Laman

Selasa, 06 November 2012

Identitas Using: Paradoks dan Operasi Ideologis



Dalam suatu kajian mengenai Using/Osing sebagai identitas etnolinguistik Bernard Arps (Osing Kids and the banners of Blambangan: Ethnolinguistic Identity and the Regional Past as Ambient Themes in an East Javanese Town, 2009) memberikan kesaksian bahwa pada tahun 1983 ketika ia mulai melakukan riset mengenai bahasa dan pertunjukan di Banyuwangi, penutur bahasa lokal lazim menyebut diri mereka dan tuturan mereka sebagai Jawa. Dua setengah dekade kemudian Using dan Banyuwangi menggantikan Jawa sebagai kategori dominan untuk menunjuk pada budaya dan bahasa lokal. Using seolah memerankan fungsi sebagai jembatan imajiner yang menghubungkan Banyuwangi hari ini dengan kerajaan Blambangan yang dianggap sebagai sumber atau inspirasi bentuk-bentuk budaya lokal ‘asli’. Sebagai identitas Using memposisikan diri secara kontras dengan budaya-budaya Nusantara lain, terutama Jawa.

Pembentukan identitas Using menurut Bern Arps disemai dan dipupuk melalui apa yang ia sebut sebagai discursive ambience. Identitas Using ditanamkan melalui ‘penciptaan’ suasana, penyebaran ambient themes yang melingkupi dan bersirkulasi antar/dalam wilayah dan diantara masyarakat. Apa yang menjadi penting dalam pembentukan identitas dengan cara seperti ini adalah media yang berperan untuk mengantarai dan mengantarkan gagasan identitas lokal sebagai identifikasi diri publik secara terus menerus. Penulisan lagu-lagu daerah dan program radio yang khusus memutar lagu-lagu daerah Banyuwangi dengan memberikan ruang berbalas pesan bagi para pendengarnya ditandai khusus oleh Bern Arp sebagai media yang efektif menciptakan suasana atau atmosfir using di ruang publik. Disamping kebijakan mengubah nama bangunan dan pendirian patung-patung juga masakan dengan tema-tema kedaerahan. Pendeknya penanaman identitas Using atau penciptaan atmosfir dengan tema-tema kedaerahan berlangsung secara simultan melalui paparan audio, visual, audiovisual, dan pengecapan.    

Penelitian Bernard Arps menghasilkan paparan deskriptif mengenai bagaimana identitas Using dibentuk dan memberikan penerangan bahwa identitas Using sesungguhnya tidak berhubungan langsung dengan kejayaan Blambangan masa lalu. Namun, Arps sepertinya mengesampingkan keberatan-keberatan sejumlah kalangan terhadap penggunaan istilah Using sebagai label atau identitas kultural masyarakat Banyuwangi. Peneliti sejarah Blambangan, Sri Margana, dalam suatu kesempatan mengatakan bahwa sebagian golongan tua masyarakat Banyuwangi menolak identitas Using, sebab menurut mereka istilah Using merendahkan orang Banyuwangi. Senada dengan apa yang katakana Sri Margana, Endro Wilis dalam artikel dengan judul yang menghardrik, Istilah ‘Using’ Adalah Racun yang Melumpuhkan Jiwa (2010), menegaskan label Using yang dilekatkan pada masyarakat Banyuwangi merupakan bagian dari upaya penjajah Belanda untuk melumpuhkan semangat perlawanan masyarakat dengan menanamkan perasaan minder, atau rendah diri. Sangat pasti mereka yang merasa keberatan dengan penggunaan istilah Using sebagai identitas kedaerahan adalah kelompok yang ‘terbungkam’, kelompok yang tidak leluasa mengakses media atau suara-suara mereka tenggelam oleh gemuruh ‘kampanye Usingisasi’ yang mendominasi.


Paradoks Using sebagai Identitas Lokal     

Menurut Amartya Sen (2007) identitas bukan saja bisa menjadi sumber lahirnya kebanggaan dan kebahagiaan, tapi juga sumber tumbuhnya kekuatan dan kepercayaan diri. Dengan mengikuti Robert Putnam, Amartya Sen juga menulis bahwa rasa akan identitas bisa memberi sumbangan berarti bagi kekuatan dan kehangatan hubungan kita dengan pihak lain, seperti tetangga, anggota suatu komunitas yang sama. Kesamaan identitas sosial dalam suatu komunitas sosial dapat membuat kehidupan di komunitas tersebut berjalan jauh lebih baik. Rasa keterikatan terhadap komunitas itu kemudian dipandang sebagai suatu sumber daya-laiknya modal (sosial).

Kebanggaan terhadap identitas Using dibangun melalui nilai-nilai heroik yang digali dari episode-episode sejarah perlawanan masa lalu. Melalui beberapa syair lagu-lagu daerah Using dihubungkan langsung dengan kejayaan Blambangan dan perlawanan-perlawanan menentang dominasi asing atau penjajahan. Lagu Isun Lare Using misalnya, lare atau masyarakat Using dilukiskan pantang menyerah dan tak terhancurkan, meski harus menanggung sekian peperangan berdarah-darah dan penindasan yang melumpuhkan namun masih tetap melawan dan merebut kemerdekaan. Agak berbeda dengan Isun Lare Using, Umbul-umbul Blambangan meneguhkan kebanggaan identitas Using tidak secara langsung namun melalui anasir simboliknya yang dilambangkan dengan legenda Minak Jinggo yang menentang dominasi Kedaton Barat.

Peneguhan kebanggaan akan identitas Using melalui anasir simbolik juga terbaca dari perubahan sejumlah nama jalan dari nama-nama ‘asing’ menjadi nama-nama lokal. Begitu juga dengan pendirian patung-patung yang memonumenkan sejumlah pertunjukan kesenian daerah atau bintang-binatang mistis lokal. Sementara itu, salah satu lagu yang syairnya meletakan identitas Using sebagai modal sosial adalah Kali Elo (sungai yang mengalir membelah kota Banyuwangi) yang mengibaratkan masyarakat Using sebagai aliran sungai yang terus mengalir tak terbendung batu padas. Kita juga bisa membaca identitas Using sebagai modal sosial pada sejumlah spanduk ajakan atau himbauan untuk menjaga kebersihan misalnya, yang ditulis dalam bahasa Using.

Namun tak seperti dicitrakan, setidaknya, selama dua dasawarsa. Tidak ada sumber kuno, semasa dengan kerajaan Blambangan, yang menyebut masyarakat Blambangan (Banyuwangi saat ini) sebagai masyarakat Using. Tidak diketahui dengan pasti kapan sesungguhnya dan dalam konteks apa istilah Using yang dikaitkan dengan masyarakat Banyuwangi pertamakali digunakan. Para ahli hanya berspekulasi baru pada abad 20 istilah Using digunakan untuk menyebut masyarakat. Walaupun sejumlah literatur  lama telah dibuka dan dikaji, selama bertahun-tahun istilah Using ada tanpa penjelasan yang memadai untuk menjawab pertanyaan kenapa masyarakat Banyuwangi disebut wong Using, sampai Sri Margana dalam makalah untuk Konferensi Nasional Sejarah IX (2011) menyingkapkan kabut penyebutan Using  yang ditujukan pada orang Banyuwangi. Mengutip laporan anthropolog Belanda tahun 1930-an yang menyebut dirinyanya ‘insider’ dan dilengkapi dengan data-data historis, Sri Margana berkesimpulan istilah Using digunakan oleh orang Bali untuk merendahkan orang Blambangan[1]. Bahwa istilah Using tersebut sama artinya dengan out of caste, tidak termasuk dalam kasta yang paling rendah sekalipun dalam struktur sosial masyarakat Bali, alias bukan manusia.
Dengan demikian, Using sebagai identitas lokal memiliki dua lapis sedimen yang saling bertolak belakang. Lapisan permukaannya merupakan hasil konstruksi kultural kontemporer dimana hubungan dengan masa lalu, Blambangan, terselenggara secara ilusif dengan tujuan untuk membangkitkan kabanggaan lokal. Sementara lapisan yang ada di bawah permukaan mengonfirmasi hal sebaliknya, yakni Using merupakan istilah yang merendahkan.


Usingisasi sebagai Operasi Ideologis

Pertanyaan berikutnya yang diajukan berkenaan dengan identitas Using adalah mengapa masyarakat Banyuwangi menerima menjadi wong Using? Atau mengapa masyarakat Banyuwangi menerima konstruksi ilusif yang mendasari nilai kebanggaan diri sebagai wong Using yang dibangun di atas stigmatisasi perendahan diri? Mungkin jawaban mudah untuk menanggapi pertanyaan tersebut adalah, mengikuti Margana[2],  karena ‘sebagian besar masyarakat Banyuwangi kontemporer tidak memahami konteks historis dan anthropologis istilah ini (Using, pen.). . .’  Walaupun jawaban tersebut kita anggap benar persoalan ini tidak berhenti sampai di sini. Kita akan maju dengan mengajukan pertanyaan berikutnya yakni, bagaimana dan apa yang menghalangi atau memblok ingatan kolektif satu generasi sebelumnya untuk diwariskan ke generasi berikutnya?  Pertanyaan ini diajukan karena kendati mungkin tanpa landasan konteks historis dan anthropologis, seperti juga diakui Margana, sebagian orang-orang tua Banyuwangi menolak untuk disebut wong Using karena dianggap merendahkan.

Tidaklah mungkin identitas Using yang berbasis pada konstruksi sejarah yang bersifat ilusif itu ada begitu saja, bersifat spontan. Walaupun kemudian identitas Using direproduksi secara otomatis melalui modus life style, gaya hidup, pada mulanya identitas Using memerlukan kekuasaan untuk mengarahkan orang-orang kepadanya. Menurut Louis Althusser (2007) ada dua cara kekuasaan untuk menguasai atau menundukkan (subyeksi), baik individu maupun komunitas sosial, guna melanggengkan reproduksi relasi-relasi produksi, yakni melalui aparat-aparat represif dan aparat-aparat ideologis. Aparat-aparat represif atau aparatus represif menjalankan fungsinya dengan kekerasan, sedangkan aparatus ideologis menjalankan fungsinya dengan ideologi.Walaupun keduanya tak boleh dirancukan, namun tidak ada aparatus represif yang senuhnya bersifat represif tanpa fungsi sekunder ideologis. Begitu juga dengan aparatus ideologis tidak sepenuhnya bersifat ideologis tanpa fungsi sekunder represif.

Aparatus represif yang hadir sebagai totalitas terorganisir yang memusatkan bagian-bagiannya dalam suatu kesatuan tugas berperan melestarikan secara paksa kondisi-kondisi politik yang dibutuhkan bagi reproduksi relasi-relasi produksi dan juga menyiapkan kondisi-kondisi politik bagi operasi aparatus ideologis. Aparatus ideologis hadir dan beroperasi secara diam-diam dan menyebar dalam beragam lembaga-lembaga ‘privat’ semisal keluarga, budaya, pendidikan, dan agama. Operasi ideologis membentuk dan menanamkan persepsi ilusif mengenai suatu dunia pada diri individu atau komunitas sosial melalui gambaran imjiner yang didalamnya relasi antar subyek dibentuk dan dialami sebagai eksistensi nyata yang dianggap bersifat alamiah. Modus operasi ideologis ini bisa bersifat koersif berupa tindakan-tindakan pendisiplinan yang termanifestasi, semisal, dalam tata cara ritual maupun metode-metode penghukuman. Bisa juga melalui modus interplasi atau pemanggilan dimana ideologi merekrut subyek-subyek sebagai suatu kategori-kategori yang ditentukan secara ideologis.                

Dengan demikian, bagi Althusser, baik aparatus ideologis maupun aparatus represif merupakan instrumen penting bagi suatu kekuasaan borjuis (negara) untuk melestarikan dirinya sendiri melalui reproduksi relasi-relasi produksi, yang pada prinsipnya merupakan hubungan-hubungan penghisapan. Sebagai pengikut Marx, Althusser menerapkan dan mengembangkan lebih jauh dalil hubungan hirarkis antara suprastruktur dan struktur dimana semua tatanan masyarakat sosial berdiri di atas landasan atau struktur dasar yang bersifat material, di atas hubungan-hubungan sosial yang terbentuk melalui relasi-relasi produksi. 

Seperti telah dinyatakan sebelumnya, Usingisasi atau pembentukan identitas Using tidaklah terjadi secara spontan atau alamiah tanpa campur tangan kekuasaan. Usingisasi merupakan operasi ideologis untuk menghasilkan identitas Using. Kapan identitas Using mulai ditanamkan? Saya menduga pada masa yang disebut oleh Bernard Arps sebagai kebangkitan genre musik Banyuwangi tanpa Genjer-genjer dan dalam konteks politik yang berbeda secara radikal. Yakni  tahun 1970-an ketika Bupati pertama era Orde Baru berkuasa. Istilah Using pada masa itu tentu saja tidak serta merta muncul menguat. Namun kualitas-kualitas keusingan yang kelak akan menjadi penanda identitas Using mulai diletakkan. Modus operasi ideologis yang terutama dilakukan pada saat itu adalah pelarangan dan penyensoran.

Jatuhnya Orde Lama, dengan demikian berkuasanya Orde Baru, diikuti dengan dilikuidasinya faham seni realisme sosialis. Terjadi depolitisasi seni secara masif, baik menggiring seni ke wilayah otonomnya sendiri maupun memperlakukan seni sebagai hiburan belaka dan komoditas. Disamping itu produk seni diarahkan sebagai instrumen penanaman nilai-nilai Orde Baru yang bersumber pada pembangunanisme dan stabilisasi keamanan.
Dalam konteks Banyuwangi, pemberangusan haluan seni realisme sosialis dilakukan melalui tindakan-tindakan pelarangan menyanyikan dan mendengarkan lagu-lagu yang dikarang oleh para seniman-seniman Lekra atau yang dianggap komunis. Lagu-lagu seperti Genjer-Genjer, Nandur Jagung yang dikarang oleh Mohamad Arief maupun Podo Nginang, Nelayan karangan Endro Wilis dengan begitu saja lenyap. Pemberangusan ini lantas diikuti dengan tindakan kontrol melalui penyensoran. Kasus nyata tindakan kontrol ini adalah peniadaan nama Endro Wilis pada lagu-lagu karangannya yang dipublikasikan pada masa itu (karena Endro Wilis dianggap komunis) dan perubahan judul lagu Selendang Abang menjadi Selendang Sutro (Abang/Merah berkonotasi komunis).

Depolitisasi produksi lagu-lagu Banyuwangi dimulai setelah Banyuwangi melewati masa ‘tanpa lagu’ selama sekira lima tahunan. Tindakan depolitisasi ini dilakukan dengan menggali nilai-nilai patriotik dalam sejarah Banyuwangi silam (Blambangan) yang direpresentasikan baik melalui tokoh-tokoh maupun episode-episode perlawanan. Patriotisme pada masa awal Orde Baru ini berbeda dengan romantisme heroik pada produk-produk lagu periode sebelumnya. Patriotisme ala Orde Baru diciptakan untuk mengobarkan semangat rela berkorban atau cinta tanah air. Apa yang dimaksud tanah air adalah pemerintah. Sebagaimana semangat rela berkorban juga ditujukan pada pemerintah. Sedangkan yang dilucuti dalam heroisme romantik oleh patriotisme ala Orde Baru adalah keberpihakan pada yang tertindas dan pembongkaran praktik penghisapan.
Depolitisasi berikutnya adalah menggiring lagu-lagu Banyuwangi belaka sebagai barang komoditi dan hiburan. Varian depolitisasi jenis ini mendapatkan momentumnya pada tahun 80-an ketika industri rekaman lagu-lagu Banyuwangi mulai marak. Produksi lagu-lagu Banyuwangi pada tahun ini, secara populer disebut kendang kempul, yang berlandas pada permintaan pasar atau berpretensi melayani pasar mulai beranjak meninggalkan irama dan instrumen angklung dan mengadopsi irama dangdut. Tema dalam syair-syairnya didominasi hubungan cinta remaja, sebagaimana dalam syair-syair dangdut, tersusun dengan kalimat-kalimat yang jelas dan bersifat menggoda bahkan sampai seronok. Pada masa ini, identitas Using mulai terbentuk secara berangsur-angsur bersamaan dengan tumbuhnya life style Lare Osing.

Identitas Using menyebar secara luas dan masif pada saat gerakan reformasi 98 yang berhasil menumbangkan Orde baru membuahkan desentralisasi kekuasaan politik. Sistem otonomi daerah yang diberlakukan pasca Orde Baru membuka praktik politik identitas yang pada dasarnya adalah kulturalisasi politik yang membasis pada eksploitasi dan manipulasi nilai-nilai etnisitas demi tujuan-tujuan politik, terutama elektoral. Disamping penggalian kembali sejarah masa lalu Banyuwangi (Blambangan) guna menumbuhkan sensasi nilai ‘asli’, operasi ideologis menegakkan identitas Using (Usingisasi) berlangsung secara sistematis melalui pengajaran Bahasa Using di sekolah-sekolah, penerbitan kamus Bahasa Using, hingga modus interplasi atau pemanggilan dalam ruang-ruang publik yang dilakukan melalui spanduk-spanduk himbauan berbahasa Using.

Penanaman identitas Using dalam masyarakat Banyuwangi berlangsung secara bertahap yang dimulai dengan pelarangan dan penyensoran, depolitisasi, interplasi atau pemanggilan. Pelarangan dan penyensoran dilaksanakan oleh agen represif dan agen ideologis negara, depolitisasi dilaksanakan oleh pasar (agen ideologis), pemanggilan dilaksanakan oleh negara (pemerintah) dan pasar. Namun demikian, tahap-tahap penanaman ini sesungguhnya tidak dapat dibayangkan terpisah-pisah secara tegas, sebab dalam pelarangan dan penyensoran juga terkandung depolitisasi dan pemanggilan sebagai modus sekunder. Begitu juga dengan dua tahap berikutnya.                     

Terjawab sudah pertanyaan mendasar yang diajukan pada paragraf awal bagian ini;  Bagaimana dan apa yang menghalangi atau memblok ingatan kolektif  (mengenai nilai istilah Using) satu generasi sebelumnya untuk diwariskan ke generasi berikutnya? Penghalangnya adalah tumbuhnya persepsi baru mengenai nilai istilah Using dalam masyarakat sosial melalui operasi ideologis yang diselenggarakan secara berangsur-angsur dan melalui beberapa tahap.






Bacaan:
-          Amartya Sen, “Kekerasan dan Ilusi Tentang Identitas” (terjemahan) , Serpong: Marjin Kiri, 2011
-          Bernard Arps, “Osing Kids and the Banners of Blambangan: Ethnolinguistic Identity and the Regional Past as Ambient Themes in an East Javanese Town”, dalam Wacana, Vol. 11 No.1 (April 2009).
-          Endro Wilis, “Istilah “Using” adalah Racun yang Melumpuhkan Jiwa, dalam Lembaran Kebudayaan No. 10, Maret 2010
-          Louis Althusser, “Filsafat sebagai Senjata Revolusi” (terjemahan), Yogyakarta: Resist Book, Februari 2007
-          Sri Margana, “Melukis Tiga Roh: Stigmatisasi dan Kebangkitan Historiografi Lokal di Banyuwangi”, makalah Konferensi Nasional Sejarah IX, Jakarta, 5 – 7 Juli 2011            
                          



[1] Berikut adalah nukilan kutipan Sri Margana dari anthropolog Belanda yang disebut ‘insider’ yang termuat dalam makalah untuk Konferensi Nasional Sejarah IX (2011) dengan judul Melukis Tiga Roh: Stigmatisasi dan Kebangkitan Historigrafi Lokal di Banyuwangi: ‘Nama “oesing” yang biasa digunakan untuk menyebut orang Blambangan di ujung timur (Jawa) dan yang diambil dari istilah Bali “sing” atau “bukan”, dipandang kurang atau lebih ejekan. “Wong Oesing” berarti “bukan manusia”, dan bagi kesadaran diri seseorang ini tentu saja “di bawah segala sesuatu’.
[2] Sri Margana, Melukis Tiga Roh: Stigmatisasi dan Kebangkitan Historiografi Lokal di Banyuwangi, makalah untuk Konferensi Nasional Sejarah IX (2011)

5 komentar:

  1. Bagus banget.....mungkin bahasa lugasnya seperti yang dikatakan Bernard Arps/ Endro Wilis......bantu doang untuk kirim tulisan DR. Sri Margana , Melukis Tiga wajah, Bernard Arps dan Endro Wilis .Hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya ada tulisan Bern Arp dan Sri margana yang dimaksud, saya kirim ke mana? untuk tulisan almarhum Endro Wilis saya tidak punya e-filenya.

      Hapus
  2. terima kasih sekali ...saya tunggu di sumono_ah@yahoo.co.id

    BalasHapus
  3. saya lahir di bwi thn 1959 sedari kecil bahasa osing ude ada juga kbudayaannya semacam aljin gandrung damar wulan dan memang ada desa desa yg berbahasa jawa sebab mnurut sejarah juga mereka dibawa belanda dari kabupaten lain ,katone mulo njalok disontog kang nulis iki hahahh

    BalasHapus
  4. Lokalitas (bukan lokalisasi) spt Desa, kampung dst menjadi identitas yg merendahkan di masa lalu. Tapi sejalan dg semakin kuatnya globalisasi nilai2 lokal justru semakin kuat dan dihargai sbg nilai2 yg patut ditiru (lokal wisdom). Saya apresiasi tulisan yg menurut saya bagus dan menantang sbg diskursus bagi kita semua terutama masyarakat bwi global spt saya yang sudah bisa menerima dialog2 terbuka spt ini. Kami tunggu tulisan2 lanjutnya. Ojo nyonthog isun yaaak...selamat terus berkarya dan salam hangat dari kami. pujiwahono@yahoo.com/@gmail.com

    BalasHapus