Laman

Senin, 03 Juli 2017

Gus Dur & Ilusi Identitas

“…bahwa karakter-karakterku menunjukan bagian diriku yang berbeda-beda, dan karakterku adalah bagian yang berbeda dari diriku”. (Chaim Potok)


http://krisadjiaw-gallery.blogspot.co.id/2008/12/karya-dekoratif-terbaru.html





Apa yang dimaksud dalam judul di atas, Gus Dur,  adalah K.H. Abdurrahman Wahid, mantan presiden Republik Indonesia ke-4, cucu pendiri NU, seorang beragama Islam, seorang penganjur perdamaian, dan seorang penjunjung nilai-nilai kamanusiaan. Tentu masih banyak identitas lain yang dapat menerangkan siapa itu Gus Dur. Suatu identitas yang diberikan oleh orang lain atau khalayak untuk membantu mengenali dan mengaitkan Gus Dur dalam suatu kelompok tertentu. Misalnya, mungkin bagi para penggemar film mengenali Gus Dur adalah seorang yang sangat menggemari film sehingga mereka juga mengelompokan Gus Dur dalam kelompoknya. Tak peduli diantara penggemar film tersebut juga terdapat orang-orang yang beragama Kristen atau bahkan atheis. Namun suatu identitas yang dilekatkan pada Gus Dur bisa jadi suatu identitas yang diprasangkakan secara politis dan bersifat menyerang kepribadiannya (labeling). Seperti penyebutan ia sebagai agen Yahudi. Atau tak menutup kemungkinan Gus Dur “dipaksa” untuk mengenakan suatu identitas tunggal tertentu sehingga segala tindakan yang dilakukannya harus merujuk dan menunjukan loyalitas dan solidaritas pada kelompok yang memiliki identitas yang sama.


            Persoalan salah paham, tak jarang berujung pada pendeskriditan, dalam mengenali Gus Dur, bagaimanapun, seringkali bermula pada upaya mengenali Gus Dur dengan melekatkan padanya suatu identitas tunggal sebagai seorang beragama Islam atau seorang NU. Dan celakanya pemaknaan Islam atau NU sebagai suatu identitas kelompok selalu mengangankan suatu tafsir tunggal yang menyanakan identitas kelompok tersebut sebagai bersifat kodrati dan terberi. Padahal kita tahu Islam sendiri memiliki sekian banyak tafsir yang dibuktikan dengan melimpahnya kelompok yang berlandas pada Islam. Bahkan NU sendiri berisi anggota-anggota yang beridentitas majemuk. Tak seperti yang dibayangkan, bahwa NU yang sering dikategorikan sebagai kelompok Islam tradisionalis ternyata tidak semua anggotanya mempunyai pola pikir tradisional. Sebagaimana yang dikatakan Gus Dur, anggota NU disamping banyak yang memiliki gagasan mistis juga banyak yang berpegang pada rasionalitas.

            Bagaimanapun, apa yang ditulis oleh Emha Nabil Haroen mengenai sepak terjang Gus Dur dalam Kompas, Rabu, 18 Juni 2008 merupakan salah satu upaya mengenali sosok Gus Dur sebagai seorang yang beridentitas tunggal. Emha N.H. meletakan Gus Dur sebagai seorang tokoh politisi PKB dimana PKB yang dimaksud Emha adalah PKB yang identik dengan NU. Artinya, Emha beranggapan PKB adalah sayap politik NU, dan karena dilahirkan oleh NU, maka PKB harus melayani NU. Oleh karenanya segala tindakan politik yang dilakukan oleh Gus Dur dianggap sudah seharusnya ditakar dan dinilai seberapa besar menguntungkan dan merujuk dan selaras kebijakan-kebijakan NU, baik secara “prosedural” maupun “esensial”. Hal ini bukan hanya keliru pada cara berpikir bagaimana memaknai PKB sebagai partai politik yang tidak hanya diisi oleh orang-orang NU. Namun juga keliru mengenali Gus Dur hingga berakibat pada kesalahan menafsir apakah tindakan Gus Dur berlandas pada kepentingan politik praktis atau gagasan yang lebih besar. Kesimpulan yang sangat pragmatis yang ditarik Emha dari upaya Gus Dur mencabut Tap MPRS Nomor XXV tahun 1966, merupakan contoh gamblang bagaimana Emha keliru menilai tindakan Gus Dur sebagai tindakan yang berlandas pada kepentingan politik praktis. Padahal hal tersebut mastinya dilihat sebagai upaya Gus Dur mewujudkan cita-cita kebebasan yang berlandas pada nilai-nilai kemanusiaan.

             Bahkan bagi Emha, sebagaimana pandangan pada umumnya, seorang politisi mestilah harus mengedepankan perhitungan-perhitungan strategis untuk membangun dan mengamankan karier politiknya. Dan jika berhasil menduduki jabatan tertentu tentu ia harus memelihara dan mempertahankannya selama mungkin dengan sekian sikap kompromi. Jika terpaksa, ia mesti mengorbankan cita-cita idiilnya. Pandangan ini tercermin dari pernyataan bernada penyesalan Emha atas kejatuhan Gus Dur dari jabatan presiden yang disinyalirnya karena tidak melakukan sejumlah kompromi birokratis. Pastilah cara berpikir semacam ini sangat berbeda, atau bahkan bertentangan, dengan Gus Dur yang justru meletakan gagasan idiil sebagai landasan dalam mengambil tindakan praktis. Seperti bagaimana ia tidak khawatir atas kecemasan umum yang ditampakan oleh para pengamat politik saat ini terhadap PKB yang berkemungkinan tak dapat mengikuti pemilu karena deraan kemelut internal.

            Hari ini kita sering terjebak dalam pemaknaan budaya dan peradaban yang berlandas pada gagasan identitas-identitas tunggal yang tak jarang dianggap bersifat kodrati dan terberi serta saling bertentangan, sebagaimana tesis Samuel P. Huntington mengenai benturan antarperadaban berlandas pada hal tersebut. Bahkan menurut Amatya Sen berbagai upaya kemanusian juga seringkali terjebak pada gagasan identitas tunggal yang ilusif yang justru berakibat pada pengerdilan nilai kemanusiawian. Upaya perdamaian yang terlalu sering melibatkan tokoh-tokoh agama dalam label “dialog antar tokoh agama-agama” misalnya, seolah meniadakan banyak identitas lain yang lebih praktis dan berdimensi keseharian yang dapat juga dibangkitkan untuk menggalang upaya perdamaian. Hal ini menyatakan bahwa umat manusia hanya terbagai dalam kelompok-kelompok agama belaka dan seolah menegaskan pertikaian tersebut hanya bersumber pada agama. Suatu pernyataan yang berpamrih menyeru perdamaian juga tak jarang terjebak pada pengingkaran adanya identitas lain yang sejenis hanya karena berkarakter keras, misalnya dengan menyebut bahwa mereka yang sering bertindak keras dan kasar bukanlah Islam. Hal ini bukan hanya suatu gagasan ilusif, namun sekaligus mengingkari sejarah peradaban yang penuh kekerasan sekaligus kebajikan.  

            Salah satu yang paling berharga dari Gus Dur adalah bagaimana ia tidak mau tunduk dalam suatu identitas tunggal yang diprasangkakan padanya dan bagaimana ia menolak memandang manusia atau peradaban manusia dalam kerangkeng identitas tunggal. Oleh karenanya Gus Dur melancarkan kritik keras atas label atau identitas “muslim” yang melekati kelompok cendekiawan yang beberapa tahun lalu marak. Karena dengan pelabelan semacam itu justru membonsai tugas/kewajiban, posisi, fungsi kecendekiaan yang mengambil dan memberikan manfaat keilmuan dari dan kepada siapapun atau golongan apapun.


Pandangan-pandangan dan tindakan-tindakan Gus Dur terkesan sulit untuk dipahami karena pemaknaan yang dilakukan terhadapnya tidak sesuai dengan gagasan yang melandasi tindakan-tindakan Gus Dur yang jauh dari sektarian. Dan salah satu hal yang paling membuat Gus Dur sering disalah pahami adalah karena ia berhasil menjadi seorang yang mampu mengoperasikan seluruh identitas di dalam dirinya. Sedangkan para pengamat hampir selalu terpaku pada ilusi identitas tunggal tertentu yang dianggap melekati Gus Dur. 


* * * 


Catatan:
Istilah "identitas" dalam tulisan ini digunakan secara longgar. 

1 komentar:

  1. Kami Jingga A Raya perusahaan profesional penyedia jasa Coating, Epoxy Flooring, waterproofing, dan supplier bagi segala kebutuhan industri dll
    Pengalaman kami untuk hasil terbaik Anda

    Silahkan berkunjung ke website kami : www.jinggaraya.com

    Kami melayani seluruh area Indonesia

    #epoxysemarang #epoxysolo #epoxyyogyakarta #epoxyjawatengah #epoxysurabaya #epoxymalang #epoxysidoarjo #epoxymojokerto #epoxyjawatimur #epoxybandung #epoxypurwakarta #epoxycirebon #epoxyjawabarat #epoxyserang #epoxytangerang #epoxybanten #epoxyjakarta #epoxylampung #epoxysumatra #epoxybali #epoxykalimantan #epoxysulawesi #epoxyindonesia #epoxykita

    BalasHapus