Mencari Kiri: Kaum Revolusioner Indonesia
dan Revolusi Mereka
Jacques Leclerc
Marjin Kiri, 2011
Di
Indonesia namalah yang telah mencari organisasi dan pertarungannya; ketika nama
ditemukan ia telah kalah dalam pertempuran. (hal. 178)
Saya masih ingat betul, ketika pelajaran sejarah di
bangku SMP dan SMA mempelajari peristiwa kemelut politik 65 atau yang dikenal
sebagai pemberontakan G30S PKI, guru sejarah menyatakan bahwa PKI harus
ditumpas sampai ke akarnya, sampai anak, cucu, cicitnya. Alangkah pelajaran
sejarah tersebut ikut andil membentuk persepsi para remaja mengenai komunisme
dan membentuk sikap mereka terhadap keturunan PKI. Bukan hanya membentuk
persepsi dan sikap remaja dari keluarga “bersih” pun mereka yang berasal dari
keluarga “ET”. Bagaimana seorang remaja membenci bapaknya yang terlibat atau
seorang remaja dari keluarga PKI yang patah arang akan masa depannya memilih
mabuk-mabukan sepanjang masa bujangnya. Atau bagaimana seorang bapak yang harus
“membuang” anak laki-lakinya dengan mengubah identitas orang tua pada akta
kelahiran demi membersih-lapangkan masa depan si anak.
Sejarah resmi mengenai komunisme selama lebih dari
30 tahun rezim Orde Baru adalah reka-sejarah komunisme (PKI) yang bukan saja
berfungsi sebagai pembenar dari apa yang disebut sebagai kudeta merangkak dan
menentukan posisi politik dalam pergaulan intenasional. Lebih dari itu, indoktrinasi
anti-komunis melalui sejarah resmi dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang
dikenal sebagai “bersih diri” dan “bersih lingkungan” telah mengakibatkan
masyarakat menjadi terpecah-pecah, penuh wasangka dan curiga. Menjadi komunis
atau menjadi keturunan dari orang tua komunis adalah aib atau bahkan dosa besar
yang tak terampuni. Gerakan komunisme yang sesungguhnya punya andil besar dalam
perjuangan kemerdekaan Indonesia dihapus dalam sejarah resmi dan digantikan
sejarah komunisme yang dipenuhi pengkhianatan.
Mencari
Kiri,
buku kumpulan artikel-artikel terpilih dari Jacques Leclerc mengenai lahir,
tumbuh, kembang dan lumpuhnya faham komunis di Indonesia ibarat membongkar
timbunan tanah sejarah resmi yang mengubur komunisme hidup-hidup. Empat artikel
yang dikumpulkan dalam Mencari Kiri
menyuarakan suara lain yang selama puluhan tahun dibungkam. Suara lain yang
mengkritisi, menyangkal, mengguyahkan, dan menggugat sejarah resmi dengan
membeberkan peran hebat gerakan kiri dalam perjuangan menggulingkan kekuasaan
kolonial; intrik, pertikaian politik dan pengaruh luar negeri semasa awal
kemerdekaan yang menggencet gerakan kiri dan menumbalkan tokoh-tokohnya; dan
perselisihan tokoh-tokoh komunis mengenai teori dan menentukan strategi dan
taktik perjuangan kaum kiri.
Dalam Aliran
Komunis: Sejarah dan Penjara Leclerc melacak jejak cikal bakal gerakan
komunisme semulai berdirinya sindikat buruh kereta api Vereeniging Van Spoor en Tramweg Personeel (VSTP) dan Budi Utomo
tahun 1908 yang menurutnya PKI adalah hasil radikalisasi progresif dari dua
organisasi yang lahir akibat penindasan intensif dari dominasi kolonial awal
abad 20. Partai Komunis Indonesia yang sebelum kongres 1924 bernama
Perserikatan Komunis di India sedikit banyak lahir dari pertentangan di tubuh
Sarekat Islam antara militan prokomunis dan penentangnya. Perubahan nama dari
“Perserikatan” menjadi “Partai” membawa konsekwensi-kensekwensi yang mungkin
secara singkat dapat diringkas mesti dapat berperan sebagai penyemai dan
pelaksana ide-ide yang membuahkan tekad untuk mengupayakan perubahan politik.
Untuk itu PKI mesti menjadi partai pelopor yang besar dan kuat dengan disiplin
baja agar mampu mengatasi tekanan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Jacques Leclerc tak hanya memaparkan sepak terjang
PKI seperti aksi pemogokan di jawatan kereta api pada tahun 1923 yang gagal dan
perlawanan umum bersenjata untuk menggulingkan kekuasaan kolonial akhir 1926 – awal 1927 yang berakhir dengan
porak-porandanya partai. Leclerc juga mengungkap manuver Semaun di pembuangan
yang menyerahkan peran partai polopor PKI kepada Hatta di Belanda. Begitu pula
dengan Tan Malaka, tokoh komunis yang dianggap trotskys, yang mendirikan Partai Republik Indonesia di Bangkok
karena menganggap PKI sudah tidak ada. Pasca perlawanan 1926 – 1927 yang
meremukan PKI sebagai organisasi tulang punggung perjuangan politik, kaum kiri
terpecah, bukan hanya terbagi dalam gerakan bawah tanah dan gerakan legal,
memperebutkan pewaris sah dari PKI. Pada masa inilah, Soekarno yang mendirikan
PNI pada tahun 1933 menemukan sosialisme ala Indonesia, Marhaenisme, untuk mengatasi
dualisme buruh/petani atau kelas/massa yang tak terpecahkan semenjak Sarekat
Islam.
Pergulatan menghimpun kembali gerakan sayap kiri
menjadi satu kesatuan menghadapi rintangan tak kepalang. Pelarangan pemerintah
kolonial, datanganya ancaman dan bercokolnya kekuasan fasis Jepang, serta krisis
teori dalam komunisme internasional mengakibatkan situasi tak menguntungkan
untuk menyatukan perjuangan kaum kiri. Percobaan pembentukan front bersama
semacam Gerindo terbukti rapuh dan tidak tahan lama. Upaya terakhir, sebelum
1950, kristalisasi gerakan sayap kiri, penyatuan partai-partai yang tergabung
dalam Front Demokrasi Rakyat menjadi satu partai tunggal, PKI, tahun 1948
hancur sebelum PKI sempat melaksanakan programnya. Tuduhan kudeta terhadap
prakarsa “Jalan Baru untuk Republik Indonesia” Musso berakhir dengan perang
sudara yang menumbalkan 9 pemimpin PKI termasuk Musso dan Amir Sjarifuddin. Sejarah
resmi versi Orde Baru, seperti diajarkan di sekolah-sekolah, peristiwa Madiun
diibaratkan “menusuk dari belakang". Walaupun, seperti ditulis oleh Leclerc,
proklamasi Republik Soviet di Madiun tidak
seorang pun pernah mendengarnya, begitu juga tidak seorang pun berminat membuktikan
kebenaran kabar yang diucapkannya itu (hal.65). Leclerc membandingkan
peristiwa Madiun dengan apa yang terjadi di China 20 tahun sebelumnya.
Pembangkitan kembali PKI tahun 1948 dianggap terinspirasi dengan kebangkitan
PKC tahun 1937, serbuan balatentara Jepang disamakan dengan kedatangan Belanda
kembali dan pemerintahan Indonesia yang dikuasai golongan kanan disamakan
dengan kekuasaan Kuomintang di Cina.
Sosok Amir Sjarifuddin diungkapkan Leclerc dalam Amir Sjarifuddin: Antara Negara dan Revolusi
sebagai tokoh revolusioner yang kontroversial. Tokoh yang nyaris terlupakan
dalam sejarah Indonesia, jika disebut selalu saja dengan nanda sumbang,
digambarkan Leclerc semirip Faust; tidak saja karena menukar agamanya pun sebab
“kerjasamanya” dengan Van Mook. Amir yang dilukiskan sebagai orator ulung dan
dekat dengan gerakan revolusioner bawah tanah itu pada kenyataannya hampir
selalu berada di pinggiran dalam gerakan perlawanan dan pusat kekuasaan di masa
awal kemerdekaan. Sebagai tokoh revolusioner ia memainkan dua kaki antara bawah
tanah dan legal, sebagai Perdana Menteri atau Menteri Pertahanan ia tak dapat
mengatasi hantaman kaum kanan dan militer yang menggerogoti kewenangan
jabatannya. Diantara empat tokoh di jantung kekuasaan, Soekarno, Hatta,
Sjahrir, yang menjadi “kartu mati” adalah Amir.
Tak dapat disangkal, Amir adalah “orang merah”, sepak terjang politiknya sepanjang tahun 1928 – 1948 mengonfirmasi hal itu. Namun, apa yang disebut Leclerc sebagai tahun-tahun Amir berlangsung pada 1936 – 1940, setahun setelah Amir bebas dari penjara pada Juni 1935. Masa empat tahun dimana perdebatan antara perjuangan koperasi dan nonkoperasi memanas yang mana kaum kiri baru yang nonkoperasi diidentifikasi pada Amir. Pada sekitar tahun-tahun itu pula ia diduga menjalin kontak rahasia dengan dedengkot komunis, Musso, yang menurut dokumen resmi pada tahun 1935 telah membangun kembali PKI setelah kehancurannya pada 1926 – 1927. Dengan Musso inilah Amir dipasangkan sebagai lawan dari Soekarno-Hatta ketika peristiwa Madiun meletus. Peristiwa yang merenggut nyawa Musso dan Amir yang mati ditembak oleh letnan Polisi Militer di dekat desa Ngalihan pada 19 Desember 1948. Leclerc mencatat bahwa peristiwa Madiun ini tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan Komisi Jasa Baik PBB untuk menengahi konflik Indonesia – Belanda yang diisi oleh negara-negara Barat.
Setelah kehancuran pada Oktober 1965, barangkali
tidak ada pribadi yang begitu lekat diidentikkan dengan PKI seperti Aidit. Memulai
dengan kembali menghidupkan Bintang Merah
pada 1950 sekembalinya dari pelarian setelah peristiwa Madiun, bersama Lukman,
Aidit yang pada 1947 telah menjadi sekretaris Central Comite, pada tahun 1956
menjadi orang pertama dalam partai dengan menduduki Sekretaris Jenderal.
Setelah itu pengaruh Aidit tak tertahankan lagi dalam tubuh PKI.
Dalam Aidit
dan Soal Partai Pada Tahun 1950, Leclerc menyatakan bahwa dengan tampilnya
pasangan Aidit – Lukman sebagai pimpinan partai memperlihatkan bahwa PKI hendak
mengidentifikasikan diri dengan proklamasi 17 Agustus. Bagaimanapun Aidit dan
Lukman serta Wikana termasuk para pemuda Menteng 31 yang mendesak Soekarno dan
Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan ketika Jepang menyerah dan
sebelum Belanda kembali masuk. Walaupun upaya untuk mengaitkan PKI dengan
semangat proklamasi ini mesti menyingkirkan tokoh-tokoh tua yang berpengalaman
dalam perjuangan seperti Alimin dan Tan Ling Djie.
Mengenai pembangunan partai tahun 1950 – 1953 Aidit,
pada pidato di Cina 1963, menyatakan bahwa dalam kondisi yang masih kacau dan
ruwet partai harus dibangun dari atas ke bawah untuk menjamin terpilihnya orang-orang
terpercaya untuk mengendalikan partai. Sedangkan dalam pidato yang ditujukan
kepada kaum revesionis sekembali dari Cina tahun 1963 Aidit menyatakan bukanlah
partai yang menentukan jalan damai atau tidak-damai, namun kondisilah yang
bakal menentukan. Dua tahun setelah pidato tersebut, sepuluh tahun setelah
pencapaian partai dalam pemilihan umum 1955, malapetaka hebat dan tak
tertanggungkan hingga kini meluluhlantakan PKI.
Boleh dikatakan buku Mencari Kiri yang merupakan kumpulan empat artikel peneliti sejarah
politik Indonesia dari Prancis, Jacques Leclerc, lebih menitikberatkan sejarah
PKI dari tahun-tahun awal pendiriannya atau bahkan embrionya hingga peristiwa
Madiun 1948. Suatu serial kajian yang mengisi ‘kekosongan’ di tengah
melimpahnya kajian peristiwa 1965. Tiga artikel pertama dalam Mencari Kiri seperti
membagi PKI dalam tiga generasi, dimana artikel ke-empat atau terakhir, Kondisi Kehidupan Partai: Kaum Revolusioner
Indonesia Mencari Identitas (1928 – 1948), menjadi semacam epilognya.
Sudah saatnya sejarah politik Indonesia yang lebih
dari tiga puluh tahun termanipulasi dikaji ulang. Sejarah perjuangan-perjuangan
dan pejuang-pejuang pergerakan yang telah dibenamkan mesti digali dan dibawa ke
terang cahaya siang hari ini. Upaya semacam membukukan artikel-artikel Leclerc
yang mencahayai bagian gelap sejarah Indonesia mesti tak berhenti pada Mencari Kiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar