Laman

Senin, 07 Maret 2011

The Choosen






Diterjemahkan oleh Dwi Pranoto dari Bab 1, The Choosen, Chaim Potok, A Fawcett Crest Books, Edisi Pertama Ballantine Books, Desember 1982;
















BAB 1


Dalam lima belas tahun pertama hidupku, Danny dan aku tinggal berjarak lima blok dan kami tak saling kenal.
Blok Danny padat dihuni orang-orang pengikut ayahnya, orang-orang Yahudi Hasidik Rusia berbalut pakaian muram, tabiat-tabiat dan pandangan-pandangannya dilahirkan di tanah dari negeri yang mereka telah tinggalkan. Mereka minum teh dari samovar, menyeruputnya perlahan merembesi gula batu yang digigit diantara gigi-giginya; mereka makan makanan dari tanah asalnya, berbicara keras-keras, kadang dalam bahasa Rusia, seringkali dalam bahasa Yiddish Rusia, dan taklid pada ayah Danny.
Satu blok berikutnya tinggal sekte Hasidik lain, Yahudi-Yahudi dari Polandia selatan yang menyusuri jalanan Brooklyn seibarat hantu-hantu dengan topi-topi hitam, jas panjang hitam, janggut hitam, dan kucir kuris. Yahudi-yahudi tersebut punya rabbi mereka sendiri, punya aturan kebaniannya sendiri, yang posisi keluarga pemimpin kerabbiannya dapat ditelusur mundur sampai Ba’al Shem Tov, pendiri Hasidism di abad delapan belas, yang mereka semua mengingatnya sebagai personalitas yang dirasuk Tuhan.
Kira-kira ada tiga atau empat sekte Hasidik yang menghuni wilayah dimana Danny dan Aku tumbuh, setiap dari mereka punya rabbi sendiri, punya sinagog kecil sendiri, punya adatnya sendiri, ketaklidannya sendiri. Di hari Shabbat atau perayaan pagi, jamaah tiap sekte terlihat berjalan menuju sinagog mereka masing-masing, berbalut pakaian khas mereka, penuh hasrat berdoa bersama rabbi khusus mereka dan melupakan keriuhan pekan dan perburuan uang yang mereka perlukan untuk menafkahi keluarga besar mereka selama masa Depresi yang kelihatannya tanpa akhir.
Sisi pejalan kaki Williamsburg berlantai plester semen kotak-kotak, sedangkan jalanan dikeraskan dengan aspal yang melunak pada musim panas yang terik dan pecah berlubang lubang pada musim dingin yang sengit. Banyak rumah-rumah dibangun dari batu bata, tertata saling berhimpitan, tidak lebih tinggi dari tiga atau empat tingkat. Di dalam rumah-rumah ini tinggal orang-orang Yahudi, Irlandia, Jerman, dan beberapa keluarga pengungsi Perang Sipil Spanyol yang melarikan diri dari rezim Franco baru sebelum meletus Perang Dunia Ke-dua. Sebagian besar toko dikelola oleh orang bukan Yahudi, tapi sejumlah toko dimiliki oleh komunitas Yahudi Ortodoks, anggota sekte –sekte Hasidik di wilayah ini. Mereka dapat terlihat di belakang konter-konternya, mengenakan kupluk hitam, jenggot membelukar, dan kucir-kuris menjuntai, bersusah payah menutupi kurangnya penghidupan mereka serta mimpikan hari Shabbat juga ibadah-ibadah kala mereka dapat menutup toko-tokonya dan tertenung dalam doa-doanya, rabbinya, dan Tuhannya.
            Setiap orang Yahudi Ortodoks mengirim anak laki-lakinya ke yeshiva, sekolah paroki Yahudi, tempat mereka belajar dari jam delapan pagi sampai  jam empat atau jam lima sore. Di hari Jum’at para pelajar diistrirahatkan kira-kira satu jam untuk persiapan hari Shabbat. Pendidikan Yahudi diwajibkan bagi para Ortodoks, dan oleh karena di sini Amerika dan bukan Eropa, bahasa Inggris juga diwajibkan – sehingga setiap pelajar memanggul beban ganda: pelajaran bahasa Hebrew di pagi hari dan pelajaran bahasa Inggris di siang hari. Uji keistimewaan intelektual, bagaimanapun, telah direduksi tradisi dan kebulatan pendapat tanpa suara pada sebuah wilayah pembelajaran tunggal: Talmud. Keahlian mengenai Talmud merupakan kecakapan yang paling nampak pada setiap pelajar yeshiva, sebab hal ini merupakan jaminan otomatis untuk reputasi kejatmikaan.
            Danny masuk yeshiva kecil yang didirikan ayahnya, Sisi-luar wilayah Williamsburg, di Crown Heights, aku masuk yeshiva dimana ayahku mengajar. Yeshiva yang disebut terakhir agak diremehkan oleh para pelajar sekolah paroki Yahudi lain di Brooklyn: mengajarkan subyek bahasa Inggris lebih banyak dari kebutuhan minimum, dan mengajarkan subyek Yahudi dalam bahasa Hebrew dibanding dalam bahasa Yiddish. Kebanyakan pelajarnya adalah anak-anak imigran Yahudi yang lebih suka menghargai diri mereka sendiri karena terbebas dari kungkungan mentalitas ghetto yang khas sekolah-sekolah paroki Yahudi lain di Brooklyn.
            Danny dan aku mungkin tak akan pernah ketemu – atau kami akan bertemu dalam kondisi yang berbeda sama sekali – hal ini tak terjadi sampai ikut sertanya Amerika dalam Perang Dunia Ke-dua dan keinginan mendidik pada sebagian dari sejumlah guru bahasa Inggris dalam sekolah-sekolah paroki Yahudi  untuk menunjukan pada dunia orang-orang non-Yahudi bahwa para pelajar yeshiva pun bugar secara fisik, kendati jam pelajaran mereka panjang, seperti setiap pelajar Amerika lain. Mereka melakukan pembuktiannya dengan menghimpun sekolah-sekolah paroki Yahudi di dalam dan di sekitaran wilayah kami  ke dalam liga-liga kompetisi, dan setiap dua pekan sekali sekolah-sekolah akan saling bertanding dalam beragam olahraga. Aku menjadi anggota regu baseball sekolahku.
            Minggu siang di awal Juni, lima belas anggota reguku bertemu dengan guru olahraga kami di lapangan pertandingan sekolah. Saat itu hari yang hangat, matahari mencerlang di atas lantai aspal lapangan. Guru olahraga kami adalah seorang yang pendek, bertubuh gempal, berumur awal tigapuluh-an yang mengajar pagi hari di sekolah tinggi umum terdekat dan menambah penghasilannya dengan mengajar di yeshiva kami selama siang hari. Ia mengenakan kaus polo putih, celana panjang putih, dan sweater putih, dan dari cara kupluk kecil hitam bertengger canggung di puncak kepalanya yang botak, nampak jelas ia tak biasa mengenakannya secara teratur. Ketika berbicara ia dengan berkala menumbukan kepalan tangan kanan ke telapak tangan kirinya untuk menegaskan maksud. Ia jalan bersejingkat, hampir menyerupa sikap seorang petinju di atas ring, dan ia dengan fanatik mencandu baseball profesional. Ia telah melatih regu baseball kami selama dua tahun, dengan gabungan kesabaran, keberuntungan, keahlian bersiasat saat pertandingan-pertandingan berjalan ketat, dan keras, pidato pengobar semangatnya yang telah diperhitungkan mendorong kami ke dalam jiwa patriotik mengenai pentingnya atletik dan kebugaran fisik untuk perang, ia mampu membentuk regu kami yang terdiri dari lima belas orang canggung menjadi regu top dalam liga. Ia bernama Pak Galanter, dan kami semua heran mengapa ia tak dikirim ke suatu medan pertempuran dalam perang.
            Selama dua tahun bersama regu, aku jadi sangat cekatan di base ke-dua dan juga melakukan lemparan bola rendah menderas yang akan menggoda seorang pemukul mengayunkan tongkat pemukulnya tapi bakal jatuh melengkung pada momen terakhir dan cuma menggelincir ke bawah tongkat pemukul yang terayun menyambar. Pak Galanter selalu memulai pertandingan dengan meletakanku pada base ke-dua dan akan memposisikanku sebagai pelempar hanya dalam saat-saat genting, karena, seperti yang ia katakan suatu kali, “Filosofi baseballku mendasar pada kebersamaan permainan bertahan”.
            Siang ini kami punya jadwal bertanding dengan regu utama tetangga, regu dengan reputasi kekasaran, menyerang membabibuta dan bermain dengan buruk. Pak Galanter mengatakan ia memutuskan tim kami bermain dengan garis pertahanan ketat. Pada masa pemanasan, dengan hanya regu kami yang berada di lapangan, ia terus-terusan menumbukan tinju tangan kanan ke telapak tangan kirinya dan meneriaki kami agar membuat garis pertahanan ketat.
            “Jangan ada celah”, ia berteriak dekat area home. “Jangan ada celah, kalian dengar? Goldberg, pertahanan ketat macam apa itu? Merapat. Penyerang dapat menembus antara kau dan Malter. Ya, begitu. Schwartz, apa yang kau lakukan, mencari penerjun-penerjun payung? Ini pertandingan. Musuh di atas tanah. Lemparannya melebar, Goldberg. Lempar selayak penembak jitu. Beri ia bola lagi. Lempar. Bagus. Bak penembak jitu. Sangat bagus. Pelihara permainan ketat. Jangan ada celah pertahanan dalam perang ini”.
            Kami terus memukul dan melempar bola, hari yang hangat dan melimpah cahaya, dan ada kelembutan, girang rasa musim panas segera tiba, gempar seru pertandingan. Kami ingin banyak rebut kemenangan, untuk kami sendiri dan terutama untuk Pak Galanter, karena kami semua suka kesungguhan hati tumbukan kepalan tinjunya. Bagi para rabbi yang mengajar di sekolah-sekolah paroki Yahudi, baseball adalah suatu kejahilan waktu luang, suatu potensi biakan kejahatan para penerima porsi bahasa Inggris di yeshiva. Dan bagi kebanyakan pelajar sekolah-sekolah paroki, kemenangan baseball antar liga hanya disambut sebagai suatu bayang yang tak punya arti besar dibanding peringkat teratas dalam Talmud, karenanya ada sebuah tanda tanya bagi seorang Amerikanis, dan untuk dianggap sebagai orang Amerika yang setia menjadi meningkat pentingnya bagi kami selama tahun-tahun akhir perang.
            Begitulah, Pak Galanter berdiri dekat home plate, meneriakan arahan-arahan dan kata-kata pembakar, kami terus memukul dan melempar bola. Aku jalan keluar lapangan sebentar memasang kacamata untuk tanding. Aku memakai kacamata bergagang kerang, dan jelang tiap tanding akan ku bengkokan cantolannya supaya kacamata akan tetap melekat di kepalaku sehingga tak menggelinciri batang hidung saat mulai berkeringat. Untuk membengkokan aku selalu menunggu sesaat nyaris dimulai pertandingan, karena akan menjepit kulit daun telingaku bagian atas, dan aku tak mau merasakan sakit lebih lama lagi dari yang seharusnya. Bagian atas daun telingaku akan lecet beberapa hari sesudah tiap pertandingan, tapi aku pikir lebih baik begitu daripada harus terus menekan kacamata diantara dua mataku atau mengambil resiko jatuh tiba-tiba sewaktu pertandingan penting.
            Davey Cantor, salah seorang pemain pengganti jika pemukul utama harus keluar, sedang berdiri dekat pagar kawat di belakang lingkar home. Ia pendek dengan raut bulat, rambut hitam, berkacamata seperti burung hantu, dan berhidung sangat Semitis. Ia memperhatikanku mengepas kacamataku.
            “Kau akan nampak bagus di tengah lapangan sana, Reuven”, katanya padaku.
            “Terima kasih”, kataku.
            “Semua pemain akan kelihatan bagus”.
            “Pertandingan ini akan menarik”.
            Sepasang matanya membelalak padaku menembus kacamatanya. “Kau pikir begitu?” tanyanya.
            “Benar, kenapa tidak?”
            “Kau pernah nonton mereka main, Reuven?”
            “Belum”.
            “Mereka para pembunuh”.
            “Benar”, kataku.
            “Tidak, sungguh. Mereka liar”.
            “Kau pernah nonton mereka main?”
            “Dua kali. Mereka para pembunuh”.
            “Setiap orang main untuk menang, Davey”.
            “Mereka tidak hanya main untuk menang. Mereka main selayak hal itu yang pertama dalam Sepuluh Perintah”.
            Aku tertawa. “Begitu itu yeshiva?” kataku. “Ah, ayolah, Davey”.
            “Begitulah nyatanya”.
            “Sungguh”, kataku.
            “Reb Saunder memerintahkan mereka jangan pernah kalah karena akan memalukan yeshiva atau apapun. Aku tak tahu. Kau akan lihat”.
            “Hey, Malter!” teriak Pak Galanter. “Apa yang sedang kau lakukan, menunggu buyar?”
            “Kau akan lihat”, kata Davey Cantor.
            “Benar”, aku menyeringai padanya. “Perang suci”.
            Ia menatapku.
            “Kau main?” aku bertanya padanya.
            “Pak Galanter bilang aku akan masuk base kedua jika kau harus melempar”.
            “Baiklah, semoga beruntung”.
            “Hey, Malter!” teriak Pak Galanter. “Ini perang, ingat?”
            “Ya, pak!” kataku, dan berlari kembali ke posisiku di base kedua.
            Kami lempar bola berantai untuk beberapa saat, dan lalu aku ke lingkar home untuk melatih beberapa pukulan. Aku pukul satu bola jauh melambung keluar lapangan, dan kemudian satu bola pendek keras yang ditangkap dengan cekatan dan dilambaikan sesaat. Aku telah siap mengayunkan tongkat pemukul lagi ketika seseorang berkata, “Mereka datang”, lalu tongkat pemukul kupikulkan ke pundak, melihat regu yang akan kami lawan membelok blok kami menuju lapangan. Aku lihat Davey Cantor menendang-nendang pagar kawat dengan cemas di belakang lingkar home, kemudian menyakukan tangan di celana jengkinya. Sepasang matanya membulat-murung di balik kaca mata burung hantunya.
            Aku lihat mereka masuk lapangan.
            Mereka ada lima belas orang, berpakaian serupa; kaus putih, celana gelap, sweater putih, dan kupluk kecil hitam. Gaya mereka sangat Ortodoks, rambut tercukur nyaris, keculali rambut yang tak tersentuh dekat telinga yang tumbuh dengan cepat dan menggelincir bergulung menjadi kucir keriting yang panjang. Beberapa dari mereka mulai tumbuh brewok, sejumput jurai rambut yang memberkas terpisah di gumpal dagunya, tulang rahang, dan di atas bibirnya. Mereka semua kenakan pakaian dalam di balik bajunya, dan tzitzit, jejumbai panjang menjuntai di empat sudut pakaiannya, keluar dari ikat pinggang dan berayun menabrak pantalonnya saat mereka berjalan. Sangat Ortodoks dan sangat taat perintah Kitab Suci secara harfiah Dan kau bakal melihatnya, hal yang berkenaan dengan jejumbai.
            Sebaliknya, regu kami tak memakai pakaian khusus, dan setiap orang dari kami memakai apapun yang mereka ingin kenakan: celana jengki, celana pendek, pantalon, kaos berkerah, kaos oblong, bahkan kaos dalam. Beberapa orang dari kami memakai kemeja, dan yang lain tidak. Tak seorangpun dari kami memakai jejumbai yang menyampir di celana panjangnya. Satu-satunya seragam yang biasa kami pakai adalah kupluk hitam.
            Mereka berhenti di base pertama yang bersisian dengan pagar kawat di belakang home plate dan berdiri di sana sebagai gerombolan hitam-putih yang senyap, tangan mereka menggenggam tongkat pemukul, bola dan sarung tangan. Aku perhatikan mereka. Bagiku mereka tak menggambarkan kebuasaan. Aku lihat Davey Cantor menendang-nendang pagar kawat. Lalu menyingkir dari mereka ke baseline ketiga, tangannya memukul-mukul celana jengkinya dengan cemas.
            Pak Galanter tersenyum dan menghampiri mereka, bergerak dengan tangkas menghindari bola-bola di bawah kakinya, kupluknya bertengger genting di atas kepala botaknya.
            Seorang laki-laki menyeruak dari gerombolan pemain hitam-putih dan melangkah maju. Ia tampaknya berusia akhir dua puluhan, mengenakan setelan jas hitam dan topi hitam. Ia punya brewok hitam dan satu tangannya membawa sebuah buku. Jelas sekali ia seorang rabbi, dan aku heran sekali kenapa yeshiva malah menempatkan seorang rabbi dari pada seorang pelatih olah raga di regunya.
            Pak Galenter menghampirinya dan mengulurkan tangan.
            “Kami siap main”, rabbi itu bicara dalam bahasa Yiddish, menjabat tangan Pak Galanter dengan sikap yang jelas tak bersahabat.
            “Baiklah”, Pak Galanter berkata dalam bahasa Inggris dan tersenyum.
            Rabi itu menebar pandang ke lapangan. “Kau sudah main?” tanyanya.
            “Maksudnya?” kata Pak Galanter.
            “Kalian sudah berlatih?”
            “Benar, tentu – “.
            “Kami ingin berlatih”.
            “Maksudnya?” kata Pak Galanter lagi, nampak terkejut ia.
            “Kalian sudah berlatih, sekarang kami mau berlatih”.
            “Kalian tidak berlatih di lapangan kalian sendiri?”
            “Kami berlatih”.
            “Nah, lalu – “.
            “Tapi sebelumnya kami belum pernah main di lapanganmu. Kami butuh beberapa menit”.
            “Baik, cepatlah”, kata Pak Galanter. “Tak ada banyak waktu. Seharusnya tiap regu berlatih di lapangannya sendiri”.
            “Kami butuh lima menit”, tegas rabbi itu.
            “Baiklah – “, kata Pak Galanter. Senyumnya menghilang. Ia selalu ingin langsung bertanding saat kami main di kandang sendiri. Ia bilang hal itu menghindarkan kami dari pendinginan kembali.
            “Lima menit”, kata rabbi. “Bilang pada anak buahmu untuk meninggalkan lapangan”.
            “Maksudnya?” kata Pak Galanter.
            “Kami tak bisa berlatih kalau anak buahmu masih ada di lapangan. Perintahkan mereka untuk tinggalkan lapangan”.
            “Baiklah, cepat”, kata Pak Galanter, lalu termangu. Lama ia berpikir. Gerombolan pemain hitam-putih di belakang rabbi berdiri tegak, menunggu. Aku lihat Davey Cantor menyaruk-nyaruk aspal lapangan. “Baik, tak jadi soal. Lima menit. Hanya lima menit, cepatlah”.
            “Perintahkan anak buahmu tinggalkan lapangan”, kata rabbi.
            Pak Galanter memandang lapangan dengan mata nanar, kelihatan agak terendahkan. “Semuanya keluar!” teriaknya, tidak sangat lantang. “Mereka mau pemanasan lima menit. Semangat, semangat. Terus gerakan tangan. Jaga tetap panas. Lempar bola berantai di belakang home. Ayo!”.
            Para pemain menghambur keluar lapangan.
            Gerombolan hitam-putih dekat pagar kawat masih berhimpun. Rabbi muda berbalik dan menatap regunya.
            Ia bicara dalam bahasa Yiddish. “Lapangan milik kalian selama lima menit”, katanya. “Camkan, kenapa dan untuk siapa kita bertanding”.
            Lalu ia menyingkir ke pinggir, gerombolan hitam-putih pecah menjadi lima belas pemain individual yang masuk lapangan dengan bergegas. Salah seoran dari mereka adalah anak laki-laki tinggi dengan rambut warna pasir, lengan dan tungkai kakinya yang panjang kelihatan persegi penuh tulang, berdiri ia di home plate dan mulai memukul bola. Ia sambar bola agak menyusur tanah dan melambung, para penjaga berteriak saling menyemangati dalam bahasa Yiddish. Mereka menata diri mereka sendiri tak beraturan, menjatuhkan bola agak menyusur tanah, melempar liar, pontang-panting mengejar bola-bola yang melayang. Aku melihat ke arah rabbi muda. Duduk ia di bangku dekat pagar kawat sedang membaca bukunya.
            Di belakang pagar kawat, di sebuah tanah lapang, Pak Galanter memastikan kami terus melempar bola berantai.
            “Terus lempar bola!”, ia acungkan tinjunya pada kami. “Tak seorangpun boleh menghindar dari pertempuran ini! Jangan remehkan musuh!”.
            Tapi sesimpul senyum masih melintang di wajahnya. Sekarang, saat memperhatikan regu lain, ia kelihatan sama sekali tak memperdulikan hasil pertandingan. Di jeda antara melempar, menangkap, dan melempar bola padaku, aku berkata pada diriku sendiri kalau aku suka Pak Galanter, aku heran alangkah teguhnya ia menggunakan ungkapan perang dan kenapa ia tak masuk tentara.
            Davey Cantor melewatiku, mengejar bola yang bergulir di sela dua kakinya.
            “Para pembunuh”, aku menyeringai padanya.
            “Kau akan lihat”, katanya seraya membungkuk pungut bola.
            “Pasti”, kataku.
            “Khususnya ia yang sedang memukul. Kau akan lihat”.
            Bola meluncur kembali ke arahku, dan aku menangkapnya dengan sigap lalu melemparkannya.
            “Siapa yang sedang memukul itu?” aku bertanya.
            “Danny Saunders”.
            “Maaf ketidaktahuanku, tapi siapa Danny Saunders?”
            “Putra Reb Saunders”, kata Davey Cantor sambil mengerdip mata.
            “Aku terkesan”.
            “Kau akan lihat”, kata Davey Cantor, lalu berlalu dengan bolanya.
            Ayahku, yang tak suka sekali dengan komunitas Hasidik dan dinasti kerabbiannya, telah bercerita padaku tentang Rabbi Issac Saunders dan semangatnya mengurus umat serta menanggapi pertanyaan-pertanyaan tentang hukum Yahudi.
            Aku lihat Pak Galanter melihat arlojinya, lalu menatap regu yang ada di lapangan. Rupanya lima menit telah usai, namun para pemain masih juga menyandera lapangan. Danny Saunders sekarang di base pertama, aku perhatikan lengan dan tungkai kakinya yang panjang yang dapat digunakan pada sebuah kesempatan bagus untuk meregang dan melompat sehingga ia bisa menangkap bola liar yang melintas di jalurnya.
            Pak Galanter menghampiri rabbi muda yang masih duduk di bangku dan sedang membaca.
            “Lima menit sudah”, katanya.
            Rabbi menebar pandang ke lapangan. Cukup!” teriaknya dalam bahasa Yiddish. “Sekarang saat bertanding!” lalu ia menyimak buku dan melanjutkan membacanya.
            Para pemain berantai melempar bola selama satu atau dua menit lagi, lalu pelan-pelan mengosongkan lapangan. Danny Saunders berjalan melewatiku, masih memakai sarung tangan baseman pertama. Ia jauh lebih tinggi dariku, dan sangat berbeda dengan diriku yang serba biasa saja karena keserasian roman muka dan rambut gelapnya, wajahnya seperti terpahat dari batu. Dagu, rahang, dan tulang pipinya membentuk tonjolan garis tegas, hidungnya lurus menjulang, bibirnya yang penuh mendaki sudut curam dari titik pangkal di bawah hidungnya lalu melandai membentuk sebuah mulut yang lebar. Sepasang matanya biru menggelap dan sejumput rambut menyurai di dagu, tulang rahang, dan di atas bibirnya, rambut kepalanya tercukur nyaris, kucirnya yang menjuntai di sepanjang sisi kedua telinganya berwarna pasir. Ia bergabung dalam kumpulan yang terberai, berjalan seperti mengurai lengan dan kakinya, bicara dalam bahasa Yiddish pada seorang anggota regunya dan sama sekali mengabaikanku saat ia melintas. Aku katakan pada diriku sendiri kalau aku tak menyukai brewok Hasidiknya yang mengesankan keangkuhan, dan akan menyenangkan sekali untuk mempecundanginya sekaligus regunya dalam pertandingan siang ini.
            Wasit, seorang instruktur olah raga dari sekolah paroki yang berjarak dua blok memanggil dua regu bersama-sama untuk menuntukan siapa yang akan memukul pertama. Aku lihat ia melempar tongkat pemukul ke udara. Tongkat pemukul itu tertangkap dan hampir dijatuhkan oleh seorang pemain dari regu lawan.
            Sewaktu pengundian singkat Davey Cantor menghampiriku dan berdiri di sebelahku.
            “Bagaimana pendapatmu”, tanyanya.
            “Mereka gerombolan yang congkak”, kataku padanya.
            “Apa pendapatmu mengenai permainan mereka?”
            “Mereka pecundang”.
            “Mereka pembunuh”.
            “Ah, ayolah, Davey”.
            “Kau akan lihat”, kata Davey Cantor sambil menatapku masam.
            “Aku baru saja lihat”.
            “Kau tak lihat apapun”.
            “Sungguh”, kataku. “Nabi Elijah masuk regu mereka untuk melempar bola saat keadaan genting”.
            “Aku tak sedang bercanda”, katanya, nampak jengkel.
            “Para pembunuh”, aku berkata padanya dan tertawa.
            Dua regu mulai berpencar. Kami kalah undian, dan mereka putuskan memukul dulu. Aku menuju posisiku di base kedua. Rabbi aku lihat sedang duduk di bangku dekat pagar kawat sambil membaca. Dengan berantai kami melempar bola sesaat. Pak Galanter berdiri di tepi base ketiga, meneriakan kata-kata penyemangat pada kami. Hangat, aku sedikit berpeluh dan punya perasaan nyaman. Kemudian wasit, yang sudah mengambil posisi di belakang pitcher, meminta bola. Seseorang melemparkan padanya. Ia memberikannya pada pitcher dan berteriak, “Sekarang kita mulai! Mainkan bola!”. Kami mantapkan posisi kami.
            Pak Galanter teriak, “Goldberg, masuk!” Dan Sidney Goldberg, shortstop kami, maju dua langkah dan bergeser sedikit lebih mendekati base ketiga. “Oke, bagus”, kata Pak Galanter. “Jangan lengah!”.
            Anak laki-laki bertubuh pendek dan kurus menuju plate, berdiri di sana dengan sedua kaki rapat, dengan canggung memegang tongkat pemukul di atas kepalanya. Ia memakai kacamata berbingkai baja yang menjepit wajahnya, model orang tua. Sambarannya tak menyasar pada lemparan pertama, dan kekuatan ayunannya memelintirnya seputaran penuh. Di sisi kepala kucirnya berguncang, ikut berputar dalam lingkaran horisontal. Kemudian ia tata lagi dirinya, kembali ke posisinya di plate, kurus, pendek, tungkai kakinya merapat, memegang tongkat pemukulnya di atas kepala dengan genggaman canggung.
            Wasit memanggil pemukul dengan suara keras jernih, dan aku lihat Sidney Goldberg melihatku, menyeringai lebar ia.
            “Jika ia belajar Talmud seperti itu, ia mampus”, kata Sidney Golberg.
            Aku balik menyeringai.
            “Jaga dengan ketat!” Pak Galanter berteriak dari base ketiga. “Malter, geser sedikit ke kiri! Bagus!”.
            Lemparan berikutnya sangat tinggi, dan anak itu menyambarnya, pukulannya meleset dan bola jatuh di atas tangannya. Sidney Goldberg dan aku saling berpandangan lagi. Sidney sekelas denganku. Kami tinggal di gedung yang sama, bertubuh kurus dan lentur, tangan dan kakinya cekatan. Ia bukan murid yang cakap, tapi ia shortstop yang istimewa. Kami bertempat tinggal di blok yang sama dan berhubungan baik meski bukan kawan karib. Ia memakai kaos dalam dan celana jengki, tak mengenakan baju bersudut empat. Aku pakai kaos biru muda, pantalon biru gelap, dan juga mengenakan baju bersudut empat.
            “Tinggal dua lagi seperti tadi!” aku berteriak menyemangati pitcher. “Dua lagi, Schwartzie!”. Dan aku bicara sendiri, para pembunuh.
            Aku lihat Danny Saunders menghampiri anak laki-laki yang baru saja gagal dan bicara padanya. Anak laki-laki itu menunduk dan kelihatan muram. Dengan menundukan kepala ia menyingkir ke belakang pagar kawat. Lagi, anak bertubuh pendek dan kurus mengambil posisi di plate. Aku mencari-cari Davey Cantor, tapi tak melihatnya.
            Anak itu menyambar dua lemparan pertama tanpa sasar. Ia sambar lagi lemparan ketiga, lalu aku dengar suara keras thwak saat tongkat pemukul menumbuk, selanjutnya bola tampak bergerak melintir, lurus ke arah Sidney Goldberg, dan ia menangkapnya, agak memantul dan akhirnya tergenggam dalam sarung tangannya. Ia mengirimkan padaku, dan kami melemparkannya berantai. Aku lihat ia lepas sarung tangannya dan memegang tangan kirinya.
            “Sakit”, katanya, menyeringai ia padaku.
            “Tangkapan bagus”, kataku padanya.
            “Ini sangat sakit sekali”, katanya sambil memakai kembali sarung tangannya.
            Pemukul yang sekarang berdiri di plate berpundak lebar, kekar seperti beruang. Ia menyambar lemparan pertama, meleset, lalu menyambar lagi lemparan kedua dan bola melesat lurus di atas kepala baseman ketiga menuju kiri lapangan. Aku meneriaki bola. Aku lihat penjaga sebelah kiri menangkapnya pada pantulan kedua dan meneruskan padaku. Bola datang agak melambung, aku acungkan sarung tanganku untuk meraih. Aku rasa pemukul itu tak hanya terlihat berupaya menuju base kedua, dan saat aku petik bola dengan sarung tanganku ia melanggarku seperti truk. Bola meluncur di atas kepalaku, aku tersungkur keras di atas aspal lapangan, lalu ia melewatiku menuju base ketiga, jejumbai berkibar di belakangnya, tangan kanannya memegangi kupluk di atas kepala supaya tidak terlepas. Abe Goodstein, baseman pertama kami memungut bola dan mencampakannya ke home. Pemukul itu berdiri di base ketiga dengan seringai lebar di wajahnya.
            Regu yeshiva meledak dalam sorai liar, meneriakan kata-kata selamat dalam bahasa Yiddish kepada pemukul.
            Sidney Goldberg membantuku bangkit.
            “Ini curang”, katanya. “Kau tak halangi jalannya!”.
            “Wow”, kataku, lalu menghela nafas dalam. Telapak tangan kiriku terluka.
            “Sangat curang”, kata Sidney Goldberg.
            Aku lihat Pak Galanter menghambur masuk lapangan untuk bicara pada wasit. “Permainan macam apa itu tadi?” tanyanya dengan sengit. “Bagimana kau terapkan peraturan?”.
            “Aman di base ketiga”, kata wasit. “Pemainmu menghalangi jalan”.
            Mulut Pak Galanter ternganga. “Bagaimana?”.
            “Aman di base ketiga”, ulang wasit.
            Pak Galanter nampak siap mendebat, terdiam, lalu menatapku. “Kau baik-baik saja, Malter?”
            “Tidak apa-apa”, kataku, mengambil nafas dalam lagi.
            Pak Galanter jalan meninggalkan lapangan dengan marah.
            “Mainkan bola”, seru wasit.
            Regu yeshiva mereda. Aku lihat rabbi muda itu sekarang melepas pandangan dari bukunya dan tersenyum simpul.
            Pemain bertubuh tinggi kurus berjalan ke plate, menata kakinya dalam posisi yang benar, mengayun-ayunkan tongkat pemukulnya, lalu membungkuk bersiaga. Aku lihat ia adalah Danny Saunders. Tangan kiriku yang masih terasa sakit karena jatuh kugerak-gerakan.
            “Mundur! Mundur!” seru Pak Galanter dari pinggir base ketiga, dan aku ambil dua langkah ke belakang.
            Aku membungkuk, menunggu.
            Lemparan pertama meliar, dan regu yeshiva meledak dalam tawa yang keras. Rabbi muda yang duduk di bangku memperhatikan Danny Saunders dengan seksama.
            “Tenang, Schwartzie!”, aku berteriak menyemangati pitcher. “Tinggal sekali lagi”.
            Lemparan berikutnya kira-kira satu kaki di atas kepala Danny Saunders, dan regu yeshiva riuh tertawa. Sidney Goldberg dan aku saling berpandangan. Aku lihat Pak Galanter berdiri mematung di pinggir base ketiga, memelototi pitcher. Rabbi masih memperhatikan Danny Saunders.
            Lemparan tangan kiri Schwartzie berikutnya bagus dan lurus melambat, sebelum bola separuh perjalanan ke plate aku tahu Danny Saunders akan berupaya menyambarnya. Aku tahu karena kaki kirinya bergerak bergerak maju dan tongkat pemukulnya condong ke belakang serta tubuhnya yang tinggi kurus mulai berpilin di sumbunya. Tegang aku menunggu suara tongkat pemukul menumbuk bola, dan ketika hal itu terjadi suaranya seperti tembakan. Dalam hitungan detik yang meliar, pandanganku pada bola menghilang. Lalu aku lihat Schwartzie tiarap di tanah dan bola menembus udara tepat dimana kepala Schwartzie pernah berada, aku berupaya menangkapnya, tapi bola terlalu menderas keras, dan aku baru meraihkan sarung tanganku sebelum bola itu sampai di tengah lapangan. Bola itu ditangkap pada sekali pantul dan dilemparkan ke Sidney Goldberg , tapi pada saat bersamaan Danny Saunders telah berdiri mantap di baseku, dan regu yeshiva kegirangan.
            Pak Galanter minta waktu dan berjalan untuk bicara pada Schwartzie. Sidney Goldberg mengangguk padaku, dan kami berdua menghampiri mereka.
            “Bola itu bisa membunuhku!”, kata Schwartzie. Ia punya tubuh sedang, berwajah lonjong penuh jerawat. Diusapnya keringat di wajahnya. “Astaga, kau lihat bola itu?”.
            “Aku melihatnya”, kata pak Galanter dengan masam.
            “Bola itu terlalu deras untuk dihentikan Pak Galanter”, kataku membela Schwartzie.
            “Aku dengar tentang Danny Saunders itu”, kata Sidney Goldberg. “Ia selalu memukul bola ke pitcher”.
            “Harusnya kau bilang padaku”, keluh Schwartzie. “Aku bisa bersiap”.
            “Aku hanya mendengar tentang hal itu”, kata Sidney Goldberg. “Kau selalu percayai apapun yang kau dengar?”.
            “Astaga, bola itu bisa membunuhku!” kata Schwartzie lagi.
            “Kau masih ingin melempar?” kata Pak Galanter. Kilau tipis keringat menyaput dahinya, ia nampak sangat masam.
            “Tentu, Pak Galanter”, kata Schwartzie. “Aku baik-baik saja”.
            “Kau yakin?”
            “Yakin, aku yakin”.
            “Perang ini tak butuh pahlawan”, kata Pak Galanter. “Aku butuh serdadu-serdadu hidup, bukan pahlawan mati”.
            “Aku bukan pahlawan”, kata Schwartzie, mulutnya nggerundel mengeluh. “Aku masih bisa menyelesaikannya, Pak Galanter. Astaga, ini baru inning pertama”.
            “Baiklah prajurit”, kata Pak Galanter tak lagi sangat antusias. “Bertahanlah saja dalam pertempuran ini”.
            “Aku akan lakukan yang terbaik, Pak Galanter”, kata Schwartzie.
            Pak Galanter mengangguk, masih kelihatan masam, lalu melangkah keluar lapangan. Aku lihat ia keluarkan saputangan dari sakunya dan mengelap dahinya.
            “Astaga!” kata Schwartzie, sekarang Pak Galanter sudah di pinggir. “Bajingan itu menyasar tepat kepalaku!”.
            “Ayolah Schwartzie”, kataku. “Siapa ia, Babe Ruth?”
            “Kau dengar apa yang Sidney katakan?”
            “Jangan berikan mereka piring perak agar mereka tak menyantap seperti tadi”.
            “Siapa berikan piring perak pada mereka?” keluh Schwartzie. “Tadi itu lemparan yang bagus”.
            “Benar”, kataku.
            Wasit datang menghampiri kami. “Kalian mau ngobrol di sini sepanjang siang?” tanyanya. Ia adalah seorang laki-laki yang pendek gemuk berumur akhir empat puluhan dan nampak tak sabaran.
            “Tidak, Pak”, aku berkata sangat sopan, lalu aku dan Sidney lari kembali ke tempat kami masing-masing.
            Danny Saunders berdiri di baseku, pakaian putihnya lengket di lengan dan punggungnya karena basah oleh keringat.
            “Itu tadi tembakan yang bagus”, aku menukas.
            Ia melihat padaku curiga dan tak katakan apapun.
            “Kau selalu memukul ke arah pitcher?” aku bertanya.
            Ia tersenyum simpul. “Kau Rauven Malter”, ia berkata dalam bahasa Inggris yang sempurna. Bersuara rendah dan sengau.
            “Benar”, kataku, terkejut, dimana ia dengar namaku.
            “Ayahmu David Malter, orang yang menulis tentang Talmud?”
            “Ya”, kataku.
            “Aku katakan pada reguku, siang ini kita akan membunuhmu apikorsim”, ia berkata datar, tanpa alunan ekspresi dalam suaranya.
            Aku melotot padanya, dan aku berharap perasaan dingin yang tiba-tiba mencengkeramku tak nampak di wajahku. “Pasti”, kataku. “Gosok tzitzitmu untuk keberuntungan”.
            Aku menyingkir darinya, mengambil posisi dekat base. Di dekat pagar kawat aku lihat Davey Cantor berdiri menatap lapangan, tangannya di saku. Aku segera membungkuk. Schwartzie siap melempar.
            Pemukul menyambar liar pada dua lemparan pertama, keduanya meleset. Lemparan berikutnya yang datang rendah dihantamnya, bola menumbuk tanah memantul ke arah baseman pertama, ia menjatuhkannya, pontang-panting mengejarnya, dan berhasil menangkapnya ketika Danny Saunders terlihat mengiris plate. Baseman pertama untuk sesaat berdiri terdiam, kuyup bermalu, lalu mengirim bola ke Schwartzie. Aku lihat Pak Galanter berdiri dekat base ketiga, menyeka dahinya. Regu yeshiva kembali bersorak riuh, mereka semua berusaha menghampiri Danny Saunders untuk menyalam tangannya. Aku lihat rabbi tersenyum lebar, lalu membaca buku lagi.
            Sidney Goldberg menghampiriku. “Apa yang Saunders katakan padamu?” tanyanya.
            “Ia bilang siang ini mereka akan membunuh kita, apikorsim”.
            Ia menatap padaku. “Itulah orang-orang yang baik, itulah orang-orang yeshiva”, ia berkata dan berjalan perlahan kembali ke tempatnya.
            Pemukul berikutnya menyambar bola jauh melambung ke arah kanan lapangan. Bola itu dapat dipotong di udara.
            “Hore”, kata Sidney Goldberg masam saat kita di ujung luar lapangan. “Selanjutnya mereka meminta kita bergabung dengan mereka pada Mincha Service”.
            “Tidak”, kataku. “Kita tak cukup suci”.
            “Dimana mereka belajar memukul seperti itu?”
            “Siapa yang tahu?” kataku.
            Kami berdiri dekat pagar kawat, rapat melingkari Pak Galanter.
            “Cukup dua run”, kata Pak Galanter seraya meninjukan kepalan tangan kanannya ke tangan kiri. “Setelah mereka menghajar kita dengan segala yang mereka punya. Kini giliran kita, beri mereka senjata berat yang kita punya. Sekarang kita berondong mereka!”. Aku lihat ia nampak lega walau masih berpeluh. Kupluk melengket di kepalanya karena keringat. “Baik!” katanya. “Serbu!”.
            Lingkaran pecah, Sidney Goldberg berjalan ke plate, membawa tongkat pemukul. Aku lihat rabbi masih duduk di bangku, membaca. Aku berjalan mengitar di belakangnya untuk melihat buku apa ketika Davey Cantor menghampiri, dua tangannya masuk saku, sepasang matanya masih saja muram.
            “Bagaimana?” tanyanya.
            “Bagaimana apa?” kataku.
            “Aku bilang mereka bisa memukul”.
            “Begitulah yang kau katakan padaku. Lalu apa?” aku tak bergairah menanggapi perasaannya yang berantakan, dan aku biarkan suaraku memperlihatkannya.
            Ia rasakan kejengkelanku. “Aku tak mau omong besar atau apapun”, katanya, nampak luka hati ia. “Aku hanya ingin tahu apa pendapatmu.”
            “Mereka dapat memukul”, kataku.
            “Mereka para pembunuh”, katanya.
            Aku perhatikan Sidney Goldberg membiarkan satu lemparan berlalu.
            “Bagaimana tanganmu?” tanya Davey Cantor.
            “Tanganku luka”.
            “Keras sekali ia menubrukmu”.
            “Siapa ia?”
            “Dov Shlomovitz”, kata Davey Cantor. “Sebagiamana namanya, begitulah ia”. Lalu ia jelaskan dalam bahasa Ibrani “Dov” berarti beruang.
            “Apa aku menghalanginya?”
            Davey Cantor mengangkat bahu. “Kau menghalangi dan tak menghalangi. Wasit tak bisa putuskan lain hal”.
            “Ia menabrak seperti truk”, kataku, sambil memperhatikan Sidney Goldberg menapak mundur karena lemparan yang mendekat.
            “Kau seharusnya lihat ayahnya. Ia salah seorang shamashim Reb Saunders. Tugasnya seperti bodyguard”.
            “Reb Saunders punya bodyguard?”
            “Benar, ia punya beberapa bodyguard”, kata Davey Cantor. “Mereka melindunginya dari popularitasnya sendiri. Di mana kau tinggal selama ini?”
            “Aku tak ada urusan dengan mereka”.
            “Kau melewatkan suatu hal, Rauven”.
            “Bagaimana bisa kau tahu banyak mengenai Reb Saunders?”
            “Ayahku memberi sokongan padanya”.
            “Yah, itu bagus buat ayahmu”, kataku.
            “Ia tak sembah yang ada di sana atau apa pun. Ia hanya beri sokongan”.
            “Kau ada di regu yang salah”.
            “Tidak, aku bukan, Rauven. Jangan seperti itu”, ia kelihatan sangat terpukul. “Ayahku bukan Hasid atau apapun. Ia hanya beri mereka sejumlah uang beberapa kali setahun”.
            “Aku cuma bercanda, Davey”, aku menyeringai padanya. “Jangan seriusi segala hal”.
            Aku lihat wajahnya mengembangkan senyum riang, dan sejurus kemudian Sidney Goldberg memukul dengan keras, rendah menyusur tanah lalu ia lari ke base pertama. Bola melesat ke kanan, terpental kaki shortstop ke tengah lapangan.
            “Tahan di base pertama!” Pak Galanter meneriakinya, Sidney berhenti dan berdiri di base pertama.
            Bola dikirimkan dengan cepat ke base kedua. Baseman kedua melihat ke arah base pertama, lalu melempar bola ke pitcher. Rabbi mengangkat wajahnya sesaat, lalu kembali ke bacaannya.
            “Malter, latih ia dulu!” Pak Galanter berteriak dan aku lari menuju baseline.
            “Mereka dapat memukul, tapi tidak becus menjaga”, kata Sidney Goldberg, menyeringai padaku saat aku sampai di tepi base.
            “Davey Cantor bilang mereka para pembunuh”, kataku.
            “Davey si malang dan pemurung tua”, kata Sidney Goldberg sambil menyeringai.
            Danny Saunders berdiri jauh dari base, bersikap abai pada kami berdua.
            Pemukul berikutnya menghantam bola melambung jauh ke arah baseman kedua. Ia menangkap, menjatuhkan, dan menangkapnya lagi, lalu pontang-panting mengejar Sidney Goldberg ketika ia berlalu melewatinya ke base kedua.
            Safe all round!” seru wasit, regu kami memekik girang. Pak Galanter tersenyum . Rabbi melanjutkan membaca, dan sekarang aku lihat tubuh bagian atasnya bergerak pelan ke depan dan belakang.
            “Terus buka mata, Sidney!” aku berteriak dari pinggir base pertama. Aku lihat Danny Saunders memperhatikanku, lalu membuang pandang. Para pembunuh, pikirku. Lebih mirip orang-orang sinting.
            “Bola akan lari kesetanan jika menyusur tanah”, kataku kepada pemukul yang berdiri di base pertama, ia mengangguk padaku. Ia baseman ketiga kami, tubuhnya kira-kira sebesar aku.
            “Kalau mereka terus menjaga seperti tadi kita akan di sini sampai besok”, katanya, dan aku menyeringai padanya.
            Aku lihat Pak Galanter bicara pada pemukul berikutnya yang menganggukan kepala penuh semangat . Ia melangkah ke plate, memukul keras menyusur tanah ke arah pitcher yang gagal menangkapnya sesaat lalu melemparkannya ke base pertama. Aku lihat Danny Saunders meraih dan menangkapnya.
            “Keluar”, seru wasit. “Safe on second and third!”.
            Sambil berlari ke plate untuk memukul aku hampir terbahak atas ketololan pitcher. Ia malah melemparkannya ke base pertama dari pada ke base kedua, dan sekarang kami punya Sidney Goldberg di base ketiga dan seorang lagi di base kedua. Aku pukul bola mendatar menyusur tanah ke arah shortstop dan ia malah melemparkannya ke base pertama daripada ke base kedua. Bola meluncur liar dan Danny Saunders kembali meregangkan tubuh dan menghentikannya. Tapi aku kalahkan lemparan dan ku dengar wasit menyeru, Safe all round! One in!”. Dan semua orang dalam regu kami menepuk punggung Sidney Goldberg. Pak Galanter tersenyum lebar.
            “Halo lagi”, kataku pada Danny Saunders yang berdiri di dekatku, menjaga basenya. “Sudah kau gosok tzitzitmu?”.
            Ia melihat padaku, lalu perlahan-lahan beralih, wajahnya tanpa ekspresi.
            Shwartzie di plate, mengayun-ayunkan tongkat pemukulnya.
            “Tetap buka matamu!” teriakku pada runner di base ketiga. Ia kelihatan amat bernafsu menuju home. “Tinggal sekali lesat”.
            Ia lambaikan tangannya padaku.
            Schwartzie menerima dua bola dan satu strike, lalu aku melihatnya mulai berputar pada lemparan keempat. Runner di base ketiga berlari untuk home. Ia hampir seperempat lagi sampai di baseline ketika pemukul mengirim bola menyusur garis lurus ke baseman ketiga, anak laki-laki bertubuh kurus pendek dengan kacamata dan muka tua, yang berdiri mengangkangi base  dan sekarang menangkap bola dengan perutnya dari pada dengan sarung tangannya, berusaha begitu rupa untuk menggenggamnya, dan berdiri di sana, kelihatan bingung dan heran.
            Aku kembali di base pertama dan melihat pemain kami yang sebelumnya di base ketiga, yang sekarang separuh jalan menuju home plate, berbelok tajam dan mulai panik berlari balik.
            “Berdiri di base!” seruan Danny Saunders dalam bahasa Yiddish mengiris lapangan, dan kelihatan lebih patuh dari pada mengerti, baseman ketiga memaku kakinya di base.
            Regu yeshiva riuh kegirangan, menghambur keluar lapangan. Danny Saunders melihat padaku, mengatakan sesuatu yang bermaksud menghentikan , lalu bergegas menyingkir.
            Aku lihat Pak Galanter hendak kembali ke baseline ketiga, mukanya kecut. Rabbi mengangkat wajahnya dan tersenyum.
            Aku mengambil posisi dekat base kedua, Sidney Goldberg menghampiriku.
            “Kenapa ia harus keluar seperti itu?” tanyanya.
            Aku memelototi baseman ketiga kami yang berdiri dekat Pak Galanter dan terlihat sangat murung.
            “Ia ingin cepat-cepat memenangkan pertempuran”, kataku dengan getir.
            “Tolol sekali”, kata Sidney Goldberg.
            “Goldberg, kembali ke tempatmu!” bentak Pak Galanter. Di dalam suaranya tersimpan kemarahan. “Ayo, jaga pertahanan dengan ketat!”
            Sidney Goldberg segera kembali ke posisinya. Aku berdiri tegak dan menunggu.
            Cuaca panas, keringat mengalir di balik pakaianku. Aku merasa gagang kacamataku mengiris masuk kulit telinga atasku, aku lepas kacamataku sesaat dan mengosok-gosokan jariku pada permukaan kulit yang terjepit, kemudian memasangnya lagi dengan segera karena Schwartzie segera sampai di tempatnya. Aku merunduk ke bawah, mengingat janji Danny Saunders ke regunya bahwa mereka akan membunuh kami, apikorsim. Kata yang secara umum berarti seorang Yahudi yang terdidik Judaisme tapi mengingkari ajaran keyakinan dasar seperti keberadaan Tuhan, wahyu, dan kebangkitan setelah mati. Bagi orang seperti Reb Saunders, hal tersebut juga berlaku bagi kebanyakan orang Yahudi terdidik yang mungkin membaca apa yang Darwin tuliskan, dan yang tidak memakai kucir kuris dan jejumbai di luar pantalonnya. Aku adalah seorang apikoros bagi Danny Saunders, meskipun aku meyakini Tuhan dan Taurat, karena aku tak punya kucir kuris dan masuk sebuah sekolah paroki dimana terlalu banyak pelajaran berbahasa Inggris yang diberikan dan dimana pelajaran-pelajaran Yahudi diajarkan dalam bahasa Ibrani dari pada Yiddish, keduanya adalah dosa besar, yang pertama, karena hal itu menyia-nyiakan waktu tanpa mempelajari Taurat, berikutnya karena Ibrani adalah Bahasa Suci dan memakainya dalam pelajaran kelas umum adalah menodai nama Tuhan. Aku belum pernah benar-benar punya hubungan pribadi dengan orang Yahudi golongan ini sebelumnya. Ayahku pernah berkata padaku ia tidak ambil pusing dengan kepercayaan mereka. Apa yang paling menjengkelkan dari mereka adalah rasa fanatik mereka atas kebenaran, keyakinan absolut bahwa mereka dan hanya mereka sendiri yang mempunyai telinga Tuhan, dan semua Yahudi lain salah, salah mutlak, seorang pendosa, munafik, apikoros, dan sengsara, akhirnya terbakar di neraka.  Aku sendiri merasa heran bagaimana mereka belajar memukul bola seperti itu kalau waktu untuk belajar Taurat teramat berharga dan mengapa mereka menyertakan seorang rabbi untuk meluangkan waktunya duduk di bangku sepanjang pertandingan.
            Dengan berdiri di atas lapangan dan memperhatikan seorang anak laki-laki yang menyambar sebuah bola dan gagal, aku merasakan diriku mendadak sangat marah, hal tersebut merupakan titik pangkal dimana bagiku pertandingan berhenti menjadi sekedar pertandingan dan menjelma peperangan. Kini kegembiraan dan keasyikan lenyap. Bagaimanapun regu yeshiva telah menganggap pertandingan baseball siang ini sebagai sebuah konflik antara apa yang mereka anggap sebagai kebenaran mereka dan keberdosaan kami. Aku dapati diriku tumbuh lebih dan lebih marah, aku merasa kemarahan mulai memusatkan diri kepada Danny Saunders, dan dengan tiba-tiba sangat gampang bagiku untuk membencinya.
            Schwartzie membiarkan lima pemain mereka berada di plate pada setengah inning dan membiarkan salah seorang dari mereka mencetak angka. Kadang selama setengah inning ini, seorang anggota regu yeshiva meneriaki kami dalam bahasa Yiddish, “Terbakar di neraka, kau apikorsim!” Setelah berlalunya setengah inning ini, kami berdiri mengitari Pak Galanter dekat pagar kawat, kami semua tahu kalau ini bukan hanya pertandingan lagi.
            Pak Galanter basah berkeringat, wajahnya masam. Semua yang ia katakan adalah “Sekarang kita hati-hati. Jangan lagi ada kesalahan”. Ia mengatakannya dengan sangat tenang, kami semua diam, sangat diam, sampai pemukul menuju plate.
            Kami meneruskan permainan dengan lambat, bertanding hati-hati, bunting kapanpun kami harus, mengorbankan pergerakan runner ke depan, mematuhi instruksi Pak Galanter. Aku perhatikan tak jadi masalah di base mana runner berada, regu yeshiva selalu melempar ke arah Danny Saunders, aku simpulkan mereka melakukan hal itu karena ia satu-satunya pemain bertahan yang dapat dipercaya menghentikan lemparan bola mereka yang ngawur. Kadang selama inning ini aku berjalan ke belakang rabbi dan melihat buku yang ia baca melalui bahunya. Aku melihat kata-kata berbahasa Yiddish, dan berjalan kembali ke pagar kawat. Davey Cantor menghampiri dan berdiri di sebelahku, tapi ia hanya diam.
            Kami hanya mencetak sekali run pada inning ini, lalu kami berjalan ke lapangan untuk paruh pertama dari inning ketiga dengan perasaan lunglai.
            Dov Shlomovitz menuju di plate. Ia berdiri di sana seperti seekor beruang, tongkat pemukul kelihatan seperti tongkat mainan di tangannya yang berdaging. Schwartzie melempar, dan ia memapras bola dengan cekatan ke atas kepala baseman ketiga. Regu yeshiva meriuh, dan lagi seorang dari mereka meneriaki kami dalam bahasa Yiddish, “Terbakar kau apikorsim!”. Sidney Goldberg dan aku berpandangan, tanpa berkata-kata.
            Pak Galanter berdiri di tepi base ketiga, menyeka dahinya. Rabbi duduk dengan tenang, membaca buku.
            Aku lepas kacamata dan mengusap bagian atas telingaku. Dengan tiba-tiba aku merasakan ketaknyataan sesaat, seolah lapangan pertandingan yang berlantai aspal hitam dan putih di baselinenya kini adalah segenap duniaku, seolah-olah seluruh tahun-tahun awal hidupku membimbingku sedemikian rupa pada pertandingan ini, dan seluruh tahun-tahun masa depan hidupku akan bergantung sepenuhnya pada hasil pertandingan ini. Aku berdiri di sana untuk sesaat, memasang kacamata dan merasa giris. Lalu aku ambil nafas dalam, perasaan tersebut berlalu. Ini cuma pertandingan, aku bilang pada diriku sendiri. Pertandingan baseball apa?
            Pak Galanter meneriaki kami agar bergerak mundur. Aku berdiri beberapa kaki di sebelah kiri base kedua, dan aku ambil dua langkah ke belakang. Danny Saunders aku lihat telah berada di plate, mengayun-ayunkan tongkat pemukulnya. Regu yeshiva berteriak padanya dalam bahasa Yiddish agar ia membunuh kami apikorsim.
            Schwartzie menengok sekeliling untuk mencek lapangan. Ia terlihat cemas dan sedang mengambil waktu. Sidney Goldberg berdiri tegak, menunggu. Kami saling berpandangan, lalu memandang jauh. Pak Galanter sangat membeku di tepi base ketiga, memperhatikan Schwartzie.
            Lemparan pertama sangat rendah, Danny Saunders mengabaikannya. Bola kedua mulai datang setinggi bahu, dan sebelum bola meluncur dua pertiga jalan menuju plate, aku telah bersiaga di base kedua. Sarung tanganku akan terangkat ketika tongkat pemukul membentur bola, aku lihat bola melesat dalam garis lurus langsung ke arah kepala Schwartzie, tinggi di atas kepalanya, meluncur sangat cepat sebelum ia punya waktu mendapatkan lagi keseimbangannya setelah melempar, bola telah melaluinya. Aku lihat Dov Shlomovitz bergerak ke arahku dan Danny Saunders melaju ke base pertama, aku dengar regu berteriak dan Sidney Goldberg menjerit, aku melompat, mendorong diriku sendiri naik mengatas tanah dengan seluruh kekuatan yang aku punya di tungkai kakiku, merentangkan sarung tanganku sampai aku perpikir akan lepas dari bahuku. Bola membentur sarung tanganku dengan satu tumbukan yang mengebaskan tanganku dan menyengatku seperti kejut listrik, lalu aku rasakan suatu kekuatan menarikku ke belakang dan menghempaskanku tanpa keseimbangan, aku terjengkang keras di atas pinggul dan sikuku. Aku lihat Dov Shlomovitz berputar dan mulai balik ke base pertama, lantas aku berupaya bangkit pada posisi duduk dan melempar bola sekenanya ke Sidney Goldberg yang menangkap dan menyentakannya ke baseman pertama. Aku dengar wasit menyeru, “Keluar!” lalu Sidney Goldberg lari menghampiri untuk membantuku berdiri, wajahnya terlihat tak percaya dan mabuk kegembiraan. Pak Galanter berteriak, “Waktu!” lantas berlari masuk lapangan. Schwartzie di posisi pitcher mulutnya ternganga. Danny Saunders berdiri di atas baseline beberapa kaki dari base pertama tempat ia terhenti setelah aku menangkap bola, menatap padaku, dan regu yeshiva sepi memati.
            “Tangkapan hebat, Rauven!” kata Sidney Goldberg seraya menepuk bahuku. “Menakjubkan!”.
            Aku lihat regu kami yang semula loyo dengan tiba-tiba kembali hidup dan melempar bola berantai juga membahas pertandingan.
            Pak Galanter menghampiriku. “Kau baik-baik saja Malter?” tanyanya. “Biar aku lihat sikumu”.
            Aku perlihatkan sikuku padanya. Sikuku tergores, tapi kulitnya belum terkelupas.
            “Tadi permainan yang bagus”, kata Pak Galanter, berseri-seri padaku. Aku lihat wajahnya masih tersaput keringat, tapi ia tersenyum lebar sekarang.
            “Terima kasih, Pak Galanter”.
            “Bagaimana tanganmu?”
            “Sedikit sakit”.
            “Biar kulihat”.
            Sarung tangan kulepas, Pak Galanter memukul juga menekuk pergelangan dan jeriji tanganku.
            “Sakitkah?” tanyanya.
            “Tidak”, aku berbohong.
            “Kau ingin terus main?”
            “Tentu, Pak Galanter”.
            “Oke”, katanya, tersenyum padaku dan mengusap punggungku. “Kami akan beri kau Purple Heart untuk yang tadi, Malter”.
            Aku menyeringai padanya.
            “Oke”, kata Pak Galanter. “Ayo, perketat pertahanan!”
            Ia berjalan keluar, tersenyum.
            “Aku tak bakal bisa menangkap seperti kau tadi”, kata Sidney Goldberg.
            “Kau melempar bola ke baseman pertama dengan sangat bagus”, kataku padanya.
            “Yeah”, katanya. “Sementara itu kau sedang duduk di atas ekormu”.
            Kami saling menyeringai dan menuju posisi kami masing-masing.
            Pada inning ini ada dua lagi dari regu yeshiva yang memukul. Yang pertama memukul lurus, dan yang kedua memukul melambung pendek, yang ditangkap Sidney Goldberg tanpa bergerak. Kami mencetak dua run pada inning ini, dan satu run di inning berikutnya, dan di paruh akhir inning kelima kami sudah memimpin lima:tiga. Empat pemain mereka sudah berdiri memukul pada akhir inning keempat, dan mereka hanya bisa menempatkan seorang di base pertama karena kesalahan kami. Saat kami mengambil lapangan pada paruh terakhir inning kelima, Pak Galanter berjalan hilir mudik di pinggir base ketiga di antara bola-bola di kakinya, berkeringat, tersenyum, menyeringai, mengusap kepalanya dengan cemas; rabbi tak lagi membaca; regu yeshiva senyap seperti mati. Davey Cantor bermain di base kedua, dan aku berdiri di posisi pitcher. Schwartzie mengaku sangat letih, dan semulai inning terakhir ini – jadwal sekolah paroki kami hanya mengijinkan kami bertanding lima inning – dan regu yeshiva punya kesempatan terakhir memukul, Pak Galanter tak ingin beri peluang dan memintaku untuk melempar. Davey Cantor adalah fielder  yang buruk, namun Pak Galanter telah memperhitungkan lemparanku untuk mengakhiri pertandingan. Tangan kiriku masih luka karena menangkap, dan pergelangan tanganku terasa sakit kapanpun aku menangkap bola, tapi tangan kananku baik-baik saja, dan lemparan melesat cepat lalu akan jatuh melengkung hanya jika aku menghendakinya. Dov Shlomovitz  berdiri di plate, menyambar tiga kali bola yang dilihatnya sebagai lemparan yang sempurna, dan tak memukul apapun kecuali angin. Ia berdiri di sana, kelihatan bingung setelah sambaran ketiga, lalu perlahan menyingkir. Kami melempar bola mengeliling pertahanan, dan Danny Saunders berdiri di plate.
            Inilah hadiah dari seorang apikoros, pikirku, lalu bola kulempar. Bola menderas cepat dan keras, aku lihat kaki kiri Danny Saunders merentang, tongkat pemukulnya terangkat dan tubuhnya mulai berpilin. Ia baru menyambar ketika bola menggelincir membentuk lengkung, dan tongkat pemukul mengiris udara kosong dengan ganas, ia terpelintir dan sempoyongan. Kupluk hitamnya terlepas dari kepala, lalu ia berupaya menyeimbangkan dirinya dengan membungkuk secepatnya. Ia berdiri sesaat di sana, sangat membeku, menatapku. Lalu ia kembali ke posisinya di plate. Dari catcher bola kembali padaku, dan pergelangan tanganku terasa sakit ketika menangkap.
            Regu yeshiva sangat senyap, dan rabbi mulai menggigit-gigit bibirnya.
            Aku hilang kendali pada lemparan berikutnya dan melebar. Pada lemparan ketiga, aku melempar panjang, memperinci target dan mengirimkannya dengan pelan, bola lengkung menipu, pemukul pada umumnya selalu tergoda memukul dan selalu gagal. Ia benar-benar mengabaikannya dan wasit meminta bola.
            Pergelangan tangan kiriku terasa mulai berdenyut ketika aku menangkap lemparan dari catcher. Aku terasa panas, berpeluh, dan gagang kacamataku mengiris hingga daging telingaku bagian atas akibat pergerakan kepalaku saat melempar.
            Danny Saunders berdiri sangat membatu di plate, menunggu.
            Oke, pikirku, membencinya dengan sangat. Inilah hadiah berikutnya.
            Bola melaju ke plate dengan kencang, lurus, dan menggelincir sedikit di bawah sambarannnya. Susah payah ia mengendalikan dirinya sendiri agar tidak terpelintir, tapi ia jadi hilang keseimbangan lagi, sempoyongan dua atau tiga langkah ke depan sebelum ia bisa berdiri tegak.
            Catcher mengembalikan bola, dan aku meringis karena nyeri di pergelangan tangan. Aku ambil bola dari sarung tanganku, menggenggam di tangan kanan lalu berputar sebentar untuk menebar pandang ke lapangan sambil menunggu nyeri di pergelangan tanganku reda. Saat aku berputar balik, aku lihat Danny Saunders tidak bergerak. Ia genggam tongkat pemukulnya di tangan kiri, berdiri sangat beku dan menatap padaku.  Sepasang matanya menggelap, bibirnya terbelah seringai pandir yang gila. Aku dengar wasit menyeru, “Mainkan bola!” tapi Danny Saunders berdiri di sana, menatapku dan menyeringai. Aku berputar dan memperhatikan lapangan lagi, dan ketika aku berputar balik ia masih di sana, menatapku dan menyeringai. Aku bisa lihat barisan giginya diantara bibirnya yang terbelah. Aku ambil nafas dalam dan merasakan diriku basah berkeringat. Tangan kanan ku usapkan ke pantalonku dan melihat Danny Saunders melangkah perlahan ke plate, meletakan kaki di posisinya. Tak lagi ia menyeringai. Ia berdiri memperhatikanku lewat bahu kirinya, menunggu.
            Aku ingin cepat menyelesaikannya karena nyeri di pergelanganku, lalu aku meluncurkan bola menderas lagi. Aku memperhatikannya melaju lurus ke plate. Danny Saunders aku lihat membungkuk mendadak, dan dalam hitungan detik sebelum ia memukul bola aku lihat ia telah mengantisipasi lengkung bola dan dengan hati-hati menyambar rendah. Aku agak oleng setelah melempar, tapi aku berupaya keras menghalangkan sarung tangan ke depan muka begitu ia menghajar bola. Aku lihat bola mengarah padaku dan tidak ada yang bisa kulakukan. Bola itu menumbuk jemari sarung tanganku, berbelok, menghajar bingkai lensa kiri kacamataku, memantul dahiku dan menjengkangkanku. Aku berjuang keras menangkap bola yang meliar, tapi bersamaan aku menggenggamnya Danny Saunders telah berdiri aman di base pertama.
            Aku dengar Pak Galanter minta waktu, lalu semua orang di lapangan lari berhamburan ke arahku. Kacamataku tergeletak remuk di atas aspal, aku merasakan nyeri yang menggigit di mata kiriku saat aku mengerdip. Pergelanganku kebas, dan aku bisa merasakan sebuah benjolan sedang tumbuh di dahiku. Aku melihat ke arah base pertama, tapi tanpa kacamata Danny Saunders kelihatan samar. Aku bayangkan aku masih bisa melihatnya menyeringai. Pak Galanter ku lihat menghadapkan wajahnya di depan mukaku. Wajahnya berkeringat dan penuh perhatian. Aku heran, apa yang membuat semuanya sibuk. Aku hanya kehilangan kacamata, dan kami setidaknya masih punya dua pelempar lain yang cakap di regu kami.
            “Kau baik-baik saja, Nak?” kata Pak Galanter. Ia perhatikan wajah dan dahiku. “Salah seorang basahi saputangan dengan air dingin!” teriaknya. Aku heran kenapa ia berteriak. Suaranya memeningkan kepalaku dan mendenging dalam telingaku. Aku dengar Sidney Goldberg mengatakan sesuatu, tapi aku tak jelas kata-katanya. Pak Galanter melingkarkan lengannya ke pundakku dan memapahku keluar lapangan. Ia mendudukanku di bangku, bersebelahan dengan rabbi. Tanpa kacamata segala sesuatu yang berjarak lima kaki dariku mengabur. Aku kerdipkan mata dan heran kenapa mata kiriku perih. Aku mendengar suara-suara dan teriakan-teriakan, kemudian Pak Galanter meletakan saputangan basah di atas kepalaku.
            “Kau kedinginan, Nak?” tanyanya.
            Aku menggelengkan kepala.
            “Sekarang kau yakin?”
            “Aku tak apa-apa”, kataku, dan keheranan kenapa suaraku terdengar gusar dan kenapa berbicara membuat kepalaku pening.
            “Sekarang duduklah dengan tenang”, kata Pak Galanter. Sekarang kau mulai kedinginan, kau mau aku meneruskan?”
            “Ya, pak”, kataku.
            Ia pergi. Aku duduk di bangku bersebelahan dengan rabbi yang cuma melihatku sekali, lalu memandang kejauhan. Aku dengar teriakan-teriakan dalam bahasa Yiddish. Perih di mata kiriku yang terus-menerus terasa hingga tulang belakangku. Lama aku duduk di bangku, cukup lama untuk melihat kami kalah bertanding dengan angka delapan:tujuh, cukup lama untuk mendengar teriakan kegirangan regu yeshiva, cukup lama untuk menangisi perih di mata kiriku, cukup lama untuk menunggu Pak Galanter mendatangiku saat selesai pertandingan, memperhatikan mukaku sepintas lalu berlari keluar lapangan memanggil taksi.    
                  
       

2 komentar:

  1. Mas Dwi Pranoto, terjemahannya sudah diterbitkan apa belum?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Belum Mas. Belum ada penerbit yang mau terbitin cerita Yahudi tanpa tragedi genocida PD II.

      Hapus