Laman

Selasa, 25 Oktober 2011

Hantu-Hantu



Sejak kendaraan-kendaraan berat tak diijinkan lagi melintas dalam kota, jalanan pinggir kota itu selalu bergetar hingga larut malam. Bus-bus antar kota, truk-truk barang, truk-truk kontainer,  meninggalkan jejak retakan, rekahan, dan lubang besar pada ruas jalan. Walau jalanan pinggir kota itu sekarang lebih lebar dan hidup, tak ada rumah baru yang dibangun di sepanjang pinggir ruas jalan. Sejumlah perubahan yang membedakannya dengan masa seratus tahun lalu adalah terik dan gersang akibat ditumbangkannya puluhan pohon kenari raksasa yang memagar tepi jalan. Ketika jalanan itu dijadikan satu-satunya jalur pelintasan kendaran-kendaraan berat, pos pungutan retribusi kendaraan barang didirikan di dekat jembatan.
Sedikit ke utara dari pos retribusi, lima buah warung makan yang sekaligus  tempat pelacuran berdiri berjajar dengan latar kebun bambu. Di sepanjang tepi timur ruas jalan seribu meter itu terdapat sebelas bangunan rumah yang semuanya menghadap ke barat. Tiga buah rumah hampir terkubur ilalang, satu rumah berubah fungsi jadi losmen murah, dan selebihnya, meski masih berpenghuni, tampak merana dengan dinding-dinding yang mengelupas dan bergaram. Rumah-rumah itu pada jamannya adalah tempat tinggal pegawai Belanda yang bekerja di pabrik minyak naga bulan. Bangunan pabrik itu sekarang nyaris runtuh, tinggal cerobongnya yang masih menjulang. Persis di tengah ruas jalan, terdapat pekuburan Belanda. Dalam areal pemakaman, yang jika musim hujan dipenuhi gerumbul-gerumbul semak berduri dan tanaman rambusa, menyisakan dua patung malaikat kecil berlumut yang terpotong sayapnya dan sebuah salib yang juga berlumut. Menurut cerita , puluhan orang merah dikubur satu lubang di sebagian areal pemakaman ini. Di samping selatan pemakaman mengalir sebatang sungai yang alirannya membelah kota dan bermuara di pelabuhan lama. Kebun singkong yang menghampar di tanah yang membukit berada di utara pemakaman. Di puncak kebun singkong, pohon mahoni raksasa menjulang. Dari bawah pohon mahoni, dari sela-sela daun singkong, di seberang jalan, nampak sebuah rumah dengan halaman ditumbuhi dua pohon flamboyan dan berpagar bluntas dicerlangkan cahaya matahari senja. Seorang laki-laki, seperti bayangan, melintas dalam naungan flamboyan. Sejenak ia berhenti di depan pintu, menundukan kepala, lalu mengetuk.

Matahari seperti besi ditempa. Tanah-tanah, atap-atap rumah, persawahan dan kebun, sungai, jalan setapak, jalanan beraspal; semuanya tampak khidmat diseliput cahaya jingga. Ketenangan mendebarkan menghantar hari menuju ke barat, menciptakan tebing penghabisan cahaya sebagai puncak keagungan yang keramat. Segala berkas bunyi tertahan dalam bisik; demi kerajaan mambang dan hantu-hantu, demi segala perasaan halus yang menyimpan ingatan jadi tak terhancurkan dalam lubuk dendam. Setiap kehadiran seperti terhisap dalam ambang, menunggu dan gemetar menjelangkan dirinya sendiri.
Ketika melintas naungan pohon flamboyan ia kenangkan potret hitam putih keluarganya yang menguning. Dalam potret, sebagai cucu laki-laki tunggal ia duduk di pangkuan kakeknya yang duduk di sebelah neneknya, diapit anggota keluarga lain yang berdiri berjajar di sebelah kanan-kiri dan belakang mereka. Ayah dan ibunya berdiri bahagia, berdampingan persis di belakang kakek-neneknya. Semua orang dalam foto berlatar rumah beratap limasan dengan pohon-pohon kembang kertas yang sedang berbunga itu tampak gembira. Foto itu dibuat saat ulang tahunnya yang ke-tiga, lima hari sebelum semua orang di foto itu mati terbunuh. Sebenarnya ia sendiri tak punya ingatan mengenai momen gembira dalam foto itu. Tapi  dalam foto itu ia merasa mendengarkan sebuah nada lagu tanpa syair yang pernah dihafalnya. Iramanya seperti nyanyi puji-pujian yang biasa ia lantunkan saat memulai pelajaran mengaji
           
Daun pintu dibuka seorang laki-laki tua. Dengan isyarat tangan, orang tua itu menyilahkannya masuk. Duduk berhadapan ia dengan orang tua itu, diantarai meja marmer persegi empat yang di atasnya setangkai bunga kantil kering terkulai dalam jambangan kaca warna hijau bening yang jenjang. Semua jendela  dibuka lebar-lebar, membuat seluruh ruangan dibarakan cahaya matahari senja. Semesta senjakala seperti terhisap ke dalam orang tua yang duduk dihadapannya; rambutnya yang ikal berwarna perak, wajahnya yang melampiaskan kepuasan tertampar cahaya jingga, hidungnya menjulang, dan anugerah kebutaan yang diterimanya membuat tubuh rapuhnya tenggelam dalam kegaiban dunia mimpi. Sambil menyambut uluran salam orang tua itu, sekilas ia tertusuk sepasang matanya yang putih melulu. Segala bayangan hidup berkelebat di ceruk bola mata melubuk, dinaung sepasang tulang pelipis yang menjorok.
            Setelah berpuluh tahun menghilang, tiga hari yang lalu orang tua itu tiba-tiba muncul kembali di bekas rumahnya. Walaupun rumah itu lama tak berpenghuni, namun tetap terawat. Meski sebagian dindingnya megelupas digerogot usia, tidak ada rumput-rumput liar yang tumbuh di halaman, tidak ada debu di lantainya, dan tanaman-tanaman di pot seperti kuping gajah, srirejeki, dan mawar masih segar terawat. Tak seorang pun tahu, kenapa rumah itu tak berubah sejak ditinggal penghuninya bertahun-tahun lalu. Orang-orang hanya mengingat keluarga penghuni rumah itu; ayah orang tua buta itu adalah seorang tukang sihir yang ditakuti, atau banyak juga yang menyebutnya wali, dan istrinya, seorang perempuan berperangai aneh yang suka mengecap kuncup-kuncup flamboyan. Menurut cerita yang beredar di masyarakat, suatu kali seorang Belanda pegawai pabrik minyak  naga bulan pernah menyuruh ayah orang tua buta itu berjalan jongkok dari pabrik sampai rumahnya karena ia tidak menunduk ketika berpapasan dengannya. Sore harinya, istri orang Belanda itu, seorang perempuan Manado, menjerit-jerit histeris ketika menemukan tubuh telanjang suaminya membatu di kamar mandi. Sejak itu, orang-orang tak berani macam-macam lagi dengannya. Sedangkan orang tua buta itu sendiri, ketika masih muda, dikenal sebagai jagoan pasar sapi, yang kebal bacokan senjata tajam apapun. Ketika peristiwa penumpasan orang-orang merah ia adalah algojo yang tak berbelas kasih. Saat itu orang-orang menyebutnya Izroil. Dengan tangannya sendiri ia menghabisi semua laki-laki anggota keluarga ketua paguyupan Kesenian Agawe Tentrem Santoso; kelompok kesenian janger yang bernaung pada lembaga seni partai merah, yang tinggal di sebelah rumahnya.
           
Ketika telapak tangannya bersalaman dengan telapak tangan orang tua buta itu ia berkata, “Mbah, saya cucunya Mbah Warso, anaknya Saim. Masih ingat kan mbah? Dulu mbah saya ketua kelompok janger KATS. Masih ingat mbah? Rumah mbah saya di sebelah rumah ini, dulu pernah dibakar orang-orang hitam. Masih ingat mbah? Sekarang sudah saya bangun lagi. Saya tinggal dengan istri, dan dua anak saya. Masih ingat mbah?”. Ia ucapkan seluruh kalimat dengan sekaligus, tanpa jeda nafas.
            “Suaramu seperti Ndari, ibumu. Bukan ayahmu”, kata orang tua itu.
            “Pak Ta’am, ingat mbah? Tukang kebun mbah Warso, yang mengasuh saya dan saya panggil Bapak, sudah meninggal?”
            “Kapan?”
            “Persis ketika mbah baru pulang”.
            “Kamu tahu waktu aku pulang?”. Kata orang tua buta itu.
            “Tiga hari yang lalu”.
            Bertahun-tahun ia menunggu pertemuan ini. Bertahun-tahun ia ingin melihat wajah orang yang membantai seluruh anggota keluarganya. Ia ingin menenangkan arwah keluarganya yang tiap malam mengunjunginya dengan wajah-wajah sedih yang berdedarah. Ia pernah bersumpah, kelak jika pembantai itu ditemukannya ia akan mencincang tubuhnya dan mengumpankan kerat-kerat daging mayatnya pada anjing. Sekarang, ketika ia sedang bertemu,  ia berniat membunuhnya dan menguburnya diam-diam di halaman belakang rumahnya sendiri, mungkin ia hanya akan meludahi mayatnya dengan puas sebelum ditimbun tanah. Orang tua buta yang duduk di hadapannya itu, menurut anggapannya, berperawakan lebih pendek dan kurus dari perkiraannya.
            “Saya tidak melihat anak dan istri mbah”, katanya, seraya ia sentuh gagang pisaunya.
            “Kau kenal mereka?”
            “Kata orang-orang”.
            “Lebih baik mereka melupakanku”, kata orang tua itu tanpa nada sedih.
            “Kenapa?”, ia menyelidik.
            “Kamu tahu dimana ayah, ibu, kakek, dan paman-pamanmu dikuburkan?”, kata orang tua buta itu.
            “Sudah!”
            “Kebanyakan penduduk sini, menyangka anggota keluarganya dikuburkan di kuburan Belanda”.
            “Ayahku tidak dikubur di sana?”
            “Yang dikubur di pemakaman Belanda itu mayat-mayat dari Madiun. Mereka yang pernah tinggal di sini, dibawa truk ke arah utara, mungkin ke Besuki atau ke Panarukan”, jelas orang tua itu.
            Menurut cerita pak Ta’am, ayahnya disabet parang dari muka sampai kemaluannya. Kakeknya, karena dipercaya punya ilmu kebal, dijepit pintu sampai putus nafas dan usus-ususnya keluar dari dubur. Kedua pamannya dipenggal kepalanya. Semua pembunuhan itu dilakukan sendiri oleh Izroil, yang sekarang menjadi orang tua buta. Anggota gerombolan lain hanya mengumpat-umpat dengan segala nama babi dan anjing di halaman, mereka tidak berani masuk. Sedangkan lima anggota keluarga lain, yang kesemuanya perempuan, digiring keluar dengan kedua tangan diikat ke belakang dan kepala dibungkus sarung. Para perempuan itu gemetaran. Kecuali neneknya, dengan berani dia berteriak menyerukan tantangan ke semua gerombolan. Neneknya habis dicincang di halaman rumahnya sendiri. Ibu, dan tiga orang bibinya, dihabisi setelah diperkosa.
            “Izroil!” tanpa sadar ia serukan nama itu dengan marah.
            “Dulu, orang-orang memang menyebutku dengan nama itu”, kata orang tua buta itu dengan datar.
            “Kau tahu, aku akan membunuhmu?”, dengan gemetaran ia genggam gagang pisaunya.
            “Tidak.”
            “Tidak? Kau bunuh semua anggota keluargaku! Di umur tiga tahun lima hari aku yatim piatu!” ia berteriak.                      
           
Orang tua buta itu diam. Beberapa lembar daun flamboyan kering gugur di halaman. Di angkasa sekawanan burung bangau terbang membentuk formasi busur. Wajah orang tua itu puas dan lembut seperti permukaan lautan pada cuaca tenang. Saat senja seperti ini, tiga hari setelah pembantaian, pertama kali ia lihat hantu Saim di sebelah pintu kamar mandi. Hantu itu hanya menatap sedih padanya, tubuhnya teriris dari dahi hingga kelamin. “Untuk apa kau datang ke mari?” katanya dengan gusar. Hantu itu diam saja, seperti hanya ingin memperlihatkan keadaannya. “Kau sudah mati. Tempatmu bukan di sini!”. 
            Sejak itu, setiap senja sampai menjelang pagi rumahnya dipenuhi dengan orang-orang mati. Hantu Mbah Warso muncul di ambang pintu masuk dengan usus-usus terjurai dari duburnya seperti ekor. Hantu dua adik laki-laki Saim muncul tanpa kepala di pintu dapur. Di depan pintu kamar tidurnya terbaring hantu empat orang perempuan dengan tubuh telanjang, sepasang payudara dan kemaluan mereka rusak berdedarah. Sedangkan hantu istri mbah Warso, perempuan yang pemberani di masa hidupnya, mencecerkan kerat-kerat daging tubuhnya di atas meja ruang tamu, sepasang matanya yang seperti kelereng sering tergelincir ke bawah kursi. Setelah berbagai cara gagal mengusir hantu-hantu itu, ia menyingkir ke rumah paman istrinya, bersama istrinya yang ketakutan dan anaknya yang terus-menerus menangis. Tapi sembilan hantu itu mengikuti ke rumah pengungsiannya. Belum genap dua hari ia di rumah pamannya, istrinya yang sangat ketakutan mengusirnya. Sebelum jatuh senja, ia tinggalkan istri dan anaknya dengan marah kepada hantu-hantu itu. Ketika masih di rumahnya sendiri, beberapa kali dengan amarah meluap ia sabet-sabetkan parangnya ke tubuh-tubuh hantu itu. Sampai akhirnya ia tahu kalau ia tidak bisa membunuh orang mati.
           

Pagi berikutnya, setelah ia berjalan tak tentu arah, sampai ia di sebuah pantai. Perahu-perahu warna-warni dengan layar tergulung berserak di  teluk kecil. Lampu-lampu petromak di geladak masih menyala dengan cahaya kotor. Nelayan-nelayan dengan muka kusut-lelah sibuk menurunkan hasil tangkapannya semalam. Para pencari nener hilir-mudik dialun ombak pantai. Di kejauhan tampak segumpal pulau. Ia pikir hantu-hantu tak bisa menyeberang laut. Lalu ia putuskan untuk menetap di pulau seberang yang pohon-pohon kelapanya nampak berjejajar seperti bayangan dari pantai tempatnya berdiri.     
            Ia putuskan menetap di suatu sisi pantai pulau Nusabarung. Di pesisir dekat muara yang dilingkung bukit granit, ia bangun sendiri rumah kayu dengan atap anyaman nyiur. Tiga hari pertama, setiap malam selepas senja ia menatap pulau di seberang yang bertabur kerlip cahaya. Ia seperti mendengar tangisan anaknya dan suara istrinya yang memangil-manggil. Dan di hari yang ke- empat, saat ia keluar dari pintu gubuknya, ia melihat sembilan hantu melayang di atas permukaan laut yang digetarkan cahaya senja. Langsung ia menyerbu ke pantai, menghadang sembilan hantu itu dan berteriak-teriak mengusirnya. Sembilan hantu itu tak memperdulikan teriakannya, mereka melintasinya, terus masuk ke dalam gubuk. Bergegas ia menyusul ke dalam, lalu menyerapahkan segala sumpah dan kutuk kepada mereka.
            Detik berbilang menit, menit berbilang jam, jam berbilang hari, hari berbilang minggu, minggu berbilang bulan, bulan berbilang tahun, tahun berbilang umur. Kesendirian dan kesepian yang menekan-mendesak di dalam diri membuatnya perlu teman bicara. Tak ada siapa-siapa, hanya sembilan hantu yang terus membungkam; merekalah yang terus setia menemaninya, mendengarkan ceritanya tanpa menyela, dan menerima segala kesal tanpa membantah. Kadang-kadang Saim atau kedua adiknya menemaninya memancing, atau mencari kayu bakar. Hantu lima perempuan yang telanjang lebih sering menemaninya bergiat di dapur. Sedangkan dengan mbah Warso dan istrinya ia sering menceritakan masa lalu, mengenai tetangga-tetangga mereka, pemogokan buruh di pabrik minyak naga bulan, termasuk membicarakan pandangan-pandangannya mengenai kebajikan Jawa yang ia pelajari dari ayahnya. Bersama usia yang terus merangkak tua dan sepasang mata yang mulai buta total ia merasakan ketenangan hidup di tengah hantu-hantu dan debur ombak pantai.
            Suatu hari, ketika orang tua buta itu melintas kamar mandi, ia berpapasan dengan Saim. Sejak Saim menjadi hantu, baru saat itu ia mengeluarkan suara. Ia meminta orang tua buta itu pulang. Permintaan Saim itu ia sampaikan kepada mbah Warso dan istrinya, kedua adik laki-laki Saim, ketiga adik perempuan Saim, dan istri Saim. Mereka semua diam saja.
            Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia sudah berkemas dan meninggalkan gubuknya. Dengan berjalan tertatih bersanggakan dan berpandu tongkat ia menyusur pantai pergi ke tempat penyeberangan yang berada di sisi pantai lain di balik bukit granit.  

            Empat hari kemudian, di suatu senja ia menerima tamu seorang laki-laki muda di rumah yang telah berpuluh tahun ditinggalkannya. Ia tahu laki-laki itu memendam amarah sejak ia bukakan pintu untuknya dari bayangan tubuhnya yang jatuh di sepasang matanya yang buta. Semakin matang senja semakin amarah laki-laki itu meradang.
“Izroil!” tanpa sadar ia serukan nama itu dengan marah.
            “Dulu, orang-orang memang menyebutku dengan nama itu”, kata orang tua buta itu dengan datar.
            “Kau tahu, aku akan membunuhmu?”, dengan gemetaran ia genggam gagang pisaunya.
            “Tidak.”
            “Tidak? Kau bunuh semua anggota keluargaku! Di umur tiga tahun lima hari aku yatim piatu!” ia berteriak.“Aku akan membunuhmu Izroil”. Dengan sengaja,  laki-laki itu memanggil orang tua buta dihadapannya dengan julukan masa mudanya. “Sungguh! Aku akan membunuhmu! Aku akan membunuhmu meski kau buta dan sebentar lagi akan mati sendiri.”
           
Gerombolan burung kecil mencicit-cicit mencari sarang tempat tidurnya. Angin menderu mengoyang pucuk-pucuk pohonan. Lampu jalan dinyalakan. Terdengar teriakan meradang, “Aku bunuh kau!”
            Deru roda truk menghempaskan debu-debu yang tak kelihatan. Pohon-pohon  nampak setipis kertas. Di seberang kebun singkong, di bawah naungan pohon mahoni raksasa, seorang laki-laki berulang kali menusukan ranting kering ke udara.

2004





Tidak ada komentar:

Posting Komentar