Oleh: Dwi Pranoto
Dengarlah
dia menyanyikan gendingnya, “Cengkir Gading” dan menggerakan kipasnya, lalu
rakyat Blambangan yang dewasa dan masih anak-anak mengalir ke suatu tempat dan
di luar kesadaran mereka riwayat yang telah lampau diproyeksikan kembali, irama
yang gembira dari tarian Ciwa di Chidambaram, tariannya si Gandri di Cungking,
pusat dari segala-galanya, yakni dalam hati manusia.
(Gandroeng
Van Banjoewangi, John Scholte, 1927)
Sejak jaman Blambangan
kuno hingga Banyuwangi modern masyarakat Using tak kehabisan gending-gending
untuk didendangkan; dari gending-gending Gandrung yang diwarisi dari Seblang ke
gending-gending Angklung Paglak yang disenandungkan di ketinggian pondok
pengusir burung di persawahan lantas turun ke Angklung Caruk yang penuh tempik
lantas ke piringan hitam sampai kaset dan vcd. Namun tentu saja gending-gending
Banyuwangian memiliki karakteristik berbeda ditiap zamannya. Gending-gending
Seblang yang berfungsi sebagai elemen ritual memiliki irama berulang yang
ritmis. Syair-syairnya dibangun dari pasemon dengan kiasan berlapis-lapis serta
menggambarkan kehidupan masyarakat, seringkali erotik, yang dinafasi oleh tanah
persawahan. Sementara Gandrung, yang sejak masa Gandrung pria telah berfungsi
sebagai hiburan atau seni tari pergaulan, menyanyikan gending-gending sembarang
– kecuali di babak awal dan akhir pagelaran – oleh karena melayani permintaan
gending-gending dari pemaju (pengibing). Karena tidak ada gending yang
diciptakan khusus untuk pagelaran Gandrung, pada dasarnya gending-gending
Gandrung tak memiliki ciri khas tertentu. Musik Angklung Banyuwangi barangkali bisa
dikatakan sebagai seni musik peralihan dari gending-gending klasik Seblang yang
ritmis,magis dan erotis ke lagu-lagu banyuwangian modern.
Musik angklung
Banyuwangi berawal dari angklung paglak yang dimainkan di ketinggian bangunan pondok
pengusir burung saat padi di persawahan mulai menguning. Angklung paglak
terdiri dari dua ancak yang masing-masing terdiri dari tiga belas potong bambu
tersusun berjajar dari nada rendah ke tinggi; satu ancak pembawa gending dan satu
ancak lainnya ngeleboni gending. Angklung
paglak juga dimainkan di tempat terbuka, seperti halaman rumah, pada tanggal
14, 15, 16, di tiap bulan pada penanggalan lunar atau pada saat bulan purnama. Gending-gending
yang dimainkan dengan angklung paglak adalah gending-gending Gandrung.
Pada perkembangan
berikutnya, karena pengaruh Bali, perangkat angklung paglak mengalami
penambahan instrumen yakni, slenthem, saron, peking, kendang dan gong yang
semua terbuat dari besi. Angklung paglak yang mengalami penambahan sejumlah instrumen
ini kemudian disebut tabuhan bali-balian.
Angklung kemudian tak hanya dimainkan di atas pondok pengusir burung atau pada
saat bulan purnama, tapi juga dimainkan untuk hiburan pada saat hajatan,
sunatan atau perkawinan. Pada saat hajatan
biasanya ditanggap dua kelompok angklung dimana dua kelompok angklung
tersebut saling beradu ketangkasan, kecermatan, dan kejelian dalam menebak
lagu. Permainan saling menebak gending dalam partunjukan angklung ini disebut angklung caruk. Di masa pertunjukan
angklung, terutama setelah jaman Jepang, banyak digubah gending-gending baru
yang diciptakan oleh Mohamad Arief, Endro Wilis dan Mahfud. Mulailah babak baru
musik “modern” Banyuwangi, pertanda paling kentaranya adalah gending-gending
tak lagi diciptakan secara anonim seperti di masa Seblang tapi lagu-lagu telah
dikenali siapa penciptanya. Lagu-lagu angklung tak lagi bersifat lisan namun
dituliskan dengan syair dan notasi lagu; Mohamad Arief menuliskan dengan notasi
ji, ro, lu, pat, mo, nem, sedang Mahfud dianggap paling mula menggunakan notasi
pentatonis.
Mohamad
Arief & Endro Wilis Sang Perintis
Telah sejak masa
penjajahan Belanda M. Arief memiliki perangkat angklung dan sekaligus menjadi
pemimpin kelompok angklung. Pada masa itu kelompok angklungnya selain main di panggung-panggung
hajatan juga sering diundang main di serambi depan gedung bioskop. Kelompok
angklung M. Arief menjadi penanda jika bioskop sedang memutar film Jawa (istilah untuk film yang
menceritakan kisah Indonesia dan diperankan oleh orang Indonesia di masa itu). Namun,
bersama dengan kedatangan balatentara Jepang di tahun 1942 yang bersama itu
pula Jepang menguasai dan mengendalikan sarana-sarana umum maka kelompok
angklung M. Arief mulai sepi undangan. Akan tetapi, di masa sepi tanggapan
itulah M. Arief mempunyai lebih banyak waktu luang untuk sendiri dan mengarang
lagu-lagu.
Lagu-lagu yang dikarang
oleh M. Arief untuk dimainkan kelompok angklungnya berbeda dengan
gending-gending Gandrung dan Seblang. Walaupun pada bentuk dasarnya syair-syair
lagu karangan M. Arief masih mempunyai pertalian dengan gending-gending
Gandrung dan Seblang, yakni berbentuk pengulangan seperti wangsalan (istilah
Banyuwangi untuk pantun), namun syair lagu-lagu M. Arief telah meninggalkan gaya
pasemon dengan kiasan yang berlapis-lapis. Syair lagu-lagu karangan M. Arief
lebih sering lugas, jenaka dan kadangkala ironis dengan irama lagu yang girang seperti
irama gending-gending dolanan. Gaya khas M. Arief ini bisa disimak dalam
lagu-lagu karangannya seperti Genjer-genjer,
Don-adone Sumping, Sekolah, atau Lurkung. Tema syair lagu-lagu M. Arief mengungkap kehidupan masyarakat
jelata, kesulitan dan kepahitan hidup yang dialami akibat relasi produksi yang
timpang atau praktik penghisapan penguasa tanpa jatuh pada keputusasaan.
Seringkali kritik dilancarkan dengan cara jenaka, seperti pengungkapan
kesulitan pangan di jaman pendudukan Jepang dalam lagu Lurkung yang tajam kritiknya bisa disebandingkan dengan kidungan
Cak Durasim walaupun disampaikan dengan jenaka. Simaklah dua baris syair lagu Lurkung berikut:
Kung golet lurkung / Kung cari lurkung
Jaman
Jepang boyok melengkung / Jaman Jepang punggung melengkung
Sebagaimana M. Arief,
lagu-lagu Endro Wilis juga mengungkapkan kepahitan hidup rakyat jelata akibat
ketakadilan dalam relasi produksi. Namun kritik dalam syair lagu-lagu Endro
Wilis dilancarkan dengan lebih tandas dan meradang, seringkali diekspresikan dengan
irama mars yang menggebu seperti dalam lagu Podho
Nginang dan Nelayan. Namun
sesudah tahun 1965, setelah peristiwa politik yang merenggut banyak hal dari
kehidupan pribadi dan sosialnya, syair lagu-lagu Endro Wilis menjadi lebih
biografis-kontemplatif, sarat dengan pertimbangan-pertimbangan filosofis dalam
bahasa kias yang agak pekat seperti dalam lagu Dhonge Mekar dan Jaran Ucul.
Namun, jika M. Arief tak punya kesempatan untuk mengungkapakan kesaksiannya dalam
lagu mengenai kemelut politik ’65 karena ia sendiri menjadi salah satu korban
hilang. Endro Wilis yang pada saat kemelut ’65 berada di Kalimantan dalam tugas
ketentaraan saat konfrontasi Indonesia-Malaysia sempat menumpahkan kegirisannya
dari kejauhan dalam lagu Mbok Irat .
Situasi teror yang dipenuhi dengan peristiwa penculikan dan pembunuhan itu ia
ungkapkan dengan dua kata: dinone gemigil (hari yang menggigil).
Setelah
Kemelut ’65
Banyuwangi mengalami
masa “sunyi” pada tahun 1966 sampai 1970-an. Seniman-seniman dan
kelompok-kelompok kesenian yang pada masa jaya “ideologi” banyak bergabung
dalam lembaga-lembaga kebudayaan milik partai politik, terutama Lekra, menanggung
dampak berat dari kemelut politik ’65 yang bahkan banyak diantara mereka yang
tak memahaminya. Anggota masyarakatpun mengunci mulutnya, menahan dorongan
gairah bernyanyi dalam tubuh yang diwarisi dari kakek buyut semenjak masa
Blambangan kuno.
Baru pada tahun 1980-an
muncul pencipta lagu-lagu seperti Hawadin, Sutrisno dan Andi Suroso dari
Banyuwangi Selatan, Genteng. Namun tema-tema lagu-lagunya telah bergeser jauh
dari angkatan pengarang lagu sebelumnya. Dengan irama yang lebih dekat dengan
musik pop-dangdut dan pop-mandarin, para pencipta lagu dari Genteng lebih
banyak menyuguhkan tema-tema asmara antara pria dan wanita, terutama remaja. Pada
masa inilah dikenal istilah kendang
kempul. Jenis kendang kempul sarat dengan syair yang cenderung hendak
memikat khalayak dengan bahasa yang gampang dan bahkan terkadang vulgar ini
menandai suatu kemunculan industri rekaman lokal pada masa itu. Salah satu lagu
populer pada tahun 80-an adalah Rehana.
Lagu-lagu yang diciptakan pada tahun 80-an ini juga seringkali menjadi corong
kampanye pembangunan pemerintah.
Tema-tema asmara remaja
yang mendominasi lagu-lagu ciptaan para pengarang lagu dari Genteng ini
berlanjut dalam lagu-lagu ciptaan Catur Arum, Yons D.D dan Adistya Mayasari
yang merupakan angkatan penggubah lagu banyuwangian masa kini, angkatan 2000.
Namun, irama lagu-lagu masa kini lebih menyerap pengaruh irama yang beragam;
dari langgam Jawa, bossas, blues sampai dangdut koplo. Hal yang patut dicatat
pada angkatan terbaru ini adalah tumbuhnya “kesadaran” akan nilai komoditas
dalam lagu-lagu yang mereka ciptakan. Oleh karenanya mereka lebih rapi dalam
urusan manajerial dari angkatan pendahulunya. Bahkan diantara para pencipta
lagu, seperti Adistya Mayasari, memilih memproduseri sendiri produksi rekaman
lagu-lagu ciptaannya. Angkatan terbaru ini juga dikenal dengan jenis musik
patrol orchestra. Pelopornya grup Patrol
Orkestra Banyuwangi yang digawangi oleh Catur Arum dan Yons D.D dengan lagu
hitsnya Layangan dan Semebyar.
Hari ini produksi
rekaman lagu-lagu Banyuwangian dengan berbagai format rekam mengalami kemajuan
kuantitatif yang luar biasa. Distribusi produksi rekaman dan popularitas
lagu-lagu Banyuwangian makin luas hingga ke luar dari wilayah Banyuwangi.
Bahkan Namun persoalan sama yang tetap
merundung para penggubah lagu Banyuwangian dari semua angakatan adalah sebagian
besar dari karya kreatif mereka tak mendapatkan perlindungan hukum yang layak.
Sebagian besar dari mereka pun sering tidak mendapatkan apa-apa dari berbagai
kegiatan ekonomis yang melibatkan lagu-lagu mereka.
*
* * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar