Dalam
suatu kajian mengenai Using/Osing sebagai identitas etnolinguistik Bernard Arps
(Osing
Kids and the banners of Blambangan: Ethnolinguistic Identity and the Regional
Past as Ambient Themes in an East Javanese Town, 2009) memberikan kesaksian bahwa pada
tahun 1983 ketika ia mulai melakukan riset mengenai bahasa dan pertunjukan di
Banyuwangi, penutur bahasa lokal lazim menyebut diri mereka dan tuturan mereka
sebagai Jawa. Dua setengah dekade kemudian Using dan Banyuwangi menggantikan
Jawa sebagai kategori dominan untuk menunjuk pada budaya dan bahasa lokal.
Using seolah memerankan fungsi sebagai jembatan imajiner yang menghubungkan
Banyuwangi hari ini dengan kerajaan Blambangan yang dianggap sebagai sumber atau
inspirasi bentuk-bentuk budaya lokal ‘asli’. Sebagai identitas Using
memposisikan diri secara kontras dengan budaya-budaya Nusantara lain, terutama
Jawa.
Pembentukan identitas Using menurut Bern
Arps disemai dan dipupuk melalui apa yang ia sebut sebagai discursive ambience. Identitas Using ditanamkan melalui
‘penciptaan’ suasana, penyebaran ambient
themes yang melingkupi dan bersirkulasi antar/dalam wilayah dan diantara
masyarakat. Apa yang menjadi penting dalam pembentukan identitas dengan cara
seperti ini adalah media yang berperan untuk mengantarai dan mengantarkan
gagasan identitas lokal sebagai identifikasi diri publik secara terus menerus. Penulisan
lagu-lagu daerah dan program radio yang khusus memutar lagu-lagu daerah
Banyuwangi dengan memberikan ruang berbalas pesan bagi para pendengarnya
ditandai khusus oleh Bern Arp sebagai media yang efektif menciptakan suasana
atau atmosfir using di ruang publik. Disamping kebijakan mengubah nama bangunan
dan pendirian patung-patung juga masakan dengan tema-tema kedaerahan. Pendeknya
penanaman identitas Using atau penciptaan atmosfir dengan tema-tema kedaerahan
berlangsung secara simultan melalui paparan audio, visual, audiovisual, dan
pengecapan.
Penelitian Bernard Arps menghasilkan
paparan deskriptif mengenai bagaimana identitas Using dibentuk dan memberikan
penerangan bahwa identitas Using sesungguhnya tidak berhubungan langsung dengan
kejayaan Blambangan masa lalu. Namun, Arps sepertinya mengesampingkan
keberatan-keberatan sejumlah kalangan terhadap penggunaan istilah Using sebagai
label atau identitas kultural masyarakat Banyuwangi. Peneliti sejarah
Blambangan, Sri Margana, dalam suatu kesempatan mengatakan bahwa sebagian
golongan tua masyarakat Banyuwangi menolak identitas Using, sebab menurut
mereka istilah Using merendahkan orang Banyuwangi. Senada dengan apa yang
katakana Sri Margana, Endro Wilis dalam artikel dengan judul yang menghardrik, Istilah ‘Using’ Adalah Racun yang
Melumpuhkan Jiwa (2010), menegaskan label Using yang dilekatkan pada
masyarakat Banyuwangi merupakan bagian dari upaya penjajah Belanda untuk
melumpuhkan semangat perlawanan masyarakat dengan menanamkan perasaan minder,
atau rendah diri. Sangat pasti mereka yang merasa keberatan dengan penggunaan
istilah Using sebagai identitas kedaerahan adalah kelompok yang ‘terbungkam’,
kelompok yang tidak leluasa mengakses media atau suara-suara mereka tenggelam
oleh gemuruh ‘kampanye Usingisasi’ yang mendominasi.
Paradoks Using sebagai
Identitas Lokal
Menurut
Amartya Sen (2007) identitas bukan saja bisa menjadi sumber lahirnya kebanggaan
dan kebahagiaan, tapi juga sumber tumbuhnya kekuatan dan kepercayaan diri. Dengan
mengikuti Robert Putnam, Amartya Sen juga menulis bahwa rasa akan identitas
bisa memberi sumbangan berarti bagi kekuatan dan kehangatan hubungan kita
dengan pihak lain, seperti tetangga, anggota suatu komunitas yang sama.
Kesamaan identitas sosial dalam suatu komunitas sosial dapat membuat kehidupan
di komunitas tersebut berjalan jauh lebih baik. Rasa keterikatan terhadap
komunitas itu kemudian dipandang sebagai suatu sumber daya-laiknya modal
(sosial).
Kebanggaan terhadap identitas Using
dibangun melalui nilai-nilai heroik yang digali dari episode-episode sejarah
perlawanan masa lalu. Melalui beberapa syair lagu-lagu daerah Using dihubungkan
langsung dengan kejayaan Blambangan dan perlawanan-perlawanan menentang
dominasi asing atau penjajahan. Lagu Isun
Lare Using misalnya, lare atau masyarakat Using dilukiskan pantang menyerah
dan tak terhancurkan, meski harus menanggung sekian peperangan berdarah-darah
dan penindasan yang melumpuhkan namun masih tetap melawan dan merebut
kemerdekaan. Agak berbeda dengan Isun
Lare Using, Umbul-umbul Blambangan
meneguhkan kebanggaan identitas Using tidak secara langsung namun melalui
anasir simboliknya yang dilambangkan dengan legenda Minak Jinggo yang menentang
dominasi Kedaton Barat.
Peneguhan kebanggaan akan identitas
Using melalui anasir simbolik juga terbaca dari perubahan sejumlah nama jalan
dari nama-nama ‘asing’ menjadi nama-nama lokal. Begitu juga dengan pendirian
patung-patung yang memonumenkan sejumlah pertunjukan kesenian daerah atau
bintang-binatang mistis lokal. Sementara itu, salah satu lagu yang syairnya
meletakan identitas Using sebagai modal sosial adalah Kali Elo (sungai yang mengalir membelah kota Banyuwangi) yang
mengibaratkan masyarakat Using sebagai aliran sungai yang terus mengalir tak
terbendung batu padas. Kita juga bisa membaca identitas Using sebagai modal
sosial pada sejumlah spanduk ajakan atau himbauan untuk menjaga kebersihan
misalnya, yang ditulis dalam bahasa Using.
Namun tak seperti dicitrakan, setidaknya,
selama dua dasawarsa. Tidak ada sumber kuno, semasa dengan kerajaan Blambangan,
yang menyebut masyarakat Blambangan (Banyuwangi saat ini) sebagai masyarakat
Using. Tidak diketahui dengan pasti kapan sesungguhnya dan dalam konteks apa
istilah Using yang dikaitkan dengan masyarakat Banyuwangi pertamakali
digunakan. Para ahli hanya berspekulasi baru pada abad 20 istilah Using
digunakan untuk menyebut masyarakat. Walaupun sejumlah literatur lama telah dibuka dan dikaji, selama
bertahun-tahun istilah Using ada tanpa penjelasan yang memadai untuk menjawab
pertanyaan kenapa masyarakat Banyuwangi disebut wong Using, sampai Sri Margana
dalam makalah untuk Konferensi Nasional Sejarah IX (2011) menyingkapkan kabut
penyebutan Using yang ditujukan pada
orang Banyuwangi. Mengutip laporan anthropolog Belanda tahun 1930-an yang
menyebut dirinyanya ‘insider’ dan dilengkapi dengan data-data historis, Sri
Margana berkesimpulan istilah Using digunakan oleh orang Bali untuk merendahkan
orang Blambangan[1].
Bahwa istilah Using tersebut sama artinya dengan out of caste, tidak termasuk dalam kasta yang paling rendah
sekalipun dalam struktur sosial masyarakat Bali, alias bukan manusia.
Dengan
demikian, Using sebagai identitas lokal memiliki dua lapis sedimen yang saling
bertolak belakang. Lapisan permukaannya merupakan hasil konstruksi kultural
kontemporer dimana hubungan dengan masa lalu, Blambangan, terselenggara secara
ilusif dengan tujuan untuk membangkitkan kabanggaan lokal. Sementara lapisan
yang ada di bawah permukaan mengonfirmasi hal sebaliknya, yakni Using merupakan
istilah yang merendahkan.
Usingisasi sebagai
Operasi Ideologis
Pertanyaan berikutnya yang diajukan
berkenaan dengan identitas Using adalah mengapa masyarakat Banyuwangi menerima
menjadi wong Using? Atau mengapa masyarakat Banyuwangi menerima konstruksi
ilusif yang mendasari nilai kebanggaan diri sebagai wong Using yang dibangun di
atas stigmatisasi perendahan diri? Mungkin jawaban mudah untuk menanggapi
pertanyaan tersebut adalah, mengikuti Margana[2], karena ‘sebagian
besar masyarakat Banyuwangi kontemporer tidak memahami konteks historis dan
anthropologis istilah ini (Using, pen.).
. .’ Walaupun jawaban tersebut kita
anggap benar persoalan ini tidak berhenti sampai di sini. Kita akan maju dengan
mengajukan pertanyaan berikutnya yakni, bagaimana dan apa yang menghalangi atau
memblok ingatan kolektif satu generasi sebelumnya untuk diwariskan ke generasi
berikutnya? Pertanyaan ini diajukan
karena kendati mungkin tanpa landasan konteks historis dan anthropologis,
seperti juga diakui Margana, sebagian orang-orang tua Banyuwangi menolak untuk
disebut wong Using karena dianggap merendahkan.
Tidaklah mungkin identitas Using yang
berbasis pada konstruksi sejarah yang bersifat ilusif itu ada begitu saja,
bersifat spontan. Walaupun kemudian identitas Using direproduksi secara otomatis
melalui modus life style, gaya hidup,
pada mulanya identitas Using memerlukan kekuasaan untuk mengarahkan orang-orang
kepadanya. Menurut Louis Althusser (2007) ada dua cara kekuasaan untuk
menguasai atau menundukkan (subyeksi), baik individu maupun komunitas sosial,
guna melanggengkan reproduksi relasi-relasi produksi, yakni melalui aparat-aparat
represif dan aparat-aparat ideologis. Aparat-aparat represif atau aparatus
represif menjalankan fungsinya dengan kekerasan, sedangkan aparatus ideologis
menjalankan fungsinya dengan ideologi.Walaupun keduanya tak boleh dirancukan,
namun tidak ada aparatus represif yang senuhnya bersifat represif tanpa fungsi
sekunder ideologis. Begitu juga dengan aparatus ideologis tidak sepenuhnya
bersifat ideologis tanpa fungsi sekunder represif.
Aparatus represif yang hadir sebagai
totalitas terorganisir yang memusatkan bagian-bagiannya dalam suatu kesatuan
tugas berperan melestarikan secara paksa kondisi-kondisi politik yang
dibutuhkan bagi reproduksi relasi-relasi produksi dan juga menyiapkan kondisi-kondisi
politik bagi operasi aparatus ideologis. Aparatus ideologis hadir dan
beroperasi secara diam-diam dan menyebar dalam beragam lembaga-lembaga ‘privat’
semisal keluarga, budaya, pendidikan, dan agama. Operasi ideologis membentuk
dan menanamkan persepsi ilusif mengenai suatu dunia pada diri individu atau
komunitas sosial melalui gambaran imjiner yang didalamnya relasi antar subyek
dibentuk dan dialami sebagai eksistensi nyata yang dianggap bersifat alamiah.
Modus operasi ideologis ini bisa bersifat koersif berupa tindakan-tindakan
pendisiplinan yang termanifestasi, semisal, dalam tata cara ritual maupun
metode-metode penghukuman. Bisa juga melalui modus interplasi atau pemanggilan
dimana ideologi merekrut subyek-subyek sebagai suatu kategori-kategori yang
ditentukan secara ideologis.
Dengan demikian, bagi Althusser, baik
aparatus ideologis maupun aparatus represif merupakan instrumen penting bagi
suatu kekuasaan borjuis (negara) untuk melestarikan dirinya sendiri melalui
reproduksi relasi-relasi produksi, yang pada prinsipnya merupakan
hubungan-hubungan penghisapan. Sebagai pengikut Marx, Althusser menerapkan dan
mengembangkan lebih jauh dalil hubungan hirarkis antara suprastruktur dan
struktur dimana semua tatanan masyarakat sosial berdiri di atas landasan atau
struktur dasar yang bersifat material, di atas hubungan-hubungan sosial yang
terbentuk melalui relasi-relasi produksi.
Seperti telah dinyatakan sebelumnya, Usingisasi
atau pembentukan identitas Using tidaklah terjadi secara spontan atau alamiah
tanpa campur tangan kekuasaan. Usingisasi merupakan operasi ideologis untuk
menghasilkan identitas Using. Kapan identitas Using mulai ditanamkan? Saya
menduga pada masa yang disebut oleh Bernard Arps sebagai kebangkitan genre
musik Banyuwangi tanpa Genjer-genjer
dan dalam konteks politik yang berbeda secara radikal. Yakni tahun 1970-an ketika Bupati pertama era Orde
Baru berkuasa. Istilah Using pada masa itu tentu saja tidak serta merta muncul
menguat. Namun kualitas-kualitas keusingan yang kelak akan menjadi penanda
identitas Using mulai diletakkan. Modus operasi ideologis yang terutama
dilakukan pada saat itu adalah pelarangan dan penyensoran.
Jatuhnya Orde Lama, dengan demikian
berkuasanya Orde Baru, diikuti dengan dilikuidasinya faham seni realisme
sosialis. Terjadi depolitisasi seni secara masif, baik menggiring seni ke
wilayah otonomnya sendiri maupun memperlakukan seni sebagai hiburan belaka dan
komoditas. Disamping itu produk seni diarahkan sebagai instrumen penanaman
nilai-nilai Orde Baru yang bersumber pada pembangunanisme dan stabilisasi
keamanan.
Dalam
konteks Banyuwangi, pemberangusan haluan seni realisme sosialis dilakukan
melalui tindakan-tindakan pelarangan menyanyikan dan mendengarkan lagu-lagu
yang dikarang oleh para seniman-seniman Lekra atau yang dianggap komunis. Lagu-lagu
seperti Genjer-Genjer, Nandur Jagung yang dikarang oleh Mohamad
Arief maupun Podo Nginang, Nelayan karangan Endro Wilis dengan
begitu saja lenyap. Pemberangusan ini lantas diikuti dengan tindakan kontrol
melalui penyensoran. Kasus nyata tindakan kontrol ini adalah peniadaan nama
Endro Wilis pada lagu-lagu karangannya yang dipublikasikan pada masa itu (karena
Endro Wilis dianggap komunis) dan perubahan judul lagu Selendang Abang menjadi Selendang
Sutro (Abang/Merah berkonotasi komunis).
Depolitisasi produksi lagu-lagu
Banyuwangi dimulai setelah Banyuwangi melewati masa ‘tanpa lagu’ selama sekira
lima tahunan. Tindakan depolitisasi ini dilakukan dengan menggali nilai-nilai
patriotik dalam sejarah Banyuwangi silam (Blambangan) yang direpresentasikan
baik melalui tokoh-tokoh maupun episode-episode perlawanan. Patriotisme pada
masa awal Orde Baru ini berbeda dengan romantisme heroik pada produk-produk
lagu periode sebelumnya. Patriotisme ala Orde Baru diciptakan untuk mengobarkan
semangat rela berkorban atau cinta tanah air. Apa yang dimaksud tanah air
adalah pemerintah. Sebagaimana semangat rela berkorban juga ditujukan pada
pemerintah. Sedangkan yang dilucuti dalam heroisme romantik oleh patriotisme
ala Orde Baru adalah keberpihakan pada yang tertindas dan pembongkaran praktik
penghisapan.
Depolitisasi berikutnya adalah
menggiring lagu-lagu Banyuwangi belaka sebagai barang komoditi dan hiburan.
Varian depolitisasi jenis ini mendapatkan momentumnya pada tahun 80-an ketika
industri rekaman lagu-lagu Banyuwangi mulai marak. Produksi lagu-lagu
Banyuwangi pada tahun ini, secara populer disebut kendang kempul, yang
berlandas pada permintaan pasar atau berpretensi melayani pasar mulai beranjak
meninggalkan irama dan instrumen angklung dan mengadopsi irama dangdut. Tema
dalam syair-syairnya didominasi hubungan cinta remaja, sebagaimana dalam
syair-syair dangdut, tersusun dengan kalimat-kalimat yang jelas dan bersifat
menggoda bahkan sampai seronok. Pada masa ini, identitas Using mulai terbentuk
secara berangsur-angsur bersamaan dengan tumbuhnya life style Lare Osing.
Identitas Using menyebar secara luas dan
masif pada saat gerakan reformasi 98 yang berhasil menumbangkan Orde baru
membuahkan desentralisasi kekuasaan politik. Sistem otonomi daerah yang
diberlakukan pasca Orde Baru membuka praktik politik identitas yang pada
dasarnya adalah kulturalisasi politik yang membasis pada eksploitasi dan
manipulasi nilai-nilai etnisitas demi tujuan-tujuan politik, terutama
elektoral. Disamping penggalian kembali sejarah masa lalu Banyuwangi
(Blambangan) guna menumbuhkan sensasi nilai ‘asli’, operasi ideologis
menegakkan identitas Using (Usingisasi) berlangsung secara sistematis melalui
pengajaran Bahasa Using di sekolah-sekolah, penerbitan kamus Bahasa Using,
hingga modus interplasi atau
pemanggilan dalam ruang-ruang publik yang dilakukan melalui spanduk-spanduk
himbauan berbahasa Using.
Penanaman identitas Using dalam
masyarakat Banyuwangi berlangsung secara bertahap yang dimulai dengan
pelarangan dan penyensoran, depolitisasi, interplasi atau pemanggilan.
Pelarangan dan penyensoran dilaksanakan oleh agen represif dan agen ideologis
negara, depolitisasi dilaksanakan oleh pasar (agen ideologis), pemanggilan
dilaksanakan oleh negara (pemerintah) dan pasar. Namun demikian, tahap-tahap
penanaman ini sesungguhnya tidak dapat dibayangkan terpisah-pisah secara tegas,
sebab dalam pelarangan dan penyensoran juga terkandung depolitisasi dan
pemanggilan sebagai modus sekunder. Begitu juga dengan dua tahap
berikutnya.
Terjawab sudah pertanyaan mendasar yang
diajukan pada paragraf awal bagian ini;
Bagaimana dan apa yang menghalangi atau memblok ingatan kolektif (mengenai nilai istilah Using) satu generasi
sebelumnya untuk diwariskan ke generasi berikutnya? Penghalangnya adalah
tumbuhnya persepsi baru mengenai nilai istilah Using dalam masyarakat sosial
melalui operasi ideologis yang diselenggarakan secara berangsur-angsur dan
melalui beberapa tahap.
Bacaan:
-
Amartya Sen, “Kekerasan dan Ilusi
Tentang Identitas” (terjemahan) , Serpong: Marjin Kiri, 2011
-
Bernard Arps, “Osing Kids and the
Banners of Blambangan: Ethnolinguistic Identity and the Regional Past as
Ambient Themes in an East Javanese Town”, dalam Wacana, Vol. 11 No.1 (April 2009).
-
Endro Wilis, “Istilah “Using” adalah
Racun yang Melumpuhkan Jiwa, dalam Lembaran
Kebudayaan No. 10, Maret 2010
-
Louis Althusser, “Filsafat sebagai
Senjata Revolusi” (terjemahan), Yogyakarta: Resist Book, Februari 2007
-
Sri Margana, “Melukis Tiga Roh:
Stigmatisasi dan Kebangkitan Historiografi Lokal di Banyuwangi”, makalah
Konferensi Nasional Sejarah IX, Jakarta, 5 – 7 Juli 2011
[1]
Berikut adalah nukilan kutipan Sri Margana dari anthropolog Belanda yang
disebut ‘insider’ yang termuat dalam makalah untuk Konferensi Nasional Sejarah
IX (2011) dengan judul Melukis Tiga Roh:
Stigmatisasi dan Kebangkitan Historigrafi Lokal di Banyuwangi: ‘Nama
“oesing” yang biasa digunakan untuk menyebut orang Blambangan di ujung timur
(Jawa) dan yang diambil dari istilah Bali “sing” atau “bukan”, dipandang kurang
atau lebih ejekan. “Wong Oesing” berarti “bukan manusia”, dan bagi kesadaran
diri seseorang ini tentu saja “di bawah segala sesuatu’.
[2]
Sri Margana, Melukis Tiga Roh:
Stigmatisasi dan Kebangkitan Historiografi Lokal di Banyuwangi, makalah
untuk Konferensi Nasional Sejarah IX (2011)
Bagus banget.....mungkin bahasa lugasnya seperti yang dikatakan Bernard Arps/ Endro Wilis......bantu doang untuk kirim tulisan DR. Sri Margana , Melukis Tiga wajah, Bernard Arps dan Endro Wilis .Hehehe
BalasHapusSaya ada tulisan Bern Arp dan Sri margana yang dimaksud, saya kirim ke mana? untuk tulisan almarhum Endro Wilis saya tidak punya e-filenya.
Hapusterima kasih sekali ...saya tunggu di sumono_ah@yahoo.co.id
BalasHapussaya lahir di bwi thn 1959 sedari kecil bahasa osing ude ada juga kbudayaannya semacam aljin gandrung damar wulan dan memang ada desa desa yg berbahasa jawa sebab mnurut sejarah juga mereka dibawa belanda dari kabupaten lain ,katone mulo njalok disontog kang nulis iki hahahh
BalasHapusLokalitas (bukan lokalisasi) spt Desa, kampung dst menjadi identitas yg merendahkan di masa lalu. Tapi sejalan dg semakin kuatnya globalisasi nilai2 lokal justru semakin kuat dan dihargai sbg nilai2 yg patut ditiru (lokal wisdom). Saya apresiasi tulisan yg menurut saya bagus dan menantang sbg diskursus bagi kita semua terutama masyarakat bwi global spt saya yang sudah bisa menerima dialog2 terbuka spt ini. Kami tunggu tulisan2 lanjutnya. Ojo nyonthog isun yaaak...selamat terus berkarya dan salam hangat dari kami. pujiwahono@yahoo.com/@gmail.com
BalasHapus