Laman

Senin, 14 November 2011

Pergulatan PKI dalam Tiga Generasi




Mencari Kiri: Kaum Revolusioner Indonesia 
dan Revolusi Mereka
Jacques Leclerc
Marjin Kiri, 2011













Di Indonesia namalah yang telah mencari organisasi dan pertarungannya; ketika nama ditemukan ia telah kalah dalam pertempuran. (hal. 178)


Saya masih ingat betul, ketika pelajaran sejarah di bangku SMP dan SMA mempelajari peristiwa kemelut politik 65 atau yang dikenal sebagai pemberontakan G30S PKI, guru sejarah menyatakan bahwa PKI harus ditumpas sampai ke akarnya, sampai anak, cucu, cicitnya. Alangkah pelajaran sejarah tersebut ikut andil membentuk persepsi para remaja mengenai komunisme dan membentuk sikap mereka terhadap keturunan PKI. Bukan hanya membentuk persepsi dan sikap remaja dari keluarga “bersih” pun mereka yang berasal dari keluarga “ET”. Bagaimana seorang remaja membenci bapaknya yang terlibat atau seorang remaja dari keluarga PKI yang patah arang akan masa depannya memilih mabuk-mabukan sepanjang masa bujangnya. Atau bagaimana seorang bapak yang harus “membuang” anak laki-lakinya dengan mengubah identitas orang tua pada akta kelahiran demi membersih-lapangkan masa depan si anak.

Sejarah resmi mengenai komunisme selama lebih dari 30 tahun rezim Orde Baru adalah reka-sejarah komunisme (PKI) yang bukan saja berfungsi sebagai pembenar dari apa yang disebut sebagai kudeta merangkak dan menentukan posisi politik dalam pergaulan intenasional. Lebih dari itu, indoktrinasi anti-komunis melalui sejarah resmi dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang dikenal sebagai “bersih diri” dan “bersih lingkungan” telah mengakibatkan masyarakat menjadi terpecah-pecah, penuh wasangka dan curiga. Menjadi komunis atau menjadi keturunan dari orang tua komunis adalah aib atau bahkan dosa besar yang tak terampuni. Gerakan komunisme yang sesungguhnya punya andil besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dihapus dalam sejarah resmi dan digantikan sejarah komunisme yang dipenuhi pengkhianatan.

Mencari Kiri, buku kumpulan artikel-artikel terpilih dari Jacques Leclerc mengenai lahir, tumbuh, kembang dan lumpuhnya faham komunis di Indonesia ibarat membongkar timbunan tanah sejarah resmi yang mengubur komunisme hidup-hidup. Empat artikel yang dikumpulkan dalam Mencari Kiri menyuarakan suara lain yang selama puluhan tahun dibungkam. Suara lain yang mengkritisi, menyangkal, mengguyahkan, dan menggugat sejarah resmi dengan membeberkan peran hebat gerakan kiri dalam perjuangan menggulingkan kekuasaan kolonial; intrik, pertikaian politik dan pengaruh luar negeri semasa awal kemerdekaan yang menggencet gerakan kiri dan menumbalkan tokoh-tokohnya; dan perselisihan tokoh-tokoh komunis mengenai teori dan menentukan strategi dan taktik perjuangan kaum kiri.        

Dalam Aliran Komunis: Sejarah dan Penjara Leclerc melacak jejak cikal bakal gerakan komunisme semulai berdirinya sindikat buruh kereta api Vereeniging Van Spoor en Tramweg Personeel (VSTP) dan Budi Utomo tahun 1908 yang menurutnya PKI adalah hasil radikalisasi progresif dari dua organisasi yang lahir akibat penindasan intensif dari dominasi kolonial awal abad 20. Partai Komunis Indonesia yang sebelum kongres 1924 bernama Perserikatan Komunis di India sedikit banyak lahir dari pertentangan di tubuh Sarekat Islam antara militan prokomunis dan penentangnya. Perubahan nama dari “Perserikatan” menjadi “Partai” membawa konsekwensi-kensekwensi yang mungkin secara singkat dapat diringkas mesti dapat berperan sebagai penyemai dan pelaksana ide-ide yang membuahkan tekad untuk mengupayakan perubahan politik. Untuk itu PKI mesti menjadi partai pelopor yang besar dan kuat dengan disiplin baja agar mampu mengatasi tekanan pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Jacques Leclerc tak hanya memaparkan sepak terjang PKI seperti aksi pemogokan di jawatan kereta api pada tahun 1923 yang gagal dan perlawanan umum bersenjata untuk menggulingkan kekuasaan kolonial  akhir 1926 – awal 1927 yang berakhir dengan porak-porandanya partai. Leclerc juga mengungkap manuver Semaun di pembuangan yang menyerahkan peran partai polopor PKI kepada Hatta di Belanda. Begitu pula dengan Tan Malaka, tokoh komunis yang dianggap trotskys, yang mendirikan Partai Republik Indonesia di Bangkok karena menganggap PKI sudah tidak ada. Pasca perlawanan 1926 – 1927 yang meremukan PKI sebagai organisasi tulang punggung perjuangan politik, kaum kiri terpecah, bukan hanya terbagi dalam gerakan bawah tanah dan gerakan legal, memperebutkan pewaris sah dari PKI. Pada masa inilah, Soekarno yang mendirikan PNI pada tahun 1933 menemukan sosialisme ala  Indonesia, Marhaenisme, untuk mengatasi dualisme buruh/petani atau kelas/massa yang tak terpecahkan semenjak Sarekat Islam.

Pergulatan menghimpun kembali gerakan sayap kiri menjadi satu kesatuan menghadapi rintangan tak kepalang. Pelarangan pemerintah kolonial, datanganya ancaman dan bercokolnya kekuasan fasis Jepang, serta krisis teori dalam komunisme internasional mengakibatkan situasi tak menguntungkan untuk menyatukan perjuangan kaum kiri. Percobaan pembentukan front bersama semacam Gerindo terbukti rapuh dan tidak tahan lama. Upaya terakhir, sebelum 1950, kristalisasi gerakan sayap kiri, penyatuan partai-partai yang tergabung dalam Front Demokrasi Rakyat menjadi satu partai tunggal, PKI, tahun 1948 hancur sebelum PKI sempat melaksanakan programnya. Tuduhan kudeta terhadap prakarsa “Jalan Baru untuk Republik Indonesia” Musso berakhir dengan perang sudara yang menumbalkan 9 pemimpin PKI termasuk Musso dan Amir Sjarifuddin. Sejarah resmi versi Orde Baru, seperti diajarkan di sekolah-sekolah, peristiwa Madiun diibaratkan “menusuk dari belakang". Walaupun, seperti ditulis oleh Leclerc, proklamasi Republik Soviet di Madiun tidak seorang pun pernah mendengarnya, begitu juga tidak seorang pun berminat membuktikan kebenaran kabar yang diucapkannya itu (hal.65). Leclerc membandingkan peristiwa Madiun dengan apa yang terjadi di China 20 tahun sebelumnya. Pembangkitan kembali PKI tahun 1948 dianggap terinspirasi dengan kebangkitan PKC tahun 1937, serbuan balatentara Jepang disamakan dengan kedatangan Belanda kembali dan pemerintahan Indonesia yang dikuasai golongan kanan disamakan dengan kekuasaan Kuomintang di Cina.

Sosok Amir Sjarifuddin diungkapkan Leclerc dalam Amir Sjarifuddin: Antara Negara dan Revolusi sebagai tokoh revolusioner yang kontroversial. Tokoh yang nyaris terlupakan dalam sejarah Indonesia, jika disebut selalu saja dengan nanda sumbang, digambarkan Leclerc semirip Faust; tidak saja karena menukar agamanya pun sebab “kerjasamanya” dengan Van Mook. Amir yang dilukiskan sebagai orator ulung dan dekat dengan gerakan revolusioner bawah tanah itu pada kenyataannya hampir selalu berada di pinggiran dalam gerakan perlawanan dan pusat kekuasaan di masa awal kemerdekaan. Sebagai tokoh revolusioner ia memainkan dua kaki antara bawah tanah dan legal, sebagai Perdana Menteri atau Menteri Pertahanan ia tak dapat mengatasi hantaman kaum kanan dan militer yang menggerogoti kewenangan jabatannya. Diantara empat tokoh di jantung kekuasaan, Soekarno, Hatta, Sjahrir, yang menjadi “kartu mati” adalah Amir.



Tak dapat disangkal, Amir adalah “orang merah”, sepak terjang politiknya sepanjang tahun 1928 – 1948 mengonfirmasi hal itu. Namun, apa yang disebut Leclerc sebagai tahun-tahun Amir berlangsung pada 1936 – 1940, setahun setelah Amir bebas dari penjara pada Juni 1935. Masa empat tahun dimana perdebatan antara perjuangan koperasi dan nonkoperasi memanas yang mana kaum kiri baru yang nonkoperasi diidentifikasi pada Amir. Pada sekitar tahun-tahun itu pula ia diduga menjalin kontak rahasia dengan dedengkot komunis, Musso, yang menurut dokumen resmi pada tahun 1935 telah membangun kembali PKI setelah kehancurannya pada 1926 – 1927. Dengan Musso inilah Amir dipasangkan sebagai lawan dari Soekarno-Hatta ketika peristiwa Madiun meletus. Peristiwa yang merenggut nyawa Musso dan Amir yang mati ditembak oleh letnan Polisi Militer di dekat desa Ngalihan pada 19 Desember 1948. Leclerc mencatat bahwa peristiwa Madiun ini tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan Komisi Jasa Baik PBB untuk menengahi konflik Indonesia – Belanda yang diisi oleh negara-negara Barat.
Setelah kehancuran pada Oktober 1965, barangkali tidak ada pribadi yang begitu lekat diidentikkan dengan PKI seperti Aidit. Memulai dengan kembali menghidupkan Bintang Merah pada 1950 sekembalinya dari pelarian setelah peristiwa Madiun, bersama Lukman, Aidit yang pada 1947 telah menjadi sekretaris Central Comite, pada tahun 1956 menjadi orang pertama dalam partai dengan menduduki Sekretaris Jenderal. Setelah itu pengaruh Aidit tak tertahankan lagi dalam tubuh PKI.

Dalam Aidit dan Soal Partai Pada Tahun 1950, Leclerc menyatakan bahwa dengan tampilnya pasangan Aidit – Lukman sebagai pimpinan partai memperlihatkan bahwa PKI hendak mengidentifikasikan diri dengan proklamasi 17 Agustus. Bagaimanapun Aidit dan Lukman serta Wikana termasuk para pemuda Menteng 31 yang mendesak Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan ketika Jepang menyerah dan sebelum Belanda kembali masuk. Walaupun upaya untuk mengaitkan PKI dengan semangat proklamasi ini mesti menyingkirkan tokoh-tokoh tua yang berpengalaman dalam perjuangan seperti Alimin dan Tan Ling Djie.

Mengenai pembangunan partai tahun 1950 – 1953 Aidit, pada pidato di Cina 1963, menyatakan bahwa dalam kondisi yang masih kacau dan ruwet partai harus dibangun dari atas ke bawah untuk menjamin terpilihnya orang-orang terpercaya untuk mengendalikan partai. Sedangkan dalam pidato yang ditujukan kepada kaum revesionis sekembali dari Cina tahun 1963 Aidit menyatakan bukanlah partai yang menentukan jalan damai atau tidak-damai, namun kondisilah yang bakal menentukan. Dua tahun setelah pidato tersebut, sepuluh tahun setelah pencapaian partai dalam pemilihan umum 1955, malapetaka hebat dan tak tertanggungkan hingga kini meluluhlantakan PKI.

Boleh dikatakan buku Mencari Kiri yang merupakan kumpulan empat artikel peneliti sejarah politik Indonesia dari Prancis, Jacques Leclerc, lebih menitikberatkan sejarah PKI dari tahun-tahun awal pendiriannya atau bahkan embrionya hingga peristiwa Madiun 1948. Suatu serial kajian yang mengisi ‘kekosongan’ di tengah melimpahnya kajian peristiwa 1965. Tiga artikel pertama dalam Mencari Kiri seperti membagi PKI dalam tiga generasi, dimana artikel ke-empat atau terakhir, Kondisi Kehidupan Partai: Kaum Revolusioner Indonesia Mencari Identitas (1928 – 1948), menjadi semacam epilognya.

Sudah saatnya sejarah politik Indonesia yang lebih dari tiga puluh tahun termanipulasi dikaji ulang. Sejarah perjuangan-perjuangan dan pejuang-pejuang pergerakan yang telah dibenamkan mesti digali dan dibawa ke terang cahaya siang hari ini. Upaya semacam membukukan artikel-artikel Leclerc yang mencahayai bagian gelap sejarah Indonesia mesti tak berhenti pada Mencari Kiri.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar