“…bahwa
karakter-karakterku menunjukan bagian diriku yang berbeda-beda, dan karakterku
adalah bagian yang berbeda dari diriku”. (Chaim Potok)
http://krisadjiaw-gallery.blogspot.co.id/2008/12/karya-dekoratif-terbaru.html
Apa
yang dimaksud dalam judul di atas, Gus Dur, adalah K.H. Abdurrahman Wahid, mantan
presiden Republik Indonesia ke-4, cucu pendiri NU, seorang beragama Islam,
seorang penganjur perdamaian, dan seorang penjunjung nilai-nilai kamanusiaan. Tentu
masih banyak identitas lain yang dapat menerangkan siapa itu Gus Dur. Suatu
identitas yang diberikan oleh orang lain atau khalayak untuk membantu mengenali
dan mengaitkan Gus Dur dalam suatu kelompok tertentu. Misalnya, mungkin bagi
para penggemar film mengenali Gus Dur adalah seorang yang sangat menggemari
film sehingga mereka juga mengelompokan Gus Dur dalam kelompoknya. Tak peduli
diantara penggemar film tersebut juga terdapat orang-orang yang beragama
Kristen atau bahkan atheis. Namun suatu identitas yang dilekatkan pada Gus Dur
bisa jadi suatu identitas yang diprasangkakan secara politis dan bersifat
menyerang kepribadiannya (labeling). Seperti penyebutan ia sebagai agen Yahudi. Atau tak
menutup kemungkinan Gus Dur “dipaksa” untuk mengenakan suatu identitas tunggal
tertentu sehingga segala tindakan yang dilakukannya harus merujuk dan
menunjukan loyalitas dan solidaritas pada kelompok yang memiliki identitas yang
sama.
Persoalan salah paham, tak jarang
berujung pada pendeskriditan, dalam mengenali Gus Dur, bagaimanapun, seringkali
bermula pada upaya mengenali Gus Dur dengan melekatkan padanya suatu identitas
tunggal sebagai seorang beragama Islam atau seorang NU. Dan celakanya pemaknaan
Islam atau NU sebagai suatu identitas kelompok selalu mengangankan suatu tafsir
tunggal yang menyanakan identitas kelompok tersebut sebagai bersifat kodrati
dan terberi. Padahal kita tahu Islam sendiri memiliki sekian banyak tafsir yang
dibuktikan dengan melimpahnya kelompok yang berlandas pada Islam. Bahkan NU
sendiri berisi anggota-anggota yang beridentitas majemuk. Tak seperti yang
dibayangkan, bahwa NU yang sering dikategorikan sebagai kelompok Islam
tradisionalis ternyata tidak semua anggotanya mempunyai pola pikir tradisional.
Sebagaimana yang dikatakan Gus Dur, anggota NU disamping banyak yang memiliki
gagasan mistis juga banyak yang berpegang pada rasionalitas.
Bagaimanapun, apa yang ditulis oleh
Emha Nabil Haroen mengenai sepak terjang Gus Dur dalam Kompas, Rabu, 18
Juni 2008 merupakan salah satu upaya mengenali sosok Gus Dur sebagai seorang
yang beridentitas tunggal. Emha N.H. meletakan Gus Dur sebagai seorang tokoh
politisi PKB dimana PKB yang dimaksud Emha adalah PKB yang identik dengan NU. Artinya,
Emha beranggapan PKB adalah sayap politik NU, dan karena dilahirkan oleh NU,
maka PKB harus melayani NU. Oleh karenanya segala tindakan politik yang
dilakukan oleh Gus Dur dianggap sudah seharusnya ditakar dan dinilai seberapa
besar menguntungkan dan merujuk dan selaras kebijakan-kebijakan NU, baik secara
“prosedural” maupun “esensial”. Hal ini bukan hanya keliru pada cara berpikir
bagaimana memaknai PKB sebagai partai politik yang tidak hanya diisi oleh
orang-orang NU. Namun juga keliru mengenali Gus Dur hingga berakibat pada
kesalahan menafsir apakah tindakan Gus Dur berlandas pada kepentingan politik
praktis atau gagasan yang lebih besar. Kesimpulan yang sangat pragmatis yang
ditarik Emha dari upaya Gus Dur mencabut Tap MPRS Nomor XXV tahun 1966, merupakan
contoh gamblang bagaimana Emha keliru menilai tindakan Gus Dur sebagai tindakan
yang berlandas pada kepentingan politik praktis. Padahal hal tersebut mastinya
dilihat sebagai upaya Gus Dur mewujudkan cita-cita kebebasan yang berlandas
pada nilai-nilai kemanusiaan.
Bahkan bagi Emha, sebagaimana pandangan pada
umumnya, seorang politisi mestilah harus mengedepankan perhitungan-perhitungan
strategis untuk membangun dan mengamankan karier politiknya. Dan jika berhasil
menduduki jabatan tertentu tentu ia harus memelihara dan mempertahankannya
selama mungkin dengan sekian sikap kompromi. Jika terpaksa, ia mesti
mengorbankan cita-cita idiilnya. Pandangan ini tercermin dari pernyataan bernada
penyesalan Emha atas kejatuhan Gus Dur dari jabatan presiden yang disinyalirnya
karena tidak melakukan sejumlah kompromi birokratis. Pastilah cara berpikir
semacam ini sangat berbeda, atau bahkan bertentangan, dengan Gus Dur yang
justru meletakan gagasan idiil sebagai landasan dalam mengambil tindakan
praktis. Seperti bagaimana ia tidak khawatir atas kecemasan umum yang
ditampakan oleh para pengamat politik saat ini terhadap PKB yang berkemungkinan
tak dapat mengikuti pemilu karena deraan kemelut internal.
Hari ini kita sering terjebak dalam
pemaknaan budaya dan peradaban yang berlandas pada gagasan identitas-identitas
tunggal yang tak jarang dianggap bersifat kodrati dan terberi serta saling
bertentangan, sebagaimana tesis Samuel P. Huntington mengenai benturan
antarperadaban berlandas pada hal tersebut. Bahkan menurut Amatya Sen
berbagai upaya kemanusian juga seringkali terjebak pada gagasan identitas
tunggal yang ilusif yang justru berakibat pada pengerdilan nilai kemanusiawian.
Upaya perdamaian yang terlalu sering melibatkan tokoh-tokoh agama dalam label
“dialog antar tokoh agama-agama” misalnya, seolah meniadakan banyak identitas
lain yang lebih praktis dan berdimensi keseharian yang dapat juga dibangkitkan
untuk menggalang upaya perdamaian. Hal ini menyatakan bahwa umat manusia hanya
terbagai dalam kelompok-kelompok agama belaka dan seolah menegaskan pertikaian
tersebut hanya bersumber pada agama. Suatu pernyataan yang berpamrih menyeru
perdamaian juga tak jarang terjebak pada pengingkaran adanya identitas lain
yang sejenis hanya karena berkarakter keras, misalnya dengan menyebut bahwa
mereka yang sering bertindak keras dan kasar bukanlah Islam. Hal ini bukan
hanya suatu gagasan ilusif, namun sekaligus mengingkari sejarah peradaban yang
penuh kekerasan sekaligus kebajikan.
Salah satu yang paling berharga dari
Gus Dur adalah bagaimana ia tidak mau tunduk dalam suatu identitas tunggal yang
diprasangkakan padanya dan bagaimana ia menolak memandang manusia atau
peradaban manusia dalam kerangkeng identitas tunggal. Oleh karenanya Gus Dur
melancarkan kritik keras atas label atau identitas “muslim” yang melekati
kelompok cendekiawan yang beberapa tahun lalu marak. Karena dengan pelabelan
semacam itu justru membonsai tugas/kewajiban, posisi, fungsi kecendekiaan yang
mengambil dan memberikan manfaat keilmuan dari dan kepada siapapun atau
golongan apapun.
Pandangan-pandangan dan
tindakan-tindakan Gus Dur terkesan sulit untuk dipahami karena pemaknaan yang
dilakukan terhadapnya tidak sesuai dengan gagasan yang melandasi
tindakan-tindakan Gus Dur yang jauh dari sektarian. Dan salah satu hal yang
paling membuat Gus Dur sering disalah pahami adalah karena ia berhasil menjadi seorang
yang mampu mengoperasikan seluruh identitas di dalam dirinya. Sedangkan para
pengamat hampir selalu terpaku pada ilusi identitas tunggal tertentu yang
dianggap melekati Gus Dur.
* * *
Catatan:
Istilah "identitas" dalam tulisan ini digunakan secara longgar.
Kami Jingga A Raya perusahaan profesional penyedia jasa Coating, Epoxy Flooring, waterproofing, dan supplier bagi segala kebutuhan industri dll
BalasHapusPengalaman kami untuk hasil terbaik Anda
Silahkan berkunjung ke website kami : www.jinggaraya.com
Kami melayani seluruh area Indonesia
#epoxysemarang #epoxysolo #epoxyyogyakarta #epoxyjawatengah #epoxysurabaya #epoxymalang #epoxysidoarjo #epoxymojokerto #epoxyjawatimur #epoxybandung #epoxypurwakarta #epoxycirebon #epoxyjawabarat #epoxyserang #epoxytangerang #epoxybanten #epoxyjakarta #epoxylampung #epoxysumatra #epoxybali #epoxykalimantan #epoxysulawesi #epoxyindonesia #epoxykita