Aku Jan Palach. Aku seorang Ceko, Aku seorang Polandia,
Lithuania, Vietnam, Afganistan, menyingkapimu. Setelah ribuan kali aku membakar
diri, mungkin kita akan menang.
(Wiktor Szostalo, 1983)
Jan Palach membakar
diri di Wenceslas
Square, lima bulan pendudukan Uni Soviet di Cekoslowakia
setelah membubarkan pemerintahan Alexander Dubček selama masa yang dikenal
sebagai Musim Semi Praha. Jaroslava Moserova, dokter spesialis bedah plastik,
yang di hari pembakaran diri Jan Palach, 16 Januari 1969, menjadi salah seorang
yang pertama merawat dan membersihkan tubuh gosong Jan Palach mengingat apa
yang dikatakan Jan Palach ketika dibawa ke ruang perawatan intensif. Jaroslava
tak mendampingi Jan Palach ketika itu, tapi seorang perawat mengatakan
mahasiswa berusia duapuluh tahun itu berulang kali mengatakan, ‘Tolong sebarkan
ke semua orang kenapa aku melakukannya, tolong sebarkan ke semua orang’.
Menurut Miroslava, Jan Palach membakar diri sendiri bukan belaka disebabkan
oleh pendudukan tentara Uni Soviet atas Cekoslowakia, lebih dipicu oleh
kehendak untuk menghentikan demoralisasi yang merundung masyarakat; masyarakat
tak hanya diam saja atas pendudukan Uni Soviet, bahkan menyerah.
Pesan yang dinyatakan Jan Palach begitu jelas. Tapi ‘revolusi beludru’,
buah dari kehendak untuk kebebasan yang tak tertahankan baru terjadi dua puluh
tahun kemudian. Kehendak untuk kebebasan menyeruak ke jalanan dan mencapai
kemenangannya pada November 1989 setelah bertahun-tahun hidup dan dipelihara di
gorong-gorong samizdat oleh
orang-orang keras kepala semacam Vaclav Havel dan generasi ‘Musim Semi Praha’ Alexander Dubček yang sudah tua.
Tidak ada yang tahu persis apa yang hendak dinyatakan Sondang Hutagalung
dengan pembakaran diri sendirinya di depan Istana Presiden 7 Desember lalu. Ia
tak meninggalkan pesan apapun dengan jelas sebelumnya. Luka bakar derajat tiga
atau 98 persen yang merenggut kesadaran selama perawatan tiga hari tak
memungkinkannya menyatakan kenapa ia membakar diri sendiri. Seorang polisi
sempat menyangkal jika aksi bakar diri Sondang sebagai pernyataan politik. Tapi
latar belakang Sondang dengan sendirinya membantah keras-keras. Ia aktivis HAM,
seorang mahasiswa yang kerap terlibat dengan kegiatan Kontras.
Sebagaimana Zdenek Adamec yang pada tahun 2003 meneladani Jan Palach.
Barangkali Sondang Hutagalung terinspirasi Mohamed Bouazizi yang menjadikan
tubuhnya sebagai obor penerang gerakan ‘musim semi’ di negara-negara Arab
seperti Tunisia, Mesir, dan Yaman. Jika Zdenek Adamec mengeluhkan Revolusi
Beludru 1989 yang menurutnya melahirkan demokrasi yang bukan demokrasi sejati
dan sekaligus mengutuk segala keserakahan global yang menimpakan kerusakan
lingkungan, kekerasan, dan ketimpangan sosial. Sondang Hutagalung, tanpa
cekaman global, mungkin menyesalkan Reformasi 1998 yang belaka melahirkan
pemimpin-pemimpin korup, kekerasan dan ketimpangan sosial yang tak kunjung
tersembuhkan.
Namun Jaroslava Moserova digusarkan oleh pembakaran diri Zdenek Adamek, 34
tahun setelah Jan Palach. Walaupun tak menyangkal motivasi idealistis di balik
pembakaran diri Zdenek Adamek, dokter spesialis bedah plastik yang menjadi
saksi peristiwa Jan Palach itu khawatir bila kenangan akan kewiraan Jan Palach
yang mashur memicu pelaku-pelaku bakar diri yang tak cukup punya alasan kuat
dan rasional untuk melakukannya. Hal yang sama, peristiwa pembakaran diri
Mohamed Bouazizi pun terbuka untuk menyulut persoalan lagak ketika penjual buah
yang penuh harga diri itu terkenal dan dielukan masyarakat luas.
Pembakaran diri politis boleh jadi laksana perang yang merupakan
pelaksanaan lebih lanjut dari upaya-upaya politik ‘normal’ yang gagal. Namun,
jika perang melibatkan banyak orang yang maju memenuhi altar pengurbanan demi
cita-cita politik idiil. Pembakaran diri sendiri adalah perang ‘soliter’.
Peristiwa itu memberikan efek kejut pada masyarakat luas sekaligus pada rezim
kekuasaan yang ditujunya. Jika pembakaran diri sendiri dilakukan pada momen
yang tepat, saat cengkaman penindasan hebat yang melemahkan misalnya, kengerian
yang diruapkan dari daging terbakar itu seibarat menantang sikap tunduk dan
takut masyarakat dengan menyingkapkan keberanian tak terkalahkan dalam diri
sang martir. Keberanian yang tumbuh dari keyakinan kuat yang melampaui tubuh
itu tak terhancur-abukan. Semirip keteguhan para martir teologis yang dijatuhi
hukum bakar dengan dalih bid’ah, Joan d’Arc dan Jan Hus misalnya, yang
keyakinannya semakin tak terkalahkan dan semakin merebak kuat ke sembarang arah
setelah tubuh-tubuh mereka mengabu di tiang pancang penghukuman. Pada sisi
lain, pembakaran diri sendiri menyelusupkan ‘rasa bersalah’ pada rezim penindas
yang pada akhirnya menghasilkan dua akibat sekaligus; bila tak melemahkan para
aparatusnya, tak pelak, bakal membuatnya lebih brutal. Pada kasus Sondang
Hutagalung, pernyataan seorang polisi yang menyangkal kaitan pembakaran diri
Sondang dengan demonstrasi (melepaskan dari kaitan politik) menjadi contoh
nyata.
9 Oktober 1983, Wiktor Szostalo mengulang kembali Jan Palach dalam
pertunjukan teater jalanan yang berjudul Performance
for Freedom di depan gedung Craft Alliance Gallery, Missouri, Amerika Serikat.
Sebagaimana Jan Palach limabelas tahun silam, pertunjukan diakhiri dengan api
yang berkobar-kobar. Tapi kali itu tak tercium aroma daging terbakar, tidak ada
tubuh yang dilalap api, hanya patung kayu dan kertas-kertas yang
mengarang-mengabu. Drama seniman pelarian itu seperti hendak melaksanakan
amanat Jan Palach saat dibawa ke ruang perawatan intensif. Performance for Freedom bukan hanya ditujukan kepada Cekoslowakia,
kampung halaman yang ditinggalkan dengan tergesa. Ia menyeru kepada penindasan
dan genosida di sepenjuru dunia. Sebuah plakat yang digantung dilehernya saat
memulai pertunjukan menyeru dengan tulisan, ‘Aku Jan Palach. Aku seorang Ceko,
Aku seorang Polandia, Lithuania, Vietnam, Afganistan, menyingkapimu. Setelah
ribuan kali aku membakar diri, mungkin kita akan menang’.
* * * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar