Laman

Sabtu, 27 Agustus 2011

Ismail Kadare, Wawancara dengan Shusha Guppy


Ismail Kadare  1936 –
Novelis, pengarang cerita pendek, penyair, eseis, penulis naskah drama, kritikus ini nyaris tak tak dikenal di Indonesia. Hanya ada dua karyanya yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia, Elegi untuk Kosovo (Jalasutra, 2004) yang merupakan serial tiga novela dan novel Piramid (Marjin Kiri, 2011).
Wawancara lumayan panjang Ismail Kadare dengan Shusha Guppy ini diterjemah dari The Art of Fiction No 153, dalam The Paris Review No. 147, Summer 1998,      







Pada tahun 1970 sebuah novel karya penulis Albania tak dikenal mengguncang Paris. The General of the Dead Army adalah kisah seorang jendral Italia yang kembali ke Albania setelah Perang Dunia Kedua untuk mencari tubuh para tentara Italia yang gugur di sana dan membawa mereka kembali ke Italia untuk dikuburkan. Novel itu dielukkan sebagai sebuah masterpiece dan pengarangnya diundang ke Perancis, dimana ia disambut para cendekiawan Perancis sebagai berkas suara yang kuat dan aseli dari balik Tirai Besi. The General diterjemah ke lusinan bahasa dan mengilhami dua film: satu film berjudul sama dengan dibintangi Michel Piccoli, satu lagi Life and Nothing Else (La Viet et rien d’autre)-nya Bernard Tavernier yang terkenal.


Sejak itu lebih dari selusin novel dan beberapa kumpulan puisi maupun eseinya telah diterjemahkan ke bahasa Perancis, Inggris, dan bahasa-bahasa lain. Ia dianggap sebagai satu dari penulis-penulis besar dunia dan telah diusulkan untuk Penghargaan Nobel beberapa kali. Para penerbit Perancisnya saat ini tengah mempublikasikan enam jilid karya-karya lengkapnya, dalam bahasa aseli Albania dan Perancis sekaligus. Tiga volume awal telah terbit.

Ismail Kadare lahir dan tumbuh di kota Gjinokaster, Albania. Ia belajar sastra di University of Tirane dan menghabiskan tiga tahun untuk menyelesaikan pasca sarjana di Gorky Institute di Moscow. The General adalah novel pertamanya, dipublikasi sekembalinya ke Albania pada 1962, saat ia duapuluh enam tahun.

Kadare sering dibandingkan dengan Kafka dan Orwel, tapi ia punya bentuk aseli, universal sekaligus berakar kuat di negerinya sendiri. Lebih dari empat puluh tahun Albania hidup di bawah diktator Komunis, Enver Hoxha, terutama cap kekejian Stalinisme yang bertahan lebih lama disbanding negara Eropa Timur lain. Kadare menggunakan beragam genre tulisan dan gaya – alegori, satir, penjarakan sejarah, mitologi – guna menghindari sensor kejam dan pembalasan mematikan Hoxha terhadap setiap bentuk pembangkangan. Karyanya adalah kronikel mengenai dekade-dekade mengerikan kendati kisah-kisahnya sering disituasikan dalam masa lalu yang jauh dan di negeri-negeri berbeda. Dua dari novel-novel paling terkenalnya, The Palace of Dreams dan The Pyramid, masing-masing berlatar masa Kekaisaran Ottoman dan Mesir kuno, sementara The Great Winter dan The Concert dengan jelas merujuk pada putusnya Hoxha dengan Rusia dibawah Khrushchev dan dengan China setelah mangkatnya Mao.

Ismail Kadare meninggalkan Albania tahun 1990 dan mukim di Paris. Tahun 1996 ia dipilih sebagai anggota asosiasi Akademi Perancis untuk Ilmu Pengetahuan Moral dan Politik (L’Academie des Sciences Morales et Politiques), menggantikan filusuf Inggris kelahiran Austria, Karl Popper, yang wafat tahun itu.

Ia tinggal dengan istri dan anak perempuannya di Paris, di sebuah wilayah yang terkenal dengan atmosfer intelektual karena dikelilingi oleh banyak universitas (Latin Quarter), di apartemen yang lega dan cerah dengan pemandangan Luxembourg Garden (Jardin du Luxembourg, taman umum di Paris); Ia sering melawat ke Albania. Wawancara ini berlangsung di rumahnya pada bulan Februari dan Oktober 1997, diantaranya dengan percakapan telepon.

Kadare dikenal tak suka diperlakukan main-main, tapi aku diterimanya dengan ramah, sopan, dan bersabar pada seseorang yang tidak tahu negerinya pun kesusastraannya, kedua hal tersebut ia jelaskan dengan semangat. Ia lancar berbicara dengan bahasa Perancis dalam logat asing dengan suara yang sangat terukur.

PEWAWANCARA
Anda adalah penulis Albania kontemporer pertama yang mencapai kemashuran internasional. Bagi kebanyakan masyarakat, Albania adalah sebuah negeri kecil di pinggiran Eropa dengan tiga setengah juta penduduk. Nah, pertanyaan pertama saya mengenai bahasa Albania. Apa itu?

ISMAIL KADARE
Separuh populasi penutur bahasa Albania hidup di negara tetangga, di Yugoslavia, di wilayah Kosovo. Totalnya ada sepuluh juta masyarakat di dunia berbicara bahasa Albania, yang merupakan salah satu basis bahasa-bahasa Eropa. Aku tidak mengatakan hal ini di luar kebanggaan nasional – ini fakta. Secara linguistik, ada enam atau tujuh rumpun-rumpun pokok bahasa di Eropa: Latin, Germanik, Slavic, Baltic (dituturkan di Latvia dan Estonia), dan tiga bahasa tanpa rumpun, katakanlah – Yunani, Armenia, dan Albania. Oleh karenanya bahasa Albania lebih diperhitungkan daripada negeri kecil tempat bahasa itu dituturkan, karena menduduki tempat penting dalam kartografi linguistik Eropa. Bahasa Hungaria dan Finlandia bukan bahasa-bahasa Indo-Eropa.

Bahasa Albania juga penting karena menjadi satu-satunya pewaris bahasa Ilyrians kuno. Pada zaman kuno ada tiga wilayah di Eropa Selatan: Yunani, Roma, Ilyria. Bahasa Albania adalah satu-satunya yang tersisa dari bahasa-bahasa Ilyria. Itulah sebabnya hal ini selalu menggugah rasa penasaran para ahli bahasa hebat di masa lalu. Orang pertama yang melakukan kajian serius mengenai bahasa Albania adalah filusuf Jerman, Gottfried Leibnitz, tahun 1695.

PEWAWANCARA
Seorang yang Voltaire parodikan dalam Candide sebagai Dr. Pangloss, mengatakan, “Segalanya baik dalam kemungkinan terbaik dunia”.

KADARE
Tepat. Tapi pada masa itu tidak ada Albania sebagai suatu entitas terpisah; bagian dari Kekaisaran Ottoman seperti negeri-negeri Balkan lain, termasuk Yunani. Tapi jenius Jerman ini menemukan bahasa yang menarik. Setelahnya, para sarjana Jerman lain menghasilkan kajian panjang mengenai bahasa Albania – Franz Bopp misalnya, bukunya sangat rinci.                    

PEWAWANCARA
Bagaimana dengan sastra Albania? Apatah asal-usulnya? Adakah Dante Albania, Shakespeare, atau Goethe?

KADARE
Secara mendasar sumber-sumbernya adalah lisan. Buku sastra pertama dalam bahasa Albania diterbitkan pada abad enam belas, dan itu adalah terjemahan Injil. Negeri ini lantas Katolik. Setelah itu ada para penulis. Bapak kesusastraan Albania adalah penulis abad sembilan belas, Naim Frasheri. Tanpa mempunyai kebesaran Dante atau Shakespeare, namun ia seorang bapak, tokoh yang kuat terpahat. Ia menulis sajak epic panjang, sebaik puisi-puisi liriknya, untuk membangkitkan kesadaran nasional Albania. Setelahnya muncul Gjergj Fishta. Kita bisa sebut keduanya adalah raksasa sastra Albania, hal yang anak-anak pelajari di sekolah. Kemudian muncul para penyair dan para penulis yang mungkin menghasilkan karya-karya lebih baik dari keduanya, namun mereka tak menempati tempat yang sama dalam ingatan bangsa.

PEWAWANCARA
Turki menduduki Constantinople tahun 1454, selanjutnya bagian Balkan lainnya dan Yunani. Apa dampak bahasa Turki pada bahasa Albania?

KADARE
Bahkan hampir tidak ada. Kecuali dalam kosakata administratif atau masakan – kata semacam kebab, café, bazaar. Tapi tak berpengaruh pada struktur bahasa karena alasan sederhana bahwa kedua bahasa tersebut adalah dua mesin yang secara total berbeda sehingga tak bisa saling bertukar suku cadang. Bahasa Turki tak dikenal dimanapun di luar Turki. Bahasa Turki modern dikonstruksi oleh para penulis Turki abad sembilanbelas dan duapuluh, walaupun kering, bahasa Turki yang administratif bukan suatu bahasa yang hidup dan karenanya tidak dapat menyebarkan suatu pengaruh pada bahasa-bahasa lain dalam Kekaisaran Ottoman. Aku ketemu para penulis Turki yang mengeluh padaku bahwa mereka punya masalah dengan bahasa mereka.


PEWAWANCARA
Pada sisi lain, banyak sekali kosakata manca masuk dalam bahasa Turki – bahasa Persia, Arab, Perancis, dan lain-lainnya. Sebelum era modern, para pengarang Turki menulis dalam bahasa Persia, atau dalam bahasa Arab bila subyeknya theology.

KADARE
Bagiku, sebagai seorang penulis, bahasa Albania sungguh sarana luar biasa untuk berekspresi – kaya, lentur, luwes. Sebagaimana aku katakan dalam novel terakhirku, Spiritus, ia punya modalitas yang hanya ada dalam bahasa Yunani klasik, kekunooan dan mentalitas dapat direngkuh sekaligus. Sebagai misal, ada katakerja dalam bahasa Albania yang punya makna dengki dan dermawan sekaligus, begitu juga dalam bahasa Yunani kuno, dan ini memfasilitasi penerjemahan tragedi-tragedi Yunani, sebagaimana Shakespeare, penulis Eropa terakhir yang paling dekat dengan para penulis tragedy Yunani. Bila Nietzsche bilang bahwa tragedi Yunani bunuh diri selagi muda karena hanya hidup seratus tahun, ia benar. Tapi dalam visi global tragedi terus bertahan melalui Shakespeare dan berlanjut hingga hari ini. Pada sisi lain, aku percaya bahwa era puisi epic tamat. Kalau novel masih sangat muda dengan permulaan yang sulit.

PEWAWANCARA
Tapi kematian novel telah diramalkan selama limapuluh tahun!

KADARE
Selalu ada banyak orang yang selalu mengatakan banyak omong kosong! Tapi dalam jurus pandang universal, bila novel menggantikan dua genre penting puisi epik – yang punah – dan tragedi – yang berlanjut – maka ia baru saja mulai dan dua ribu tahun masa hidupnya.

PEWAWANCARA
Nampak bagiku bahwa dalam karya-karya Anda, Anda berupaya memasukan tragedi Yunani ke dalam novel modern.

KADARE
Tepat. Aku berupaya bikin semacam sintesis dari tragedi agung dan grotesque, yang mana contoh hebatnya adalah Don Quixote – salah satu karya terbesar kesusastraan dunia.

PEWAWANCARA
Novel telah dibagi menjadi banyak genre . . .

KADARE
Sama sekali tak! Bagiku pembagian genre itu tidak ada. Hukum penciptaan sastra unik; mereka tak berubah, dan mereka sama bagi setiap orang dimanapun. Maksudku kau dapat kisahkan sebuah cerita yang meliputi tiga jam kehidupan manusia atau tiga abad – itu menghasilkan hal sama. Setiap penulis yang menciptakan suatu hal otentik dengan cara alamiah, secara naluriah juga menciptakan tekhnik yang sesuai. Jadi semua bentuk atau genre adalah alami.

Camkan, aku pikir bahwa dalam sejarah kesusastraan hanya ada satu perubahan: perubahan dari lisan ke tulisan. Untuk waktu yang lama sastra hanya diujarkan, dan kemudian dengan tiba-tiba orang-orang Babylonia dan Yunani menghasilkan tulisan. Itu mengubah segalanya, karena sebelumnya ketika penyair mendaraskan atau mendendangkan sajaknya, penyair dapat mengubah sajaknya pada tiap penampilan, sekehendaknya, bebas. Pada saat yang bersamaan ia bersementara, karena sajaknya berubah secara tutur tinular dari generasi ke generasi. Sekali dituliskan, teks menjadi tetap. Pengarang memperoleh sesuatu karena dibaca, tapi ia juga kehilangan suatu hal – kebebasan. Itu adalah perubahan besar dalam sejarah kesusastraan. Memang sedikit mengalami perkembangan seperti pada pembagian bab-bab dan paragraf-paragraf, pungtuasi, secara relatif tak bermakna; hal-hal detil.

Sebagai misal, mereka katakan bahwa sastra kontemporer sangat dinamis karena dipengaruhi oleh sinema, televisi, kecepatan komunikasi. Tapi yang benar adalah sebaliknya! Bila kamu bandingkan teks Yunani kuno dengan kesusastraan hari ini, kamu akan menemukan bahwa sastra klasik beroperasi pada wilayah yang sangat luas, melukis pada kanvas yang jauh lebih besar, dan punya suatu ukuran keakbaran secara tak terbatas – sebuah huruf bergerak diantara langit dan bumi, dari suatu kadewatan ke fana, dan kembali lagi, sama sekali secara nirwaktu! Kecepatan tindakan, visi kosmis pada satu setengah halaman dalam buku kedua Iliad tak mungkin ditemukan dalam penulis modern. Kisahnya sederhana: Agamemnon telah berbuat sesuatu yang menggusarkan Zeus, hingga menyebabkannya menjatuhkan hukuman baginya. Ia memanggil seorang pembawa pesan dan memerintahnya terbang ke bumi, mencari jendral Yunani bernama Agamemnon, untuk memasukan mimpi palsu dalam kepalanya. Pembawa pesan tiba di Troya, mendapati Agamemnon tidur, menuangkan mimpi palsu ke dalam kepalanya bak cairan, lantas kembali ke Zeus. Pada pagi hari Agamemnon memanggil para perwiranya dan berkata pada mereka bahwa ia mendapat mimpi indah dan bahwa mereka akan menyerang orang-orang Troya. Ia menderita kekalahan yang menghancurkan. Semua itu hanya satu setengah halaman! Suatu hal yang melintas dari otak Zeus ke otak Agamemnon, dari langit ke bumi. Penulis hari ini mana yang dapat membikinnya? Misil-misil balistik tak secepat itu!

PEWAWANCARA
Namun demikian ada event-event kesusastraan modernism – Joyce, Kafka . . .

KADARE
Kafka sangat klasis, begitu juga Joyce. Ketika Joyce menjadi benar-benar modernis dalam Finnegans Wake, ia gagal. Ia melakukan terlalu jauh dan tak seorangpun suka buku itu. Bahkan Nobokov, pengagum berat Joyce, menyebutnya tak bernilai. Ada penemuan-penemuan dan inovasi-inovasi yang tidak dapat diterima, karena ada suatu irisan yang orang tak dapat memotongnya dengan abai, sama seperti orang tak dapat membuang aspek-aspek tertentu dari sifat manusia. Seorang laki-laki bertemu perempuan dan mereka jatuh cinta. Dalam cinta ini ada segala hal yang mungkin, aneka ragam, tapi orang tak dapat mengimajinasikan perempuan tersebut bertubuh makhluk lain. Jika ada pemenggalan total dari kenyataan, ini berakhir – masuk ke semesta tanda-tanda.

PEWAWANCARA
Maksud Anda ada suatu kesinambungan tertentu dalam kreatifitas manusia?

KADARE
Tepat. Kita disesatkan oleh masa lalu umat manusia; kita tak perlu tahu psikologi, katakanlah, para buaya dan jerapah-jerapah. Masa lalu boleh saja beban, tapi tak ada yang dapat kita lakukan mengenainya. Segala keributan tentang inovasi-inovasi, genre-genre baru, adalah omong kosong. Ada sastra nyata dan ada sisanya.

PEWAWANCARA
Anda juga mengatakan tentang ‘penciptaan negatif’. Apa maksud Anda dengan hal itu?

KADARE
Penciptaan negatif bagi seorang penulis adalah apa yang tidak ia tulis. Kamu memerlukan bakat besar untuk tahu apa yang kamu tidak bakal tulis, dan dalam kesadaran seorang penulis karya-karya yang tak tertulis lebih banyak daripada yang ia telah tulis. Kau membuat sebuah pilihan. Dan pilihan ini penting. Pada sisi lain, orang harus membebaskan dirinya sendiri dari mayat-mayat ini, menguburkannya, karena mereka menghalangi orang untuk menulis apa yang bakal, hal ini sama pentingnya dengan membersihkan puing guna mempersiapkan lokasi untuk bangunan.

PEWAWANCARA
Hal ini mengingatkanku pada Cyril Connolly yang mengatakan, ‘Buku-buku yang tidak aku tulis jauh lebih baik dari yang kawan-kawanku telah hasilkan.’ Tapi mari kita omong-omong tentang permulaan Anda. Pertama-tama masa kecil Anda: Anda masih sangat kecil ketika pecah perang, yang mana setelahnya segala hal berubah di Albania.

KADARE
Masa kecilku kaya, karena aku menyaksikan banyak kejadian. Perang mulai ketika aku lima tahun. Aku tinggal di Gjinokaster, kota kecil yang sangat indah, yang dilintasi tentara-tentara manca, suatu tontonan yang bersinambung – tentara-tentara Italia, Yunani . . . kota dibom bertubi oleh Jerman, Inggris, silih berganti dari satu pihak ke pihak lain. Bagi anak-anak hal tersebut sangat menakjubkan. Kami tinggal di sebuah rumah besar dengan banyak ruang-ruang kosong tempat kami bermain – suatu bagian penting dari masa kecilku. Keluarga pihak ayahku sederhana – ayahku penyampai pesan pengadilan, orang yang mengirim surat-surat pengadilan – tapi keluarga pihak ibuku sangat kaya. Paradoksnya adalah keluarga ibuku Komunis, sedangkan ayahku konservatif dan puritan. Kami hidup sederhana di rumah, tapi saat aku berkunjung ke rumah kakek pihak ibuku aku adalah anak keluarga kaya. Ayahku menentang rezim Komunis; ibuku dan keluarganya sebaliknya. Mereka tidak betengkar mengenai hal itu, tapi mereka saling mengejek dengan ironi dan sarkasme. Di sekolah aku selain berteman dengan anak-anak yang berlatar belakang miskin dan pro-Komunis, juga dengan mereka dari keluarga-keluarga kaya yang ngeri dengan rezim. Tapi aku tahu kedua sisi itu. Hal itu membuatku bebas, lepas dari kebencian masa kanak-kanak.

PEWAWANCARA
Setelah sekolah Anda pindah ke Tirana, ibu kota negara, dan mempelajari sastra di universitas. Lantas ke Gorky Institute di Moskow. Saat itu era Khrushchev, tatkala berhembus semacam kebebasan, suatu kemencairan setelah kebekuan Stalinis yang panjang. Bagaimana Anda mendapati pemandangan kesusastraan di Moskow?

KADARE
Aku dikirim ke Gorky Institute untuk menjadi penulis resmi bagi rezim – hal ini tak lebih suatu pabrik untuk memproduksi pengarang-pengarang picisan dogmatik dengan sekolah realism-sosialis. Faktanya, mereka merampas tiga tahun untuk membunuh setiap kreativitas, setiap orisinalitas yang kamu punya. Aku beruntung sudah kebal karena apa yang telah aku baca.  Pada umur sebelas aku telah baca Macbeth, yang menghantamku bak halilintar, dan karya-karya klasik Yunani, setelah itu tak sehal apa punya kuasa atas jiwaku. Apa yang terjadi di Elsinor atau di perbentengan Troy Nampak bagiku lebih nyata dari pada segala banalitas buruk novel-novel realis-sosialis.

Di institute aku dijijikan dengan indoktrinasi, yang dengan cara itu menyelamatkanku. Aku terus mengatakan pada diri sendiri bahwa bagaimanapun juga aku harus tidak lakukan apa yang mereka ajarkan padaku kecuali persis sebaliknya. Para penulis resmi mereka semuanya budak partai, kecuali sedikit pengecualian seperti Konstantin Paustovsky, Chukovsky, Yevtushenko.

Selama masaku di institute aku menulis novel berjudul ‘The Town Without Publicity’. Sekembaliku ke Albania aku takut untuk menunjukannya pada siapapun. Aku mempublikasikan ekstrak pendeknya di sebuah majalah dengan judul ‘A Day at the Café’, yang dengan segera dilarang. Tak lama ada permintaan untuk mempublikasikan buku. Ketua Communist Youth Organization yang merekomendasi publikasinya lantas dituduh liberalisme dan dihukum limabelas tahun penjara. Untungnya ekstrak itu selamat; kalau tidak tak seorangpun hari ini akan percaya bahwa aku menulis novel. Novel itu berkisah tentang dua bajingan kesusastraan yang ingin memalsukan teks guna membuktikan bahwa teks itu dapat diadaptasi pada Marxisme, dengan demikian mendongkrak karir mereka. Ini  membongkar ke dalam problem pokok inti budaya sosialis – kepalsuan. Novel ini akan dipublikasikan dalam jilid keenam dari karya lengkapku, sedang dipersiapkan oleh penerbit Perancisku. Tak sekata darinya bakal berubah.

PEWAWANCARA
Tapi pada masa remaja Anda tertarik dengan Komunisme, bukankah begitu?

KADARE
Ada suatu sisi idealistik padanya; kamu pikir bahwa mungkin aspek-aspek tertentu dari komunisme bagus dalam teori, tapi kamu dapat melihat bahwa praktiknya mengerikan. Dengan segera aku menyadari bahwa seluruh bangunannya adalah menindas, menimbulkan bencana.

PEWAWANCARA
Di institut apakah Anda diijinkan membaca para penulis haram atau pembangkang semacam Pasternak, Akhmatova, Tsvetayeva, Mandelstam?

KADARE
Aku membaca Gogol dan Pushkin dan tentu novel-novel Dostoyevsky, khususnya The House of Death dan Brother Karamazov.

PEWAWANCARA
Bagaimana di Albania?

KADARE
Di Albania semua penulis-penulis tersebut dilarang. Dari waktu ke waktu aku berusaha mendapatkan sebuah buku ketika aku berpergian ke manca. Aku membaca Orwell dan Kafka. Aku pikir yang kedua lebih penting. Aku suka 1984 tapi tak menggubris Animal Farm karena alegori-alegori kerajaan binatang tak banyak menyentuhku. Apa yang terjadi di negeri-negeri totalitarian lebih buruk dari segala hal yang sastra pernah buat.

PEWAWANCARA
Orwell unik di Inggris. Pada masa ketika mayoritas cendekiawan menjadi simpatisan atau penggembira, ia memahami sifat totalitarianisme dan menyingkapkannya.        

KADARE
Aku tidak dapat mengerti mengapa Sartre bisa membela Uni Soviet. Selama Revolusi Kebudayaan di China ia katakan bahwa ribuan penulis, seniman, dan cendekiawan dianiaya, disiksa, dibunuh. Dan ia menjadi seorang Maois!

PEWAWANCARA
Alangkah suatu kejayaan anumerta bagi Camus, yang reputasinya dicapai pada tahun-tahun terakhirnya! Ia menjadi benar pada setiap permasalahan politik, sementara Sartre selalu salah. Camus berdiri tegak kendati semua tekanan menggencetnya, hal yang tak mudah pada masa itu.

KADARE
Aku sangat menghormati Camus – ia adalah teladan. Sebagian besar cendekiawan Barat yang tinggal di sini, bebas, tak terancam oleh kediktatoran totalitarian, mendorong kami untuk menunjukan keberanian dan mempertaruhkan hidup kita. Di Cina bahkan lebih buruk dari Albania. Mengapa cendekiawan-cendekiawan Barat tak protes?

PEWAWANCARA
Anda kembali ke Albania tahun 1960 dan mempublikasikan novel yang membuat Anda terkenal – The General of the Dead Army. Apakah kisah itu berdasar pada kejadian nyata, suatu renungan-renungan keadaan?

KADARE
Enver Hoxha baru saja putus dengan Uni Soviet, menuduh Khrushchev sebagai revisionisme, berusaha mendekati Barat . . .menarik perhatian Barat dengan pura-pura menjadi liberalism budaya. Tentangan pada novelku datang dari kritik-kritik resmi setelah publikasinya. Mereka menyerapahiku karena tak optimistis, karena tak mengekspresikan kebencian pada jendral Italia, karena menjadi kosmopolitan, dan sejenisnya.

PEWAWANCARA
Novel kedua Anda, The Monster, tentang tema kecemasan politik. Bagaimana sambutannya?

KADARE
Monster adalah kisah mengenai sebuah kota kecil yang di suatu pagi cerah Kuda Troya muncul. Di dalam kuda tersebut ada tokoh-tokoh dari masa lalu – seperti Ulysses – yang hanya tinggal menunggu hari kota kecil itu akan jatuh. Tapi aku tambahkan sesuatu yang aneh: Troy tak jatuh; kuda tersebut menetap di sana selamanya. Warga hidup dalam kecemasan permanen. Mereka berkata, Bagaimana kita akan hidup? Hal ini berlangsung tiga ribu tahun dan kuda itu tetap di sana. Ia baka. Apa yang dapat kita lakukan? Mereka berbisik mengenai komplotan-komplotan, ancaman-ancaman dan hidup tak normal. Karena rezim totalitarian didirikan diatas paranoia akan ancaman-ancaman dari luar, membutuhkan musuh untuk membenarkan penindasan.

PEWAWANCARA
Novel ini dilarang. Jadi bagaimana Anda bertahan hidup? Karena jika bukan penulis resmi, anggota Writers’ Union, tak dapat melakukan apa-apa.

KADARE
Walaupun mereka mempublikasikanku pun memberangusku silih berganti, sekali kamu dipublikasi dan dikenal sebagai seorang pengarang, kamu menjadi anggota Writers’ Union dan menerima gaji bulanan, yang sama untuk setiap orang, tak peduli seorang jenius atau bajingan.Gaji ini seribu kali lebih sedikit dari royalty-royalti yang aku terima dari beberapa buku yang aku jual.

PEWAWANCARA
Dalam iklim penindasan semacam itu, bagaimana Anda menangani penerjemahan dan publikasi The General di Perancis?

KADARE
Di Albania, sebagaimana di semua negara-negara Eropa Timur, ada suatau organisasi yang bertanggungjawab untuk penerjemahan buku ke bahasa-bahasa manca yang penting. Jadi mereka menerjemahkan bukuku ke bahasa Perancis. Kebetulan wartawan Pierre Paraf melihatnya, menyukainya, dan merekomendasikannya pada penerbit Perancis.

PEWAWANCARA
Setelah kesuksesan besar di Barat, apakah Anda merasa sedikit lebih aman, dilindungi oleh kemashuran internasional?

KADARE
Ya, tapi juga lebih diawasi, karena aku dianggap berbahaya.

PEWAWANCARA
Mari kita beralih mengenai apa-apa yang mempengaruhi Anda. Pertama-tama, Anda tertarik pada penulis-penulis tragedi Yunani, terutama Aeschylus yang mengenainya Anda menulis esei panjang, ‘Aeschylus or Eternal Loser.’ Kenapa ia?

KADARE
Aku menganggap sejajar antara tragedi Yunani dan apa yang terjadi di negara-negara totalitarian, terutama sekali atmosfer kejahatan dan pertarungan untuk kekuasaan. Ambil contoh House of Atreus, dimana setiap kejahatan memicu kejahatan lain sampai setiap orang terbunuh. Ada kejahatan mengerikan di lingkaran Hoxha. Misal, pada tahun 1981 perdana menteri, Mehmet Shehu, melakukan ‘bunuh diri’ – dibunuh oleh Hoxha. Bagiku, aku agaknya terhindar dari penjara karena kemashuran internasional, tapi tidak dari pembunuhan – mereka dapat membunuhku dan mengatakan hal itu adalah bunuh diri atau tabrakan mobil.

PEWAWANCARA
Aku akan menjadi devil’s advocate, karena aku mau, mengusulkan bahwa dalam suatu masyarakat semacam itu yang selamat itu sendiri menjadi tercurigai, seperti di Rusia-nya Stalin. Kita dapat menyebut mereka yang hilang, seperti Mandelstam, atau melakukan bunuh diri, seperti Tsavetayeva, atau berhenti menulis, seperti Pasternak – menelantarkan terjemahan Shakespeare – dan banyak lagi. Pada tahun 1970 Anda menulis novel enam ratus halaman, The Long Winter, yang tak membasis pada mitos atau kejadian historis tapi pada situasi politik terkini di negara Anda. Buku Anda itu Nampak menjadi sebuah serangan terhadap revisionisme dan karenanya suatu pembelaan buat Hoxha. Alasan apa yang Anda miliki dengan menulis buku itu? Bagaimanapun juga, Anda dapat melanjutkan menulis hal yang samar-samar, kisah-kisah alegoris yang Anda telah tulis.

KADARE
Dari tahun 1967 sampai 1970 aku dibawah pengawasan langsung sang diktator sendiri. Camkanlah, ketakberuntungan ternaas para cendekiawan adalah Hoxha menghargai dirinya sendiri sebagai seorang pengarang dan penyair dan karenanya ‘kawan’ dari para penulis. Karena aku adalah penulis paling dikenal, ia tertarik padaku. Dalam situasi ini aku punya tiga pilihan: mengungkap keyakinanku, yang berarti kematian; diam membungkam, yang berarti kematian lain; atau membayar upeti, sogokan. Aku memilih solusi ketiga dengan menulis The Long Winter. Albania menjadi sekutu China, tapi terjadi pertikaian diantara dua negara tersebut yang kemudian membuat putus. Seperti Don Quixote, aku pikir bukuku itu dapat mengakselerasi pemutusan hubungan ini dengan ‘persekutuan’ terakhir kami dengan memberanikan Hoxha. Dengan kata lain, aku pikir bahwa sastra dapat melakukan ketakmungkinan – mengubah sang diktator!
 
PEWAWANCARA
Buku itu adalah satu-satunya, sepengetahuanku, yang di dalamnya Anda berurusan dengan situasi politis secara langsung. Selebihnya Anda menggunakan beragam penyaruan – mitos, alegori, humor. Aku pikir The Pyramid dan The Palace of Dreams, dibuat secara berurutan dengan latar Mesir kuno dan zaman Ottoman. Dalam The Pyramid, Firaun Cheops ingin membangun pyramid yang bakal menjadi lebih besar dan lebih awet dari yang lainnya – suatu kegiatan yang membenarkan dan melegitimasi setiap pengorbanan, setiap penindasan. Dalam The Palace of Dreams, kontrol dan klasifikasi mimpi-mimpi yang salah. Apakah para pembacamu di Albania memahami pasemon-pasemon pada kekaisaran Soviet dan Firaun Hoxha?

KADARE
Ya. Dengan jelas mereka melihatnya bahwa aku menyindir kekaisaran Komunis, itulah kenapa mereka melarang The Palace of Dreams.

PEWAWANCARA
Apakah Anda terpengaruh oleh para penulis yang menggunakan muslihat yang sama, seperti Bulgakov dalam The Master and Margarita, Zamyatin dalam Z, yang mempengaruhi 1984-nya Orwell, sebagaimana juga Hrabal dan Kundera, atau Kafka dalam The Castle dan The Trial – cikalbakal-cikalbakal bagi suatu tema penindasan dan sistem tertutup.

KADARE
Aku membaca mereka dan aku sadar dengan kemiripan-kemiripan tertentu. Pada waktu yang sama, aku cemas tak bisa menghindari muslihat-muslihat banal. Aku harus yakin akan menjadi sastra nyata, dengan pandangan global. Dalam hal ini The Palace of Dreams berhasil.

PEWAWANCARA
Gulag-gulag[i] Soviet menghasilkan suatu sastra kesaksian yang kaya dalam karya-karya Solzhenitsyn, Natalia Ginzburg, Nadezhda Mandelstam, dan lain-lainnya. Apa ada gulag di Albania?

KADARE
Ya, tapi lebih sedikit, karena negaranya kecil. Hoxha membangun ribuan bunker antinuklir untuk mengantisipasi pecahnya perang atom, tapi semuanya tak berfaedah, karena ia tahu – tujuannya adalah menciptakan psikosis-ketakutan.

PEWAWANCARA
Meski sikapnya curiga terhadap Anda, Hoxha menjadikan Anda sebagai anggota Parlemen. Mengapa?

KADARE
Itu tak berarti apa-apa sama sekali. Daftar anggota Parlemen dibuatnya sendiri, dan siapapun yang menolak disingkirkan, dibunuh. Tak seorangpun pernah menolak, dan itu tak menyangkut kerja apapun. Sekali setahun Parlemen diundang sidang, dan Hoxha mendiktekan apa yang ia mau – tidak ada diskusi, tidak ada debat. Utusan-utusan dipilih diantara para pekerja, ahli-ahli ilmu pengetahuan, para penulis, jadi Parlemen merupakan perwakilan masyarakat.

PEWAWANCARA
Setelah berhasil dengan buku-buku Anda di Barat, Anda dapat meninggalkan negara Anda. Apakah Anda pernah tergoda? Dalam buku Anda The Albanian Spring, terbit tahun 1992, Anda katakan bahwa beberapa kali Anda hampir mukim di Perancis.

KADARE
Aku tidak pergi karena khawatir ancaman balas dendam pada sanak saudaraku, kawan-kawan, bahkan kenalan-kenalan ngeri. Pada tahun 1983 aku ke Perancis dengan maksud bermukim. Lalu aku menyadari itu tak mungkin. Ada resiko terputus totalnya aku dengan negeriku, bahasaku, semua yang aku cintai. Kawan-kawan Perancisku menganjurkanku untuk kembali, dan aku lakukan.

PEWAWANCARA
Novel sedih yang Anda tulis kemudian, The Shadow, memaparkan keterbelahan – pilihan antara pembuangan dan kebebasan pada satu sisi, penindasan dan tirani pada sisi lain. Apakah Anda takut pembuangan?

KADARE
Tidak. Penulis selalu berada pada suatu tingkat dalam pembuangan, dimanapun ia, karena ia bagaimanapun juga berada di luar, terpisah dari paralain; selalu ada jarak.

PEWAWANCARA
Jadi mengapa Anda pergi setelah kejatuhan Komunisme?

KADARE
Aku pergi tahun 1990, ketika Albania guyah antara demokrasi dan kediktatoran. Aku pikir bahwa kepergianku akan membantu mendorong demokrasi. Aku katakan bahwa bila negaraku memilih kediktatoran aku tak akan kembali, dan hal ini menyemangati perjuangan untuk demokrasi. Aku dating ke Perancis untuk publikasi The Palace of Dreams, dan aku membuat suatu pernyataan public. Media melaporkannya dan hal itu memainkan peran menentukan dalam dukungan untuk demokrasi.

PEWAWANCARA
Masyarakat hendak memilih Anda menjadi presiden, seperti Havel di Cekoslowakia, tapi Anda menolak. Kenapa?

KADARE
Aku tak akan ragu-ragu menolak yang kedua kali. Kasusku berbeda dengan Havel; aku ingin tetap menjadi penulis dan bebas.

PEWAWANCARA
Ini benar-benar suatu dilema: menentang kediktatoran, menjadi seorang pembangkang, seperti dilakukan oleh para penulis di Cekoslowakia; atau meninggalkan negara, seperti para penulis Jerman tatkala Hitler berkuasa – mereka pergi berbondong-bondong.

KADARE
Jangan naïf! Keadaan berbeda di tiap negara. Kamu tidak dapat membandingkan Albania dibawah Hoxha dengan Cekoslowakia. Kami tak punya Dubcek, Musim Semi Ceko, dan segala yang menyertainya. Jika Havel di Albania, Ia akan ditembak segera. Itulah mengapa tidak ada para pembangkang di Rusia di bawah Stalin. Tak seorang dapat bertindak apa-apa. Di Albania, seperti di Romania, Stalinisme berlangsung sampai akhir. Saat Havel di dalam bui, ia punya mesin ketik, akses ke media dunia, setiap orang membicarakannya. Mereka yang membandingkan situasi kami dengan Cekoslowakia tak paham akan penindasan Stalinis.

PEWAWANCARA
Jadi Anda benar-benar selamat karena keajaiban?

KADARE
Tak sepenuhnya. Setiap rezim perlu menyelamatkan mukanya di hadapan komunitas internasional, dan bila kamu penulis terkenal rezim harus hati-hati. Hoxha ingin dianggap penyair, seorang pelajar Sorbonne, seorang penulis, bukan pembunuh. Satu-satunya hal yang seorang penulis dapat lakukan di bawah kediktatoran macam itu adalah berupaya menghasilkan sastra nyata. Dengan cara itu orang melakukan tugasnya untuk kebakaan. Mengharapkan segala hal lain adalah sinis dan jahat. Albania punya aku sebagai penulis yang menghubungkan mereka dengan dunia. Aku menguasai kehidupan kebudayaan kami dan aku diperisai budaya Albania dengan karyaku, karenanya pada satu sisi apa yang aku ciptakan dan pada sisi lain produk Komunis, yang tak bernilai. Ketika sebuah buku diterbitkan, dalam limabelas menit habis – setiap cetakan dengan segera terbeli. Masyarakat tahu bahwa buku itu kemungkinan bakal dilarang, jadi mereka berebutan membelinya sebelum dilarang. Kadang buku dilarang sebelum didistribusi, tapi kemudian ribuan salinannya menyebar, masyarakat menyebarkannya dari tangan ke tangan secara berantai.

PEWAWANCARA
Apakah Anda tak diperintahkan mengirim naskah Anda ke Writers’ Union, seperti kasus di Rusia?

KADARE
Tidak. Di Albania tidak ada sensor prapublikasi; karena sudah terlalu banyak teror, swasensor sudah cukup. Ini adalah satu diantara kekhasan-kekhasan Hoxha – seperti yang aku katakan, ia menganggap dirinya sendiri seorang cendekiawan. Jadi penerbitlah yang memutuskan apakah sebuah buku diterbitkan atau tidak. Penerbit membacanya dan mengatakan bahwa ia tak mau berresiko mempublikasikanya. Jadi aku katakan padanya bahwa aku bertanggungjawab: jika mereka mulai menyulitkanmu, katakan pada mereka bahwa kamu tersihir kesohoranku, dan bahwa aku menggertakmu. Dalam keadaan semacam ini mereka selalu menghukum sang pengarang, bukan penerbit. Ini kenyataan yang terjadi. Ia katakan pada penguasa bahwa karena perbawaku ia tidak berani menolak naskahku.

PEWAWANCARA
Jadi para penulis seperti Anda mengirim isyarat-isyarat, tapi masyarakat di Barat tidak mau percaya alangkah mengerikannya situasi di negara-negara Eropa Timur.

KADARE
Di Albania setiap orang tahu bahwa aku adalah seorang penulis antirezim. Dan faktanya bahwa rezim tidak dapat menghentikanku untuk menebarkan keberanian pada paralain. Ini adalah fungsi fundamental sastra: menyalakan obor moral. Pada tahun 1988 Perancis mengangkatku menjadi anggota kehormatan Institut de France, penghargaan yang sangat besar. Seorang wartawan Perancis mewawancaraiku di radio, menanyaiku dengan blak-blakan jika aku bebas menulis apa yang aku kehendaki. Aku jawab, Tidak, karena kebebasan di negaraku berbeda dari di sini. Apa lagi yang dapat aku katakan? Aku tidak dapat berbicara lebih terbuka melawan rezim. Apa yang aku upaya lakukan adalah memberikan masyarakat suatu asupan khusus – suatu kekayaan budaya yang sebanding dengan masyarakat bebas dunia.

PEWAWANCARA
Dapatkah Anda menjelaskan apa yang Anda maksud dengan sastra nyata?

KADARE
Kau memahaminya dengan seketika, secara naluriah. Setiap saat aku menulis buku, aku punya kesan bahwa aku sedang tusukkan belati ke dalam kediktatoran, sementara pada saat yang sama menebarkan keberanian pada masyarakat.

PEWAWANCARA
Berdasar apa yang terjadi di Yugoslavia, aku mau bertanya pada Anda mengenai intoleransi. Separuh masyarakat Albania adalah muslim, termasuk keluarga Anda. Apa Anda mendapat pendidikan keagamaan? Adakah bahaya fundamentalisme Islamis di Albania sekarang sebab praktik keagamaan telah bebas?

KADARE
Aku tak sepakat. Keluargaku Muslim KTP, mereka tak mempraktikan. Tak seorangpun di sekelilingku relijius. Disamping itu, aliran Islam Bektashi yang dipraktikan di Albania sangat moderat, bahkan lebih daripada di Bosnia. Jadi aku pikir kita tak perlu khawatir pada soal itu.

PEWAWANCARA
Kembali ke sisi professional, bagaimana Anda membagi waktu antara Tirana dan Paris? Dan sehari-hari Anda, dimanapun Anda berada?

KADARE
Aku lebih sering di Paris daripada di Tirana karena aku dapat bekerja lebih baik di sini. Di sana terlalu banyak kegaduhan politik, dan terlalu banyak permintaan. Aku diminta menulis pengantar di sini, sebuah artikel di sana . . . Aku tidak punya jawaban untuk semua hal.

Mengenai sehari-hariku: aku menulis dua jam di pagi hari dan berhenti. Aku tidak pernah dapat menulis lebih lama – otakku lelah.  Aku menulis di café di pojokan, menghindari gangguan-gangguan. Sisa waktuku untuk membaca, mengunjungi teman-teman, sepanjang sisa hidupku.

PEWAWANCARA
Apa menulis itu mudah buat Anda atau sulit? Apakah Anda gembira saat menulis, atau cemas?

KADARE
Menulis selain menggembirakan juga pengalaman tak menggembirakan – suatu hal yang separuh-separuh. Ini hampir seperti kehidupan kedua. Aku menulis dengan mudah, tapi aku selalu takut tidak bagus hasilnya. Kamu perlu sarang humor; kegembiraan dan ketakgembiraan buruk buat sastra. Saat gembira, kamu cenderung menjadi gampangan, sembrono, dan bila tak gembira pandanganmu menjadi gelisah. Pertamakali kamu harus hidup, mengalami hidup, dan kemudian menuliskannya.

PEWAWANCARA
Anda menulis di mesin tik atau dengan tangan?

KADARE
Aku menulis dengan tangan dan istriku dengan baik mengetiknya.

PEWAWANCARA
Apa Anda banyak menulis ulang?

KADARE
Tak banyak, hanya sedikit penyesuaian, bukan mengubah drastis.

PEWAWANCARA
Apa yang pertamakali terpikir – plot, karakter, gagasan?

KADARE
Tergantung. Tiap buku berbeda. Proses itu misterius, tidak jelas. Bukan karakter-karakter, tapi sebuah gabungan segala hal. Ambil contoh The Palace of Dreams. Dalam novel sebelumnya, The Corner of Shame, ada satu halaman dimana gagasan mengenai kendali-mimpi untuk pertama kali muncul. Kamudian aku pikir ini sayang hanya sebegitu singkat, atau begitu saja. Jadi aku menulis cerita pendek mengenai tema itu, tanpa harapan untuk publikasi. Tapi dua bab dipublikasi dalam sehimpun cerita pendek. Ketika aku merasa penguasa tak memperhatikannya, aku terberanikan dan memperluasnya menjadi sebuah novel. Jadi kamu tahu, asal-usul sebuah buku itu misterius.

PEWAWANCARA
Mereka yang membaca karyamu dalam bahasa asli, Albania, memuji keindahan prosamu. Apakah gaya adalah suatu kesadaran yang mengasyikan buat anda?

KADARE
Aku sangat cermat, bahkan diharuskan, mengenai bahasa. Misalnya, aku selalu menulis puisi karena puisi memaksamu untuk berkarya mengenai bahasa. Ada dua jenis kekayaan linguistik: pertama mirip dengan batu-batu mulia – metafora-metafora, tamsil, sedikit penemuan – kedua adalah dalam kesegenapan. Kebahagian besar adalah penggabungan sempurna keduanya, ketika teksnya ditulis dengan indah dan isinya substansial juga. Tapi tidak ada kesadaran pencapaian stilistik dalam diriku.

PEWAWANCARA
Hal-hal apa yang menghalangi Anda untuk bekerja? Hemingway bilang telepon adalah pembunuh-kerja terbesar.

KADARE
Di Tirana tak seorang berani menggunakan telepon kecuali untuk tujuan-tujuan dengan alasan yang sangat kuat telepon dipakai. Tapi seperti aku katakan, aku hanya dua jam menulis dalam sehari, dan ini untuk terisolasi dalam waktu selama itu tak menyulitkan.

PEWAWANCARA
Novel terakhir Anda, Spiritus, disambut baik di Perancis, dan aku harap segera diterjemah ke bahasa Inggris. Apa Anda mulai menulis novel baru?

KADARE
Belum. Kenapa terburu-buru?    




  
                               
    


[i] Meski sebenarnya Gulag merupakan singkatan yang berarti Administrasi Kamp Utama. Namun istilah tersebut sering dimaknai sebagai tempat untuk tahanan politik, juga mekanisme untuk menindas musuh-musuh politik negara Uni Soviet. 

2 komentar: