Laman

Senin, 07 Maret 2011

Petaka Blambangan: Puputan Bayu, Minak Jinggo sampai Genjer-genjer

b
















 Blambangan tak bisa disamakan begitu saja dengan Banyuwangi hari ini. Kekuasaan kerajaan Blambangan kuno yang merentang dari Probolinggo, Lumajang, Jember, sampai ke timur berbatas Bali, tak sebanding dengan luas Kabupaten Banyuwangi sekarang. Wilayah kekuasaan Blambangan terus menciut dan semakin bergeser ke timur saat pemerintahan trah Mataram di Jawa Tengah berulang kali berusaha meruntuhkannya. Akhirnya ibu kota kerajaan Blambangan terakhir, Ulu Pampang, dipindahkan ke Banyuwangi oleh VOC. Dan dengan demikian punah sudah kekuasaan Blambangan, meski Mas Alit, Bupati pertama Banyuwangi, adalah wangsa Tawang Alun, Raja termashur di Blambangan.
            Seperti warna langit barat saat senjakala dimana lukisan warna-warni yang mengantar matahari menyungkur ke ufuk barat jadi menggetarkan. Menjelang keruntuhannya, wong-wong Blambangan memberikan perlawanan terakhirnya yang hebat. Dengan menduduki Bayu, bekas ibu kota kerajaan di zaman raja terbesar Tawang Alun, Rempeg membangun kekuatan masa rakyat untuk mematahkan kekuasaan VOC di Blambangan.      
Tidak seperti Puputan Badung atau Puputan Margarana yang mendapat perhatian luas. Puputan[1] Bayu, yang berlangsung di Blambangan (Banyuwangi) sejak Agustus 1771 sampai Desember 1772, hampir-hampir luput dari perhatian. Padahal perlawanan orang-orang Blambangan yang dipimpin Rempeg [2] atau Jagapati (mengaku sebagai jelmaan tokoh pemberontak sebelumnya, Agung Wilis, yang telah dibuang ke Banda [3]) terhadap kompeni dan Tumenggung Kartenagara serta Tumenggung Jaksanegara, Kasepuhan dan Kanoman, merupakan pertempuran hebat dan paling brutal yang pernah dialami oleh pasukan kompeni di pulau Jawa sejak perjanjian Giyanti. Raffles, dalam History of Java yang terkenal, menyatakan bahwa Banyuwangi yang pada tahun 1750 dihuni lebih dari 80.000 jiwa, pada tahun 1881 diketahui berkurang sampai hanya tersisa 8.000 jiwa [4]. Meski pernyataan Raffles di atas banyak mendapatkan tentangan dikemudian hari. De Jong menyatakan pernyataan Raffles tersebut hanyalah berdasarkan cerita dari mulut ke mulut [5]. Sedangkan I Made Sudjana, dalam Nagari Tawon Madu, menyatakan perkiraan Raffles tersebut terlalu kasar dan meletakan semua kesalahan terhadap VOC.  Berkurangnya penduduk Banyuwangi memang bukan belaka disebabkan oleh bedil VOC, namun pembakaran gudang-gudang makanan dan pemusnahan tanaman-tanaman pangan yang dilakukan oleh VOC untuk melumpuhkan persediaan logistik para pemberontak di Bayu, bagaimanapun telah menyebabkan kelaparan hebat dan meluasnya wabah penyakit dalam masyarakat Banyuwangi sesudah perang Bayu.
            Setelah beberapa penyerbuan VOC ke Bayu gagal memadamkan pemberontakan dan bahkan sering menderita kekalahan dengan kematian sebagian besar pasukan dan terlukanya komandan penyerbuan, VOC lantas berupaya mengisolasi Bayu dan memutus jalur-jalur logistik berikut membakar gudang-gudang makanan dan memusnahkan tanaman-tanaman pangan, seperti di Gambiran, Songgon, Temuguruh, dan Grajagan. Selain mencegat kereta-kereta kuda yang akan memasok logistik ke Bayu, VOC juga berupaya mendapatkan berbagai rincian informasi tentang kondisi Bayu yang misterius, dengan menculik beberapa pengikut Rempeg. Si Lakar, seorang dayun (pelayan setia) Rempeg yang diculik di rumah pembesar Blambangan, mantri Singadirana, mengalami proses interogasi yang dramatik. Setelah berulangkali teguh memberikan keterangan palsu mengenai rincian kondisi Bayu meski di bawah siksaan tubuh yang keji, Lakar akhirnya harus menyerah ketika ia diinterogasi dengan keadaan telanjang terikat di sepokok pohon dan diserbu ribuan semut merah besar.
            Si Lakar merupakan salah satu potret ketangguhan para pejuang Bayu,  (orang-orang Blambangan dibantu orang-orang Bugis, Mandar, Bali dan Cina) dalam melakukan perlawanan terhadap VOC meski, bersamaan itu, deraan kelaparan yang mematikan menghajar mereka juga. Di lain pihak VOC harus merogoh kas keuangan lebih dalam untuk mengongkosi perang disamping harus kehilangan para serdadunya, baik serdadu pribumi maupun Eropa, dalam jumlah besar. VOC pun harus rela kehilangan beberapa perwiranya dalam perang. Bahkan pada bulan November 1771 serbuan para pemberontak Bayu ke pelabuhan Ulupampang telah menyebabkan hal apa yang tak pernah terjadi pada perang-perang VOC di Jawa sebelumnya, yaitu tewasnya asisten resident, Biesheuvel (lihat Putu Praba Darana, Menguak Kabut Kelam Bumi Blambangan, makalah Seminar Sejarah Blambangan, 9 – 10 November 1993 di Banyuwangi)
            18 Desember 1771 pertempuran berkobar di Songgon dan Susukan mengakibatkan kekalahan pasukan VOC dan terbunuhnya letnan Reigers. Namun pertempuran paling brutal belum lagi pecah. Pada serangan pasukan VOC kedua di bulan yang sama, penyergapan mendadak yang dilakukan para pejuang Bayu bersaamaan dengan deras hujan menyebabkan pasukan VOC yang dikomandani Vaandrig Schaar menderita kekalahan parah. Para pemberontak dengan bersenjatakan bambu runcing dan tombak yang menyerbu mendadak dan bersamaan ke arah pasukan VOC membuat kalang kabut para seradadu yang harus melindungi senjatanya dari air hujan. 100 orang pasukan Madura gugur pada pertempuran itu, Vaandrig Schaar dan Cornet Tinne terbunuh. Menurut Wikkerman (kelak menjadi resident Banyuwangi) yang selamat dari pertempuran itu, tubuh Vaandrig Schaar diseret menuju markas pemberontak. Sesampai di markas, perut Vaandrig Schaar diburai dan diganyang isinya. Sementara kepalanya dipancang di ujung tombak dan dikelilingkan menjaya-jaya [6].
            Setelah Puputan Bayu [7], wilayah Blambangan (Banyuwangi) menjadi lengang. Disamping amuk kematian yang disebabkan oleh bedil VOC, juga kelaparan, wabah penyakit, dan migrasi besar-besaran orang Blambangan ke luar  daerah merupakan faktor berkurangnya jumlah penduduk Blambangan. Akhir tahun 1772 penduduk Blambangan tinggal 3.000 jiwa atau 8,3% dari jumlah penduduk yang ada sebelum pendudukan Belanda. (S. Margana, The “Puputan Bayu”: War, Disease, and Demographic Catastrophe in Blambangan, 1771 – 1773, paper Tanap workshop 2003, Xiamen).
            Sesungguhnya usainya perang Bayu yang disusul dengan jatuhnya pemerintahan Blambangan ke tangan VOC secara “mutlak” tak berarti perlawanan wong-wong Blambangan usai. Perlawanan terhadap VOC masih terus berlangsung secara sporadis dan terpecah-pecah. Bahkan para petanipun melakukan pembangkangan masal sehingga lahan-lahan persawahan terbengkalai.
            Jumlah penduduk yang menurun drastis dan ketaksudian rakyat Blambangan untuk bekerja sama, membuat VOC sangat kekurangan tenaga kerja untuk menggarap wilayah Blambangan menjadi daerah produktif. Persoalan kurangnya tenaga kerja ini memaksa pemerintahan VOC untuk mendatangkan orang-orang Jawa (mataraman) dan Madura ke Blambangan. Terlebih VOC harus membangun ibu kota baru di Banyuwangi. Namun, gelombang pertama kedatangan tenaga kerja dari wilayah mataraman dan Madura mendapat gangguan dari rakyat Blambangan sehingga mereka terpaksa harus kembali ke daerah asal. Sulitnya VOC mendatangkan tenaga kerja dari wilayah lain karena gangguan rakyat Blambangan tersebut membuat VOC harus merayu para calon tenaga kerja “migran” dengan iming-iming imbalan uang.        
Walaupun peringatan hari jadi kota Banyuwangi (versi pemerintah) kini ditetapkan bertepatan dengan berkobarnya salah satu serial perang Bayu paling brutal, namun “kenangan” atas Puputan Bayu nyaris tak dimilki oleh orang-orang Banyuwangi. Kenangan atas keberanian dan kepastian tragis peristiwa Bayu seolah diuapkan oleh perang Damarwulan – Minakjinggo. Realitas akhirnya harus menyerah pada kerajaan khayal. Hulu genealogi sosial yang melimpahkan inspirasi keteguhan, keberanian, sekaligus cermin pengkhianatan dan kepengecutan dipaksa harus menelan gambaran yang melulu hina-dina dengan riang gembira. Minakjinggo, tokoh rekaan yang buruk rupa dan berwatak angkara tumbuh meraksasa melampau dunia panggung senidrama dan mengeram dalam diri orang-orang Banyuwangi.
            Tak sejak mula, kelompok senidrama Kesenian Agawe Rukun Santoso (KARS) yang didirikan oleh Madarji tahun 1920-an itu melakonkan Damarwulan – Minakjinggo, cerita yang diduga ditulis oleh Pangeran Pekik [8] . Setelah pemanggungan di pendopo Kawedanan yang melakonkan cerita Bhre Wirabhumi Gugat, KARS dalam pemanggungan-pemanggungannya sekemudian harus hanya memanggungkan cerita Damarwulan – Minakjinggo. Naskah lakon yang diberikan sendiri oleh Asisten Wedana Banyuwangi kepada Madarji tersebut seterusnya penjadi penanda menggantikan nama KARS dan juga kelompok-kelompok dramatari sejenis yang kemudian mengikutinya.
            Cerita Bhre Wirabhumi Gugat dilarang dilakonkan lagi. Menurut Asisten Wedana, cerita Bhre Wirabhumi Gugat (Raja Kedaton Wetan/Blambangan yang dikenal dalam geger Paregreg; memberontak kepada Majapahit karena menuntut hak tahta) tidak bagus. Panggantian lakon itu mencerminkan kecemasan bahwa pemberontakan Bhre Wirabhumi bakal menginspirasikan kembali perlawanan kolosal masyarakat Banyuwangi terhadap pemerintahan kolonial. Sejarah pahit Puputan Bayu, bagaimanapun, terus membayang dalam ingatan pemerintahan kolonial, dimana dalam satu dasawarsa lebih, dari sebelum perlawanan Bayu sampai bertahun sesudah dipindahkannya ibu kota dari Ulupampang (Benculuk) ke Banyuwangi, wilayah Banyuwangi tak menjadi daerah produktif. *
            Mengkuti kepopuleran cerita Damarwulan – Minakjinggo yang bertahan berpuluh tahun, lambat-laun perilaku Minakjinggo dianggap benar-benar diwariskan kepada orang Banyuwangi. Raja Blambangan yang timpang, bongkok, bersuara sengau, buncit, berwajah serupa anjing, dan berwatak angkara sekaligus bejat moral itu dianggap mewakili gambaran umum orang Banyuwangi. Anggapan itu bukan hanya tumbuh dari orang-orang Banyuwangi, pun orang luar Banyuwangi. Semisal  lakon-lakon Ketoprak atau Ludruk dimana wong Blambangan melakoni peran berangasan dan bejat dalam cerita yang hitam-putih, meski tak sedang memanggungkan cerita Damarwulan – Minakjinggo. Lihat juga bagaimana wong Belambangan dilukiskan dalam cerita Digdaja (Coban, sambungan) [9] dan Brandal Blambangan [10]
            Gambaran tokoh Minakjinggo tersebut jauh dari apa yang dilukiskan John Scholte tentang orang Blambangan dalam Gandroeng Van Banjoewangi. John Scholte menyatakan bahwa rakyat Blambangan merupakan suku bangsa yang gagah fisiknya dan berkepribadian serta berkembang dengan cepat, berpegang kuat pada adat istiadat, tetapi juga mudah menerima peradaban baru. Lebih dari pujian yang dilayangkan John Scholte terhadap orang Banyuwangi, Dr. J. W. de Stoppelaar tahun 1927 melalui karya Hukum Adat Blambangan (terjemahan Pitoyo Boedhy Setiawan alias  P. Schuitemaker, naskah ketikan) membuktikan bahwa masyarakat Blambangan bukan tak beradab.
            Bagaimanapun, kisah Damarwulan dan Minakjinggo yang muncul pada akhir abad 17, walaupun mengambil latar belakang kerajaan Majapahit, merupakan cerminan usaha pendominasian trah Mataram atas seluruh tanah Jawa. De Graaf mencatat serbuan-serbuan militer Mataram atas Blambangan sejak abad 16. Pada masa Amangkurat I (Sultan Agung?), menurut Lekkerkerker dalam Balambangan, serangan Mataram berhasil menghancurkan Blambangan dan mengangkut 1500 orang Blambangan ke Mataram. Namun, ketika seluruh tanah Jawa tunduk terhadap VOC, termasuk Mataram yang “dijinakan” dengan perjanjian Giyanti, selain Malang Selatan yang terus bergolak, wilayah Blambangan tak juga bisa dikuasai VOC sampai paruh ketiga abad 18.
            Tinjauan kritis Putu Praba Darana atas sejarah Ken Arok yang disebut sebagai bromocorah dan anak hasil hubungan gelap antara N’dok dan dewa çiwa merupakan tanda penindasan atas realitas sejarah yang sebenarnya (Menguak Kabut Kelam Bumi Blambangan), dapat disebandingkan dengan apa yang ada di balik penggambaran Minakjinggo. Ambisi politik dilahirkan melalui penyerangan-penyerangan militer, sedangkan penindasan budaya dinyatakan dengan gurat tajam ujung pena. Babad Tawangalun memerikan ketegangan budaya antara Mataram dan Blambangan ini dalam perang tanding ajaib antara rohaniawan Blambangan, Wangsakarya dan rohaniawan Mataram, Kadilangu.
            Blambangan masa lalu memang tak dapat dibandingkan begitu saja dengan Banyuwangi hari ini. Tetapi represi atas rakyat Banyuwangi belum lagi selesai meski Blambangan sendiri akhirnya harus runtuh. Sebagaimana Mataram dan Belanda, pemerintah Indonesia sendiri, setelah peristiwa politik 1965 yang berdarah-darah, melakukan represi budaya yang hebat atas rakyat Banyuwangi. Sesudah peristiwa politik berdarah-darah itu, rakyat Banyuwangi, yang dianugrahi bakat musikal alamiah, (John Scholte, Gandroeng Van Banjoewangi) harus menyungkurkan gairah bermusiknya dan mengikat lidah mereka untuk bernyanyi.
            Berpuluh tahun, film “pesanan” karya Arifin C. Noer, Pemberontakan G 30 S/PKI, laksana roman Damarwulan – Minakjinggo baru bagi rakyat Banyuwangi. Tafsir visual yang brutal atas Genjer-genjer menyepadani keburukrupaan dan keangkaraan Minakjinggo. Lagu yang digubah M. Arief  tahun 1942 untuk memujikan kenikmatan sayur genjer dan penciptaanya berlatar krisis pangan di jaman Jepang itu berubah menjadi lagu yang mengerikan dan membawa serta orang-orang Banyuwangi ke dalam reka citra yang diperikannya.
            Bersama Genjer-genjer, lagu-lagu gubahan M. Arief semacam Nandur Jagung, Manuk Bethet, Semriwing Kembange Kopi, Adon-adone Sumping hilang dari udara Banyuwangi. Padahal lagu-lagu ciptaan sang pemula musik modern Banyuwangi itu sangat diakrabi oleh masyarakat Banyuwangi. Syair-syair lagu yang melukiskan tamasya kehidupan ladang dan persawahan itu tiba-tiba menjadi penyebar kecemasan dan mencekik kerongkong.
            Gandrung perempuan mewarisi gending-gending Gandrung pria seperti Ayun-ayun, Jangkung Kuning, Celeng Mogok; menyanyikan gending-gending Seblang seperti Podo Nonton, Cengkir Gading, Seblang-seblang; mewarisi gending-gending para Sanyang seperti Ukir Kawin, Sekar Jenang, Sandal Sate; menyanyikan tembang-tembang orang kulonan seperti Pangkur, Puspawarna, Eling-eling; menyanyikan lagu-lagu Bali seperti Surung Dayung, Pecari Putih; melantunkan lagu-lagu Ajrah (Hadrah) seperti Gumukan, Guritan, Wangsalan (John Scholte, Gandroeng Van Banjoewangi) [11]. Sanyang dan Gandrung pria sudah punah, Seblang tersisa di dua desa, namun Gandrung perempuan masih menghidupkan gending-gending mereka. Sementara, M. Arief yang membuka lapangan baru seni musik di Banyuwangi, membuka babak baru setelah seni klasik Banyuwangi tak lagi dinamis, juga tak bisa dilepaskan dari seluruh kultur seni Banyuwangi yang mendahuluinya. Sebagaimana, gending-gending masa lalu, lagu-lagu M. Arief merupakan potret realitas sosial masyarakat Banyuwangi yang dihidupi oleh gairah agraris.
            Hari ini mungkin sebagian kecil anak muda Banyuwangi yang mengetahui lagu-lagu M. Arief. Sementara para orang tua yang mengetahui lagu-lagu tersebut terlalu takut menyanyikannnya. Bibir-bibir layu mereka digemetarkan oleh trauma mengerikan yang menyertai lagu-lagu dan penggubahnya. Tahun 1965 berdarah yang disertai kebijakan stabilisasi politik yang menindas ekspresi kultural selama tiga dasawarsa lebih menyandera dan mencederai bangunan budaya Banyuwangi yang dibangun berabad-abad sejak Blambangan.
            Namun, gairah musikal orang-orang Banyuwangi mungkin harus disetarakan dengan mendiang Endro Wilis yang keras kepala. Meski berada di medan konfrontasi Kalimantan Barat dan kemudian harus meringkuk dalam penjara politik di Lowok Waru, Malang, ia tak bisa meluputkan dirinya dari menggubah lagu. Seperti halnya M. Arief, lagu-lagu gubahannya dan ia sendiri harus berhadapan dengan trauma politik berkepanjangan. Lagu-lagu Endro Wilis memang akhirnya dikasetkan, namun lagu-lagu tersebut harus melalui sensor ketat, dan ia sendiri harus meniadakan namanya dalam lagu tersebut pada mulanya.
            Kurang dari sepuluh tahun belakangan ini, penggubah-penggubah muda Banyuwangi mulai bersemi kembali. Banyuwangi mulai bernyanyi lagi, harus dikatakan bahwa lagu-lagu baru gubahan Catur Arum dan Yon merupakan suatu upaya menggali kembali irama dan syair khas Blambangan dan mensintesakannya dengan kecenderungan musikal hari ini. Tak bisa dipungkiri, kurun waktu tiga puluh tahun lebih yang penuh tekanan membuat kesinambungan sejarah kultural harus digali lebih dalam; di bawah timbunan lagu-lagu dalam kurun masa tersebut   yang diciptakan secara serampangan dan melulu melayani publik.   


           


[1] Sangat mungkin sekali istilah puputan yang melekat pada perang Bayu pertamakali digunakan oleh Endro Wilis dalam syair Podo Nginang.
[2]  Menarik sekali apa yang dinyatakan Sri Margana dalam The “Puputan Bayu”: War, Disease, and Demographic Catastrophe in Blambangan, 1771 – 1773: bahwa peperangan ini dipicu oleh perselingkuhan antara gundik Jaksanegara dan Rempeg.  Bahkan ketika sudah berada di Bayu, Rempeg masih menculik gundik-gundik Jaksanegara dan Kartanegara. Namun, “penguasaan” Rempeg atas sejumlah perempuan ini mungkin dapat dipahami sebagai salah satu upayanya untuk mengukuhkan diri sebagai Susuhunan.
[3] Berbagai informasi mengenai tempat pembuangan Agung Wilis sangat beragam; Cylon, Banda, dan Edam. Bahkan sejumlah informasi menyatakan bahwa Agung Wilis berhasil melarikan diri dari tempat pembuangannya dan kembali ke Mengwi hingga mangkatnya.
[4] Sri Margana, The “Puputan Bayu”: War, Disease, and Demographic Catastrophe in Blambangan, 1771 – 1773, paper  Tanap workshop 2003, Xiamen
[5] Tumbuhnya Kekuasaan Bangsa Belanda di Jawa, Himpunan dari Naskah-naskah arsip Kolonial yang belum diterbitkan, disusun dan diterbitkan oleh J.K.J de Jong dan M. L van Deventer, Martinus Nijhoff, terjemahan Pitoyo Boedhy Setiawan, tulisan tangan 9 Mei 1996.
[6] Berita mengerikan yang disampaikan Wikkerman ini sangat meragukan. Sangat nekat, bahwa Wikkerman yang dalam keadaan terluka akibat perang masih dapat mengendap-endap, dari lokasi pertempuran ke markas pejuang dan menyaksikan peristiwa mengerikan tersebut. Padahal pada masa itu jalan menuju markas pejuang tak mudah ditempuh, apalagi dalam keadaan licin akibat hujan.
[7] Sisa laskar Bayu ini banyak melarikan diri ke hutan-hutan dan ke daerah selatan dan membuat suatu komunitas yang disebut orang Gendong; menurut kabar mereka berpakaian kulit kayu. Mungkin orang-orang di Curah Pinang, daerah kaki Gunung Raung, yang sampai sebelum pergantian alaf masih hidup dengan cara unik dan masih melakukan ritual kuno adalah sisa dari orang Gendong ini (sayang sekali laporan dan film dokumenter tentang hal ini yang dibuat oleh Fadli Rashid dengan didanai Ford Foundation tidak saya dapatkan).  
[8] H.J. DE GRAFF, Puncak Kekuasaan Mataram, terjemahan, cetakan ke-3 hal. 254, PT Pustaka Utama Garfiti, Jakarta.
[9] Cerita oleh T.B.S (Tan Boen Soan), Majalah Penghidupan No.128, Agustus 1935 dan No. 133, Januari 1936, Tan’s Drukkerij, Surabaia.
[10] Cerita bersambung 1 - 45 oleh Purnawan Tjondronegoro, Suara Pembaruan, 1988.
[11] Banyak yang meragukan hasil kajian John Scholte yang dimuat di Indische Gids ini (terjemahan Indonesia oleh Pithoyo Boedhy Setiawan), meski demikian Pigeaud, ahli bahasa yang juga disegani dalam kajian sejarah, setidaknya menaruh perhatian atas upaya John Scholte ini. Sampai saat ini Gandroeng Van Banjoewangi masih merupakan hasil catatan upaya pengenalan yang paling awal atas Gandrung. 


* Riwayat Madarji dan Kelompok senidrama KARS dituturkan oleh Achmad Aksoro (kerabat Madarji) pada penulis.                                                

1 komentar:

  1. wah mantap boss
    bagus sekali, kapan yo aku iso ngangsu kaweruh nang riko...
    siip banget, jadi membuka pengetahuan sebenarnya tentang blambangan

    BalasHapus