Bagaimana
Tuhan dipersepsikan melalui pikiran-pikiran atau imajinasi-imajinasi adalah
upaya mengurai atau menyingkap semacam kemuskilan. Upaya-upaya yang selalu
terperangkap dalam kemelimpahan semesta raya. Berdiri selalu diambang: hadirnya
ketiadaan yang dibayangkan melalui realitas-realitas keras yang hadir. Sebagaimana
Jorge Luis Borges menelusur dalam The Mirrors of Enigma. Kehadiran
Kebenaran yang tak tertampung dalam pengalaman diri itu “terasa” ada di dalam
diri sendiri. Pelukisan serba terbalik yang hendak menyatakan
keserba-sempurnaan. Lebih terang dari segala cahaya, tapi lebih tertirai
dari segala misteri, kata St. Augustine.
Sesuatu yang lebih daripada sekedar pemahaman
yang dipusakakan melalui simbol-simbol dan pengertian-pengertian baku. Tubuh –
pikiran dan setiap indera – mensyaratkan sebuah pengalaman. Bukan hal-hal di
luarnya. Bukan hal-hal yang serba telah jadi, kaku, dan menghendaki
kebertundukan tanpa syarat. Tak ada jalan lain, kecuali mengembarai ngarai tak
terperi yang mengerikan itu sendiri. Jauh masuk ke dalam diri, dalam curam
kesunyian dan menarung kehampaan yang mengamuk hati. Maka Di Mesjid
Chairil Anwar Bersimbah peluh diri yang tak bisa diperkuda. Sedang Amir
Hamzah diumbang-ambingkan keberhampiran yang mematah-arangkan nyaris. Bertukar
tangkap dengan lepas.
Janji pertemuan selalu saja berarti
penangguhan. Atau merupakan pertemuan dengan jejak-jejak, bekas kehadiran
semacam abu atau hantu. Perlambang-perlambang yang hanya mungkin di isi oleh
atau membayangkan diri sendiri. Begitulah. Segala pandang yang ditebar pada
akhirnya tertumbuk pada diri sendiri. Diri yang terpencil dengan jiwa yang
melingkup seluruh semesta. Jika kita melihat Bima Sakti, hal itu
sesungguhnya karena ada di dalam jiwa kita, kata Borges dalam kerja
penerjemahannya. Oleh karenanya
mengenali diri sendiri merupakan sebuah jalan. Namun, dengan begitu harus
mengenali semesta yang ditampung oleh jiwa. Bukan sebagai jumlah namun nilai,
menggali kebernilaian tepatnya. Suatu pernyana yang menganggap semesta raya
sebagai isyarat yang ditata secara gramatikal dan berbicara pada kita. Artinya,
jika kita berbicara dengan semesta kita bicara dengan diri sendiri, dan juga
sebaliknya.
Semesta sebagai bahasa dari
keagungan yang berbicara tak hanya terbayangkan dalam gugus-gugus bintang atau
tata planet-planet. Setiap teks juga merupakan bahasa dari keagungan. Setiap teks
merupakan teks liturgis yang menyediakan bahan-bahan pengenalan dalam suatu
pencerminan. Pencerminan dari kehadiran yang tak hadir.
Tuhan mistis tersembunyi di dalam
diri dan/atau semesta. Tuhan individu yang dikenal dengan cara mesti mengenali
diri sendiri. Memahami segenap isyaratnya sebagai semesta yang berbicara dalam
sunyi melubuk yang serba rawan. Berbicara mengenai kehendak-kehendaknya dengan
kemelimpahan suara yang memekak, simpang siur lambang dengan simpang-simpang
menyesatkan. Maka setiap Kebenaran tak pernah beranjak dari kemungkinan. Bahkan
meski Kebenaran pasti bukan dusta. Sebab Tuhan adalah Kebenaran.
Namun, pengembaraan pemikiran ini –
pengembaraan di dalam sebentuk cermin – penuh bahaya yang sanggup menghinggakan
manusia sebagai belaka penghuni kepompong. Suatu kehidupan yang penuh
pengabaian terhadap kehidupan sendiri. Kehidupan yang melaknat tubuh sebagai sarang
dosa.
Sebuah
gagasan penganiayaan tubuh dengan memadamkan segenap tanda kehidupannya ini
digugat A.A Navis dalam Robohnya Surau Kami. Melalui Ajo Sidi kehendak-kehendak
Tuhan diperdengarkan. Kehendak-kehendak yang bukan untuk Tuhan sendiri dan
bukan untuk diri sendiri. Melainkan kehendak untuk tubuh (sosial). . . .
kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua,
demikian Ajo Sidi memperdengarkan suara Tuhan dalam sebuah cerita negeri
akhirat kepada Kakek.
Jauh
sebelum A.A. Navis, abad 19 di Polandia, I.L Peretz menyerang pemahaman atas
kehendak Tuhan yang memurungkan, bahkan membusukan kehidupan dengan cerita parodi.
Bonthse Shvayg (Bonthse The Silent), memparodikan kuasa ilahiah dalam
kehidupan parokial masyarakat Yahudi yang pasif meski dalam penindasan melalui
tokoh Bontshe yang tak bicara sejak lahir hingga matinya sebab keyakinannya
atas janji kedatangan juru selamat yang dikirim Tuhan.
Namun,
melalui tubuhlah kehadiran Tuhan sering tertangkap sebagai kengerian.
Sebagaimana penyosokan Tuhan di padang Kurusetra menjelangkan perang Bharata
melalui tubuh Krisna yang membuat ngeri Arjuna. Dengan sedikit kesalahpahaman
mengenai metafor itu kemudian kita juga bisa mengenangkan Perang Salib, inkuisi
dan pembakaran di semenanjung Iberia di zaman Isabella I dari Castile,
runtuhnya menara kembar WTC, bom Bali, atau sekian ledakan yang melantakan kota-kota
di Iraq.
Bahwa
Kebenaran itu ternyata meliputi perang dan damai. Sebuah kehadiran yang tak
hanya meletakan jejaknya pada bunga teratai. Namun pun pada koyak moyak mayat.
Kehidupan dihidupkan tubuh dengan kecemasan-kecemasan dan
pelampiasan-pelampiasannya. Bersama itu Tuhan individu dibunuh.
Bersama
pecahnya kesunyian, suara-suara semesta berkeping dan mendesak ke permukaan
dunia material. Kehendak-kehendak Tuhan menjadi sebagaimana benda-benda milik.
Dikuasai, diperjualbelikan, diwariskan, dan membentuk kelompok-kelompok berketuhanan.
Tuhan pun tak lagi tunggal. Tak lagi menjadi Tuhan semesta raya.
Jika
jiwa bisa membuat diri tak kebal menghadapi janji akhirat, tubuh membuat diri
tak kebal menahan godaan duniawi. Sampai di sini kita merasakan kebimbangan di
penjelang Tuhan. Suatu kebimbangan yang mungkin saja terus menguat hingga
menyanggupkan kita membunuh diri sendiri sebagaimana Kakek dalam Robohnya
Surau Kami.
Namun,
kebimbangan ini juga yang membawa Chaim Potok menanyakan kehendak Tuhan atas
masyarakatnya (Yahudi) yang dikatakan mereka menderita karena mereka pilihan
Tuhan. Dalam kecamuk perang di Korea di akhir tahun 1950-an Chaim Potok menggugat, Apakah orang-orang Korea juga
orang-orang pilihan Tuhan, atau apakah segala penderitaan adalah tak bermakna?
Lebih jauh lagi Chaim Potok juga mempertanyakan kekakuan ajaran mengenai
kekafiran terkutuk yang selama ini digenggamnya sebagai hal yang terwariskan
turun-temurun. Setelah melihat wajah umat lain (yang dianggap kafir) sedang
beribadah dengan kesungguhan dan kepasrahan Potok menyangsikan asumsi bahwa
Judaisme sebagai satu-satunya kebenaran. Bagaimana mungkin Tuhan membenci ketulus-hatian
orang-orang yang beriman, kata Potok.
Tak
pelak, Tuhan meninggalkan jejaknya dalam spektrum suara yang melimpah. Dengan
cara seperti itu Ia terus hadir tanpa harus menanggalkan kemisteriusan. Mungkin
seperti kata Pendeta dalam Before The Law-nya Franz Kafka, Tidak
perlu menerima segala benar, namun mesti menerimanya sebagai sesuatu yang
dibutuhkan.
Wahai,
Ia yang berbicara sebagai nyala api di Gunung Sinai!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar