Laman

Minggu, 22 Mei 2011

Surat dari Jember: Apakah Ia Sedang Menyusun Biografi Baru, Afrizal?

Kini ia telah menjadi ingatan yang tak mungkin sepenuhnya teringat: di tempat percakapan yang setengah malu-malu untuk memenuhi dirinya dengan asap rokok itu suara yang keluar dari mulutnya jelas sekali mengisyaratkan kalau telah terlatih atau terbiasa mengatasi kegentingan di penjelang khalayak. Ia bergerak rileks; slow motion nyaris. Tapi tubuh kurus yang terbalut jaket putih yang sesekali dibukanya memberi kesan tak sanggup menutupi bocornya kecemasan. Ia duga, mungkin juga berkeras pastikan, sudah tidak ada lagi yang bisa diyakini kini. Lembaga-lembaga (sosial) begitu berbahaya dan buas. Sebagaimana kota yang dengan agresif telah direbut oleh spanduk-spanduk dan baliho-baliho reklame, tubuh telah ditundukkan oleh kata-kata  dimana ideologi mengeram di dalamnya sebagai lembaga-lembaga yang menyusun identitas untuk dirinya melalui luka-luka yang ditakiknya. Seperti kota yang mengasingkan, ia tak lagi mengenali dirinya. Sebagaimana Borges dalam Borges dan Aku, sebagian dirinya terperangkap dalam buku-buku. Borges menggambarkan hubungan antara Borges dan Borges di dalam buku begini; Aku suka jam pasir, peta-peta, tipografi abad sembilan belas, rasa kopi dan prosa Stevenson; ia berbagi kesenangan-kesenangan ini, namun dengan suatu cara yang percuma  mengubahnya menjadi atribut-atribut seorang aktor. Dalam semacam pengantar buku mengenai teater yang ia tulis ia berkata kalau penulisnya sudah ‘mati’. Namun frasa-frasa yang menghambur dari mulutnya petang itu, tentang tubuh yang diagresi dan menjadi medan pertempuran kekuasaan dari luar, membawa kembali semua persoalan dalam puisi-puisi yang pernah ditulisnya, tentu dengan keberanian lain.      

 Ia, bagaimanapun harus dibayangkan terpisah dari tubuhnya, menggigil di suatu tempat sambil menatap tubuh luka keranjangnya. Namun perih berabad itu ternyata juga memeras kuyup ketakutannya sampai temali. Saat itulah ia tahu harus merebut kembali tubuhnya. Menelentangkan tubuh di atas meja operasi untuk,menginvestigasi masa lalu. Menyembuhkan luka-luka seperti sefrasa kalimat surat yang ditulis Rosa ketika duduk di kursi kereta api yang berlari dalam sebuah film mengenai tentara yang menyerbu lembaga pendidikan dan memporak-poradakan tradisinya; Siapa yang mengajari ibu untuk mengusap air mata? Tidak ada cara lain kecuali menghapus narasi-narasi besar, mengusir kampung halaman dari tubuh. Namun, sepi rupanya bukan sesuatu yang bisa sungguh-sungguh ditanggungkan. Sebagaimana Helene Cixous, ia lantas menyusun biografi baru dari suara tubuhnya yang didengar; suara gemeretak tulang, suara pori-pori kulit yang membesar saat hari panas dan mengerut ketika hari dingin, desir darah dalam pembuluh dan teriakan-teriakan tubuh yang barangkali hanya bisa tertangkap orang lain saat mereka menatap mayat.  Tidak ada lagi ibu dan bapak di dalamnya, mereka mati bersama kampung halaman yang terusir. Masturbasi sungguh merupakan aktivitas seksual paling simbolik dalam kondisi ini (tapi hasrat yang muncul tiba-tiba di tengah kerja kepengarangannya, mungkin tak mudah dikenali sebagai seks, oleh sebab itu ia katakan masturbasi tak ada hubungannya dengan seks). Karena masturbasi murni imajiner. Tidak ada obyek pengganti cinta pertama di situ, puting susu ibu; tak juga manifestasi cemburu tehadap bapak; seolah penindasan atas hasrat inses itu menghadapi jalan buntu untuk menemui obyek pengganti. Belaka ia dan tubuhnya; permainan orgy kesendirian.

Ataukan ini suatu tanda penyerahan total? Keputusasaan yang membawanya pada masa kini abadi; menghapus sekuen waktu. Karena sejarah ia bayangkan telah ditikam berkali hingga benar-benar mati oleh percepatan, perubahan mutlak. Tidak ada tubuh yang membusuk dimanapun namun bau bangkai berpusar sengit meruapi kilau lestari dunia yang nirwaktu.         

Jika benar sudah tak ada lagi yang layak atau mampu diperjuangkan mestinya ia mati, memilih terbakar habis daripada padam perlahan seperti Kurt. Atau setidaknya seperti Lenin yang meminta racun sebab tahu tubuhnya tak lagi berguna. Tapi rupanya ia lebih membayangkan diri sebagai Mishima yang tak hendak menjadi Mishima yang menuntaskan tandas-tandas biografi samurainya dalam seppuku setelah roda modernitas menggilas dan membusukkannya. Atau barangkali ia mau menjadi orang muda teruna dalam imajinasi Borges di umur delapan puluh lima tahun; Jika aku dapat hidup lagi – aku akan coba kerja telanjang kaki pada permulaan musim semi hingga penghabisan musim rontok. Tak hanya kerja telanjang kaki, ia kerja telanjang bulat.

Ia ingin merasuki tubuhnya atau ia merasuki tubuhnya, membentuk subyektifitas murni yang sungguh-sungguh material. Hei, bukankah otentisitas pribadi ini cita-cita modernitas, jika tak semulai awalnya setidaknya tahun 60-an telah membekaskan jejak yang kuat dan dalam; alangkah perlawanan-perlawanan sengit seni garda depan masa itu terhadap modernisme klasik beserta lembaga-lembaga sosial mapan telah melahirkan karya-karya yang kurang ajar, penuh skandal. Bersama itu kegemparan teriakan manifesto-manifesto anti seni atau kematian seni, permusuhan terhadap lembaga-lembaga dan selera umum dan kutukan-kutukan anti perang terdengar. Seni bergegas meninggalkan keindahan yang telah menghuni pasar guna menuju sublimitas, menuju dunia dalam pandangan individu; menuju keunikan-keunikan pribadi; gaya seibarat baju basah yang menunjukan lekuk tubuh. Pembayangan masa depan pada masa itu adalah ancaman keruntuhan menara Babel yang bakal mengasingkan individu sebagai pulau-pulau bahasa yang terpisah. Namun, setengah abad kemudian, jika tahun 60-an kita jadikan tapal awal, kita masih bisa saling bercakap. Bahasa tak pernah menjadi sangat pribadi hingga membuat relasi komunikasi menjadi mustahil tanpa kamus.

Hari ini, ketika pasca modern menggulung semua permukaan bumi – di pelosok-pelosok terpencil pasca modern muncul sebagai imaji-imaji bersama televisi dan telepon seluler – tahun 60-an masih menaungkan bayangannya . Tapi tanpa kegemparan lagi, tekhnologi reproduksi telah menjinakkan dan komodifikasi telah memindahkannya ke pasar. Ada yang dilucuti dalam reproduksi dan komodofikasi itu; politik! Boleh dikatakan pasca modern adalah modernisme 60-an tanpa politik. Sebagaimana ia lebih memilih menggunakan kata ‘pertemuan’ daripada ‘negosiasi’ untuk menyifati dialog dalam relasi komunikasi.                  

Masih gerimis ketika ia memasuki mobil setelah sedikit menyisakan kopi di cangkir. Ah, kepala yang gersang itu membuat lehernya tampak lebih jenjang dari yang seharusnya. Berboncengan aku pulang ke rumah. Di sepanjang jalan yang membuat kami basah, bahkan sampai saat surat ini aku ketik, masih aku mengira ia pasti sulit memahami tanggapanku yang membingungkan dalam forum penuh asap rokok itu. Masih terngiang seloroh yang ia katakan menjelang aku menuntaskan tanggapanku, ‘Pidato’.                   

* * * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar