Laman

Senin, 21 Maret 2011

Tanda di Dinding



 Diterjemahkan dari The Mark on The Wall, The Complete Shorter Fiction of Virgina Woolf, Susan Dick (ed.), Harcourt Brace Jovanovich, Publishers, Orlando, 1985













Tanda di dinding itu mungkin aku lihat dan perhatikan pada pertengahan Januari  tahun ini. Menentukan tanggal pastinya adalah penting untuk mengingat apa yang kuperhatikan. Sekarang aku membayangkan api; cahaya kuning terang di atas halaman bukuku; tiga bunga matahari terbingkai pigura bundar tergantung di dinding perapian. Ya, pada musim gugur, dan kami baru saja selesai minum teh. Aku ingat, aku sedang merokok ketika aku perhatikan tanda di dinding untuk pertama kalinya. Aku memperhatikannya lewat tabir asap rokokku dan  mataku terpaku pada bara batubara sebentar, lalu fantasi kuno tentang bendera merah yang berkibar di menara kastil masuk dalam pikiranku, dan aku membayangkan arak-arakan kesatria merah menyisir tepian batu karang hitam. Agaknya bentuk tanda itu menyela fantasiku, fantasi kuno, fantasi otomatis, mungkin berasal dari masa kanak-kanak. Tanda itu berbentuk bundaran kecil, menghitam di permukaan dinding putih, kira-kira enam atau tujuh inci di atas tungku perapian.
           
Alangkah sigapnya pikiranku menggerumuti sebuah obyek baru, mengangkatnya dengan hati-hati, seperti semut-semut membawa potongan jerami dengan susah payah, kemudian meninggalkannya . . . . Jika tanda itu bekas paku, hal itu bukan untuk menggantung gambar, mestinya untuk sebuah miniatur seorang gadis berambut keriting perak, pipinya berbedak, dan bibirnya seperti anyelir merah. Arah yang menyesatkan, orang-orang yang memiliki rumah ini sebelum kami telah memilih gambar semacam ini – sebuah gambar kuno untuk rumah kuno. Mereka adalah orang-orang istimewa – orang-orang yang menarik, dan aku sering memikirkannya, di sebuah tempat yang aneh, karena seseorang tak akan pernah menjumpainya lagi, tak pernah tahu apa kejadian yang berikutnya. Mereka harus meninggalkan rumah ini karena mereka ingin mengubah gaya perabotannya, begitulah dikatakannya, dan ia kemukakan alasan semacam itu disertai pandangan seninya yang kami tidak bisa memahaminya, seperti seseorang yang berjarak dari gadis tua di dekatnya yang menuang teh, sekisar jarak darinya seorang laki-laki muda sedang memukul bola tenis di kebun belakang sebuah bungalow di pinggiran kota yang gaduhnya seperti suara kereta api sedang melintas.
           
Tapi tanda itu, aku tidak yakin mengenainya; aku tidak yakin dibekaskan paku untuk kegunaan apa pun; terlalu besar dan terlalu bundar. Aku bisa saja bangkit, tapi jika akau bangkit dan memperhatikannya dari dekat, lebih dari sepuluh kali aku akan tidak dapat mengatakannya untuk apa; karena sekali suatu hal dibuat dibuat, tidak seorang pun pernah tahu kejadiannya. Oh! malangnya aku, hidup yang misterius! Ketidaktepatan pikiran! Kemanusiawian yang dungu! Untuk memperlihatkan alangkah kecil kendali yang kita punya – apalagi kejadian dalam kehidupan setelah peradaban kita – belaka membiar kita menghitung serba sedikit sesuatu yang lolos di masa hidup kita, permulaan, selalu nampak sebagai kehilangan yang sangat misterius – alangkah kucing akan selalu mengerip, alangkah tikus akan selalu mengutil – Tiga kotak biru pucat peralatan menjilid buku? Lalu ada sangkar burung, simpai besi, sepasang sepatu luncur baja, lori batubara Ratu Anne, papan-papan yang tak berguna, piano pedal – semuanya lenyap, juga permata. Batu kecubung dan berlian-berlian berserak di dekat akar lobak. Alangkah sehimpun kulit kejadian yang teryakini! Mengagumkannya aku menyembunyikan gaun di belakang punggungku, aku duduk dikelilingi perabot kokoh pada momen ini.  Mengapa jika seseorang ingin membandingkan hidup dengan setiap hal harus menyamakannya dengan tiupan lima puluh mil per jam yang melintasi rel bawah tanah – berakhir di perhentian yang lain tanpa arnal di rambutnya! Terhempas di bawah kaki Tuhan yang telanjang bulat! Kepala terguling di atas roda-roda besi di padang bunga bakung seperti bungkusan bersampul coklat yang dilemparkan ke kantor pos! Dengan rambut melayang ke belakang seperti ekor kuda pacu. Ya, nampaknya ekspresi hidup melenyap, kebakaan merana dan rusak; segalanya sangat kebetulan, segala sangat kebetulan  . . . .
           
Tapi sesudah hidup. Ditarik perlahan ke bawah oleh tangkai-tangkai hijau yang tebal dalam jambangan bunga, seperti pertumbuhan, dibanjiri warna ungu dan merah terang. Mengapa, setelah segalanya, seseorang tidak dilahirkan di sana seperti seseorang lahir di sini, tak berdaya, membisu, tak mampu pusatkan pandangannya, meraba-raba akar rumput, pada jeriji kaki para raksasa? Seolah mengatakan yang mana pohon-pohon , dan yang mana laki-laki dan perempuan, atau adakah yang semacam itu, bahwa seseorang tak perlu melakukannya pada usia lima puluh tahun. Tidak akan jadi apa-apa, tapi ruang yang terang dan gelap, dipotong oleh tangkai-tangkai tebal dan agak jenjang barangkali, mawar menyemburkan warna yang kacau – merah muda kabur dan biru – yang akan, seperti lalu waktu, menjadi lebih terbatas, menjadi – aku tidak tahu apa  . . .
           
Dan sebelumnya tanda di dinding itu tidak bundar sama sekali. Hal  itu mungkin disebabkan oleh benda hitam kecil, seperti daun bunga mawar kecil yang menempel dari musim panas, dan aku bukanlah pemilik rumah yang sangat cermat – lihat debu pada rak di atas perapian, sebagai misal, debu tersebut, mereka katakan, mengubur orang-orang Troya lebih dari tiga kali, hanya fragmen jambangan-jambangan yang gagal dibinasakan, seperti yang dapat dipercayai seseorang.


Pohon di luar mengetuk-ngetuk dengan keras kaca jendela . . . Aku ingin berpikir dengan tenang, perlahan-lahan, menyeluruh, tidak disela, tak perlu bangkit dari kursiku, menggelincir dengan mudah dari satu ke lain hal, tanpa permusuhan, atau menghalangi. Aku ingin tenggelam lebih dalam dan lebih dalam lagi, jauh dari permukaan, dengan menceraikan fakta yang menyulitkan. Menenangkan diri sendiri, membiarkan diriku menangkap gagasan pertama yang melintas. . . Shakespeare . . . Baiklah, ia akan bekerja sebaik yang lain. Seorang laki-laki yang mendudukan dirinya dengan teguh di atas kursi berlengan, dan menatap pada api, lalu – sebuah pertunjukan gagasan keabadian yang jatuh dari ketinggian Surga ke dalam pikirannya. Ia meletakan dahi di atas tangannya, dan orang-orang, melihat dari pintu yang terbuka – untuk bagian yang ini disarankan mengambil tempat di suatu sore musim panas – Tapi alangkah dungunya hal ini, fiksi sejarah ini! Hal tersebut  sama sekali tak menarik buatku. Aku harap aku dapat mengahajar lintasan pikiran yang biasa, sebuah lintasan yang secara langsung merefleksikan kredit atas diriku sendiri, dan sangat teratur masuk ke dalam pikiran orang yang rendah hati – orang-orang berwarna, yang mempunyai keyakinan asli, dan tidak suka mendengar doa mereka sendiri. Mereka tidak berdoa untuk dirinya sendiri secara langsung; inilah keindahan mereka; mereka  khayalkan seperti ini:
           
“Lalu aku masuk ke dalam ruangan. Mereka sedang mendiskusikan pertanian. Aku mengatakan bagaimana kalau aku telah melihat sebuah bunga yang tumbuh di segumpal debu di sebuah lapangan rumah tua di Kingsway. Benih itu, aku katakan, mestinya telah disemaikan pada pemerintahan Charles Pertama. Bunga apa yang tumbuh pada pemerintahan Charles pertama? “ Tanyaku – (tapi lupa jawabannya). Bunga-bunga jenjang dengan tangkai ungu barangkali. Lalu hal itu berlalu. Sepanjang waktu kubungkus sosokku sendiri dalam pikiranku, menyenangkan, tanpa menjadi terbuka, tidak dengan terbuka memujanya, jika aku melakukannya aku akan menangkap diriku sendiri di luar, dan merentangkan tanganku pada sebuah buku untuk melindungi diriku sendiri. Sungguh merupakan keajaiban, dengan nalurinya sendiri seseorang melindungi citra diri dari pemberhalaan atau setiap penguasaan lain yang dapat mebuatnya jadi menggelikan, atau tidak menyukai keaslian yang diyakini cukup lama. Ataukah sama sekali tidak aneh?  Sebuah hal yang sangat penting. Menduga kaca cermin menampar, citraan yang menghilang, dan sosok romatis dengan kerinduan hutan hijau tak ada lagi, tapi cuma cangkang seseorang yang dilihat orang-orang lain – sangat tanpa gaya, dangkal, gersang, keutamaan dunia yang menjadi! Sebuah dunia yang bukan untuk ditinggali. Seperti kita bertemu dengan setiap orang lain di bis umum dan kereta api bawah tanah, kita sedang menatap di dalam cermin; menghitungkan kekaburan kilauan gelas kaca, di dalam mata kita. Dan penulis novel yang akan datang akan menyatakan lebih dan lebih penting lagi mengenai refleksi-refleksi ini, tentu bukan hanya satu, refleksi tapi tak terhitungkan; lebih dalam lagi mereka akan mencari, hantu-hantu akan mereka buru, lebih meninggalkan deskripsi realitas dan cerita-cerita mereka  lebih keluar, sedah semestinya pengetahuan ada di dalamnya, seperti karya-karya dari Yunani dan Shakespeare – tapi penyamarataan ini sangat tidak berguna. Cukup kata dengan suara militer. Mengingat kembali artikel-artikel yang terdahulu, kabinet mentri-mentri – sebuah kelas yang sungguh-sungguh utuh seperti seorang kanak-kanak yang memikirkan sesuatu itu sendiri, standard suatu hal, suatu hal nyata, yang darinya seseorang tidak dapat meluputkan resiko kutukan yang tak terkatakan. Bagaimanapun kebiasaan membawa kembali hari Minggu ke London, plesiran di hari Minggu siang, jamuan siang di hari Minggu, dan juga bercakap mengenai kematian, tentang gaun-gaun, dan tentang hobi – seperti hobi duduk-duduk bersama di sebuah ruang dalam satu waktu tertentu, meski tak seorangpun yang menyukainya. Ada sebuah peraturan untk segala sesuatu. Peraturan untuk taplak meja yang aneh pada satu periode, saat itu taplak-taplak meja dibikin dari permadani dengan tanda kuning kecil, kamu dapat melihat foto-foto kapet di dalam lorong-lorong istana. Taplak meja pada bagian lain bukanlah taplak meja yang sesunggunya. Sangat mengagetkan, dan sangat mengagumkan untuk menyelidiki apa yang sesungguhnya dari segala sesuatu, jamuan siang di hari Minggu, plesiran di hari Minggu, rumah-rumah di pedesaan, dan taplak meja, bukanlah kenyataan telanjang, ada separo hantu-hantu, dan kutukan yang menimpa para pengingkar yang di dalamnya cuma sebuah rasa kebebasan yang tak sah. Apa yang sekarang menggantikan segala sesuatu yang aku kagumi, segala hal standard yang nyata? Barangkali laki-laki, sehingga kau menjadi perempuan; sudut pandang kelaki-lakian mengatur hidup kami, mengatur standard-standard, menetapkan Whitaker’s Table of Precedency, yang sudah ada, aku kira, sejak perang separuh hantu pada banyak laki-laki dan perempuan, yang segera, seseorang mungkin berharap, akan ditertawakan di dalam gudang debu di mana hantu-hantu menyingkir, papan-papan mahoni dan cetakan-cetakan Landseer, Tuhan-tuhan dan Setan-setan, Neraka dan sebagainya, meninggalkan kita semua dengan sebentuk rasa kebebasan tak sah yang memabukan – jika kebebasan ada . . .
           
Dalam sorot cahaya tertentu tanda di dinding kadang nampak sebagai proyeksi dari dinding. Tidak sama sekali bundar. Aku tidak yakin, tapi kelihatan membentuk sebuah bayangan yang dapat di amati, seolah jika aku gerakan jari telunjukku menuruni garis dinding, pada titik tertentu, jariku akan naik dan menuruni sebuah kuburan kecil, sebuah kuburan landai seperti gerobak-gerobak di South Downs yang mereka sebut sebagai kuburan-kuburan atau tenda-tenda. Dari dua sebutan tersebut aku lebih suka menyebut kuburan-kuburan, hasrat melankolis seperti kebanyakan orang-orang Inggris, dan menemukan tempat perjalanan penghabisan untuk membayangkan tulang-tulang berserak di bawah padang rumput. . . . Harus ada beberapa buku yang membahasnya. Sejumlah keantikan harus digali keluar dari tanah dan menamainya. . . . Apa anehnya seorang manusia adalah sebuah keantikan, aku heran? Pensiunan kolonel untuk bagian terbesarnya, aku kira, memimpin partai buruh lama ke puncaknya di sini, menguji gumpalan tanah dan batuan, dan terlibat korespondensi dengan pendeta tetangganya, yang menjadi terang-terangan pada waktu sarapan, membuatnya merasa penting, dan untuk memperbandingkan mata anak panah mengharuskannya mengembarai seluruh negeri sampai ke pelosoknya, kesepakatan diharuskan mereka pada istri-istri tua mereka, yang ingin membuat bubur buah plum atau menyingkirkan pendidikan, dan terus mempunyai dalih untuk menjaga agar pertanyaan besar mengenai kuburan atau tenda berada dalam kandungan kekekalan, sehingga Kolonel sendiri merasakan persetujuan filosofis dalam pengumpulan bukti pada kedua sisi pertanyaan. Kenyataannya ia akhirnya memilih tenda; dan menjadi penentang, mengarang sebuah pamflet yang akan ia bacakan pada pertemuan catur wulan perkumpulan lokal saat sebuah serangan jantung membuatnya terjungkal, dan kesadaran penghabisannya bukanlah memikirkan mengenai istri atau anak, melainkan tenda dan ujung anak panah yang sekarang berada di museum lokal bersama dengan kaki orang Cina yang menjadi korbannya, paku-paku buatan tangan zaman Elizabeth, pipa-pipa Tudor terbuat dari tanah yang melimpah, sebuah belanga Roma, dan gelas anggur bekas Nelson – membuktikan aku benar-benar tidak tahu apa-apa.
           
Tidak, tidak, tidak ada yang terbuktikan, tidak ada yang diketahui. Dan jika aku berdiri tepat pada saat ini untuk menentukan tanda di dinding yang sesungguhnya – Apa yang akan aku katakan? – kepala sebuah paku raksasa kuno, ditancapkan dua ratus tahun yang lalu, yang sekarang telah terkikis karena banyaknya babu yang berganti-ganti, menyingkap kepala paku di atas polesan cat, dan menjadikannya sebagai ciri kehidupan modern pertama pada tamasya ruang berdinding putih dan berpencahayaan terang, apa yang mau aku raih? Pengetahuan? Suatu hal untuk spekulasi lebih lanjut? Aku dapat berpikir dengan tetap duduk sebaik berpikir dengan berdiri. Dan apa itu pengetahuan? Apakah kita mempelajari laki-laki yang menyelamatkan tukang sihir perempuan dan pertapa yang bergumam dalam gua dan dalam hutan tumbuhan obat, mengusut cicitan tikus celurut dan menuliskan bahasa bintang-bintang? Dan setidaknya kita menghargai mereka karena ketakhayulan kita yang menurun serta penghormatan kami untuk keindahan dan kesehatan pikiran yang meningkat. . . . Ya, seseorang bisa membayangkan dunia yang biasa. Sebuah dunia yang sangat luas, dengan bunga-bunga yang sangat merah dan biru di padang terbuka. Sebuah dunia tanpa profesor atau pakar-pakar atau penjaga rumah yang bersosok polisi, sebuah dunia yang diiris oleh pikiran seperti seekor ikan mengiris air dengan siripnya, menyentuh batang-batang bunga bakung air, mengapung dalam sarang lautan putih telur. . . . Alangkah damainya di sini, berakar di pusat dunia dan merenung di dalam air abu-abu, dengan kilauan cahayanya yang datang tiba-tiba, dan pantulan-pantulannya – apa bukan untuk Whitaker’s Almanack – apa bukan untuk Table of Precedency!
           
Aku harus melompat dan melihat untuk diriku sendiri apa sebenarnya tanda di dinding itu – sebuah paku, selembar daun mawar, sebuah celah kayu?
           
Di sini Alam sekali lagi berada dalam permainan kunonya untuk perlindungan dirinya sendiri. Kereta api pikiran, ia amati, merupakan sekedar ancaman penyiaan energi, semacam pelanggar kenyataan, bagi siapa yang akan mampu mengangkat jari telunjuknya melawan Whitaker’s Table of Precedency? Archbishop dari Canterbury diikuti oleh Lord High Chancellor; Lord High Chancellor diikuti oleh Archbishop dari York. Setiap orang mengikuti seseorang, seperti filosofi Whitaker; dan sesuatu yang besar mengetahui siapa mengikuti siapa. Whitaker tahu, dan membiarkannya, Alam memandu, memuaskanmu, dibandingkan membuatmu murka; dan jika kamu tak bisa dipuaskan, jika kamu harus menghancurkan saat-saat damai ini, pikirkanlah tanda di dinding.
           
Aku paham permainan Alam – desakannya untuk bertindak seperti sebuah jalan terakhir dari pikiran yang terancam untuk bergembira atau cemas. Karenanya, aku kira, mendatangkan kehinaan kita yang menjijikan sebagai laki-laki yang bertindak – laki-laki, aku duga, yang tidak berpikir. Tetap, tak ada kejahatan yang berhenti sempurna bagi seseorang yang tak disetujui untuk berpikir dengan melihat tanda di dinding.
           
Benar, sekarang aku telah tatapkan mataku padanya, aku merasa kalau aku mencengkeram sebuah papan di lautan; aku puas merasakan sebuah kenyataan karena pada saatnya mengubah dua Archbishop dan Lord High Chancellor menjadi bayang-bayang menggelap. Di sini sesuatu yang pasti, sesuatu yang nyata. Kemudian, terjaga dari mimpi tengah malam yang menakutkan, seseorang dengan tergesa menyalakan lampu dan berbaring sunyi, memujikan lemari berlaci, memujikan kekokohan, memujikan kenyataan, memujikan dunia impersonal yang merupakan bukti dari keberdaan lain selain diri kita. Inilah apa yang membuat orang ingin yakin akan. . . . Kayu merupakan suatu hal biasa untuk dipikirkan. Kayu berasal dari pohon; dan pohon tumbuh, dan kita tak tahu bagaimana mereka tumbuh. Bertahun-tahun dan bertahun-tahun mereka tumbuh, tanpa menghiraukan kita, di padang-padang rumput, di hutan-hutan, dan di tepian sungai-sungai – segala sesuatu yang orang suka memikirkannya. Sapi-sapi mengibaskan ekor-ekornya di bawah naungannya pada siang yang terik; pohon-pohon mewarnai sungai begitu hijaunya sehingga seekor ayam air menyelam dan berharap bulu-bulunya akan menjadi hijau seluruhnya saat timbul lagi. Aku suka memikirkan ikan yang berenang menentang arus laksana bendera berkibar; dan kumbang-kumbang sungai dengan perlahan menyembulkan kubah lumpur di atas dasar sungai. Aku suka berpikir tentang pohon itu sendiri: pertama menutupkan sensasi kering menjadi kayu; kemudian berkertak karena badai; lalu tenang, nikmatnya tetesan getah. Aku suka memikirkannya, sangat, pada malam musim gugur menegak di padang kosong dengan semua daun yang nyaris tergulung, tidak ada kelembutan yang diperlihatkan pada peluru besi bulan, sepancang tiang telanjang di atas bumi yang sedang terjungkir, menjungkirkan semua sepanjang malam. Nyanyian burung-burung mestinya terdengar sangat keras dan aneh pada bulan Juni; dan alangkah dinginnnya kaki serangga-serangga harus merasakan permukaannya, seolah-olah mereka para pekerja keras yang mengeriputkan kulit pohon, atau matahari sendiri berada di atas nako kurus hijau dedaunan, dan lihatlah lurus ke depan pada mereka yang bermata merah berkilauan. . . . Satu demi satu serabut-serabut terangkat tiba-tiba dari bawah tekanan bumi yang dingin, lalu badai terakhir datang dan, terjatuh, dahan tertinggi jatuh kembali ke dalam tanah. Begitulah, kehidupan yang tak berdaya; ada berjuta kesabaran, terus mengawas kehidupan sepokok pohon, di seluruh dunia, di kamar-kamar tidur, di kapal-kapal, di trotoar, reruang berlapis-berlapis, tempat laki-laki dan perempuan duduk di belakang teh, merokok. Penuh pikiran yang tenang, pikiran gembira, pohon ini. Aku akan senang memisahkan satu dengan lainnya – namun suatu hal sedang menyusur jalannya. . . . Dimana aku? Apa yang semua sudah terjadi?  Sepokok pohon?  Sebatang sungai?  Rintangan?  Whitaker’s Almanack?  Padang bunga bakung? Aku tak bisa ingat sesuatu. Gerakan segala hal, keterjatuhannya, gelincirannya, kesirnaannya. . . . Ada ikhwal yang berpancaroba secara luas. Seseorang berdiri di depanku dan mengatakan –
            “Aku akan beli koran”.
            “Ya?”
            “Meskipun tidak ada gunanya beli koran. . . . Tidak ada yang pernah terjadi. Perang terkutuk; Perang jahanam! . . . Semua sama saja, aku tak tahu mengapa ada siput di dinding kita”.
            Ah tanda di dinding! Itu seekor siput.                    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar