Laman

Jumat, 18 Februari 2011

Using


dari buku Java's Last Frontier, Sri Margana, Universiteit Leiden, 2007
Sebagian masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Jawa Timur mengenal masyarakat Banyuwangi sebagai masyarakat Using. Istilah Using tersebut digunakan untuk merujuk pada kultur tradisi dan “bahasa” yang khas yang hidup dan berkembang dalam masyarakat “asli” yang mendiami wilayah Banyuwangi. Sebagian besar ahli budaya berpendapat bahwa kultur tradisi masyarakat Banyuwangi saat ini adalah warisan dari kerajaan Blambangan yang merupakan benteng terakhir kultur Hindu-Jawa di pulau Jawa setelah runtuhnya Majapahit.
            Namun bukan berarti istilah Using yang digunakan untuk menyebut masyarakat “asli” Banyuwangi dan produk budayanya merupakan warisan dari  kerajaan Blambangan. Istilah Using tidak ditemukan dalam sejumlah karya babad mengenai Banyuwangi atau Blambangan seperti Babad Tawangalun, atau Babad Bayu. Dalam syair gending-gending Seblang yang kuno dan syair gending-gending klasik Gandrung juga tak ditemukan istilah Using. Hal yang sama juga terjadi dalam syair riwayat dari nabi Adam sampai Muhamad, yang sering disebut Lontar Yusuf, yang mungkin bisa disebut syair syiar Islam yang menggunakan prototipe “bahasa” Using yang digunakan hari ini. Di dalam hubungan surat menyurat antar pejabat Hindia Belanda mengenai Blambangan pun tak ditemukan penggunaan istilah Using. Bahkan para sarjana Belanda yang termasuk pengkaji awal sejarah, budaya dan bentuk seni di wilayah Blambangan atau Banyuwangi, seperti Lekkerkerker, Pigeaud, John Scholte, atau de Stoppelaar juga tak pernah menggunakan istilah Using.
            Istilah Using seperti ada tanpa sejarah, begitu saja ada dan melekat pada masyarakat “asli” Banyuwangi dan produk budayanya. Walaupun begitu istilah Using terus direproduksi dalam berita-berita, kajian-kajian budaya, dan percakapan sehari-hari. Sampai hari ini, sepengetahuan penulis, tak ada upaya-upaya serius untuk mengetahui kapan istilah Using digunakan dan siapa yang pertama kali menggunakannya serta motif apa yang melandasi pemakaiannya.
            Hingga hari ini penggunaan istilah Using sebagai identitas kultural masyarakat “asli” Banyuwangi terus menjadi perdebatan dalam kalangan terbatas. Sebagian pendapat mengatakan penggunaan istilah Using untuk menyebut masyarakat “asli” Banyuwangi dan produk budayanya sudah tidak usah dipertanyakan lagi. Karena istilah Using sebagai identitas kultural telah digunakan dan diterima secara luas. Bahkan oleh masyarakat Banyuwangi sendiri.
Namun sebagian pendapat menyatakan bahwa Using merupakan istilah yang digunakan untuk mendiskreditkan masyarakat “asli” Banyuwangi. Penggunaan istilah Using diciptakan karena masyarakat Blambangan atau Banyuwangi dianggap tidak mau tunduk pada kekuasaan politik dominan. Di masa Mataram berkuasa atas Blambangan, istilah Using digunakan karena masyarakat Blambangan belum memeluk Islam dan dianggap hanya gerombolan begundal yang sering memberontak. Sedang di masa kolonial Belanda istilah Using digunakan karena masyarakat Blambangan sering memberontak, membangkang, dan memusuhi kelompok masyarakat pendatang. Dalam hal ini istilah Using yang secara leksikal berarti “tidak”, secara konotatif bermakna masyarakat yang tidak mau bekerja sama dan mengisolir diri.
Dalam sejarah, Blambangan memang tak pernah dikuasai Mataram secara mutlak. Beberapa kali Mataram berhasil menundukan Blambangan dan beberapa kali pula Blambangan berhasil melepaskan diri atau direbut oleh kerajaan dari Bali. Perseteruan kultural antara Mataram dan Blambangan ini terlukis dalam perseteruan antara dua tokoh spiritualnya, Bagus Wongsokaryo dari Blambangan dengan Pangeran Kadilangu dari Mataram, yang dikisahkan dalam Babad Tawangalun.
Ketika Belanda berusaha menancapkan kuku kekuasaannya di Blambangan, Belanda pun harus menghadapi berbagai perlawanan dan pemberontakan yang panjang. Salah satu perlawanan rakyat Blambangan yang tersengit adalah Perang Bayu yang menguras banyak biaya dan merenggut ribuan nyawa. Bahkan bertahun-tahun setelah Perang Bayu usai wong Blambangan terus melakukan perlawanan seperti tak mau menggarap sawah dan memilih menyingkir ke hutan atau memusuhi para pendatang yang didatangkan pemerintah Hindia Belanda untuk membangun ibu kota baru Blambangan di Banyuwangi.
Namun, apakah benar istilah Using memang benar-benar digunakan pihak untuk mencemooh atau mendiskreditkan masyarakat Banyuwangi karena latar sejarah di atas? Apakah istilah Using digunakan untuk melemahkan mental perlawanannya? Tentu hal ini perlu pengkajian lebih mendalam. Walaupun mungkin hasil pengkajian nanti akan berakibat membongkar keyakinan masyarakat Banyuwangi secara luas.
Meskipun belum jelas benar latar sejarahnya, istilah Using seolah telah mengalami pembakuan dengan diterbitkannya Kamus Using – Indonesia (2002) dan Tata Bahasa Using (2002), yang disusun Hasan Ali, oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Pembakuan istilah Using semakin tersistemasi pemakaiannya dengan diajarkannya Bahasa Using di beberapa sekolah di Banyuwangi.
Masyarakat Banyuwangi barangkali memang merupakan salah satu masyarakat yang kreatif dan imajinatif. Bahkan cerita Damarwulan – Minakjinggo yang nyata-nyata mencemooh masyarakat Blambangan lewat tokoh-tokoh imajinernya mampu diubah menjadi hiburan yang populer. Namun bukan berarti masyarakat Banyuwangi mesti kehilangan kesadaran atas sejarah masa lalunya. Bagaimanapun kesadaran atas sejarah masa lalu penting sebagai salah satu elemen untuk mengenali diri sendiri (secara sosial) hari ini dan “memimpikan” masa depan.
Hingga saat ini mungkin hanya sebagian kecil masyarakat Banyuwangi yang menyadari bahwa tokoh Minakjinggo sesungguhnya adalah tokoh rekaan. Sebagian besar masyarakat Banyuwangi bisa dipastikan tak mengetahui bahwa sesungguhnya drama-tari rakyat Jinggoan atau Damarwulan merupakan hasil paksaan pemerintah kolonial. Bahwa kelompok sandiwara yang sebelumnya dikenal sebagai Ande-ande Lumut karena sering mementaskan lakon-lakon Panji akhirnya harus mementaskan lakon Damarwulan – Minakjinggo karena Mbah Darji selaku pendiri dan pemimpinnya dipaksa oleh pejabat pemerintah kolonial di Banyuwangi untuk melakonkan di setiap pertunjukannya.
Barangkali proses penerimaan istilah Using semirip dengan penerimaan masyarakat Banyuwangi terhadap cerita Damarwulan – Minakjinggo dalam drama-tari rakyat. Mungkin tak peduli bagiamana latar sejarah dan motif “politik” yang tersimpan di dalamnya. Hal yang paling penting adalah bagaimana mengubah sesuatu dari luar yang menyakitkan menjadi milik sendiri dan menyenangkan. Jika memang demikian, berarti tak usah merenungi sejarah dengan mendendam. Lebih baik berupaya bagaimana mengubah sejarah masa lalu yang menyakitkan menjadi hari ini yang menyenangkan.
Namun, apakah mungkin upaya tersebut dapat benar-benar dilakukan tanpa terlebih dahulu berupaya mengetahui sejarah secara sungguh-sungguh?    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar