Laman

Jumat, 04 Maret 2011

Kritikus, Tekhnologi Produksi, Khalayak


Boleh jadi kritik memberi pemahaman atas karya seni. Tapi yang tak boleh dilupakan, kritik selalu mengandaikan pandangan ideal tertentu bagaimana seharusnya karya seni diproduksi. Oleh karenanya kritikus memiliki keterlibatan mendalam dalam proses produksi seni. Dalam hal ini kritikus tak belaka menjadi juru terang, tapi juga mengarahkan cahayanya pada ruas jalan terpilih yang seharusnya ditempuh oleh karya seni sebagai produk artistik yang beroperasi terhadap ideologi.     

Kritikus berwenang dalam penilaian, namun silang sengkarut polemik krisis kritikus belakangan ini absen meletakan otoritas penilaian dalam suatu jaringan produksi seni (sastra) sebagai ideologi tertentu yang menopang bangunan kesusastraan modern. Kritikus hanya diperlakukan sebagai orang berkeahlian spesifik tertentu yang memisahkannya dirinya dari awam. Bukan sebagai lembaga fungsional yang memiliki wewenang guna menentukan seni bukan seni atau baik-buruk karya yang dengan itu suatu nilai seni tertentu dikukuhkan dan dilestarikan (direproduksi). Seolah-olah otoritas atau wewenang yang digenggam oleh kritikus diperoleh begitu saja melalui keahlian menimbang karya seni yang dikuasainya. Padahal wewenang yang memungkinkan kritikus melaksanakan fungsinya secara efektif justru kala ia merepresentasikan diri sebagai suatu institusi dalam jaringan (praktik) produksi seni. Dalam sistem jaringan produksi sastra yang mencakup dari produsen ke distributor hingga pasar, peran kritikus adalah memastikan suatu nilai seni tertentu, oleh Walter Benjamin disebut sebagai kekuatan produksi artistik, terus direproduksi guna menjamin terpenuhinya syarat-syarat produksi. Bagi Benjamin, yang mengembangkan teori Marx mengenai produksi dan syarat-syarat produksi yang lantas diterapkan dalam seni, relasi sosial dalam seni adalah hubungan antara produsen artistik dan khalayaknya atau pengarang dengan pembacanya. Hubungan antara seniman dan khlayaknya ini secara mendalam dipengaruhi oleh tekhnik produksi atau media produksi. Dalam esainya yang terkenal The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction (1936) Benjamin menyatakan surat kabar telah mengubah hubungan antara penulis dan pembaca; perbedaan antara penulis dan pembaca telah kehilangan watak dasarnya sebab pembaca selalu bersedia untuk menjadi penulis. Jadi, lebih tujuh puluh tahun lalu sesungguhnya demokratisasi sastra telah dinyatakan. Tentu saja, pada tujuh puluh tahun lalu itu, surat kabar dengan rubrik-rubrik yang disediakan bagi para pembaca untuk menulis merupakan suatu terobosan penting untuk mencairkan pemisahan antara yang ahli (elit) dan awam. Namun, sekarang kita tahu, kebebasan yang diberkahkan oleh demokrasi surat kabar itu bukan tak memiliki batas-batas. Para kritikus yang bekerja sebagai editor pada surat kabar, misalnya, tidak seperti penjaga langsir yang belaka bertugas mengarahkan lokomotif-lokomotif yang datang untuk meluncur pada jalur yang seharusnya. Namun para editor harus menyeleksi naskah-naskah yang datang ke mejanya berdasar suatu penilaian tertentu untuk menentukan layak tidaknya suatu naskah diterbitkan.    

Pencapaian tekhnologi yang mengubah secara bermakna alat-alat (re)produksi seni mengosongkan nilai kekeramatan (aura) seni. Mesin reproduksi yang mampu menggandakan produksi karya seni berlipat-lipat ganda menggerogoti basis kuasi-spiritualitasnya dan membentuk ulang hubungan sosial dalam seni. Jika Adorno menganggap mesin reproduksi (industrialisasi) karya seni telah membuka jalan bagi perendahan karya seni oleh komersialisasi dan menjawab tantangan tersebut dengan menganjurkan eksperimentasi-eksperimentasi bentuk seni yang rumit. Benjamin justru dengan sadar mencebur dalam kondisi reproduktif tersebut dan masuk mengganggu relasi antara seniman (karya seni) dengan khalayak yang sudah mapan dengan suatu komitmen politik yang dinyatakan dengan kekuatan artistik revolusioner yang dibentuk melalui kolaborasi seniman dan khalayaknya. Teater epik Bertold Brecht yang mengubah relasi fungsional antara panggung dan khalayaknya  merupakan pelaksanaan dari gagasan Benjamin ini. Efek keterasingan dari tetaer epik Brecht mengganggu ilusi kenyataan yang tersaji pada panggung teater naturalis borjuis.

Saat ini tekhnologi mencapai kemutakhiran yang belum pernah dicapai pada masa sebelumnya. Mesin cetak yang dulu hanya dikuasai oleh segelintir pemilik dengan prosedur kerja rumit yang membutuhkan banyak tenaga kerja dalam proses produksinya kini telah berkembang menjadi sangat sangat sederhana. Pasangan perangkat komputer dan mesin cetak meja yang kepemilikannya menyebar ke banyak orang telah membuka jalan bagi demokratisasi sastra berikutnya. Peran kritikus dalam jaringan produksi di masa jaya mesin cetak besar mengalami gugatan hebat pada praktik produksi yang kini makin praktis. Disamping itu, peran kritikus yang dianggap merepresentasi golongan elit yang menguasai jaringan produksi dan lembaga-lembaga seni dipandang menindas. Wacana ide sekarang sedang memihak dan bersimpati pada yang serba massa dan serba dipingirkan serta membuka pintu balas dendam bagi yang rendah dan jelata.

Hadirnya dunia maya dengan ruang-ruang komunitasnya yang diberkahkan oleh pencapaian tekhnologi informasi semakin memberikan pukulan hebat pada posisi kritikus yang menjadi semacam “penyaring” dalam ruang yang terbentuk dari bentang jarak antara pengarang dan pembaca. Bila dibanding dengan keterbatasan jumlah halaman yang mungkin bisa dibukukan, ruang dunia maya yang “tanpa batas” dengan akses terhadapnya yang sangat terbuka telah mengubah model produksi (media) sastra dan membuahkan jarak berbeda dalam relasi pengarang – pembaca. Disamping itu perubahan model produksi ini juga mengubah prosedur produksi sastra. Jika di masa jaya tekhnik cetak relasi antara pengarang dan pembaca diantarai oleh prosedur seleksi (dilakukan oleh editor atau kritikus), penyuntingan, penjilidan, pendistribusian hingga tertata  di rak toko-toko buku, kini pada produksi elektronis relasi antara pengarang dan pembaca hanya diantarai oleh monitor dan keyboard. Pencapaian tekhnologi informasi membuka kemungkinan siapapun dapat memampang atau mengumumkan karyanya pada blog-blog pribadi. Demikianlah, watak elitis sastra kini terguncang, seolah-olah tulisan apapun dapat disebut sastra, atau sebaliknya sastra bisa disebut tulisan biasa. Sebab wewenang lama yang dimiliki kritikus tak lagi mampu beroperasi secara efektif dan berwibawa dalam jaringan produksi yang menjadi cair, longgar dan praktis karena persebaran alat-alat produksi, baik produk cetak maupun elektronis, telah menjangkau kalangan biasa. Ugeng T. Moetidjo dalam esei panjang yang berbentuk tanya jawab imajiner, Suatu Hari Kita Hanya Akan Mengenang Seluloid (www. Jurnalfootage.net, 12 Agustus 2008) melukiskan perubahan persepsi filemis dari elitisme seluloid ke kemasalan video seperti ini; Tindak perenungan, yang dulu pernah mengintensikan perasaan mendalam tak terkatakan yang luar biasa, pecah oleh gemuruh dan riuh jalanan. Siapa saja kini dengan gampang boleh melayangkan pandangan dengan kamera di tangan menyusuri serbaneka pelosok-pelosok peristiwa dengan kadangkala menemukan kejutan pada kejadian yang terlalu biasa.  

Pembatas yang memisahkan seni tinggi dan seni rendah kini mengalami erosi hebat. Kedua kategori seni yang sebelumnya terbedakan secara hirarkis itu kini tak cuma terbaurkan seibarat program-program acara televisi atau monitor komputer yang menerima kiriman pesan “tanpa batas” dari seluruh penjuru bumi. Labih dari itu, karya seni sebagai produk artistik telah menjadi produk komoditas biasa. Bentuk-bentuk seni paling mengganggu semisal punk rock kini diterima secara luas dan memperoleh keberhasilan komersial. Begitu juga dangdut yang dulu dianggap jelata kini menjadi bahan kajian akademis dan didendangkan dari lokalisasi-lokalisasi remang pinggir kali sampai panggung-panggung gemerlap hotel berbintang. Sementara itu kritikus sebagai lembaga yang berfungsi menjaga elitisme sastra tinggi sedang menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan dalam produksi artistik yang didesakan oleh pencapaian tekhnologi produksi.

Kematian Pengarang
Benarlah, kematian pengarang yang dimaklumatkan Barthes telah menghapus mistifikasi pengarang. Meruntuhkan pandangan tradisional yang mengganggap pengarang sebagai asal-usul teks, sumber arti, satu-satunya otoritas penafsiran. Pengarang direduksi sebagai sebuah lokasi tempat bersimpangnya kutipan-kutipan, pantulan gema, dan lautan rujukan dari kerajaan bahasa. Oleh karenanya pembaca boleh menafsir tanpa mengikuti maksud pengarang. Namun kebebasan pembaca dalam menafsir bukan tanpa kendali. Kebebasan menafsir adalah kebebasan menghubungkan teks dengan sistem arti yang menuntun pemaknaan pada rujukan pengetahuan yang dimiliki pembaca. Dengan cara seperti ini penafsiran menjadi tak teramalkan dan tak tunggal. Barthes tak menggeser pusat penafsiran dari pengarang ke pembaca. Baik sebagai subyek yang nyata maupun sebagai kerajaan bahasa. Melainkan memindahkan pusat kepada teks. Laku penafsiran yang merupakan proses keterhubungan teks (bahan bacaan) dengan kerajaan bahasa yang bersemayam dalam diri pembaca ditentukan oleh tipe teks. Tiap teks memiliki perbedaan yang dihasilkan oleh keadaan teks yang berbeda-beda dalam merujuk kembali ke lautan karya lain yang melimpah. Sejumlah teks ditulis secara tertutup dengan arti terbatas (readerly). Sejumlah lain mendorong pembaca menghasilkan arti dengan mengijinkan persinggungan antara apa yang sedang dibaca dengan apa-apa yang telah dibaca (writerly). Teks, dengan demikian, tidak menghasilkan makna namun merupakan pesan pemakanaan; tidak merujuk ke realitas melainkan terhisap kembali ke dalam lubang hitam bahasa. Tidak ada yang terpisah di tempat Kebenaran.                           

Kematian pengarang tidak serta merta diikuti oleh kematian kritikus yang lantas membuka kekhalayakan kritik sebagai kebebasan tanpa batas. Barthes hanya memberikan pukulan terakhir terhadap watak humanis yang tersisa pada strukturalisme naratologis dengan membongkar tapal pembacaan yang “tunggal” dan mendorongnya ke wilayah “plural”. Maksudnya, menyarankan teks jamak sebagai suatu standar baru estetika. Jenis teks terbuka yang menyuguhkan tamasya luas penanda yang memiliki titik-titik persinggungan sembarang dengan teks-teks lain di sekujur tubuhnya. Yakni teks yang mampu memberikan kenikmatan (“pleasure”) yang melampaui arti transparan yang tunggal dan kebahagiaan (“bliss”) yang mengguncang asumsi-asumsi budaya, sejarah, dan psikologis pembaca. Jelaslah sudah, kenikmatan dan kebahagiaan yang dimaksud tak bakal didapatkan dari karya-karya pasaran. Jadi “pembunuhan” pengarang merupakan upaya untuk menghindar lebih jauh dari tangkapan kekhalayakan, bukan sebaliknya.

Apa yang ikut “mati” dalam kematian pengarang adalah realitas. Sekali pengarang “dimatikan” oleh karyanya (kata) bersama itu tautan teks kepada realitas diputus. Teks terhisap dalam lubang hitam bahasa dan hanya membuka dirinya untuk referen-referen yang bersifat literal: kata di dalam kata di dalam kata . . .. Realitas menghilang dan bersama itu obsesi terhadap kata-kata sebagai materialitas menguat. Fredric Jameson menyebutnya hal ini sebagai bahasa scizofrenik. Suatu pengelanturan bahasa yang merujuk pada ujaran individual pengidap scizofrenia dimana “. . . terputusnya kontinyuitas waktu temporal membuat pengalaman waktu kini menjadi lebih kuat, bergejolak dan “material”: . . . Tapi apa yang bagi kita nampak sebagai suatu pengalaman yang dihasrati – menguatnya persepsi kita, intensifikasi libidinal atau hallucinogenic atas lingkungan kita yang biasanya monoton dan akrab – di sini dirasakan sebagai kehilangan, sebagai “ketaknyataan””. (Fredric Jameson, 1985).

Bagaimanapun, bentuk estetika mutakhir ini, walaupun nampak menghapus realitas namun tetap saja akarnya menghujam dalam dan kuat pada tanah realitas; mengekspresikan realitas. Ketertutupan orbital bahasa, terisolasinya signifier, amnesia sejarah, membuka pintu ke dalam imaji-imaji. Bagi kita di Indonesia hal ini cocok dengan apa yang disebut sebagai politik pencitraan. Politik yang belaka bersandar pada janji-janji politis tanpa melahirkan perbuatan-perbuatan nyata. Suatu tindakan politis yang memanfaatkan kondisi masyarakat hari ini yang terbentuk oleh pencapaian tekhnologi informasi dimana keluasan penyebaran, kemelimpahan dan kelesatan informasi membekukan sekuens waktu menjadi serial masa kini abadi.            

          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar