Sejak kendaraan-kendaraan berat
tak diijinkan lagi melintas dalam kota, jalanan pinggir kota itu selalu
bergetar hingga larut malam. Bus-bus antar kota, truk-truk barang, truk-truk
kontainer, meninggalkan jejak retakan,
rekahan, dan lubang besar pada ruas jalan. Walau jalanan pinggir kota itu
sekarang lebih lebar dan hidup, tak ada rumah baru yang dibangun di sepanjang
pinggir ruas jalan. Sejumlah perubahan yang membedakannya dengan masa seratus
tahun lalu adalah terik dan gersang akibat ditumbangkannya puluhan pohon kenari
raksasa yang memagar tepi jalan. Ketika jalanan itu dijadikan satu-satunya
jalur pelintasan kendaran-kendaraan berat, pos pungutan retribusi kendaraan
barang didirikan di dekat jembatan.
Sedikit ke utara dari pos retribusi, lima
buah warung makan yang sekaligus tempat
pelacuran berdiri berjajar dengan latar kebun bambu. Di sepanjang tepi timur
ruas jalan seribu meter itu terdapat sebelas bangunan rumah yang semuanya menghadap
ke barat. Tiga buah rumah hampir terkubur ilalang, satu rumah berubah fungsi
jadi losmen murah, dan selebihnya, meski masih berpenghuni, tampak merana
dengan dinding-dinding yang mengelupas dan bergaram. Rumah-rumah itu pada
jamannya adalah tempat tinggal pegawai Belanda yang bekerja di pabrik minyak
naga bulan. Bangunan pabrik itu sekarang nyaris runtuh, tinggal cerobongnya
yang masih menjulang. Persis di tengah ruas jalan, terdapat pekuburan Belanda.
Dalam areal pemakaman, yang jika musim hujan dipenuhi gerumbul-gerumbul semak
berduri dan tanaman rambusa, menyisakan dua patung malaikat kecil
berlumut yang terpotong sayapnya dan sebuah salib yang juga berlumut. Menurut
cerita , puluhan orang merah dikubur satu lubang di sebagian areal pemakaman
ini. Di samping selatan pemakaman mengalir sebatang sungai yang alirannya
membelah kota dan bermuara di pelabuhan lama. Kebun singkong yang menghampar di
tanah yang membukit berada di utara pemakaman. Di puncak kebun singkong, pohon
mahoni raksasa menjulang. Dari bawah pohon mahoni, dari sela-sela daun
singkong, di seberang jalan, nampak sebuah rumah dengan halaman ditumbuhi dua
pohon flamboyan dan berpagar bluntas dicerlangkan cahaya matahari senja.
Seorang laki-laki, seperti bayangan, melintas dalam naungan flamboyan. Sejenak
ia berhenti di depan pintu, menundukan kepala, lalu mengetuk.
Matahari
seperti besi ditempa. Tanah-tanah, atap-atap rumah, persawahan dan kebun,
sungai, jalan setapak, jalanan beraspal; semuanya tampak khidmat diseliput
cahaya jingga. Ketenangan mendebarkan menghantar hari menuju ke barat,
menciptakan tebing penghabisan cahaya sebagai puncak keagungan yang keramat.
Segala berkas bunyi tertahan dalam bisik; demi kerajaan mambang dan
hantu-hantu, demi segala perasaan halus yang menyimpan ingatan jadi tak
terhancurkan dalam lubuk dendam. Setiap kehadiran seperti terhisap dalam
ambang, menunggu dan gemetar menjelangkan dirinya sendiri.
Ketika
melintas naungan pohon flamboyan ia kenangkan potret hitam putih keluarganya
yang menguning. Dalam potret, sebagai cucu laki-laki tunggal ia duduk di
pangkuan kakeknya yang duduk di sebelah neneknya, diapit anggota keluarga lain
yang berdiri berjajar di sebelah kanan-kiri dan belakang mereka. Ayah dan
ibunya berdiri bahagia, berdampingan persis di belakang kakek-neneknya. Semua
orang dalam foto berlatar rumah beratap limasan dengan pohon-pohon kembang
kertas yang sedang berbunga itu tampak gembira. Foto itu dibuat saat ulang
tahunnya yang ke-tiga, lima hari sebelum semua orang di foto itu mati terbunuh.
Sebenarnya ia sendiri tak punya ingatan mengenai momen gembira dalam foto itu.
Tapi dalam foto itu ia merasa
mendengarkan sebuah nada lagu tanpa syair yang pernah dihafalnya. Iramanya
seperti nyanyi puji-pujian yang biasa ia lantunkan saat memulai
pelajaran mengaji
Daun pintu dibuka seorang laki-laki
tua. Dengan isyarat tangan, orang tua itu menyilahkannya masuk. Duduk
berhadapan ia dengan orang tua itu, diantarai meja marmer persegi empat yang di
atasnya setangkai bunga kantil kering terkulai dalam jambangan kaca warna hijau
bening yang jenjang. Semua jendela
dibuka lebar-lebar, membuat seluruh ruangan dibarakan cahaya matahari
senja. Semesta senjakala seperti terhisap ke dalam orang tua yang duduk
dihadapannya; rambutnya yang ikal berwarna perak, wajahnya yang melampiaskan
kepuasan tertampar cahaya jingga, hidungnya menjulang, dan anugerah kebutaan
yang diterimanya membuat tubuh rapuhnya tenggelam dalam kegaiban dunia mimpi.
Sambil menyambut uluran salam orang tua itu, sekilas ia tertusuk sepasang
matanya yang putih melulu. Segala bayangan hidup berkelebat di ceruk bola mata
melubuk, dinaung sepasang tulang pelipis yang menjorok.
Setelah
berpuluh tahun menghilang, tiga hari yang lalu orang tua itu tiba-tiba muncul
kembali di bekas rumahnya. Walaupun rumah itu lama tak berpenghuni, namun tetap
terawat. Meski sebagian dindingnya megelupas digerogot usia, tidak ada
rumput-rumput liar yang tumbuh di halaman, tidak ada debu di lantainya, dan
tanaman-tanaman di pot seperti kuping gajah, srirejeki, dan mawar masih segar
terawat. Tak seorang pun tahu, kenapa rumah itu tak berubah sejak ditinggal
penghuninya bertahun-tahun lalu. Orang-orang hanya mengingat keluarga penghuni
rumah itu; ayah orang tua buta itu adalah seorang tukang sihir yang ditakuti,
atau banyak juga yang menyebutnya wali, dan istrinya, seorang perempuan
berperangai aneh yang suka mengecap kuncup-kuncup flamboyan. Menurut cerita
yang beredar di masyarakat, suatu kali seorang Belanda pegawai pabrik
minyak naga bulan pernah menyuruh ayah
orang tua buta itu berjalan jongkok dari pabrik sampai rumahnya karena ia tidak
menunduk ketika berpapasan dengannya. Sore harinya, istri orang Belanda itu,
seorang perempuan Manado, menjerit-jerit histeris ketika menemukan tubuh
telanjang suaminya membatu di kamar mandi. Sejak itu, orang-orang tak berani macam-macam
lagi dengannya. Sedangkan orang tua buta itu sendiri, ketika masih muda,
dikenal sebagai jagoan pasar sapi, yang kebal bacokan senjata tajam apapun.
Ketika peristiwa penumpasan orang-orang merah ia adalah algojo yang tak
berbelas kasih. Saat itu orang-orang menyebutnya Izroil. Dengan tangannya
sendiri ia menghabisi semua laki-laki anggota keluarga ketua paguyupan Kesenian
Agawe Tentrem Santoso; kelompok kesenian janger yang bernaung pada lembaga seni partai merah, yang
tinggal di sebelah rumahnya.
Ketika telapak
tangannya bersalaman dengan telapak tangan orang tua buta itu ia berkata,
“Mbah, saya cucunya Mbah Warso, anaknya Saim. Masih ingat kan mbah? Dulu mbah
saya ketua kelompok janger KATS. Masih ingat mbah? Rumah mbah saya di sebelah
rumah ini, dulu pernah dibakar orang-orang hitam. Masih ingat mbah? Sekarang
sudah saya bangun lagi. Saya tinggal dengan istri, dan dua anak saya. Masih
ingat mbah?”. Ia ucapkan seluruh kalimat dengan sekaligus, tanpa jeda nafas.
“Suaramu
seperti Ndari, ibumu. Bukan ayahmu”, kata orang tua itu.
“Pak
Ta’am, ingat mbah? Tukang kebun mbah Warso, yang mengasuh saya dan saya panggil
Bapak, sudah meninggal?”
“Kapan?”
“Persis
ketika mbah baru pulang”.
“Kamu
tahu waktu aku pulang?”. Kata orang tua buta itu.
“Tiga
hari yang lalu”.
Bertahun-tahun
ia menunggu pertemuan ini. Bertahun-tahun ia ingin melihat wajah orang yang
membantai seluruh anggota keluarganya. Ia ingin menenangkan arwah keluarganya
yang tiap malam mengunjunginya dengan wajah-wajah sedih yang berdedarah. Ia
pernah bersumpah, kelak jika pembantai itu ditemukannya ia akan mencincang
tubuhnya dan mengumpankan kerat-kerat daging mayatnya pada anjing. Sekarang,
ketika ia sedang bertemu, ia berniat
membunuhnya dan menguburnya diam-diam di halaman belakang rumahnya sendiri,
mungkin ia hanya akan meludahi mayatnya dengan puas sebelum ditimbun tanah.
Orang tua buta yang duduk di hadapannya itu, menurut anggapannya, berperawakan
lebih pendek dan kurus dari perkiraannya.
“Saya
tidak melihat anak dan istri mbah”, katanya, seraya ia sentuh gagang pisaunya.
“Kau
kenal mereka?”
“Kata
orang-orang”.
“Lebih
baik mereka melupakanku”, kata orang tua itu tanpa nada sedih.
“Kenapa?”,
ia menyelidik.
“Kamu
tahu dimana ayah, ibu, kakek, dan paman-pamanmu dikuburkan?”, kata orang tua
buta itu.
“Sudah!”
“Kebanyakan
penduduk sini, menyangka anggota keluarganya dikuburkan di kuburan Belanda”.
“Ayahku
tidak dikubur di sana?”
“Yang
dikubur di pemakaman Belanda itu mayat-mayat dari Madiun. Mereka yang pernah
tinggal di sini, dibawa truk ke arah utara, mungkin ke Besuki atau ke
Panarukan”, jelas orang tua itu.
Menurut
cerita pak Ta’am, ayahnya disabet parang dari muka sampai kemaluannya.
Kakeknya, karena dipercaya punya ilmu kebal, dijepit pintu sampai putus nafas
dan usus-ususnya keluar dari dubur. Kedua pamannya dipenggal kepalanya. Semua
pembunuhan itu dilakukan sendiri oleh Izroil, yang sekarang menjadi orang tua
buta. Anggota gerombolan lain hanya mengumpat-umpat dengan segala nama babi dan
anjing di halaman, mereka tidak berani masuk. Sedangkan lima anggota keluarga
lain, yang kesemuanya perempuan, digiring keluar dengan kedua tangan diikat ke
belakang dan kepala dibungkus sarung. Para perempuan itu gemetaran. Kecuali
neneknya, dengan berani dia berteriak menyerukan tantangan ke semua gerombolan.
Neneknya habis dicincang di halaman rumahnya sendiri. Ibu, dan tiga orang
bibinya, dihabisi setelah diperkosa.
“Izroil!”
tanpa sadar ia serukan nama itu dengan marah.
“Dulu,
orang-orang memang menyebutku dengan nama itu”, kata orang tua buta itu dengan
datar.
“Kau
tahu, aku akan membunuhmu?”, dengan gemetaran ia genggam gagang pisaunya.
“Tidak.”
“Tidak?
Kau bunuh semua anggota keluargaku! Di umur tiga tahun lima hari aku yatim
piatu!” ia berteriak.
Orang tua buta
itu diam. Beberapa lembar daun flamboyan kering gugur di halaman. Di angkasa
sekawanan burung bangau terbang membentuk formasi busur. Wajah orang tua itu
puas dan lembut seperti permukaan lautan pada cuaca tenang. Saat senja seperti
ini, tiga hari setelah pembantaian, pertama kali ia lihat hantu Saim di sebelah
pintu kamar mandi. Hantu itu hanya menatap sedih padanya, tubuhnya teriris dari
dahi hingga kelamin. “Untuk apa kau datang ke mari?” katanya dengan gusar.
Hantu itu diam saja, seperti hanya ingin memperlihatkan keadaannya. “Kau sudah
mati. Tempatmu bukan di sini!”.
Sejak
itu, setiap senja sampai menjelang pagi rumahnya dipenuhi dengan orang-orang
mati. Hantu Mbah Warso muncul di ambang pintu masuk dengan usus-usus terjurai
dari duburnya seperti ekor. Hantu dua adik laki-laki Saim muncul tanpa kepala
di pintu dapur. Di depan pintu kamar tidurnya terbaring hantu empat orang
perempuan dengan tubuh telanjang, sepasang payudara dan kemaluan mereka rusak
berdedarah. Sedangkan hantu istri mbah Warso, perempuan yang pemberani di masa
hidupnya, mencecerkan kerat-kerat daging tubuhnya di atas meja ruang tamu,
sepasang matanya yang seperti kelereng sering tergelincir ke bawah kursi.
Setelah berbagai cara gagal mengusir hantu-hantu itu, ia menyingkir ke rumah
paman istrinya, bersama istrinya yang ketakutan dan anaknya yang terus-menerus
menangis. Tapi sembilan hantu itu mengikuti ke rumah pengungsiannya. Belum
genap dua hari ia di rumah pamannya, istrinya yang sangat ketakutan
mengusirnya. Sebelum jatuh senja, ia tinggalkan istri dan anaknya dengan marah
kepada hantu-hantu itu. Ketika masih di rumahnya sendiri, beberapa kali dengan
amarah meluap ia sabet-sabetkan parangnya ke tubuh-tubuh hantu itu. Sampai
akhirnya ia tahu kalau ia tidak bisa membunuh orang mati.
Pagi
berikutnya, setelah ia berjalan tak tentu arah, sampai ia di sebuah pantai.
Perahu-perahu warna-warni dengan layar tergulung berserak di teluk kecil. Lampu-lampu petromak di geladak
masih menyala dengan cahaya kotor. Nelayan-nelayan dengan muka kusut-lelah
sibuk menurunkan hasil tangkapannya semalam. Para pencari nener hilir-mudik
dialun ombak pantai. Di kejauhan tampak segumpal pulau. Ia pikir hantu-hantu
tak bisa menyeberang laut. Lalu ia putuskan untuk menetap di pulau seberang
yang pohon-pohon kelapanya nampak berjejajar seperti bayangan dari pantai
tempatnya berdiri.
Ia
putuskan menetap di suatu sisi pantai pulau Nusabarung. Di pesisir dekat muara
yang dilingkung bukit granit, ia bangun sendiri rumah kayu dengan atap anyaman
nyiur. Tiga hari pertama, setiap malam selepas senja ia menatap pulau di
seberang yang bertabur kerlip cahaya. Ia seperti mendengar tangisan anaknya dan
suara istrinya yang memangil-manggil. Dan di hari yang ke- empat, saat ia
keluar dari pintu gubuknya, ia melihat sembilan hantu melayang di atas
permukaan laut yang digetarkan cahaya senja. Langsung ia menyerbu ke pantai,
menghadang sembilan hantu itu dan berteriak-teriak mengusirnya. Sembilan hantu
itu tak memperdulikan teriakannya, mereka melintasinya, terus masuk ke dalam
gubuk. Bergegas ia menyusul ke dalam, lalu menyerapahkan segala sumpah dan
kutuk kepada mereka.
Detik
berbilang menit, menit berbilang jam, jam berbilang hari, hari berbilang
minggu, minggu berbilang bulan, bulan berbilang tahun, tahun berbilang umur.
Kesendirian dan kesepian yang menekan-mendesak di dalam diri membuatnya perlu
teman bicara. Tak ada siapa-siapa, hanya sembilan hantu yang terus membungkam;
merekalah yang terus setia menemaninya, mendengarkan ceritanya tanpa menyela,
dan menerima segala kesal tanpa membantah. Kadang-kadang Saim atau kedua
adiknya menemaninya memancing, atau mencari kayu bakar. Hantu lima perempuan
yang telanjang lebih sering menemaninya bergiat di dapur. Sedangkan dengan mbah
Warso dan istrinya ia sering menceritakan masa lalu, mengenai tetangga-tetangga
mereka, pemogokan buruh di pabrik minyak naga bulan, termasuk membicarakan
pandangan-pandangannya mengenai kebajikan Jawa yang ia pelajari dari ayahnya.
Bersama usia yang terus merangkak tua dan sepasang mata yang mulai buta total
ia merasakan ketenangan hidup di tengah hantu-hantu dan debur ombak pantai.
Suatu
hari, ketika orang tua buta itu melintas kamar mandi, ia berpapasan dengan
Saim. Sejak Saim menjadi hantu, baru saat itu ia mengeluarkan suara. Ia meminta
orang tua buta itu pulang. Permintaan Saim itu ia sampaikan kepada mbah Warso
dan istrinya, kedua adik laki-laki Saim, ketiga adik perempuan Saim, dan istri
Saim. Mereka semua diam saja.
Keesokan
harinya, pagi-pagi sekali ia sudah berkemas dan meninggalkan gubuknya. Dengan
berjalan tertatih bersanggakan dan berpandu tongkat ia menyusur pantai pergi ke
tempat penyeberangan yang berada di sisi pantai lain di balik bukit
granit.
Empat hari kemudian, di suatu senja ia menerima tamu
seorang laki-laki muda di rumah yang telah berpuluh tahun ditinggalkannya. Ia
tahu laki-laki itu memendam amarah sejak ia bukakan pintu untuknya dari
bayangan tubuhnya yang jatuh di sepasang matanya yang buta. Semakin matang
senja semakin amarah laki-laki itu meradang.
“Izroil!”
tanpa sadar ia serukan nama itu dengan marah.
“Dulu,
orang-orang memang menyebutku dengan nama itu”, kata orang tua buta itu dengan
datar.
“Kau
tahu, aku akan membunuhmu?”, dengan gemetaran ia genggam gagang pisaunya.
“Tidak.”
“Tidak?
Kau bunuh semua anggota keluargaku! Di umur tiga tahun lima hari aku yatim
piatu!” ia berteriak.“Aku akan membunuhmu Izroil”. Dengan sengaja, laki-laki itu memanggil orang tua buta
dihadapannya dengan julukan masa mudanya. “Sungguh! Aku akan membunuhmu! Aku
akan membunuhmu meski kau buta dan sebentar lagi akan mati sendiri.”
Gerombolan
burung kecil mencicit-cicit mencari sarang tempat tidurnya. Angin menderu
mengoyang pucuk-pucuk pohonan. Lampu jalan dinyalakan. Terdengar teriakan
meradang, “Aku bunuh kau!”
Deru roda truk menghempaskan debu-debu yang tak
kelihatan. Pohon-pohon nampak setipis
kertas. Di seberang kebun singkong, di bawah naungan pohon mahoni raksasa,
seorang laki-laki berulang kali menusukan ranting kering ke udara.
2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar