Di sebuah jurnal digital, Paralaks, tulisan Gunawan Mohamad (27 Maret 2008), S.T.A., Sebuah Prosa mengutip sebuah paragraf S.Takdir Alisyahbana dalam Kebangkitan Puisi Baru Indonesia. Demikian S. Takdir Alisyahbana menggambarkan kelahiran sebuah puisi: Segala perasaan yang timbul di dalam kalbu berombak dan beralun melalui berjuta-juta jalan yang halus memenuhi seluruh tubuh; sampai kepada bahagian badan yang sekecil-kecilnya menurut terayun dan terbuai dalam ombak dan alun perasaan itu dan amat gaibnya terbayanglah ia ke dunia lahir pada perubahan detikan jantung, pada lekas lambatnya nafas, pada turun naiknya suara dan pada perubahan air muka. Dari paragraf S. Takdir yang disebut Gunawan Mohamad sebagai bergemuruh tersebut segera terbayang hubungan rapat tak tercerai serupa dua sisi mata uang antara puisi dan penyairnya. Puisi merupakan suatu ekspresi langsung jiwa sang penyair. Namun, Gunawan Mohamad rupanya keberatan dengan penggambaran asal-usul yang poetik tersebut. Melalui Julia Kristeva, Gunawan Mohamad menyatakan, “Kini kita tahu, transparansi (atau keselarasan) semacam itu sebenarnya tak terjadi”. Sebab, menurut Gunawan, antara gejala yang terjadi dalam tubuh dan bahasa yang dihasilkan (ditulis), atau dari semiotik menuju simbolis, seharusnya ada penapis. Jika memahami proses semiotik menjadi simbolis menurut Julia Kristeva, jelaslah apa yang dimaksud penapis ini adalah rasionalisasi untuk membangun sintaksis yang logis. Proses semiotik menuju simbolis ini, rasionalisasi, bagi Kristeva merupakan suatu “pendewasaan” yang dibentuk dengan paksaan oleh norma-norma semacam identifikasi jenis kelamin, pemisahan umum dan pribadi dan sebagainya. Namun, bahasa tak benar-benar menghapus seluruh akar semiotiknya dan penyair menggemaulangkan masa pra-oedipus itu dengan mengangkat yang tak sadar tersebut. Dengan cara ini Kristeva memisahkan dan sekaligus menghubungkan antara yang “normal” dan yang “poetik”. Bahwa bahasa puisi yang diperoleh dengan membangkitkan yang tak sadar akan selalu bersifat laten. Merongrong dan mengacaukan tatanan bahasa yang rasional, mapan, dan otoriter.
Pernyataan S. Takdir tersebut pertama-tama mesti dipahami sebagai upaya S. Takdir mempertentangkan posisi dan watak Puisi Baru terhadap Puisi Lama. Demi upayanya memunculkan subyek individu (modernitas) dalam Puisi Baru, S. Takdir menolak sama sekali karakter-karakter dan bentuk-bentuk formal Puisi Lama. Bentuk-bentuk gurindam dan pantun melambangkan kehadiran masa silam, bentuk-bentuk yang dibekukan oleh tradisi, mati sebagai cetakan-cetakan atau formula-formula yang membuat sastrawan belaka sebagai mesin pabrik. S. Takdir menghendaki individualisme mencahayai Puisi Baru dengan otentitas. Dengan begitu kehadiran puisi adalah kehadiran subyek, kehadiran gaya poetik adalah kehadiran sukma dan pikiran penyair.
Namun, tak sejak mula gaya sastra dianggap sebagai cerminan dari jiwa pengarangnya. Plato dan Aristoteles menyatakan gaya – lexis – sebagai komponen ujaran yang dimanipulasi. Dengan begitu kemampuan seni berbahasa atau retorik bergantung pada pelatihan dan ketrampilan. Gaya merupakan suatu ornamen atau dekorasi bahasa. Gaya sastra tak lebih sebagai baju untuk melindungi makna di baliknya, ornamen luar yang secara tekhnis merupakan kombinasi dari pilihan kata-kata semakna. Dengan begitu gaya bernilai netral.
Gaya sastra muncul sebagai representasi subyek atau pengarang pada abad sembilan belas. Sebagai baju, gaya bukan lagi berfungsi untuk melindungi makna di baliknya. Namun, kini ia adalah seibarat baju basah yang melekati badan dan menunjukan lekuk-lekuk bentuk tubuh. Topeng adalah wajah itu sendiri, kata Susan Sontag. Kemunculan gaya sebagai cerminan subyektifitas pada abad sembilan belas bersamaan dengan munculnya gay sebagai spesies tersendiri dengan orientasi seksual kelamin sejenis. Michel Foucault dalam The History of Sexuality memaparkan praktik seksual sodomi telah berlangsung sepanjang sejarah umat manusia namun ia baru muncul sebagai gaya hidup pada abad sembilan belas. Kemunculan gaya sastra yang eksperimental dan mencerminkan subyektifitas pengarang berkait erat dengan kemunculan gay atau homoseksual sebagai gaya hidup tersendiri. Jika mengikuti Freud kita akan mendapati bahwa abnormal tongues atau gaya eksperimental yang obskur dan dipenuhi oleh metafor-metafor personal merupakan ekspresi pemberontakan terhadap represi nilai-nilai normal masyarakat. Gaya eksperimental mengungkapkan suatu perlawanan terhadap sistem masyarakat normal, seperti seks yang dirumahtanggakan dan pendeskriditan perilaku-perilaku menyimpang – gaya seks lain – dengan menyebutnya abnormal atau tak waras. Pada titik ini pernyataan Julia Kristeva bahwa munculnya bahasa poetik (tak normal) mengantisipasi gerakan revolusioner dalam tatanan masyarakat menemui konteksnya.
Suatu karya seni pada prinsipnya dapat direproduksi, begitu kata Walter Benjamin dalam The Work of Art in The Age of Mechanical Reproduction. Patung-patung dapat direproduksi secara masal melalui teknik cetak lilin, lukisan-lukisan direproduksi melalui tekhnik foto. Namun, bukan hanya secara material karya seni dapat direproduksi. Gaya atau style juga dapat direproduksi melalui duplikasi tekhnik stilistiknya. Benjamin menyatakan bahwa reproduksi telah mengosongkan karya seni dari aura atau kekeramatan. Jika pada tahun 1936, menurut Benjamin, tekhnik reproduksi menceraikan karya seni dari basis spiritual di awal kelahiran seni. Di masa sekarang reproduksi gaya telah mengosongkan gaya dari subyektifitas. Fredric Jameson menyatakan pengarang-pengarang dan seniman-seniman hari ini tak lagi menemukan gaya dan dunia baru. Mereka seudah ditemukan, yang tersisa hanyalah merakit kombinasi-kombinasi yang terbatas. Reproduksi tekhnik stilistik bentuk-bentuk eksperimental pada akhirnya menormalisasi (menetralkan) abnormalitas subyek pengarang. Gaya tak lagi mencerminkan otentisitas subyektif pengarang. Gaya kembali menjadi ornamen dekoratif dari isi, kembali menjadi lexis. Wajah telah dilepaskan dari topeng. Subyek telah dibunuh. Seperti maklumat Roland Barthes, pengarang telah mati. Gaya atau yang poetik hanyalah perangkat bagi pesan pemaknaan hal-hal, bukan makna itu sendiri.
Pudarnya ideologi representasi bukan saja menuntun kita pada jurang kehampaan. Namun membuka suatu hamparan kekhalayakan: dari abu kematian tubuh individu borjuis lahirlah khalayak ramai. Kematian bukanlah akhir, ia semacam batu tapal permulaan babak duplikasi besar-besaran perilaku hedonis borjuis. Sosok-sosok anggun, berkuasa, kharismatis, pendeknya individu otentik boleh berakhir, namun perburuan kenikmatan terus berbiak. Pengumbaran hasrat tubuh yang pada masa lalu merupakan lirisme subversif, pada hari ini menjadi hal yang encer dan dangkal. Abnormalitas bukan lagi suatu hal yang diperjuangkan. Abnormalitas telah dinormalkan melalui reproduksi bentuknya: alangkah Toni Blank Show ditonton tanpa risih. Tidak seperti pada masa jaya individu borjuis ketika abnormalitas merepresentasikan dirinya sendiri sebagai ungkapan perlawanan terhadap yang normal dan sampai ke khalayak sebagai hal mengganggu. Hari ini celoteh dan gaya skizofernia Toni Blank menjadi tontonan hiburan. Ia tidak merepresentasikan dirinya sendiri sebagai subyek yang direpresif. Sebaliknya lebih melayani hasrat khalayak untuk melihat yang aneh; khalayak menikmati tubuh depresif yang telah dijinakan, demi memuaskan hasrat kekerasan yang tersembunyi. Toni Blank Show merupakan contoh bagus dari normalisasi abnormalitas. Toni Blank merepresentasikan bagaimana, seperti dikatakan Slavoj Žižek, menyamar dengan mengenakan selubung yang “asli”. Toni Blank Show merupakan bentuk pastiche yang nyaris sempurna; yang asli menirukan keasliannya sendiri.
Abnormalitas tidak absen pada masa sekarang. Abnormalitas sebagai “spirit” yang menampakan diri pada gaya atau style (sastra/seni), sebagai otentisitas individu yang dilandasi oleh persepsi diri dan pandangan mengenai dunia yang khas barangkali telah pudar atau mungkin malah laip. Bersama surutnya masa jaya individu borjuis, sekelompok kaum istimewa, ekspresi material abnormalitas – bentuk estetik / gaya – belaka selongsong. Abnormalitas telah menjadi tiruan gaya abnormalitas yang dirakit dari kombinasi-kombinasi terbatas yang telah tersedia. Ini adalah momen kemunculan pastiche. Menurut Fredric Jameson, dalam Postmodernism and Consumer Society, saat ini adalah momen munculnya tiruan dari yang aneh atau gaya khas, penggunaan suatu topeng stilistik, ujaran dalam suatu bahasa mati: tapi ini adalah praktik netral atau semacam mimikri, tanpa motif tersembunyi parodi, tanpa rangsang satiris, tanpa tawa, tanpa menyisa perasaan laten bahwa ada suatu yang normal yang dibandingkan dengan apa yang sedang ditirukan adalah komik.
Gaya-gaya abnormalitas hari ini bukanlah gaya-gaya abnormalitas pada masa jaya modernisme klasik yang berifat skandal, menantang, mengejutkan secara seksual. Menyerang kehidupan kelas menengah yang mapan dengan kasar, menghina selera baik, adab kesopanan dan pikiran sehat. Karya-karya James Joyce, Samuel Beckett yang pada masanya begitu memuakkan dan membingungkan sekarang telah dinormalkan, direproduksi dan menjadi klasik. Bahkan bentuk yang dianggap paling kasar dan penuh serangan pada masa sezaman kini, seperti punk rock, telah diterima secara luas dan berhasil secara komersial. Di sinilah kita menjadi maklum kenapa novel Saman dan Larung yang membeberkan penyimpangan-penyimpangan seksual atau perilaku abnormal secara blak-blakan berhasil memperoleh sukses komersial, setidaknya reputasi baik. Pada akhirnya bentuk-bentuk atau gaya-gaya abnormal yang kosong representasi subyektif itu menjadi majal daya revolusifnya.
Kembali lagi ke STA di atas; kini kita tahu kenapa semangat individualistis yang digembar-gemborkan S. Takdir dengan kata-kata yang berbaris menderap menyerbu untuk menghancurkan bentuk-bentuk puisi lama tak kunjung melahirkan puisi baru yang secara radikal berbeda dari pantun, gurindam atau seloka. Pilihan kata atau diksi yang digunakan untuk membangun bahasa puisi pun begitu kuat menghujamkan dirinya pada bahasa puisi yang berbunga-bunga – walaupun sebagian besar karya puisi baru (Pujangga Baru) tak lagi menggunakan majas yang berlapis seperti pada pantun. Sebab subyek yang semayam dalam karya-karya Pujangga Baru adalah subyek yang terkendali, subyek yang hendak rasional. Gaya yang digunakan dalam puisi-puisi S. Takdir semirip praktik retorika dimana gaya estetik belaka baju bagi isinya. Gaya poetik yang tidak lahir dari suatu subyek yang digelorkan hasrat tubuh yang hendak menghisap tandas nikmat badani. Namun, subyek yang mau merengkuh rasionalisme modern, subyek pembangunan. Semangat yang menggelorakan S. Takdir adalah adalah semangat zaman baru, modernisme, yang berada di luar tubuh. Berbeda dengan subyek pada puisi-puisi Chairil Anwar yang liar, bohemian, penuh hasrat untuk mereguk tandas-tandas nikmat badani (seks). Oleh karenanya bahasa poetik Chairil Anwar berbeda sangat tegas dengan Pujangga Baru. Puisi-puisinya bersifat ofensif terhadap tatanan masyarakat pada masa itu; melabrak nilai agama, kepatutan seksualitas, melanggar konvensi sastrawi yang berlaku, juga menyimpan kekecewaan yang mendalam pada peri kehidupan khalayak banyak. Pendeknya revolusioner.
Namun, kita hidup berbeda zaman dengan Chairil, hari ini subyek telah dikosongkan, abnormalitas telah dinormalisasi, dan gerakan revolusioner seperti suatu hal yang mustahil. Benarkah mustahil?
* * *
*Pernah dimuat di majalah Tegal Boto. Dimuat kembali di sini tanpa dua paragraf awal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar