagu-lagu gubahannya.
            Banyuwangi bernyanyi tak hanya pada masa sekarang saat lagu-lagu banyuwangian menjadi komoditas dalam industri rekaman. Jauh sebelum saat ini, ketika kelompok Gandrung dan Angklung masih berjaya di atas panggung-panggung rakyat, banyuwangipun telah berdendang. Namun, jika dulu Banyuwangi berdendang dengan “suara” masyarakatnya sendiri, kini Banyuwangi bernyanyi dengan “suara” yang ditentukan oleh perusahaan rekaman.               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar